HUKUM KARMA Menegasikan PENGHAPUSAN DOSA, sementara KELAHIRAN KEMBALI Menegasikan PENEBUSAN DOSA

SENI PIKIR & TULIS

Ketika Iblis Melakukan Kebaikan dan Ketika Pendosa Melakukan Kesucian, mungkinkah Niscaya seseorang Menegasikan Dirinya Sendiri dengan Cara Demikian?

Selama Ada Demand (Pendosa yang Berdosa), maka akan Selalu Ada Supply (Dogma Iming-Iming Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa)

Dalam kesempatan yang akan “mendebarkan hati serta denyut jantung” ini, para pembaca akan diajak memasuki alam teologis, yang mungkin cukup menakutkan pada mulanya, namun akan cukup menyejukkan ketika pamahaman baru telah diperoleh. Sebagai pembuka, jawablah pertanyaan sederhana berikut ini : Apakah yang akan terjadi, bila seorang / seekor Iblis, melakukan kebaikan? Ngomong-ngomong, Iblis digambarkan memiliki ekor yang pada ujungnya berbentuk runcing menyerupai tombak atau anak panah, sehingga mungkin lebih tepat dilekatkan frasa nomina “seekor” Iblis.

Kembali kepada pertanyaan di atas, apa yang mungkin akan terjadi, bila sang Iblis justru berbuat kebajikan, alih-alih berbuat kejahatan dan menghasut manusia untuk berbuat jahat? Sang Iblis, ketika membuat kebajikan, sama artinya tengah dan sedang meniadakan dirinya sendiri. Api, tidak bersenyawa terhadap air, begitupula sebaliknya—karenanya, jangan siram tabung gas LPG Anda yang terbakar dengan air, namun gunakan kain yang telah direndam air untuk menutupi pasokan oksigen yang menjadi sumber “makanan” api yang menjilati tabung gas LPG Anda.

Sekali lagi, sang Iblis bukan menjelma menjadi malaikat, dengan berbuat kebaikan dan kebajikan, justru sang Iblis telah dan tengah meniadakan eksistensi atau kodrat dirinya sendiri. Kambing, dikodratkan mengembik. Ayam, dikodratkan berkokok. Apa jadinya, bila seekor kucing “mengaum”, sementara seekor singa atau harimau justru “mengeong”? Semua, ada dan berada pada tempat serta jalurnya masing-masing secara proporsional tanpa dapat dipertukarkan satu sama lain, dan dipaksakan sekalipun tidak akan selaras ataupun serasi secara natural—pengecualian untuk burung beo yang pandai membeo.

Terdapat salah satu keyakinan keagamaan mayoritas, yang mana dogma utama ajarannya menyatakan bahwa manusia dilahirkan untuk dikodratkan menjadi seorang “pendosa”. Karena sudah dikodratkan untuk menjadi pendosa, bahkan sebelum sang manusia dilahirkan, jadilah sang manusia tersebut memiliki “template” sebagai seorang “pendosa”, dan tidak dapat bergumul untuk berjuang keluar dari kutukan yang sudah dilekatkan bahkan sebelum sang manusia dilahirkan (betapa pesimisnya umat manusia menjadi!). Pertanyaannya, serupa dengan pertanyaan sebelumnya, apakah yang akan terjadi, bila seandainya sang “pendosa” justru berbuat kebaikan dan kesucian, apakah sang “pendosa” akan menjelma menjadi seorang “suciwan”?

Jawabannya memakai logika berpikir yang sama, dengan tidak membuka peluang bagi “standar ganda” yang dapat membuat para kalangan Iblis merasa di-diskriminasi-kan, ialah bahwa sang pendosa itu sendiri yang justru akan menegasikan eksistensi dirinya dengan melakukan perbuatan baik ataupun ketika melakukan praktik latihan penyucian diri. Karena tidaklah niscaya, seseorang menegasikan eksistensi dirinya sendiri (insting atau kodrat yang manusiawi), karenanya pula, menjadi tidak senada ketika seorang pendosa justru hendak berceramah perihal hidup suci, baik, dan benar—semata karena frasa “benar” bagi seorang pendosa artinya melakukan dosa secara se-profesional mungkin, yakni jangan sampai tertangkap tangan oleh aparatur penegak hukum, mengambil untung sebesar-besarnya dan melarikan diri.

