Apakah Saksi Wajib Hadir Panggilan Polisi dan Tanda-Tangan BAP?

LEGAL OPINION

Pasal yang Berisi Kewajiban / Larangan disertai Ancaman Hukuman, namun Tidak Pernah Ditegakkan, Pasal “Macam Ompong” yang Menyesatkan

Saksi Memberikan Keterangan yang Memberatkan Tersangka di BAP Penyidik, namun kemudian Memberikan Kesaksian Meringankan Terdakwa di Persidangan

Baca UNDANG-UNDANG Vs. Riset PRESEDEN, antara Norma Undang-Undang versus Hukum Kebiasaan dalam Praktik “Best Practice

Question: Sebenarnya apa memang benar, ada aturan hukumnya dipanggil untuk menjadi saksi (guna memberikan kesaksian dalam suatu perkara pidana) ada sanksinya bila tidak datang untuk hadir? Lalu, sebagai saksi, apa juga ada keharusan untuk tanda-tangan berkas BAP (Berita Acara Penyidikan) ataukah ada kebebasan untuk memilih tidak tanda-tangan itu BAP yang dibuat penyidik kepolisian? Bagaimana juga bila sebagai saksi yang telah pernah dibuatkan BAP, dikemudian hari baru berubah pikiran atau baru ingat ingatan yang sebetulnya saat hari dipanggil ke persidangan untuk dimintai kesaksian oleh hakim?

Brief Answer: Kami asumsikan Anda berkedudukan selaku saksi mata yang melihat, mendengar, atau mengalami langsung suatu peristiwa hukum (saksi “auditu”), bukan selaku “saksi pelapor”. Secara normatif, betul terdapat pengaturan kewajiban hukum bagi setiap anggota masyarakat untuk datang memenuhi panggilan dalam rangka dimintakan keterangan atau kesaksiannya terkait suatu peristiwa hukum yang patut diduga merupakan sebuah tindak pidana, disertai norma hukum sekunder berupa ancaman sanksi hukumannya bagi saksi yang tanpa alasan memadai ternyata mengelak dari panggilan.

Meski, demikian, hingga saat kini ketentuan normatif tersebut meski terdengar ideal, lengkap dengan ancaman hukuman bagi warga / saksi yang tidak mengindahkan kewajiban hukumnya sebagai penduduk dan warganegara, terbentur pada masalah psikologis serta sosiologis yang kerap dihadapi para kalangan penyidik. Pihak penyidik memahami betul, saksi yang tidak kooperatif lebih cenderung untuk berbelit-belit dalam memberikan keterangan atau kesaksiannya, karenanya pihak penyidik tidak memaksakan diri serta tidak mempertontonkan daya paksanya karena masih membutuhkan keterangan sang saksi.

Sebagai warga yang baik dan patuh terhadap hukum, idealnya hadir memberikan keterangan apa adanya sesuai kapasitas memori ingatan, tanpa dipaksakan ataupun memaksakan diri untuk mengingat jika tidak ingat betul-betul kejadian yang telah lampah. Fakta real lapangan, banyak laporan pidana yang tidak kunjung diproses sebagaimana mestinya, karena terganjal masalah saksi yang tidak kooperatif terhadap pihak penyidik, sehingga berkas perkara tidak mungkin masuk ke tahap penuntutan terlebih disidangkan (justice denied by our own citizen).

Sama halnya, bila yang dipanggil untuk memberi keterangan ialah pihak ahli, namun menolaknya, semudah berdalih “Mengapa harus saya yang dipanggil, banyak ahli serupa di luar sana, yang bisa jadi lebih ahli daripada keahlian saya. Anda mau mengkriminalisasi saya? Lebih baik saya menggunakan waktu yang ada untuk bekerja secara produktif. Memangnya kalian mau, mengganti waktu dan ongkos yang saya keluarkan?” Namun akan berbeda konteksnya, bila kasus pidana yang terjadi dan dimintakan pandangan ahli ialah kasus-kasus yang viral menyedot perhatian publik serta dipublikasikan secara luas oleh siaran televisi dan radio ataupun media cetak nasional, maka para ahli akan tampil hingga menawarkan diri secara “sukarela” demi mendongkrak citra profesinya (baca : dalam rangka menjadi terkenal).

