ARTIKEL HUKUM
Mengapa Penulis Lebih Menyukai Komunikasi Tertulis ketimbang Lisan? Ini Alasannya
Medium Komunikasi Digital, OTAK Menggantikan Supremasi OTOT untuk Sepenuhnya
Hampir seluruh waktu penulis dikeseharian, berkomunikasi pada dunia eksternal diri penulis dengan menggunakan medium komunikasi secara tertulis, yang sifatnya terpublikasi secara meluas. Mengapa demikian, dan tidak ber-konvensional diri lagi layaknya cara komunikasi para manusia konvensional kebanyakan? Terdapat beberapa alasan praktis-pragmatis serta berbagai kalkulasi penuh pertimbangan, tidak terkecuali bercermin dari berbagai pengalaman buruk sendiri, mengingat dan menimbang watak masyarakat di Indonesia yang sukar diajak berpikir serta berkomunikasi secara logis dan rasional bila kita berdialog dengan mereka secara lisan.
Patut untuk kita pahami, latar-belakang mentalitas mayoritas masyarakat Indonesia ialah masih berkutat pada daya dan cara berpikir yang irasional. Mengingat “manusia Indonesia ialah makhluk IRASIONAL”, maka selalu terbuka potensi yang penuh riskan bila komunikasi terjalin secara bertatap-muka secara konvensional. Dalam ulasan khusus kesempatan kali ini, penulis akan mengungkap berbagai latar belakang kecenderungan penulis untuk lebih cenderung memilih cara berkomunikasi semacam demikian, dimana mulai penulis biasakan sebagai budaya baru dalam cara berkomunikasi yang kebetulan mulai menjadi budaya dan gaya hidup baru masyarakat lokal dan global saat ulasan ini disusun (ketika masyarakat diharuskan “work from home” dikala wabah melanda negeri akibat paparan pandemik global yang disebabkan oleh virus menular antar manusia).
Ketika Anda berdebat ataupun berdialog dengan orang-orang yang menjadi antigonis dengan kepentingan dan posisi Anda, tanpa adanya juri maupun hakim yang netral, serta tiada pula wasit yang menengahi dan memastikan penerapan aturan main debat yang adil dan berimbang untuk dipatuhi oleh para petarung maupun para penonton suporternya, maka dapat dipastikan Anda akan diposisikan sebagai pihak yang selalu salah dan selalu kalah. Mengapa demikian? Karena yang berlaku di Indonesia, dalam kehidupan sosial-bermasyarakat penduduknya, masih diwarnai budaya “hukum rimba” (budaya primitif zaman manusia purbakala), dimana yang kuat yang akan menang serta memakan pihak yang lebih lemah secara fisik atau lebih sedikit dari segi jumlah kuantitas.
Katakanlah Anda memiliki seni debat yang unggul dan tidak terkalahkan, lengkap dengan bukti-bukti dan data-data yang tidak terbantahkan, namun Anda akan menghadapi kenyataan sosiologis berikut ini, terutama di Indonesia, yakni fakta psikososial perihal : memainkan dan bermain dengan kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah, bahkan mengobral kekerasan fisik. Orang-orang dengan otak yang cenderung lemah, tidak terkecuali “otak nurani” (sumber kemampuan bagi hati nurani untuk berpikir dan bersuara) yang tumpul, maka satu-satunya yang mereka andalkan selama ini ialah kekuatan “otot”—tidak lain tidak bukan untuk mengintimidasi serta bermain kekerasan fisik untuk membungkam lawan-lawannya. Kemenangan, di mata mereka, bukanlah membuat lawan debat “mati kutu” tidak berkutik secara verbal, namun membungkam dalam artian gigi-gigi lawannya dirontokkan oleh bogem-tinju (baca : penganiayaan).
Sebagaimana juga telah kita ketahui, ironisnya “otot” tidak memiliki “otak”, dan letak “otak” bukanlah di “otot”. Alhasil, mereka yang selama ini mengembangkan kekuatan “otot”, cenderung memiliki “otak” di kepala maupun “otak” di hati (hati nurani) yang condong lemah, redup temaram hingga gelap dan berkarat, serta “impoten”. Kita tidak dapat mengajak mereka berpikir secara logis lewat argumentasi, sebenar dan sejujur apapun pihak Anda dalam senyatanya. Jangankan berpikir secara logis dan rasional, para “otot” tersebut bahkan tidak memiliki apa yang kerap penulis sebut sebagai “akal sehat milik orang sehat”.
