Pandemik akibat Wabah Virus merupakan Batu Ujian bagi Pemeluk Agama SAINS, yang Selama ini Meremahkan Agama

SENI PIKIR & TULIS

Pesan dari Wabah, Hidup Tidaklah Enak-Enak Amat, Terlebih Disebut Nikmat

Jika Anda Diberikan Kesempatan untuk Memilih, Anda Memilih Tetap Dilahirkan atau Tidak Pernah Terlahirkan dalam Rahim Manapun di Alam Dunia Manapun?

Banyak yang mengira, serangan wabah yang mulai menjajah Republik Indonesia maupun dunia global, merupakan batu “ujian” bagi kalangan agamawan serta para pemuka agama disamping para umatnya. Namun, benarkah demikian, atau mungkin ada yang luput serta terlewatkan oleh perhatian kita, satu buah agama yang jarang mendapat sentuhan publik karena memang tidak disadari oleh sebagian besar umat beragama. Agama apakah itu? Itulah, “agama sains”, dimana mereka yang menyebut dirinya sebagai ilmuan ataupun pembelajar teori sains, menjadikan “text book” sebagai Kitab Suci-nya serta laboratorium untuk eksperimen sebagai cara ibadahnya dalam beritual harian, dimana sains itu sendiri yang menjadi “Tuhan”-nya—alias memper-Tuhan-kan sains atau menjadikan sains sebagai Tuhan.

Mereka, para pengikut serta pemeluk “agama sains”, senantiasa memandang sinis disamping antipati terhadap para pemeluk “agama metafisika” yang sifatnya tidak kasat-mata untuk dapat diteliti dibawah pantauan mikroskop ataupun metoda ilmiah lainnya. Meski, telah terbukti, hingga saat kini momok masalah kesehatan klasik seperti ancaman demam berdarah, malaria, dan berbagai penyakit lainnya, belum pernah terdapat solusi maupun jalan keluar secara efektif dan tepat guna untuk dituntaskan. Namun demikian, tetap saja para pemeluk “agama sains” memandang remeh serta sinis para umat pemeluk “agama metafisika” yang mempercayai hal-hal yang tidak kasat-mata seperti surga dan neraka serta Hukum Karma maupun kelahiran kembali (rebirth).

Ulasan ini pada mulanya disusun secara ringan dan sederhana saja, namun kemudian berkembang menjadi cukup kompleks karena melibatkan berbagai elemen segi berpikir serta sudut pandang sesuai konteksnya masing-masing agar lebih elaboratif dan mudah dipahami oleh para pembaca dari beragam latar-belakang. Para pemeluk “agama sains” memandang serta menuding secara sinisme, para pemeluk “agama metafisika” tetap saja tidak terselamatkan ketika pandemik akibat wabah virus menular antar manusia melanda dan menjadi korban jiwa. Tuhan yang selama ini mereka sembah, telah tidak menyelamatkan mereka, demikian para pemeluk “agama sains” menuding—tanpa bercermin, apakah sains telah menyelamatkan para ilmuan tersebut?

Sekalipun faktanya pula, para akademisi hingga para ilmuan sejagat raya ini, yang memandang dirinya paling cerdas dan paling jenius dengan segala pengetahuannya yang adidaya, tetap tidak mampu menaklukkan sang wabah selama bertahun-tahun lamanya menginvasi bangsa tanpa terbendung, yang bahkan sudah menyerah sebelum berperang dengan menyatakan secara sumir, “Antibiotik hanya ampuh membasmi kuman dan bakteri, sementara belum ada obat untuk mengatasi virus yang menginfeksi selain antibodi tubuh pasien terjangkit itu sendiri. Strain baru virus penyebab wabah ini membuat sang virus bermutasi, hingga memiliki daya kemampuan lebih berupa resisten terhadap antibodi yang dibentuk dari vaksin.” Kita lihat, siapakah yang sebetulnya paling apatis serta paling pesimis dalam memandang suatu kehidupan ataupun fenomena alam semacam wabah?

Ribuan tahun lampau, tercatat dalam sejarah teks kanon pali bahwa seorang skeptik yang “sok ilmiah” (ternyata eksis di zaman apapun), yang skeptis terhadap Sang Buddha, pernah mencoba berdebat dengan Sang Buddha, namun kemudian inilah yang diberikan jawaban oleh Sang Buddha sebagai tanggapan: [dikutip dari khotbah Sang Buddha dalam Majjhima Nikaya Sutta Nomor 63.]