Pada dasarnya, sekalipun telah memberikan keterangan secara detail dan utuh hingga selengkapnya dalam BAP di hadapan seorang penyidik, tetap saja saksi bersangkutan akan tetap dipanggil oleh pihak Kejaksaan selaku Penuntut Umum untuk didengar keterangan atau kesaksiannya kembali di hadapan Majelis Hakim di pengadilan—sehingga terjadi repetisi atau redundansi alias pengulangan materi keterangan. Namun, ketentuan demikian dapat tidak diberlakukan, bilamana pihak saksi memilih untuk menanda-tangani BAP saat proses penyidikan dibawah sumpah, lantas tidak hadir di persidangan dengan alasan yang dapat saja “dibuat-buat” sehingga menjadi tampak “sah”.

Mungkin pertanyaan yang lebih tepat, bukanlah ada atau tidaknya norma hukum berupa pasal-pasal hukum pidana materiil maupun norma hukum pidana formil yang mengatur kewajiban seorang saksi untuk hadir memberikan kesaksian kepada aparatur penegak hukum maupun ke hadapan persidangan, namun apakah konvensi (hukum kebiasaan) berupa kaedah pidana bentukan preseden-nya selama ini sebagai “best practice” pernah memungkinan itu terjadi?

“Memilih untuk bersedia” menjadi seorang saksi, sekali tampil artinya mengalami kondisi “terikat” oleh hukum acara yang demikian prosedural, yakni terikat untuk memberikan keterangan dibawah sumpah serta menanda-tangani berkas BAP, hingga kewajiban kembali hadir di persidangan yang tentunya menguras emosi mental, sehingga secara psikologis menjadi beban tersendiri sehingga yang karenanya menjadi wajar bila masyarakat memilih untuk tidak menjadi saksi dalam kasus pidana apapun karena faktor akan “terikat oleh belenggu prosedural” yang merampas kemerdekaan layaknya seorang “pesakitan” demikian.

Terdapat bahaya dibalik pemahaman hukum semata berdasarkan kaedah normatif peraturan perundang-undangan semata, karena sebagaimana kita ketahui secara umum, norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan dibentuk bisa jadi secara penuh idealisme namun kurang “membumi”, yang seringkali berbenturan dengan realita sehingga terjadilah berbagai pasal-pasal di dalam Undang-Undang, sebagai contoh, kehilangan validitasnya secara gradual hingga menuju titik “ground zero” (seolah tidak pernah ada pasal tersebut) semata karena selama ini pasal tersebut dibiarkan “mati-suri” (tanpa pernah dihidupkan dalam praktik peradilan) sehingga menjadi tidak lagi efektif, alias sekadar “macan di atas kertas” yang tidak lagi bertaring meski terdapat pasal yang mengatur sanksi bagi yang melanggarnya. Hukum yang lebih nyata dan konkret, terdapat pada preseden, alias konvensi yang bersumber dari kebiasaan praktik peradilan itu sendiri yang lebih menawarkan kepastian hukum.

PEMBAHASAN:

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendefinisikan “saksi” sebagai adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. makna kata dibalik frasa “alami sendiri”, “lihat sendiri”, maupun “dengar sendiri”, mensyaratkan hubungan langsung antara kejadian dengan kontak panca indera sang pemberi keterangan selaku “saksi mata”.

Karenanya, sifatnya “tidak berselang oleh waktu”, meski bisa jadi berselang oleh ruang (semisal melihat kejadian secara streaming dari kamera CCTV yang diperlengkapi perangkat streaming online real time—sehingga setidaknya telah terdapat dua buah alat bukti, yakni data digital CCTV bila memang terdapat perangkat penyimpan data memori video hasil rekaman serta kesaksian pihak yang melihat langsung suguhan pada layar monitor tangkapan kamera CCTV, dimana bila ternyata tiada terdapat memori digital hasil rekaman maka yang ada ialah satu buah keterangan saksi mata yang menyaksikan tayangan streaming hasil tangkapan kamera CCTV.

Hal tersebut merupakan perluasan makna “secara langsung”, seperti halnya seseorang mendengar tidak secara bertatap-muka, namun secara streaming “online” pada perangkat gadget digital miliknya (lazim pada era modern namun tidak lazim pada era dimana hukum acara pidana Indonesia dibentuk), maka tetap dikategorikan sebagai saksi mata yang bersentuhan langsung dengan kejadian yang ia lihat, dengar, atau alami sendiri. Inilah, yang penulis maksud dengan kesaksian tanpa dibatasi sekat ruang, namun kesaksian dibatasi tetap dibatasi oleh sekat waktu, yakni keharusan “real time”. Bila terjadi disparitas waktu antara kesaksian dan kejadian pidana yang terjadi, maka bukanlah lagi dikategorikan sebagai mengalami sendiri secara langsung, namun “katanya, katanya, dan katanya”.

