ARTIKEL HUKUM
Kerugian yang Diderita Rakyat akibat Penyalah-Gunaan Kewenangan Aparatur Sipil Negara, merupakan Kerugian Keuangan Negara secara Tidak Langsung
Menerima Dana Suap adalah Tindak Pidana (Penyertaan) Korupsi sebagai Pelaku Penyerta
Apakah menerima “uang suap” (gratifikasi), tidak merupakan bentuk korupsi yang membawa dampak kerugian terhadap keuangan negara secara langsung maupun tidak langsung? Kerap kita temukan, para “pakar” disiplin ilmu pidana dibidang tindak pidana korupsi (Tipikor), berpendapat bahwa tiada kerugian terhadap keuangan negara dalam konteks perbuatan menerima maupun meminta “uang suap” demikian. Namun, betulkan demikian dan apakah memang sesederhana itu duduk permasalahan yang ada selama ini?
Sebagai contoh, peserta tender yang kurang kompeten, semata karena memberi “uang suap” kepada pejabat negara yang berwenang mengesahkan peserta tender tertentu sebagai pemenang tender pengadaan barang dan jasa, mengakibatkan peserta tender lain yang lebih berbobot kemudian mengalami diskualifikasi dengan alasan yang dibuat-buat secara mengada-ngada, sehingga hanya menyisakan satu peserta tender yang sebelumnya telah memberikan sejumlah dana gratifikasi. Alhasil, kualitas barang ataupun jasa yang diterima oleh publik sebagai “end user”, semisal konstruksi gedung sekolahan, ternyata jauh dibawah kualitas standart, terancam roboh sewaktu-waktu sehingga tidak dapat digunakan untuk proses belajar dan mengajar oleh para guru serta para siswa peserta didik.
Pihak yang terdampak langsung, ialah rakyat kita itu sendiri selaku pengguna, karena menurut asasnya memang setiap sen dari anggaran negara digunakan dan dialokasikan sebesar-besarnya bagi serta untuk kepentingan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat umum. Karenanya, kerugian yang diderita rakyat selaku pihak pengguna akhir dari alokasi anggaran belanja negara (end user) dalam suatu program pemerintah yang bersumber dari anggaran dan belanja negara maupun daerah (keuangan negara), merupakan “korupsi” secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga, bila “end user” dari penggunaan anggaran belanja negara maupun daerah, bisa berupa rakyat maupun instansi pemerintah, karenanya siapa yang menjadi “end user” tidaklah relevan untuk menentukan terjadi atau tidaknya suatu tindak pidana korupsi, namun parameternya ialah ada atau tidaknya keuangan belanja negara maupun daerah yang digunakan untuk mendanai suatu program pemerintah, serta apakah ada atau tidaknya amputasi pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat pada hlilirnya seperti terjadinya amputasi dana bantuan sosial yang semestinya diterima oleh masyarakat telah ternyata “di-sunat” oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung-jawab karena menyalah-gunakan kewenangan jabatan serta melanggar sumpah jabatan disamping menyimpangi komitmennya.
Perihal “pengguna” proyek atau program yang didanai oleh keuangan maupun anggaran belanja negara dan daerah, baik rakyat maupun instansi pemerintahan, dengan demikian sudah tidak lagi relevan untuk dibahas. Sekali kali perlu penulis tekankan sekadar sebagai penegasan, ialah karena bila “end user”-nya ialah rakyat, namun justru dirugikan, sementara program ataupun proyek tersebut didanai atau bersumber dari keuangan negara, sama artinya telah terjadi kerugian terhadap keuangan negara oleh sebab tugas dan amanat bagi negara untuk melayani publik sedikit-banyaknya telah terganggu atau setidaknya tidak berjalan secara optimal sebagaimana mestinya.
Sadarkah Anda, para Aparatur Sipil Negara / Pegawai Negeri Sipil, digaji setiap bulan dan setiap tahunnya dari keuangan negara, ketika melayani publik secara “separuh hati”, atau bahkan memeras rakyat yang menjadi sumber pendapatan keuangan negara lewat penarikan pajak (bersikap “durhaka” terhadap rakyat yang menggaji mereka dan yang seharusnya mereka layani), sama artinya telah melakukan korupsi terhadap hak-hak rakyat disamping korupsi terhadap keuangan negara semata karena “makan gaji buta”.