Apa yang terjadi, ketika Anda berdebat dan beradu argumentasi verbal menggunakan akal sehat, menghadapi orang-orang yang selama ini hidup dari “otot” alias menghamba pada “akal sakit milik orang sakit”? Bagi mereka, dalam konteks daya berpikir mereka yang serba sempit dan kerdil serba terbatas, berhasil membungkam Anda lewat kekerasan fisik (Anda bermain ranah “otak”, namun gayung tidak bersambut, lawan Anda justru bermain “otot”), adalah bentuk kemenangan (victory) bagi mereka, sekalipun pada mulanya ialah berupa pertarungan “otak” dalam bentuk adu argumentasi secara verbal sebatas kata-kata secara oral-lisan semata. Apapun alasannya, bermain fisik hingga kekerasan fisik tidak dapat dibenarkan (ciri khas “gaya primitif” manusia purba di zaman batu). Perang oral secara lisan hanya proporsional dibalas dan dilawan secara lisan dan oral semata.
Seorang petinju yang cerdas, hanya memilih untuk menerima tantangan berduel dengan syarat duel dilakukan di atas ring tinju, lengkap dengan penerapan aturan main pertinjuan disertai segala kelengkapannya seperti wasit, juri sebagai hakim, serta para penonton (maupun suporter) yang netral dan mampu menghormati siapapun yang menang dan siapa yang kalah dalam sebuah pertandingan—bila tidak, suporter satu kubu ketika menemui kenyataan berupa kekalahan petarung yang mereka usung dan dukung di atas ring tinju, bisa melakukan kerusukan dan anarkhi berjemaah layaknya superter klub kesebelasan sepak bola di Tanah Air yang sudah dikenal luas kerap melakukan tawuran dan kerusuhan massal yang tidak jarang jatuh korban jiwa.
Tanpa adanya wasit, salah satu petarung dapat melakukan segala hal cara untuk menang, tanpa mengindahkan aturan main di atas ring tinju, serta tiada otoritas yang dapat menegakkan aturan main disamping berwenang menerapkan sanksi bagi salah satu petarung yang melanggar aturan main, sehingga secara psikologis masing-masing petarung saling patuh dan bermain secara “fair play”. Tanpa adanya wasit pula, bisa-bisa yang bertarung ialah 1.000 Vs. 1 orang petarung, alias secara ber-keroyokan.
Sementara itu bila tiadanya juri maupun hakim yang netral, objektif, serta imparsial (tidak memihak siapapun pada mulanya) dalam sebuah pertarungan, baik pertarungan verbal maupun pertarungan tinju, mengakibatkan salah satu pihak dapat secara bebas dan merasa bebas untuk melanggar seluruh aturan main pertinjuan di atas ring tinju, dan bila perlu melecehkan seluruh aturan main tersebut dengan (lagi-lagi) bermain kekerasan fisik “otot” mereka. Curang atau tidak curang, adil atau tidak adil, etis atau tidak etis, pelanggaran akan terjadi secara masif, yang pada pokoknya ialah meraih kemenangan dengan “meng-halal-kan” segala cara (by all means).
Menjadi tidak mengherankan, bila dalam dialog atau perdebatan secara lisan menghadapi seseorang yang “keras kepala” serta “maunya menang sendiri”, penulis menanggapinya secara singkat saja, dengan kalimat sebagai berikut : “Saya tidak perduli apapun klaim dalil ataupun apa yang Anda katakan dan alibikan. Saya hanya perduli, pada apa kata hakim di pengadilan nantinya (bila sengketa atau konflik ini berlanjut sampai tahap gugat-menggugat di pengadilan).”
Segala perkataan, klaim, dan dalil-dalil sepihak mereka, tidak laku di depan hakim di ruang persidangan. Mereka, hanya “jago kandang”—dimana apa pula hebatnya, menjadi seorang “jago kandang”? Sebuah kebanggan yang semu sekaligus kerdil yang dangkal. Strategi mereka ketika telah memasuki umur lanjut usia, dicerminkan oleh rambut memutih dan otot yang mengerut-ciut, ialah “mendadak (menjadi manusia) alim” untuk mengundang simpatik publik dan diperlakukan secara manusiawi, sekalipun dikala muda masih sehat-bugar dan kuat mereka merupakan para berandal pelaku aksi premanisme yang tidak humanis, namun premanis, hewanis, serta predatoris.
Karena itulah, kata kuncinya ialah mengkondisikan serta terkondisikan, agar kondisi atmosfer suatu pertarungan benar-benar bukan tanpa batasan serta bukanlah tanpa “aturan main” yang adil serta beradab, namun dalam koridor batasan-batasan yang terkontrol dimana “hukum rimba” dapat kita eliminir hingga semininal mungkin untuk terjadi, yang mana hanya membuka ruang bagi pertarungan secara ksatria dan “jantan”, baik secara lisan maupun pertarungan fisik.
Lantas, dimana letak korelasinya dengan kecondongan penulis pada saat kini untuk lebih berdialog lewat medium publikasi tertulis secara meluas? Pada prinsipnya, ruang publik bersifat ruang fisik nyata maupun bisa juga berupa ruang maya semacam media digital “WWW” (world wide web), dimana sekat jarak dan waktu menjadi tidak lagi menjadi kendala layaknya sebuah komunikasi konvensional (bertatap-muka). Mempublikasikan ide atau gagasan dan pemikiran secara daring dan dapat diakses oleh “public audiens”, sama artinya jutaan pembaca tulisan kita yang akan menjadi hakim sekaligus jurinya.