Penyidik maupun hakim perkara pidana di pengadilan, tidak akan menaruh bobot keterangan saksi “de auditu” (bukan saksi mata), meski putusan Mahkamah Konstitusi RI menjadikan keterangan saksi “katanya, katanya, dan katanya” demikian sebagai memiliki bobot kesaksian, karenanya bila seorang warga yang tidak mengetahui secara langsung suatu peristiwa pidana akan tetapi tetap juga dipanggil sebagai saksi oleh pihak penyidik maupun oleh pihak kejaksaan, namun tidak hadir tanpa alasan, maka secara “penafsiran logis” terhadap warga tersebut tidak memiliki konsekuensi ancaman sanksi apapun—semata karena, hadir pun percuma, keterangannya tidak diberikan bobot dalam praktik di lapangan sebagai “law in concreto” bukan “law in abstracto” sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi RI yang kerap tidak aplikatif dan tidak rasional untuk diterapkan dalam dunia nyata.

Adapun norma hukum dimaksud, yakni perintah berisi kewajiban menghadiri panggilan untuk memberikan keterangan atau kesaksian, bukan hanya dalam persidangan perkara pidana namun juga perkara perdata (yang mana keduanya, pada praktiknya tidak pernah direalisasikan), dapat kita jumpai dalam Pasal 224 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur secara tegas dan demikian eksplisit:

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

1.) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

2.) dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.”

Pada mulanya, terdapat ketentuan berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (2) Peraturan Kepala POLRI Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yakni bila seorang saksi tidak bersedia membubuhkan tanda-tangan dalam BAP, penyidik membuat catatan tentang penolakan membubuhkan tanda-tangannya itu dalam berita acara tersendiri. Catatan tersebut berupa penjelasan mengenai alasan yang menjadi penyebab sang saksi menolak membubuhkan tanda-tangan dalam Berita Acara Pemeriksaan. Dalam hal saksi tidak mau menanda-tangani berita acara ia harus memberi alasan yang kuat.

Akan tetapi, ketentuan di atas saat kini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sehingga perihal posisi hukum seorang saksi terkait BAP, dikembalikan pengaturannya semata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagaimana ternyata dalam peraturan berikut:

PERATURAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 6 TAHUN 2019

TENTANG

PENCABUTAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN

NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

Pasal 1

Pada saat Peraturan Kepolisian ini mulai berlaku, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 686), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 2

Peraturan Kepolisian ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981

TENTANG

HUKUM ACARA PIDANA

Pasal 112

(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut;

(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Pasal 113

Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.

Pasal 116

(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan;

(2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya;

(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara;

(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.

[Note SHIETRA & PARTNERS : Konsekuensi dibalik memberikan keterangan disertai “sumpah”, ialah kewajiban logis pihak pemberita keterangan untuk membubuhkan tanda-tangan dalam BAP. Bila tanpa sumpah, maka adalah dalam rangka sumpah jabatan dan wewenang sang penyidik untuk seorang diri menanda-tangani BAP yang dibuat olehnya. Yang mana dapat kita tafsirkan pula secara “a contrario”, tanpa disumpah maka seorang saksi tidak perlu menanda-tangani BAP, mengingat akan kembali dipanggil sebagai saksi di persidangan.]

Pasal 117

(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun;

(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara seteliti0telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.

[Note SHIETRA & PARTNERS : Ketentuan pasal di atas, sejatinya telah menegasikan sendiri ketentuan perihal kewajiban serta ancaman sanksi bagi saksi yang tidak bersedia menghadiri panggilan untuk dimintai keterangan oleh aparatur penegak hukum maupun pengadilan, karena ancaman penghukuman sudah demikian intimidatif karenanya sarat akan tekanan dalam bentuk apapun.

[Namun, mengingat pasal terkait kriminalisasi bagi seorang saksi yang tidak hadir, tidak mungkin direalisasikan, maka pasal tersebut hanya dapat ditafsirkan sebagai tiada kewajiban untuk bersumpah dan tanda-tangan BAP. Perlu itikad baik dari pihak saksi, untuk hadir di persidangan, memberikan kesaksian di depan hakim. Sebab, sekalipun dipaksakan tanda-tangan BAP dan disumpah, tetap saja seorang saksi dapat bersikap “nakal” dan baru “berulah” saat di depan persidangan.]

Pasal 118

(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya;

(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

Pasal 119

Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.

Pasal 120

(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus;

(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

Penjelasan Resmi Pasal 112 Ayat (1) KUHAP, memberi rambu jenis panggilan yang perlu diberikan perhatian, yakni:

“Pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan surat panggilan yang sah, artinya, surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.”