Kita kembali pada perihal menerima “uang suap”, apakah membawa dampak kerugian bagi keuangan negara? Secara langsung mungkin memang tidak, namun secara tidak langsung akan dan/atau telah terjadi kerugian terhadap keuangan negara yang pada gilirannya juga akan merugikan pihak “end user” yang berlatar-belakang rakyat sipil maupun instansi pemerintah. Sekalipun, katakanlah, dalam proyek tender pengadaan barang, barangnya homogen dan pemenang tender yang menyuap pejabat pembuat komitmen tidak melakukan “mark up” terhadap harga barang, tetap saja telah merugikan peserta tender lainnya yang menjadi tersisih akibat “uang suap” yang membutakan mata pejabat yang berwenang dibidang tender pengadaan barang pemerintah sehingga seketika menyisihkan berbagai peserta tender lainnya. Setidaknya, budaya egaliter dan meritokrasi telah dinodai oleh aksi-aksi suap-menyuap demikian. Bila para peserta tender lainnya ialah rakyat sipil, artinya suap-menyuap demikian tetap telah merugikan setidaknya rakyat yang berprofesi sebagai peserta tender (kompetitor) dari sang penyuap.
Sebagai contoh lainnya, pemerintah pusat menganggarkan sejumlah dana dari anggaran belanja negara, berupa paket bantuan sosial berupa bahan kebutuhan pokok bagi warga yang kurang mampu, senilai Rp. 300.000 per keluarga selaku penerima bantuan sosial dari pemerintah. Namun, oleh seorang Menteri Sosial, dana bantuan per keluarga yang digelontorkan dari kas negara untuk membiayai penyediaan barang-barang tersebut sebelum kemudian paket bantuan sosial di-distribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan, secara tidak langsung telah di-“sunat” atau diamputasi senilai Rp. 10.000 per keluarga yang menerima bantuan pemerintah—dengan cara dikonstruksikan seolah pihak kontraktor penyedia barang yang didanai oleh keuangan negara untuk menyediakan paket bantuan sosial tersebut yang memberikan nominal Rp. 10.000 per paket yang disalurkan sebagai “dana suap”, sehingga “bumper” yang telah merugikan keuangan negara ialah pihak kontraktor penyedia barang, sementara itu sang penerima suap berkilah bahwa dirinya tidak pernah meng-korupsi keuangan negara namun semata hanya menerima “uang suap” dari kantung milik sang kontraktor.
Kata kuncinya ialah : Ada atau tidaknya kerugian yang dengan demikian, dialami oleh “end user”. Dalam konteks bantuan sosial, “end user”-nya ialah rakyat penerima bantuan sosial. Bila ternyata paket bantuan sosial yang diterima secara real oleh masing-masing rakyat penerima bantuan, tidak sampai mencapai nominal Rp. 300.000 per keluarga, namun hanya sampai sejumlah Rp. 250.000 sekalipun memakai patokan harga barang di warung termahal—sehingga terdapat selisih Rp. 50.000 per paket, bila bantuan sosial disalurkan dan didistribusikan dalam bentuk “uang tunai” alih-alih berupa “paket barang”, yang menjadi kerugian di pihak “end user”, yakni rakyat penerima bantuan paket dari program pemerintah.
Dalam kasus demikian, jelas telah terjadi “tindak pidana korupsi”, karena terjadi kerugian terhadap keuangan negara, dimana “end user” dalam konteks paket bantuan sosial ialah rakyat penerima bantuan. Karena telah terjadi tindak pidana korupsi, maka telah terdapat pelaku korupsi, yakni koruptor baik seorang maupun sindikat dengan cara bersekongkol dengan pejabat negara yang berwenang dan menerima sejumlah dana gratifikasi—yang disebut terakhir, merupakan “pelaku penyerta” aksi korupsi sekaligus merangkap sebagai penerima “uang suap”, dimana peran keterlibatannya sangat signifikan, karena tanpa keterlibatannya sebagai “pelaku kunci”, maka sang pelaku usaha pengadaan barang bantuan sosial tidak akan memenangkan tender pengadaan barang.
Dengan mencermati konstruksi pada contoh ilustrasi di atas, kita menjadi paham, satu subjek pelaku korupsi dapat merangkap sebagai dua kedudukan pelaku secara sekaligus, yakni sebagai “pelaku penyerta” tindak pidana korupsi sekaligus sebagai pelaku penerima dana gratifikasi—yang mana keduanya diatur serta dapat dijerat dengan ancaman hukuman pidana penjara berdasarkan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi. Namun, tidak tertutup kemungkinan dua perbuatan terlarang demikian dilakukan oleh satu pelaku dalam satu momen perbuatan melawan hukum sebagaimana ilustrasi contoh kasus di muka.
