Memahami Cara Kerja dan Teknik ANALOGI, Logika Sederhana

LEGAL OPINION

Mahir Keterampilan Penalaran Argumentum per Analogiam

Question: Sebenarnya yang disebut sebagai analogi, itu seperti apa dan apakah ada cara mudah untuk memahaminya?

Brief Answer: Analogi, tergolong sebagai suatu keterampilan praktis (terutama dalam dunia praktik hukum dan di ruang persidangan perkara perdata) yang ditarik dari penerapan logika berpikir yang sederhana, bukan logika berpikir dan bernalar yang kompleks dan sukar dicerna, sehingga potensi penolakan penerapannya tidak mengundang kontroversi serta dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat yang berkepentingan, semata agar tidak terbit “moral hazard” maupun masalah hukum baru lainnya.

Secara singkat, konstruksi hukum lewat analogi memakai suatu logika berpikir dari rasio dari suatu konstruksi hukum yang telah ada sebagai suatu intrumen hukum sumber norma hukum rujukan asal, untuk diterapkan terhadap isu hukum lainnya yang saling kongruen terhadap peristiwa hukum yang memiliki norma hukum sumber rujukan, sebangun, serta sepola dengan logika berpikir yang ditarik dari sumber asal masalah hukum semula kepada masalah hukum lainnya yang sebangun demikian.

Dengan kata lain, atau dapat kita sebutkan, adanya faktor kesamaan dari corak dua buah isu ataupun peristiwa hukum meski tidak saling linear, menjadi dasar penerapan logika berpikir yang senada—bukan sebagai sebuah “norma preseden” yang mensyaratkan derajat kemiripan perkara secara linear, namun dimana lebih kepada upaya untuk menetapkan norma hukum dari peristiwa dengan corak tertentu untuk diterapkan sebagai “norma hukum rekaan” (secara fiktif) yang sebangun terhadap perisiwa hukum dengan karakter berbeda dari peristiwa hukum yang satu.

PEMBAHASAN:

Untuk lebih memudahkan pemahaman, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS menerangkan lewat sebuah ilustrasi penarikan logika berpikir dibalik atau yang melatar-belakangi pembentukan suatu norma hukum sebagai dasar untuk dianalogikan atau untuk diterapkan pula secara sebangun dan secara kongruen terhadap peristiwa hukum relevan lainnya. Adapun disamping itu, analogi merupakan penerapan logika berpikir hukum, yang bersumber dari asas pragmatisme, bahwa suatu negara dan pemerintahannya tidaklah mungkin mengatur setiap hal dan peristiwa dalam suatu peraturan perundang-undangan, semata demi mengisi “kekosongan hukum”—karenanya norma hukum yang telah ada dapat diberlakukan secara konstruktif terhadap peristiwa hukum lainnya yang senada dan sebangun meski berlainan derajat.

Namun demikian, sebagai penekanan, sebuah teknik logika bernama “argumentum per analogiam” (berkebalikan dari teknik bernalar “argumentum a contrario”), tidak dapat diterapkan secara kompleks demi menghindari kontroversi dan penolakan (menghindari “blunder”), mengingat semata-mata analogi menciptakan norma hukum secara “fiktif” adanya sehingga riskan mendatangkan masalah hukum baru yang memicu efek berantai tidak diharapkan.

Kita buka dengan mengutip norma hukum bentukan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2020, tertanggal 18 Desember 2020, tentang “Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan”, yang ditujukan kepada seluruh pengadilan di Indonesia, dengan kutipan sebagai berikut:

RUMUSAN HUKUM

RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG

TAHUN 2020

A. RUMUSAN KAMAR PIDANA.

2. Putusan Hakim Pidana yang amarnya menetapkan status barang bukti “dirampas untuk negara”, eksekusi tetap dilaksanakan oleh Jaksa selaku eksekutor sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, walaupun ada putusan pailit dari Pengadilan Niaga yang menyatakan Terdakwa dalam keadaan pailit.

4. Kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN / BUMD yang modalnya bukan bersumber dari APBN / APBD atau bukan penyertaan modal dari BUMN / BUMD dan tidak menerima / menggunakan fasilitas Negara, bukan termasuk kerugian keuangan Negara.

B. RUMUSAN HUKUM KARMAR PERDATA.

1. Gugatan Kurang Pihak dalam Perkara Tanah:

d. Kriteria Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus ditarik sebagai pihak dalam hal terdapat sertifikat ganda atas sebagian atau keseluruhan dari luas tanah objek sengketa, antara lain:

1.) Jika ada petitum yang meminta pengadilan menjatuhkan putusan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat, maka BPN harus ditarik sebagai pihak; atau

2.) JIka dalam petitum tidak ada tuntutan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat yang diterbitkan oleh BPN, maka BPN tidak perlu ditarik sebagai pihak.

4. Penggunaan Pinjam Nama (Nominee Arrangement).

Pemilik sebidang tanah adalah pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat, meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang / harta / aset milik WNA / pihak lain.