Berbagai “Agama DOSA” yang selama ini mempromosikan “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”, mengklaim bahwa agamanya menjadi agama mayoritas dengan peningkatan kuantitas pemeluknya yang pesat hanya dalam tempo beberapa abad berselang sejak didirikan, dan mereka bangga akan realita demikian, apapun kualitasnya. Justru itu menjadi bukti konkret betapa kita harus merasa “miris” sekaligus “ironis”, sebab itulah indikator kian rusaknya “standar moral” umat manusia. Betapa tidak, jawablah pertanyaan berikut ini : Siapakah, yang paling membutuhkan ideologi penuh iming-iming semacam “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”?

Jawabannya, tentu saja, para suciwan tidak pernah membutuhkan “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”, karena mereka tidak kompromistis terhadap dosa apapun. Begitupula para kalangan ksatria yang memilih untuk berani maju untuk tampil dalam rangka bertanggung-jawab alih-alih melarikan diri dalam “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”. Sehingga, yang tersisa ialah hanya kalangan pendosa, yang akan tergila-gila dan berbondong-bondong memeluk ideologi “too good to be true” semacam “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”, bahkan membelanya mati-matian, bila perlu dengan mengorbankan dan pengorbanan nyawa serta pertumpahan darah—semata karena “too big to be fall”.

Sampai sejauh ini, apakah Anda telah merasa paham terhadap ulasan di atas? Tampaknya, kemungkinan besar “mental blocking” terjadi pada benak dan pikiran Anda, terutama perasaan Anda, meski logika Anda menuntut Anda untuk membuka mata dan pikiran-pikiran lebar-lebar atas informasi logis di atas yang semata mengandalkan “akal sehat milik orang sehat”, bukan “akal sakit milik orang sakit”. Lanjutkan bacaan Anda di bawah ini, maka “mental block” Anda akan terkikis habis tanpa sisa keraguan sedikit pun—terkecuali Anda telah masuk pada fase “too big to be fall” sehingga opsi yang tersisa bagi Anda ialah memegang teguh mati-matian ideologi korup semacam “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”.

Paling mudah, membuat kalangan pemeluk ideologi “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa” seketika itu juga bertekuk lutut dan “mati kutu”. Bukti, jawablah sederhana berikut : Lantas, dimana keadilan bagi pihak korban, bilamana para pelaku kejahatan yang telah melukai, merugikan, ataupun menyakiti sang korban, dihapus / ditebus / diampuni dosa-dosanya? Jangankan Anda, “Tuhan” pun tidak sanggup menjawabnya (terbukti dari tiadanya “Kitab DOSA” yang membahas perihal nasib korban). Bagaimana mungkin, dan bagaimana ceritanya, alam semesta justru lebih pro, lebih mendukung, dan lebih kompromistis terhadap pelaku kejahatan sementara itu para korban tidak mendapat keadilan di alam manusia maupun di alam baka? Itu sama artinya hendak mengkomunikasikan kepada dunia : MERUGI MENJADI KORBAN, DAN ADALAH RUGI TIDAK MENJADI PENJAHAT YANG PENDOSA DAN BERDOSA. Kejahatan dan dosa menjadi demikian diberi ruang kompromi bagi pelakunya, sementara itu tiada toleransi bagi korban.

