Wabah, 1 Orang Tewas (adalah) TRAGEDI, 1.000 Orang Tewas (hanyalah) STATISTIK, Kebijakan Kepala Negara Republik Serba Berlarut-Larut

ARTIKEL HUKUM

Ironis, Bendera Merah Putih Berkibar disaat Wabah Menjajah Negeri Kian Tidak Terkendalikan, Pemerintah Menyerah Sebelum Benar-Benar Berperang

Merdeka, Merdeka dari Apa Dulu? Ekonomi, Melarat. Kesehatan, Korban Jiwa Bertumbangan. Keluar Rumah, Pembunuh Berkeliaran, Silent Killer. Pemerintah Republik Indonesia : “Hiduplah berdampingan dengan Mesin Pembunuh, wahai rakyatku!

Sungguh ingin sekali penulis mengajukan pertanyaan kepada sang Bapak Presiden, “Menurut Bapak Presiden yang terhormat, berapakah harga sebuah nyawa yang menjadi korban kebijakan berlarut-larut ‘yang penting bukan lockdown’ (dikala wabah)? Semurah itukah harganya, ribuan nyawa korban jiwa rakyat bangsa sendiri?” Pemerintah Republik Indonesia selama ini menerapkan kebijakan “yang penting bukan lockdown, APAPUN HARGANYA (yang harus dibayarkan baik uang triliunan rupiah hingga korban jiwa)” sebagai strategi satu-satunya dalam menghadapi peperangan melawan pandemik yang diakibatkan oleh virus menular mematikan antar manusia.

Pemerintah mendalilkan, “negara tidak punya uang untuk menerapkan Undang-Undang tentang Karantina Wilayah”, mendadak mengaku sebagai negara miskin bahkan non-negara berkembang—meski dipercaturan bisnis global mengaku telah sebagai “negara maju”—sementara itu disaat bersamaan pemerintah menggelontorkan dana ribuan triliun rupiah untuk membiayai kebijakan berlarut-larut “yang penting bukan lockdown“. Minimnya “political will” pemerintah Republik Indonesia, menjadi tanda tanya besar bagi penulis, sebenarnya kebijakan “serba berlarut-larut” serta “yang penting bukan lockdown” demikian, adalah demi kepentingan rakyat banyak, ataukan demi kepentingan segelintir pihak yang berkuasa?

Sakit, jelas lebih mahal biayanya ketimbang sehat. Namun, terutama dikala wabah, kita harus memakai “akal sehat milik orang sehat”, bukan “akal sakit milik orang sakit”. Kebijakan tegas tidak separuh hati semacam “lockdown”, ialah dalam rangka penyehatan bangsa dengan memutus mata rantai penularan, sehingga pada kalkulasi bisnis sederhana maupun canggih seperti apapun, tetap lebih berbiaya “tidak semahal” (meski tetap mahal) kebijakan “berlarut-larut” yang menjadikan negeri tetap dilanda sakit yang diakibatkan oleh wabah, terlebih hidup berdampingan dengan pembunuh. Kegiatan ekonomi semacam apa, yang dapat dijalankan oleh suatu negeri bila rakyatnya sakit-sakitan atau dalam kondisi menderita penyakit? Yang ada justru menjadi beban, alih-alih produktif.

Ribuan triliun rupiah telah dikeluarkan pemerintah dengan demikian borosnya menjalankan kebijakan “serba berlarut-larut” yang tidak pernah mencetak satu kali pun prestasi “NOL kasus baru harian” warga terjangkit wabah sebagaimana negara-negara lain yang setidaknya pernah mencetak prestasi kesuksesan mengandalikan wabah berkat kebijakan tegas ala “lockdown”. Puluhan ribu kasus warga telah terjangkit terjadi setiap harinya sekalipun, tetap saja yang berlaku ialah kebijakan “yang penting bukan lockdown”. Pertanyaannya, apakah kita selaku masyarakat di akar rumput, benar-benar telah pernah menikmati “rembesan” dana segar demikian, ataukah justru dinikmati paling banyak oleh para penguasa dan segelintir pihak korporasi tertentu?

Dibanding dengan segala bantuan pemerintah, baik tunai maupun nontunai, katakanlah Anda dan kita semua terbagi secara merata distribusinya, jika kita membuat kalkulasi sederhana “plus dan minus” dengan segala pertimbangan, tetap saja jauh lebih merugikan masing-masing warga akibat kebijakan yang selama ini ditempuh pemerintah Republik Indonesia, mengingat pengeluaran dan kerugian yang diderita rakyat akibat kebijakan “separuh hati” demikian ialah jauh lebih besar mudarat ketimbang faedah dibalik bantuan-bantuan pemerintah tersebut.