Kamu seperti orang yang baru saja dipanah dengan anak panah beracun, dan ketika dokter datang untuk mencabut anak panah tersebut, kamu mengatakan ‘Tunggu! Sebelum anak panah ini dicabut saya mau tau nama orang yang memanah anak panah ini, dari suku / keluarga mana dia berasal, dari kampung mana dia dilahirkan. Saya ingin mengetahui dari jenis kayu apa busurnya terbuat, bulu apa yang digunakan di ujung anak panah ini, seberapa panjang anak panah ini, dan lain-lain, dan lain-lain.’ Orang itu akan mati sebelum semua pertanyaan itu bisa terjawab. Tugas saya adalah untuk membantu kamu untuk mencabut anak panah penderitaan dari dirimu sendiri.”

Dalam Buddhisme, seorang siswa memeluk dan berlindung dalam jalan Buddhisme bukanlah untuk melawan hukum alam semesta dengan terobsesi untuk hidup kekal abadi dan segala keinginan menjadi terpuaskan, dan lain sebagainya. Sebagaimana telah dibabarkan secara lugas oleh Sang Buddha, adalah merupakan suatu kewajaran, bila setiap bentukan yang masih berkondisi, akan mengalami tiga corak kehidupan (tilakhana), yakni : ketidak-kekalan (anicca), ketidak-puasan atau derita akibat fenomena pasang dan surut kehidupan (dukkha), serta tiada entitas mutlak yang disebut sebagai diri ataupun “aku” yang karenanya tidak mengherankan bila seseorang dapat memiliki kecenderungan menyakiti maupun egois terhadap dirinya sendiri (anatta).

Kematian, adalah hal yang wajar, sama wajarnya atas peristiwa kelahiran seorang bayi ke dunia ini. Buddhisme sendiri sama sekali tidak memandang aneh ataupun menabukan kematian, atau menjadikan kematian dan “masih dapat mati” sebagai tolak-ukur kegagalan seorang umat. Begitupula bila seorang siswa dari Sang Buddha masih dapat merasakan kelaparan, panas, haus, demam, gatal digigit serangga, berdarah ketika terluka, hingga tewas akibat jatuh sakit atau meninggal dunia, bukanlah hal yang ditabukan serta bukanlah hal yang dipandang aib atau menjadi “alergi” bila mengalaminya. Sang Buddha tidak menjadikan para muridnya sebagai “manusia batu yang berkepala batu”.

Sang Buddha menawarkan jalan keluar dari kewajaran akan usia tua, sakit, dan meninggal dunia, yang disebut sebagai “empat kesunyataan”, yakni : dukkha, akhir dari dukkha, jalan menuju akhir dukkha, serta kebahagiaan adiduniawi yang tidak lagi terkondisi, terbebas dari dukkha karena tiada lagi pengkondisian (dimana kondisi selalu sarat syarat)—yang bila kita sederhanakan, menjadi cara untuk memutus belenggu rantai karma (break the chain of kamma) yang selama ini mempermainkan setiap bentukan kehidupan dan jungkir-balik olehnya dalam siklus tumimbal-lahir yang tidak berkesudahan dan penuh oleh linangan air mata yang tidak lagi terhitung jumlahnya. Kebahagiaan dan kesenangan duniawi yang temporer sifatnya, karena dicengkeram oleh hukum ketidak-kekalan, mengakibatkan derita kesedihan ketika kehilangan dan derita sengsara ketika menjumpai hal-hal yang disenangi, akibat tiadanya entitas yang disebut sebagai “aku” ataupun “diri”.

Cara menolong yang dangkal, sebagaimana perspektif para pemeluk “agama sains”, tetap saja membuat mereka tidak dapat keluar dari perangkap sangkar kehidupan bernama usia menjadi tua (menjadi lanjut usia, kakek-kakek serta nenek-nenek), sakit-sakitan, sebelum kemudian meninggal dunia, ditambah dengan jebakan mental yang mereka buat sendiri. Silahkan Anda terobsesi untuk melawan kebenaran pernyataan Sang Buddha demikian, dijamin Anda akan menderita frustasi sebelum menjadi tidak waras akibat kerusakan otak mencoba melawan fakta empirik—saintis yang bahkan tidak saintifik karena melawan bukti empirik yang paling nyata di depan mata dengan memungkiri kebenaran.

