Disiplin Diri merupakan Pangkal Kebebasan

SENI PIKIR & TULIS

Pilih “Free FROM Wanting” ataukah “Free TO Wanting”?

DISIPLIN DIRI Versus KEBEBASAN, Pilih yang Mana?

Bangsa Barat menjadikan kebebasan sebagai supremasi sipil tertinggi, bahkan bersanding dengan sakralitas konstitusi negara mereka. Sayangnya, itu hanyalah utopia, alias sekadar jargon yang tidak akan kita jumpai realitanya di negara-negara Barat mana pun. Hukum negara itu sendiri, bersifat membatasi kebebasan warganya (tiada norma hukum yang tidak membatasi), merasmpas sebagian hak mereka, dengan menyisakan sisa-sisa hak mereka sebagai hak-hak sipil warganegara—penulis menyebutnya sebagai “hak residu”, alias hak-hak yang tidak dirampas oleh otoritas pemerintah negara bersangkutan. Sebagai contoh, sebelum negara dan hukum negara berdiri serta diterbitkan, semua warga berhak untuk menyandang senjata api serta “main hakim sendiri”, namun kesemua hak tersebut dirampas oleh negara, sementara hak untuk hidup dan hak untuk beraspirasi sebagai contoh, dibiarkan tanpa dirampas oleh otoritas.

Adapun lawan kata dari “kebebasan”, ialah “disiplin diri”. Disiplin diri itu sendiri, terbagi menjadi dua pendekatan, disiplin diri dengan daya paksa dari eksternal serta disiplin diri yang berangkat dari internal pribadi masing-masing individu. Disiplin diri yang dipaksakan keberlakuannya dari eksternal diri, sebagai contoh murid yang mengerjakan Pekerjaan Rumah, seorang anak yang rutin membersihkan kamarnya setiap beberapa bulan sekali, warga yang mengikuti pelatihan wajib militer, pegawai yang mengerjakan tugas pokok dan fungsinya, melaporkan realisasi usaha oleh penanam modal asing, dan lain sebagainya.

Adapun disiplin diri yang terbit atau timbul dari internal diri seorang individu, berangkat dari kesadaran pribadinya, entah karena suatu motivasi tertentu, atau karena suatu cita-cita, visi dan misi hidup, faktor minat, hobi maupun bakat, passion, obsesi, eksplorasi diri, mengejar prestasi, aktualisasi diri, menempa diri, ataupun dalam rangka mewujudkan taraf hidup yang lebih baik, termasuk kalangan “penggila kerja” (workaholic). Sebagai contoh, seorang olahragawan bergabung pada sebuah organisasi olahraga, maka dirinya melakukan “penundukan diri” terhadap disiplin yang menjadi “aturan main” organisasi bersangkutan, seperti rutinitas latihan harian, diet makanan rendah lemak dan kaya nutrisi, kebolehan dan larangan, kepatuhan pada perintah sang pelatih, jadwal bangun dan tidur, dan segala pantangan dan keharusan lainnya.

Dalam konteks “penundukan diri” ini, seseorang yang menundukkan dirinya pada disiplin diri tersebut, dapat sewaktu-waktu secara bebas menarik dirinya keluar. Seorang anak yang bersekolah pada suatu sekolah, lengkap dengan disiplin yang menjadi “aturan main” sekolah bersangkutan dan segala kerepotan “tetek-bengek”-nya, bukanlah sebentuk “penundukan diri”, karena memang suka tidak suka, mau tidak mau, tiada pilihan lain bagi sang anak (faktor paksaan orangtua yang mengatas-namakan “demi kebaikan anak”). Sama halnya, ketika seseorang kepala rumah tangga mencari nafkah sehingga menekuni suatu profesi, itu bukanlah “penundukan diri”, oleh sebab tiadanya pilihan bebas untuk “option in” dan “option out”.

Kembali pada contoh kasus olahragawan di atas, ia dapat saja berhenti dari klub olahraganya, dan memilih untuk berbisnis dengan membuka toko dan berdagang sebagai wirausahawan mikro sekalipun. Pada satu peristiwa demikian, ternyata mengandung dua disiplin diri yang saling berlainan ranah, namun berkelindan satu sama lain, yakni disiplin diri internal (penundukan diri) dengan menjadi olahragawan sebelum kemudian menarik diri darai “pendundukan diri”, serta kemudian mencari nafkah dengan membuka sebuah toko dan berdagang (disiplin diri eksternal, suka atau tidak suka dirinya perlu mencari pendapatan untuk membiayai hidup diri dan keluarganya). Karenanya, derajat antar disiplin diri, dapat demikian bias serta tipis garis pemisahnya dalam satu rangkaian waktu yang berdampingan.

Seseorang umat awam, bisa jadi dirinya membuat “pilihan bebas” lewat kesadaran serta minat pribadinya untuk bergabung dengan komunitas monastik kebhikkuan (sanggha) dengan “penundukan diri” pada “vinaya” (disiplin kebhikkhuan). Namun demikian, dirinya dapat sewaktu-waktu secara bebas “lepas jubah” dengan memilih diadakan prosesi untuk kembali menjadi umat awam. Karenanya, Suatu “penundukan diri” atau disiplin diri internal, selalu dicirikan oleh adanya “Opt. In” dan “Opt. Out”.