Penjelasan Resmi Pasal 118 Ayat (2) KUHAP berikut di bawah ini, ternyata bersifat sumir, semacam apakah “alasan yang kuat”? Tentulah sangat subjektif, karena “kuat di mata saksi” belum tentu “kuat di mata penyidik”:

“Dalam hal saksi tidak mau menandatangani berita acara ia harus memberi alasan yang kuat.”

KUHAP

Pasal 162

(1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan;

(2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.

Pasal 163

Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang.

[Note SHIETRA & PARTNERS : Dengan kata lain, dimungkinkan atau dibuka peluang bagi saksi untuk membuat kesaksian yang berbeda dari keterangan yang ia berikan dalam BAP kepada penyidik.]

Pasal 183

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Pasal 184

(1) Alat bukti yang sah ialah:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Pasal 185

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;

[Note SHIETRA & PARTNERS : Bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 162 KUHAP, yang menyatakan BAP dibawah sumpah sama kedudukannya dengan kesaksian di hadapan persidangan. Maka, ketentuan di atas hanya dapat kita tafsirkan dan maknai sebagai BAP yang tidak disumpah dan tanpa tanda-tangan saksi, mengingat BAP dengan sumpah serta tanda-tangan saksi, adalah alat bukti “surat” itu sendiri yang sah dan diakui oleh hukum acara pidana.]

(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;

(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;

(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli;

(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;

d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Pasal 186

Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Pasal 187

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

[Note SHIETRA & PARTNERS : Apakah itu “surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain”, bila bukan BAP yang dilengkapi sumpah dan tanda-tangan saksi? Lihat pula perbandingannya dengan ketentuan perihal “keterangan ahli”.]

Pasal 188

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. keterangan saksi;

b. surat;

c. keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Pasal 189

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain cukup untuk itu.”

[Note SHIETRA & PARTNERS : Dengan demikian, seorang terdakwa yang mengaku bersalah di persidangan, tidak otomatis seketika menjadikannya seorang terpidana (asas “non self incrimination”), namun tetap perlu kesesuaian dengan alat bukti lainnya, semisal oleh keterangan saksi maupun surat.]

Penjelasan Resmi Pasal 185 Ayat (1) KUHAP:

“Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.”

[Note SHIETRA & PARTNERS : Dalam kedudukan sebagi seorang saksi, dirinya memiliki setidaknya satu hingga dua kapasitas, yakni seluruh keterangan dan kesaksiannya merupakan kesaksian langsung atau bisa jadi sebagian diantaranya disisipi keterangan berdasarkan informasi “katanya”, semisal cerita yang ia dengar dari penuturan orang lain, dimana ia tidak terlibat langsung atas kejadian. Untuk itu, pemilahan penting ditemukan faktanya pada proses tanya-jawab di persidangan.]

Penjelasan Resmi Pasal 186 KUHAP:

“Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan, dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.”

[Note SHIETRA & PARTNERS : Dengan demikian seolah terdapat standar ganda perlakuan terhadap “saksi” dan terhadap “ahli”, meski pun saksi mata jauh lebih penting dalam sejumlah kasus pidana umum daripada keterangan seorang ahli, kecuali terdapat signifikansi semisal perihal kode genetik DNA pelaku apakah terdapat kecocokan dengan DNA terdakwa, maka tidak perlu sang ahli dihadirkan ke persidangan, cukup surat keterangan hasil uji analisa forensik.]

Disinilah letak polemiknya, yakni dalam alam batin seorang Jaksa Penuntut Umum, mereka lebih menyukai saksi yang telah pernah memberikan keterangan atau kesaksiannya dibawah sumpah saat BAP di hadapan penyidik, bila terdapat alat bukti lainnya dimana BAP dijadikan sebatas alat bukti “petunjuk” sekalipun, maka sang saksi tidak perlu hadir saat dipanggil ke persidangan sekalipun tanpa alasan yang sah (atau jika perlu sama sekali tidak perlu dipanggil ke persidangan sebagai bentuk penghargaan telah bersedia hadir saat proses BAP serta pula bersedia disumpah dan tanda-tangan BAP). Mengapa demikian yang menjadi fenomena psikologis seorang Jaksa Penuntut?