Terdapat “pakar” hukum pidana yang menyebutkan, terhadap pelaku kasus penerima dana gratifikasi, tidak dapat dijerat dengan vonis pidana tambahan berupa “uang pengganti” yang wajib dibayarkan sang terpidana (dengan ancaman harta kekayaan sang terpidana akan dirampas untuk dijual-lelang bilamana “uang pengganti” tidak diindahkan). Alasan sang “pakar”, tiada kerugian pada keuangan negara dalam kasus suap-menyuap. Secara langsung, mungkin memang tiada kerugian pada keuangan negara, namun secara tidak langsung, selalu membawa akibat pada kerugian keuangan negara.
Untuk memudahkan pemahaman, ilustrasi contoh kasus berikut dapat cukup mewakili semata karena memang kerap terjadi di lapangan. Seorang pejabat negara, demi naik pangkat, menyuap atasannya agar dipilih dan terpilih sebagai pejabat yang naik pangkat, menyingkirkan kontestan pejabat negara lain yang lebih kompeten dan lebih profesional dari sang pemberi “uang suap”. Alhasil, telah terjadi kerugian bagi pejabat negara lain yang juga saling berkontestasi kursi jabatan “kenaikan pangkat” tersebut. Kedua, demi “mengembalikan modal” yang digunakan untuk menyuap “beli jabatan”, sang pejabat negara kemudian menjadikan kewenangan jabatan barunya saat kini yang telah menduduki jabatan lebih tinggi sebagai ladang bisnis untuk membuat proyek-proyek “basah” mengada-ngada yang bertujuan hanya untuk meraup keuntungan pribadi.
Pada gilirannya, bagai “lingkaran setan”, kontraktor-kontraktor yang tidak kompeten terpilih sebagai pemenang tender pengadaan barang dan jasa semata karena telah memberikan sejumlah dana gratifikasi bagi sang pejabat negara yang hendak “balik modal”. Pada ujungnya, bila kita tarik sampai ke hilir, rakyat yang menjadi “end user” dari segala pelayanan publik yang bersumber dari anggaran belanja negara dan daerah, yang menjadi korban masifnya. Lagi-lagi, pada muaranya yang menjadi korban ialah rakyat sebagai “end user” segala penggunaan keuangan negara, mulai dari pelayanan publik yang tidak memadai, “separuh hati”, dan tidak profesional, kualitas dan kuantitas pengadaan barang dan jasa bagi kepentingan publik yang tidak optimal diselenggarakan dan hanya menguras anggaran, hingga berbagai proyek-proyek yang dibuat sekadar untuk membakar “uang negara” (baca : memfoya-foyakan “uang yang semestinya dinikmati oleh rakyat”).
Karena itulah, idealnya, terhadap setiap kasus penyuapan, sang penerima suap didakwa dengan dakwaan pasal berlapis, antara lain setidaknya pasal terkait suap-menyuap (menerima gratifikasi) serta keterlibatannya secara sentral sebagai “pelaku penyerta” aksi korupsi (atau bahkan sebagai aktor intelektual). Yang karenanya, Majelis Hakim pada pengadilan dapat menjatuhkan vonis hukuman berupa pidana pokok berupa penjara dan denda, disamping penjatuhan vonis hukuman pidana tambahan berupa “uang pengganti” untuk memulihkan kerugian keuangan negara serta pencabutan hak politik terhadap sang penerima suap.
Dengan demikian, derajat kejahatan dan kesalahan tertinggi dalam terminologi rezim tindak pidana korupsi, ialah pelaku penerima gratifikasi—oleh sebab semata dalam satu pribadi pelanggarnya dapat mengandung dua perbuatan yang terlarang, korupsi (sebagai pelaku penyerta) serta sebagai seorang penerima “uang suap”. Dengan dakwaan hingga tuntutan secara pasal berlapis demikian, dipastikan “efek penjeraan” dapat terbangun secara sendirinya dan tercipta masuk hingga ke dalam alam bawah sadar masyarakat terutama para penyelenggara negara untuk tidak pernah menyentuh dana gratifikasi apapun terkait jabatan dan kewenangannya yang dapat mempengaruhi keputusan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.