Bila Anda yakin tentang “hukum tabur-tuai” (Hukum Karma), itu sama artinya Anda telah menegasikan dogma perihal “penghapusan dosa”. Disaat bersamaan, telah terdapat banyak bukti empirik bahkan ilmiah, terutama ditekuni oleh para psikolog “past life regression” berlisensi, pembuktian mengenai kebenaran adanya “past life” (atau kelahiran kembali, rebirt atau reborn). Bila kebenaran perihal kelahiran kembali telah demikian vokal dan bukti-bukti empirik serta secara ilmiah dewasa ini menjadi tidak lagi terbantahkan, disamping tidak lagi tabu untuk dikemukakan dan diungkap ke publik, maka itu sama artinya disaat bersamaan telah menegasikan dogma perihal “penghapusan / pengampunan dosa”.

Singkatnya, Hukum Karma menegasikan “penghapusan / pengampunan dosa”, sementara Kelahiran Kembali menegasikan “penebusan dosa”. Menegasikan, artinya meniadakan atau bertentangan dengan. Karena itulah, tiada satu pun doktrin maupun dogma dapat kita temukan pada Tripitaka, sumber rujukan otentik Agama Buddha, ideologi-ideologi semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Sebaliknya, tiada dogma solid perihal Hukum Karma maupun Kelahiran Kembali dalam agama-agama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, yang ada semata meminta, diberi, memohon, kuasa, pemberian, pengampunan, cobaan, dan lain sebagainya.

Dengan telah dibuktikan kebenaran empirik perihal “kelahiran kembali”, salah satunya telah didokumentasikan secara masif dan dipublikasikan secara ilmiah oleh Dr. Ian Stevenson beberapa dekade lampau, maupun secara lebih kontemporer oleh dr. Walter Semkiw dalam buku yang ditulisnya berjudul “BORN AGAIN, Kasus Kelahiran kembali Tokoh dan Selebriti”, Penerjemah versi Bahasa Indonesia : Tasfan Santacitta, Penerbit Awareness Publication, Jakarta, Cetakan 2, Desember 2014, menemukan bahwa faktor Karma menjadi penentu kondisi kelahiran kembali seseorang sebagai nasib pada kelahiran selanjutnya. Kelahiran kembali, tidak dapat dipisahkan dari Hukum Karma, selama seseorang masih terbelenggu rantai karma, maka yang bersangkutan masih dikuasai pengkondisian siklus lingkaran samsara bernama “tumimbal lahir” (lahir, sakit, tua, meninggal, lahir kembali, dst, tanpa akhir).

Dengan telah tervalidasinya kebenaran empirik perihal “kelahiran kembali”, maka menjadi tidak adil bilamana seseorang dilahirkan secara diskriminatif (ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang tampan / cantik dan ada yang buruk rupa, ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang cerdas dan ada yang dungu, dsb, bahkan secara demikian penuh kesenjangan seperti kesenjangan ekonomi dewasa ini), maka secara langsung atau tidak langsung tervalidasi dan terverifikasi pula kebenaran perihal Hukum Karma, dimana kita mewarisi perbuatan kita sendiri, berhubungan dengan perbuatan kita sendiri, terlahir dari perbuatan kita sendiri, serta berkerabat dengan perbuatan kita sendiri—suatu prinsip meritokrasi tertinggi yang menjadi mercusuar bekerjanya keadilan pada tataran tingkat alam semesta, tiada favoritisasi sosok adiduniawi semacam intervensi “tangan tidak terlihat milik Tuhan”.

Dengan telah tervalidasi dan terverifikasinya “kelahiran kembali”, maka runtuh sudah monumen angkuh dengan landasan rapuh bernama “penghapusan / pengampunan dosa”. Dengan demikian, secara bersamaan tervalidasi dan terverifikasi pula kebenaran serta eksistensi perihal “Hukum Karma” yang menjadi hukum yang mengatur meritokrasi makhluk hidup penghuni dunia, yang karenanya dogma semacam “penebusan dosa” menjadi seketika gugur serta invalid kemungkinan eksistensinya.