Karena kerap terjadi dalam praktik di ruang peradilan, seorang saksi dipanggil ke hadapan pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum, semata karena terdorong (lebih tepatnya “terkecoh”) oleh isi keterangan sang saksi yang tampak memojokkan atau menyudutkan terdakwa sebagai pihak yang betul telah bersalah melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Namun ternyata, dikemudian hari saat keterangan sang saksi diperdengarkan di hadapan Majelis Hakim di persidangan, kesaksiannya berubah seratus delapan puluh derajat menjadi membela posisi sang terdakwa sebagai “tidak bersalah”—biasanya terjadi bila antara terdakwa dan saksi terdapat hubungan relasi atau afiliasi, semisal teman sebaya—karenanya menjadi bumerang membawa potensi riskan bagi posisi atau kepentingan dakwaan yang telah disusun oleh sang Jaksa Penuntut Umum.

Saksi yang dihadirkan Jaksa, mendadak berbalik menjadi membela kepentingan terdakwa di persidangan, bukanlah cerita baru, namun kisah klasik yang masih akan terus menjadi drama di panggung persidangan. Oleh karena itulah, ketika saksi dimungkingkan untuk memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan yang telah pernah diberikan olehnya di hadapan penyidik lengkap dengan dibubuhi tanda-tangan dan sumpah, maka seorang saksi dapat bermain-main dan tidak menaruh hormat ataupun bersikap serius terhadap penyidikan dan proses pemeriksaan oleh seorang penyidik. Hukum acara pidana, menjadi dapat dipermainkan sehingga kehilangan daya sakralitasnya.

Fenomena kontraproduktif terhadap proses penegakan hukum demikian, tidak perlu terjadi seandaikan, opsi yang tersedia menurut hukum acara pidana ialah : 1.) saksi yang telah memberikan kesaksian dalam BAP (lengkap dengan tanda-tangan dan disumpah oleh penyidik), maka tidak lagi perlu menghadap ke persidangan untuk didengarkan kesaksiannya, dimana BAP menjadi berkualitas sebagai alat bukti “dokumen”; atau 2.) saksi tidak perlu wajib hadir saat dipanggil ke hadapan penyidik (atau hadir namun tanpa perlu menanda-tangani BAP serta tanpa perlu diwajibkan menyebutkan alasannya menolak menanda-tangani BAP), namun wajib hadir saat Jaksa Penuntut Umum menghadapkan saksi untuk didengarkan keterangannya di pengadilan.

Secara realistis, opsi kedua di atas (resiko sama sekali tidak hadir dalam proses apapun) maupun pengaturan norma Hukum Acara Pidana yang sekarang ini berlaku, sama sekali tidak menjadikan aman posisi atau kepentingan pihak Jaksa Penuntut Umum dalam menghadirkan saksi yang “sewaktu-waktu mendadak berpindah haluan”, dimana akan jauh lebih fatal bilamana ternyata saksi yang dihadirkan oleh pihak Jaksa Penuntut justru membela kepentingan dan posisi hukum pihak terdakwa, yang bisa juga keterangan dalam BAP berupa “setting” dari sejak semula dengan tujuan mengecoh dan menjebak Jaksa, ketimbang bobot saksi yang dihadirkan pihak terdakwa yang tentunya dapat dimaklumi akan membela kepentingan hukum sang terdakwa.

Untuk itu opsi ketiga dari SHIETRA & PARTNERS berikut ini dapat menjadi alternatif solusi paling ideal, yakni : Saksi “de charge” yang memberatkan posisi terdakwa tetap dapat dihadirkan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum, sekalipun telah pernah memberikan keterangan dalam BAP dan disertai sumpah serta pembubuhan tanda-tangan pada alat bukti “surat” berupa BAP, dimana seluruh keterangan sang saksi dalam BAP bersifat mengikat dan final, sehingga konfrontasi tanya-jawab yang dilakukan oleh Jaksa, Hakim, maupun kuasa hukum Terdakwa hanya boleh dalam ruang lingkup apa yang belum diterangkan atau dinyatakan oleh saksi dalam BAP—karena itu ruang bebas bagi saksi untuk “bermain” di persidangan, dikondisikan menjadi terbatas, tidak sebebas-bebasnya “mempermainkan” aparatur penegak hukum seperti yang terjadi dewasa ini, serta membatasi ruang lingkup permainan pihak kuasa hukum terdakwa untuk berakrobatik di ruang persidangan.

Selesai sudah polemik yang berlarut-larut dan berkepanjangan dalam Hukum Acara Pidana bilamana rekomendasi SHIETRA & PARTNERS tersebut di atas benar-benar menjadi sumber pembaharuan hukum acara pidana di Indonesia yang lebih rasional dan efisien disamping efektif dalam menghadirkan kepastian hukum bagi pihak saksi maupun aparatur penegak hukum, tanpa mengurangi kepentingan hukum pihak terdakwa itu sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.