Bagaikan seorang saintis yang justru berperilaku tidak logis, saintis yang menunjuk-nunjuk “semut” di seberang lautan (analogi untuk planet-planet di Tata Surya), sementara itu “gajah” di depan mata seolah tidak tampak dan dipungkiri. Kebenaran mengenai dukkha, anicca, dan anatta, begitupula mengenai usia tua, sakit, dan meninggal, begitu dekat dengan kita, demikian konkretnya, sehingga menjadi aneh bila masih dipungkiri. Hanya butuh kesadaran untuk bisa menyadari dan memahaminya.

Lantas, apa tujuan dibalik “agama sains”, bila bukan keselamatan seperti telah dibantah dalam uraian sebelumnya di atas? Jika tujuan utama para kaum pemeluk “agama sains” ialah untuk meningkatkan taraf kebahagiaan hidup umat manusia, maka pertanyaan besarnya ialah, sebagaimana dituturkan oleh Ajahn Brahm, seorang bhikkhu monastik Theravada yang pernah menetap di hutan selama sembilan tahun lamanya untuk berlatih keheningan, Anda pilih yang mana, menjadi “free from wanting” ataukah “free to wanting”? Sekali lagi, mereka terjebak pada corak kehidupan perihal “dukkha” yang bermakna tidak pernah terpuaskan.

Yang sudah kaya, ingin menjadi kaya raya. Yang sudah kaya raya, ingin menjadi presiden. Yang sudah menjadi presiden, ingin terpilih kembali dan duduk pada jabatan serupa untuk kesekian kalinya, jika perlu menjadi penguasa dunia, setelah itu barulah terobsesi hidup kekal abadi. Kehidupan kita di zaman modern ini, jauh lebih mewah daripada seorang puteri di zaman kerajaan yang tidak dapat menikmati kecanggihan gadget, teknologi digital, berkendara dalam kecepatan tinggi melampaui kuda tercepat, terbang melesat tinggi di angkasa bagaikan burung di angkasa, ingin kuliner apa cukup menekan tombol di ponsel lalu kurir yang mengirimkan, bertelekomunikasi tanpa sekat batas ruang dan waktu, bahkan hingga “operasi plastik” dalam rangka koreksi tubuh (plastic / facial surgery), jika sakit terdapat bedah medis, dan berbagai kemewahan serta keistimewaan hidup lainnya.

Pertanyaannya, bila memang itu yang dikejar dan disasar oleh para pemeluk “agama sains”, sebagaimana dunia ideal yang hendak mereka bangun, demikian sophisticated, mengapa juga hingga saat kini kita tetap merasa derita akibat tidak terpuaskan dan semakin banyak lagi kita dikuasai oleh keserakahan dan kemauan yang tiada habis-habisnya untuk dipuaskan bagai sebuah candu yang memperbudak? Menolong sebagai alat bantu, mungkin, namun masih dalam derajat tertentu,  serta memiliki keterbatasannya sendiri. Kebenaran “agama sains”, bersifat nisbi (tentatif), bukanlah suatu sifat yang absolut kebenarannya.

Terlagi pula, kemewahannya harus ditebus dengan harga yang mahal karena berbiaya mahal, disamping tuntutan hidup yang kian besar dan membebani kita untuk terus mengikuti perkembangan zaman bila tidak ingin tertinggal oleh zaman. Anak-anak yang hidup pada era kontemporer, sungguh dibebani oleh berbagai kursus dan pembelajaran, jauh melampaui kerasnya hidup anak-anak muda generasi sebelum mereka—dimana bisa jadi mereka tidak lagi memiliki waktu luang untuk bermain, akibat kian sengitnya kompetisi di era modern ini, terutama di dunia kerja.

Ketika seseorang telah memiliki, ia akan cenderung menginginkan lebih lagi dan lebih lagi dari apa yang telah ia miliki, demikian dikuasai oleh obsesi, terdominasi oleh keinginan lebih banyak lagi yang menguasai diri dan pikiran, hingga “overdosis” mengakhirinya sekaligus menamatkan riwayat hidupnya. Ketika telah memiliki segalanya, seseorang mulai merasa jenuh dan bosan atas hidup ini, lalu mulai nekad melakukan hal-hal bodoh sekadar untuk mencari sensasi tantangan hidup hingga merusak diri sendiri. Karena itulah, terbukti sudah, tujuan atau “main goal” dari keberadaan “agama sains”, hanyalah sekadar omong-kosong yang hanya cocok untuk gurauan terhadap anak Sekolah Dasar agar mereka rajin belajar.