Kembali kepada pertanyaan paling semula di awal artikel ini, apa yang akan terjadi, ketika seorang pendosa ditebus ataupun diampuni dosa-dosanya? Menjadi suci bersih, adalah jawaban yang “too good to be true”, karenanya patut dianulir dan didegradasikan dari opsi jawaban yang logis. Masuk ke alam surgawi, merupakan jawaban yang “kelewat korup”, seolah-olah surga ialah alam yang menyerupai “tong sampah” untuk dijejali oleh para pendosa yang berbondong-bondong memasukinya hingga penuh sesak, karenanya juga opsi jawaban demikian patut dianulir dan telah terdegradasikan secara sendirinya bahkan dari sejak semula diperkenalkan konsepnya kepada para umatnya yang entah mengejar apa dibalik harapan semu semacam itu.

Hanya “Agama DOSA”, yang menjadikan “Tuhan” sebagai ajang serta alat untuk berpesta-pora “cuci dosa” (sin laundring), jika perlu berbondong-bondong serta berlomba-lomba mencetak dosa, seolah itu adalah prestasi untuk dikoleksi hingga menggunung (simboliasi untuk telah masuk pada taraf “point of no return”). Itulah, ketika umat manusia justru memperalat “Tuhan” yang mereka sembah. Itulah juga sebabnya, satu-satunya jalan atau cara menghormati Tuhan, ialah dengan cara menjadi manusia yang mulia alias manusia yang bertanggung-jawab atas hidupnya sendiri serta terhadap hak-hak orang lain.

Karenanya, bila dosa-dosa atau setitik kecil dosa seorang pendosa benar-benar dapat dihapuskan / ditebus / diampuni, itu sama artinya eksistensi sang pendosa terancam menjadi “tiada” menuju “ke-nihil-an”, karena dinihilkan oleh proses penghapusan (“deleting”). Sama seperti sesosok “iblis”, tidak akan pernah dirinya dihapus dosa-dosanya, karena itu sama artinya meniadakan dan menegasikan eksistensi diri sang Iblis. Iblis yang baik, tentu memilih untuk terus berstatus sebagai seekor pendosa, setidaknya tetap dapat melangsungkan hidup daripada menekan tombol “delete” untuk meniadakan eksistensi diri sang Iblis itu sendiri. Kita pun maklum, bila sang Iblis senantiasa berbuat jahat, sejak dahulu, kini, serta dimasa mendatang.

Diluar kategorisasi manusia pendosa yang berdosa, terdapat tipe manusia suciwan dan ksatria. Para suciwan, menghindari betul-betul perbuatan jahat, tanpa absen mengawasi tindak-tanduknya agar tidak dapat dicela oleh para bijaksanawan. Sementara itu para ksatria tetap dapat sesekali atau beberapa kali melakukan kesalahan—namun seorang ksatria memilih untuk bertanggung-jawab terhadap korban-korbannya (tanpa perlu diminta terlebih menunggu dituntut, juga tidak memakai tawar-menawar tanggung jawab), alih-alih melarikan diri masuk ke lembah nista bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Itulah sebabnya, seorang pendosa TIDAK BERHAK dan menjadi RANCU ketika “lancang” berceramah perihal menjadi seorang ksatria yang penuh tanggung jawab, terlebih membuat nasehat perihal hidup suci dan mulia—seolah gagal untuk “bercemin diri”. Begitupula sebaliknya, para suciwan dan ksatria, tidak pernah membutuhkan ideologi “korup” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, apapun istilah atau variasinya.

Dengan kata lain, ideologi semacam iming-iming janji surgawi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, tidak laku di mata kaum suciwan dan ksatria, namun laku bak “kacang goreng” yang laris manis di mata para pendosa yang rela membayar mahal untuk itu (baca : bersedia membayar mahal untuk dibodohi, memang sudah sepatutnya). Ketika seseorang memandang tidak terdapat bahaya dibalik perbuatan jahat seperti melukai, menyakiti, dan merugikan orang lain, itulah yang menjadi bumerang bagi dirinya sendiri di kehidupan mendatang, memetik buah Karma Buruk yang ia tanam sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.