Untuk membuka rasionalisasi dengan teknik analogi, hal pertama yang perlu kita kaji dan lakukan ialah melakukan “uji validitas” norma hukum sumber rujuan, sebelum kemudian dianalogikan atau disebangunkan terhadap peristiwa hukum lainnya yang “sewadah” dan sebangun, dalam derajat yang berlainan, secara sederhana (tidak kompleks), sehingga norma hukum pada sumber penarikan analogi dapat diberlakukan atau diterapkan pula pada peristiwa hukum lain yang belum jelas atau belum lengkap pengaturan normanya.

Dari contoh norma hukum dari Surat Edaran Mahkamah Agung di atas, terdapat empat buah norma yang SHIETRA & PARTNERS kutip sebagai sampel norma, diantaranya terdapat satu buah norma hukum rujukan tersebut yang tidak lolos uji logis dan uji validitas, sehingga tidak dapat dijadikan norma hukum rujukan untuk dianalogikan pada peristiwa hukum lainnya, yakni:

Kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN / BUMD yang modalnya bukan bersumber dari APBN / APBD atau bukan penyertaan modal dari BUMN / BUMD dan tidak menerima / menggunakan fasilitas Negara, bukan termasuk kerugian keuangan Negara.”

Bila modal kegiatan usaha BUMN / BUMD ialah bersumber dari keuangan Negara, artinya anak perusahaan BUMN / BUMD pun merupakan bagian dari keuangan Negara, mengingat BUMN / BUMD sebagai pemegang saham pada anak perusahaannya, telah menyuntikkan sebagian dari modal yang dimiliki oleh BUMN / BUMD itu sendiri, yang notabene bersumber dari keuangan Negara. Seorang cucu, merupakan dan memiliki silsilah keluarga dan nama marga yang diwariskan oleh kakek-neneknya—maka memungkiri anak perusahaan BUMN / BUMD sebagai bagian dari keuangan Negara, sama artinya menafikan fakta perihal garis silsilah serta asal usul darah.

Sehingga terdapat tiga buah norma hukum sumber rujukan yang tersisa, untuk dapat kita gunakan sebagai sumber penarikan analogi kepada peristiwa hukum lainnya, yakni dengan rincian sebagai berikut yang sekaligus menjawab berbagai isu hukum para peristiwa hukum lainnya secara analogis yang selama ini belum memiliki pengaturan hukumnya secara tegas:

- “Putusan Hakim Pidana yang amarnya menetapkan status barang bukti “dirampas untuk negara”, eksekusi tetap dilaksanakan oleh Jaksa selaku eksekutor sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, walaupun ada putusan pailit dari Pengadilan Niaga yang menyatakan Terdakwa dalam keadaan pailit.”

Norma hukum sumber rujukan di atas, dapat diberlakukan pula secara analogi terhadap pertanyaan-pertanyaan terkait isu hukum lainnya yang telah ada sebelum itu, yakni perihal nasib objek gugat-menggugat dalam perkara perdata yang telah diletakkan sita secara hukum acara perdata, apakah dapat di-“sita pidana” dan diambil-alih oleh pihak Kejaksaan? Bila kepailitan yang merupakan “sita umum”, ternyata kalah derajat dengan “sita pidana”, maka bagaimana dengan nasib yang sekadar “sita perdata”?

- “Gugatan Kurang Pihak dalam Perkara Tanah: d. Kriteria Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus ditarik sebagai pihak dalam hal terdapat sertifikat ganda atas sebagian atau keseluruhan dari luas tanah objek sengketa, antara lain:

1.) Jika ada petitum yang meminta pengadilan menjatuhkan putusan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat, maka BPN harus ditarik sebagai pihak; atau

2.) JIka dalam petitum tidak ada tuntutan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat yang diterbitkan oleh BPN, maka BPN tidak perlu ditarik sebagai pihak.”

Norma hukum sumber rujukan di atas, dapat dianalogikan terhadap pertanyaan terkait isu hukum lain yang ada dan masih membutuhkan pengaturannya secara tegas, yakni apakah pihak notaris selaku pejabat umum pembuat akta otentik, perlu ditarik sebagai pihak “Turut Tergugat” agar gugatan wanprestasi tidak dinyatakan oleh hakim di pengadilan sebagai “kurang pihak”?

- “Penggunaan Pinjam Nama (Nominee Arrangement). Pemilik sebidang tanah adalah pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat, meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang / harta / aset milik WNA / pihak lain.”

Norma hukum sumber rujuan diatas, dapat diberlakukan sebagai jawaban atas isu hukum klasik yang serupa, yakni bagaimanakah atau sejauh apakah resiko hukum bagi suatu pihak yang hendak membeli dan memiliki penguasahaan saham pada suatu Perseroan Terbatas, secara pinjam nama pihak pembeli, alias secara nominee?

Tanpa perlu SHIETRA & PARTNERS uraian jawaban dari tiga buah isu hukum yang telah dikemukakan di atas, dengan semata menerapkan keterampilan menarik logika berpikir secara hukum secara sederhana lewat analogi yang mempertautkan kesamaan antara dua peristiwa hukum yang saling dipersandingkan, maka kaedah atau norma hukum pada pengaturan peristiwa yang satu dapat pula diterapkan atau diberlakukan pada peristiwa hukum lainnya yang sebangun dan belum terdapat pengaturannya secara tegas dan jelas.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.