Itu sama celakanya dengan beberapa dogma diantara “agama metafisika” yang juga mengejar tujuan yang sama dengan para pemeluk “agama sains”, yakni ideologi dogmatis bahwa “hidup adalah NIKMAT”. Karenanya, tidaklah mengherankan bila kemudian mereka menjelma menjadi dikuasai oleh obsesi untuk mengejar, dan selalu mengejar-ngejar kekayaan ekonomi dan kepemilikan lainnya, semata untuk memperoleh “kewajaran menurut standar kitab agama-agama-nya masing-masing.” Ketika mereka menemukan bahwa diri mereka masih dicengkeram erat oleh berbagai ketidak-puasan yang kian besar dan merajela-lela, mereka kemudian terjebak dalam jebakan mental, “Mungkin ada yang tidak normal dengan hidup saya!” atau seperti “Ada yang tidak beres dengan kehidupan saya!” Akibatnya, akibat kehausan, dirinya meminum sebanyak-banyaknya air laut yang asin, alhasil dirinya kian memiliki maka menjadi kian bertambah haus pula sebagai konsekuensi berantainya.

Apa yang disebut sebagai “ketercukupan” dan “kepuasan hati”, tidak mensyaratkan bahwa “hidup adalah nikmat”. Kebahagiaan, tidak mengenal syarat, termasuk syarat bahwa hidup haruslah nikmat. Orang-orang yang sedang jatuh sakit, meski kondisi tubuhnya tidak sehat, namun bisa jadi mental mereka jernih dan damai (inner peace). Oleh sebab itulah, para siswa dari Sang Buddha, tidak dibenarkan bersikap seolah-olah hanya dirinya seorang yang paling merasakan penderitaan hidup serta siksaan kehidupan di dunia, dengan merampas kebahagiaan milik orang lain, atau semacam dengan mengatas-namakan bahwa hidupnya masih dapat merasakan dukkha, lantas bersikap “cengeng” dan “manja” dengan merampas kebahagiaan hidup milik orang lain—suatu sikap “kekanakan”, menurut perpektif Buddhistik.

Yang terlebih ironis, ialah, sebagian besar diantara “agama metafisika”, justru inkonsisten antara apa yang mereka klaim terhadap apa yang selama ini mereka praktikkan. Pada satu sisi, mereka mengaku meyakini alam neraka, namun disisi lain, mereka justru tidak takut berbuat dosa (dengan menyakiti, melukai, ataupun merugikan orang lain) ataupun untuk terlibat dengan maksiat—yang mana ironisnya pula, silih-berganti puluhan nabi diutus oleh “Tuhan” ke dunia manusia untuk melarang maksiat, namun hingga zaman modern ini telah ternyata tidak ada satu pun maksiat paling primitif yang kita kenal yang telah berhasil dimusnahkan dan di-punah-kan dari muka bumi.

Pada satu sisi, mereka mengklaim tidak menaruh kompromi ataupun mentolerir perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa, dengan menjauhi larangan “Tuhan” dan melaksanakan perintah “Tuhan”. Namun pada sisi lainnya lagi, disaat bersamaan, mereka tergiur, aktif terlibat, serta telah menjadi budak dari ideologi iming-iming “too good to be true” semacam “PENGHAPUSAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA”, dimana kita ketahui bahwa “hanya seorang pendosa yang membutuhkan pengampunan dosa”.

Inkonsistensi demikian itulah, yang membuat antara sebagian besar “agama metafisika” menjadi terlampau berjarak terhadap Buddhisme, dimana Sang Buddha dan para muridnya tidak pernah membutuhkan iming-iming semacam “pengampunan dosa”—yang mana bahkan seorang ksatria memilih untuk bertanggung-jawab terhadap korbannya, alih-alih melarikan diri dan lepas tanggung-jawab, dimana korban tidak perlu merepotkan diri untuk meminta pertanggung-jawaban, terlebih mengemis-ngemis tanggung-jawab, yang mana bahkan juga sang korban tidak harus menyadari dirinya telah dijadikan korban, seketika itu juga kaum ksatria memilih untuk mengambil sikap penuh tanggung-jawab dalam rangka memulihkan kerugian yang diderita oleh sang korban, karenanya seorang ksatria tidak pernah membutuhkan ideologi korup semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Dua faktor berikut, dapat menjadi indikator baik buruknya suatu keyakinan keagamaan, yakni “cara” serta “tujuan”. Cara kalangan saintis, adalah empirik, dan memandang remeh hal-hal metafisika yang tidak kasat-mata—semata bukan karena ada atau tidaknya, yang tidak lain merupakan spekulasi itu sendiri, namun alat bantu penglihatan atau mata, kacamata, dan mikroskop milik mereka yang terlampau buram dan kabur untuk dapat melihat fenomena metafisika yang halus dan membutuhkan kepekaan tertentu untuk menyadarinya.