Biarkan lawan debat kita mengolok kita, memfitnah kita, mencaci-maki kita, menyudutkan kita, menuduh / menuding kita tanpa dasar, bersikap tidak adil terhadap kita, ditandai pula oleh sikap-sikap semacam “mau menang sendiri”, irasional, tendensius, agresif, membuta, menghina kita, dan segala diskredit lainnya, maka para pembaca atau audiens kita yang akan menjadi juri sekaligus hakimnya, dengan membuat penilaian berdasarkan “commons sense” milik publik sebelum kemudian menentukan argumentasi siapakah yang dapat lebih diterima oleh akal sehat dan diberi dukungan, serta siapakah diantara para petarung bahasa tertulis tersebut yang akan dinilai sebagai tidak logis disamping akan disudutkan oleh penghakiman verbal dari khalayak ramai (para netizen).
Dengan menggunakan medium tertulis secara digital, penulis meminjam apa yang penulis sebut sebagai “the power of public audiens”. Mencoba mendebat penulis tanpa dilandasi akal sehat maupun fakta yang dapat dipertanggung-jawabkan, atau bahkan sekadar memakai “otot” dengan ancaman-ancaman seperti intimidasi psikis, penganiayaan, ataupun pengeroyokan secara fisik, tidak dimungkinkan untuk terjadi pada medium komunikasi secara tertulis demikian (salah satu pengkondisian yang menjadi keistimewaan paling penting dibalik sifat publikasi tertulis secara daring).
Sehingga, mencoba mendebat secara tidak rasional, sama artinya “mencari mati sendiri” diberondong oleh penghakiman oleh “public audiens” (baca : mengundang komentar “miring”). Pengkondisian yang sangat menarik di benak penulis itulah, yang secara langsung maupun tidak langsung memaksa siapapun yang mencoba mendebat penulis, memakai “otak” mereka alih-alih “otot” mereka—dan mereka tergagap-gagap karena tidak terbiasa beralih dari mengandalkan penggunaan “otot” menjadi semata hanya dapat mengandalkan “otak” mereka yang selama ini pula tidak dan kurang terlatih.
Alhasil, mereka “babak belur” meski mereka bertarung secara berkeroyokan melawan penulis seorang diri, pada medium publikasi tertulis yang dipublikasikan secara meluas kepada kalangan para pembaca publik, yang mana bila dalam dunia nyata bisa jadi dan besar kemungkinan penulis yang akan menjadi korban penganiayaan dan pengeroyokan mereka sebagaimana kerap telah penulis alami dalam dunia “offline”. Medium “online”, sungguh-sungguh menawarkan budaya baru yang bahkan secara mengejutkan dalam hal-hal tertentu lebih sehat ketimbang budaya komunikasi secara “offline” (dengan catatan, minus “cyber bullying” yang tidak bertanggung-jawab). Kita dapat berkata kepada siapapun yang mencoba mendebat kita lewat dalil-dalil maupun argumentasi tertulis terpublikasi, bahwa “Saya tidak menaruh perduli apa kata Anda. Biarkanlah jutaan pembaca website saya yang akan menjadi juri dan hakim untuk membuat penilaian dan penghakiman.”
Asas meritokrasi dan egaliter, dapat kita terapkan secara seoptimal mungkin dalam media komunikasi tertulis secara “online”, yang dengan kata lain “otak” yang siap yang terbukti lebih berdaya akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan tertulis, sementara “otot” mulai tersisih sehingga percepatan menuju bangsa beradab dapat dikondisikan sebagai jalan satu-satunya menuju ke arah demikian, dimana kekuatan dominasi “otak” menggantikan serta mengambil-alih supremasi “otot” yang sudah tidak lagi dapat diandalkan untuk menyelesaikan setiap masalah.
Di titik itulah pada tepatnya, “otot” ditanggalkan dan satu-satunya yang dapat diandalkan ialah kemampuan serta kekuatan dibalik “otak”. Memainkan “otot” di ruang publik secara tertulis, sama artinya mengundang penghakiman oleh publik. Dengan demikian “otak” memainkan peran sentral dan mendominasi, menjelma supremasi “otak” diatas “otot”—semata karena ruang fisik untuk bermain fisik terpangkas hingga ke titik nihil, dimana penulis kerap pula menyebut ruang publik tertulis secara daring merupakan nihilisme kekerasan fisik (pengecualian negatifnya, ialah berkembangnya budaya kurang sehat seperti “cyber bullying” secara masif disamping anonimitas pelakunya, yang tidak jarang tidak kalah mematikannya, setidaknya “pembunuhan karakter” dan penghinaan hingga pencemaran nama baik, tidak terkecuali pencemaran oleh berbagai hoax).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.