Sejak saat wabah melanda Negeri Indonesia, dan menjadi demikian berlarut-larut penanganannya selama bertahun-tahun tanpa pernah terkendali satu kali pun oleh pemerintahan yang berkuasa, sekalipun notabene sebagai penguasa dan pembentuk hukum—negara yang seolah tidak pernah benar-benar hadir bagi rakyatnya—akibatnya setiap warga harus merogoh kocek jauh lebih besar dari segi pengeluaran bulanan dari sebelumnya dikala normal tanpa wabah, mulai dari biaya tambahan untuk membeli makanan bergizi, alat pelindung diri, suplemen kesehatan yang harganya naik berkali-kali lipat, obat-obatan, ongkos untuk membayar kurir pengantar barang, dan lain sebagainya, sementara itu penghasilan menjadi demikian minim, disaat bersamaan ruang gerak dan ruang nafas menjadi serba terbatas, belum lagi perhitungan perihal “potential loss” akibat berbagai peluang usaha yang mau tidak mau dan suka tidak suka harus dilepaskan dari genggaman demi menjaga keselamatan dan kesehatan jiwa sendiri, mengingat otoritas negara lebih memilih opsi “pedal gas akselerasi ekonomi” ketimbang “pedal rem darurat” dalam rangka menjamin kesehatan dan keselamatan rakyatnya.

Jadilah, rakyat hidup dalam kebijakan “selamatkan diri masing-masing” oleh sebab negara tampaknya tidak bersedia menjamin dan memperjuangkan, yang memandang remeh “harga” nyawa rakyatnya sendiri, dimana mindset yang terpola dibenak para penyusun kebijakan di republik ini ialah semata “pemodal, pemodal, dan pemodal”, “investor, investor, dan investor”, serta “ekonomi, ekonomi, dan ekonomi”. Selama ini, Negeri Indonesia cukup beruntung, selama ratusan tahun tidak pernah dihajar oleh pandemik sedahsyat Virus Corona, yang artinya sudah sangat cukup berpuas hati dan mempersiapkan diri (menabung selama ratusan tahun sebagai dana cadangan dan antisipasi datangnya kemungkinan terburuk) datangnya wabah demikian dengan belajar dari pengalaman tetangga saat diporak-poranda wabah SARS dan MERS, saudara dari Virus Corona dalam rumpun yang sama, dan menyadari bahwa bangsa kita tidaklah “kebal”.

Perlu juga kita sadari, betapa beruntungnya Republik Indonesia berkat bentang alam berupa negara kepulauan yang menjadi “lockdown” alami, kaya akan rempah-rempah yang dikenal baik dalam menjaga kesehatan, memiliki semata dua musim tanpa mengenal musim gugur dan bersalju yang mencapai minus derajat celsius (titik beku), kaya akan paparan sinar ultraviolet (UV) yang mampu membasmi virus penyebab penyakit, alam yang subur, sumber daya yang melimpah-ruah, dan berbagai posisi strategis lainnya, maka semestinya tugas pemerintah sudah sangat terbantu oleh berbagai keuntungan tersebut ketimbang negara global lainnya—sehingga tiada lagi alasan bagi pemerintah untuk bersikap “cengeng” terhadap rakyat, terlebih “merengek”.

Pemerintah Republik Indonesia tampaknya kini cukup berpuas diri, mengklaim pemerintah telah menggelontorkan ribuan triliun rupiah sebagai “stimulus” kepada rakyat yang kini “megap-megap” bagai ikan yang kehabisan nafas. Bukanlah itu persoalan utamanya, juga bukanlah prestasi untuk dibanggakan. Kerugian yang diderita masing-masing rakyat, sejatinya JAUH LEBIH BESAR daripada segala jargon klies “stimulus ekonomi”. Akibatnya, rakyat merugi dari segi (ancaman terhadap) kesehatan serta keselamatan jiwa serta merugi dari biaya hidup yang jauh lebih besar disamping “potential loss”.

Sungguh, negeri dan republik ini jauh lebih besar untuk ukuran daya “leadership” dari seorang pejabat Kepala Pemerintahan incumbent yang kini berkuasa, yang mana tampaknya lebih sibuk mengumbar pencitraan serta “lip service”, dimana nasib ratusan juta rakyatnya dijadikan taruhan ajang berspekulasi “mungkin besok wabah akan sirna”—mungkin “iya”, namun mungkin juga “tidak” dengan bertambah parah dengan sebaran varian mutasi virus penyebab wabah yang menjadi lebih ganas alih-alih menjadi lebih jinak dan terkendali. Kita tidak dapat membiarkan negeri ini hancur di tangan seorang pemimpin yang terlampau “kerdil” untuk ukuran bangsa ini. Bagaimana wabah dapat usai, bila kita bersikap kompromistis terhadap sang “mesin pembunuh” yang bahkan tidak kasat mata ini?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.