Singkat kata, kemampuan mereka saat kini di zaman ini, belum mampu untuk memahami dan menemukan kebenaran secara sebenarnya terhadap objek yang sedang mereka amati. By the way, tahukah Anda bahwa perangkat ponsel genggam yang Anda pegang saat ini memiliki chip komputer yang lebih canggih daripada komputer milik pesawat ulang-alik ketika pertama kalinya membawa manusia terbang ke bulan? Namun apakah Anda puas, dan tidak menanti-nanti ponsel terbitan versi terbaru? Perhatikan saja bagaimana ulah para kalangan ilmuan medik dan farmasi, pada satu waktu jenis obat tertentu diberi izin beredar di masyarakat untuk diperjual-belikan, namun suatu waktu obat tersebut ternyata terbukti berbahaya sebelum kemudian ditarik kembali peredarannya dari pasar, sekalipun artinya sempat dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat—itukah cara menolong para umat “agama sains”, menjadikan masyarakat sebagai kelinci percobaan lewat spekulasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya secara absolut?

Cara sebagian umat “agama metafisika” ialah murni spekulasi adanya, bahwasannya alam surgawi yang menunggu ialah “kebahagiaan duniawi” seperti sibuk bersetubuh tanpa henti, alih-alih “kebahagiaan adiduniawi”, yakni tanpa kemelekatan serta keheningan. Tiada spekulasi yang lebih dahsyat daripada spekulasi kelewat korup semacam “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”, sebagai cara menuju surga, namun tetap saja mereka peluk dan yakini yang mana jika perlu dengan membayarnya lewat taruhan nyawa dan mengorbankan nyawa hidup milik pihak lain.

Seorang atau para pendosa, dapat memasuki alam surgawi dan menjadi penghuni alam surgawi, merupakan puncak dari segala spekulasi yang tidak bertanggung-jawab demikian, yang secara langsung maupun tidak langsung telah berkontribusi pada merosot dan rusaknya “standar moral” umat manusia—agama yang justru merusak moralitas penduduk dunia dan para pengikutnya. Sosok mulia nan agung semacam Tuhan yang digambarkan oleh “agama metafisika” demikian, adalah lebih menyerupai menista keagungan Tuhan bilamana Tuhan justru lebih PRO terhadap pelaku kejahatan (pendosa yang berdosa) ketimbang memberikan keadilan bagi para korban dari sang pendosa. Justru semata karena mereka tidak dapat membuktikannya, spekulasi demikian dapat tetap lestari dan “mewabah”, lewat reproduksi yang tidak bebas nilai.

Bila seorang hakim yang baik di dunia manusia, menghukum pelaku kejahatan, maka bagaimana mungkin sosok Tuhan dicitrakan identik dengan raja yang tiran, dimana akan senang dan gembira ketika dipuja-puji sembah-sujud sementara itu akan murka ketika tidak diakui dan tidak diberikan ritual “lip service” setiap harinya. Spekulasi terpuncak mereka, ialah perihal “dapat memetik buah manis untuk dimakan tanpa perlu terlebih dahulu menanam”, yang mereka sebut sebacai “cukup meminta lewat keyakinan”, tanpa perlu merepotkan diri repot-repot menanam benih “Karma Baik”—suatu dogma keyakinan keagamaan yang sungguh cocok bagi para kalangan “pemalas”.

Sementara itu tujuan para penganut “agama sains”, sebagaimana telah pula kita bahas, menjadi tidak lagi relevan untuk dikemukakan. Adapun tujuan dibalik “agama metafisika”, menjadi sangat terdisparitas, bilamana Buddhisme ialah untuk memutus belenggu rantai karma serta akhir dari dukkha dengan menjalankan praktik moralitas dalam derajat tertinggi, sementara itu sejumlah besar keyakinan keagamaan lainnya justru menekankan ritual sebagai cara mensucikan diri dengan mengkompromikan dosa dan perbuatan jahat apapun. Bila Buddhisme berprinsip, menjadi orang yang mulia sebagai satu-satunya cara untuk memuliakan nama “Sang Pencipta” (jikalaupun ada), maka sebagian besar dogma keyakinan keagamaan lainnya menjadikan ritual sembah-sujud sebagai satu-satunya cara mengagungkan nama Tuhan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.