Derajat serupa pun dapat kita temukan gradasinya pada disiplin diri eksternal, seorang murid sekolahan dapat saja keluar dari suatu sekolah dan memilih pindah pada sekolah lain yang dinilainya lebih bermutu dan lebih egaliter, karenanya terkandung suatu derajat atau nuansa “Opt. In” dan “Opt. Out” untuk hal-hal bersifat disiplin diri eksternal. Yang cukup kurang beruntung ialah, mereka yang berasal dari latar-belakang kalangan kurang mampu (kaum papa), pilihan bebasnya menjadi serba terbatas, karena dibatasi serta terbatasi oleh faktor finansial yang serba terbatas, karenanya hanya mampu memilih sekolah bagi putera-puterinya secara apa adanya atau ala kadarnya. Begitupula seorang orang ingin memiliki asupan nutrisi yang bergizi dan bermutu, namun kaum papa memiliki pilihan yang terbatas, dari segi sandang, pangan, dan papan. Karena itulah, jangan pernah musuhi “uang”, ia dapat membantu seseorang “menebus” kebebasan—suatu hal yang positif bila digunakan untuk tujuan yang baik.

Itulah mengapa, disebutkan oleh pepatah, orang yang makmur dari segi ekonomi, lebih memiliki banyak peluang serta kebebasan dalam hidupnya—suatu pepatah yang tidak sepenuhnya keliru dan kian cukup relevan dewasa ini. Itulah juga sebabnya, terjerat oleh kemiskinan akut merupakan suatu kondisi yang membuat seseorang menjadi serba terbatas dan dibatasi oleh ketidak-mampuan finansialnya, bila tidak dapat kita sebut sebagai “bencana” kemanusiaan. Menjadi tidak mengherankan, bila orang-orang yang sukses diidentikkan dengan “kebebasan (dari segi) finansial”. Berangkat dari “kebebasan finansial”, mereka pun kemudian dapat melangkah lebih jauh, meninggalkan orang-orang yang tidak memiliki kebebasan serupa, menuju “kebebasan waktu”, “kebebasan memilih”, dan kebebasan-kebebasan lainnya yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh kalangan rakyat jelata.

Ironinya, pilar penopang dari kebebasan demikian, ialah disiplin diri—tercermin dari fakta realita, para tokoh terkenal membangun kesuksesannya bukan dari “kerja santai”, namun “kerja keras” plus “kerja cerdas”, yang artinya disiplin diri itu sendiri. Untuk sekadar “sukses”, disiplin diri eksternal sudah cukup (tuntutan “perut yang perlu diisi”). Namun untuk mencetak prestasi “sukses yang lebih gemilang” (landmark), disiplin diri internal menjadi faktor penentu sekaligus pemicu. Teori piramida Maslow, menjadi cukup relevan pula dalam konteks demikian untuk dirujuk ulang. Meski demikian, tidak pernah ada konstruksi sebaliknya, kebebasan yang melahirkan disiplin diri. Disiplin diri (selalu) menjadi pangkal dari kebebasan, namun tidak pernah terjadi sebaliknya.

Untuk memudahkan pemahaman para pembaca, penulis berikan contoh ilustrasi keseharian penulis ketika mencoba menerapkan sikap hidup yang bebas tanpa aturan dan tanpa batasan (alias tanpa disiplin diri, baik eksternal maupun internal). Apa yang kemudian terjadi, justru kontraproduktif terhadap kebaikan diri penulis pribadi. Itulah sebabnya, kebebasan yang sebebas-bebasnya, bukanlah suatu hal baik yang perlu kita obsesikan sebagai jalan hidupbila sebagai tujuan hidup, semisal agar dapat atau dalam rangka memiliki “kebebasan finansial”, adalah baik, namun bila sebagai jalan hidup adalah mencelakai diri kita sendiri, semata karena belum memiliki “kebebasan finansial” namun sudah bersikap seolah-olah bebas dari hal itu, alias tidak pada tempatnya dan tidak pula tepat pada waktunya.

Bila diantara pembaca, terdapat pribadi-pribadi yang merasa kerap tidak mampu mengendalikan diri, manajemen waktu yang buruk, pengeluaran yang tidak terkendali, pekerjaan menumpuk yang tertunda, maupun berbagai kebiasaan irasional lainnya, dimana kita merasa “loss” tiada kendali diri sehingga justru kontraproduktif dan menjadi bumerang bagi kepentingan serta kebaikan diri kita sendiri, sebagaimana juga pernah dan kerap melanda keseharian penulis, maka kita perlu “putar haluan sekarang juga sejauh apapun kita telah salah melangkah”, dengan menerapkan strategi cara atau gaya hidup dari semula “bebas-sebebasnya” menjadi “membuat aturan serta batasan bagi diri kita sendiri” (ditetapkan oleh diri kita demi kebaikan diri kita sendiri, jadilah sesosok mentor terbaik bagi diri kita sendiri).

Semisal, kita perlu menetapkan kepada atau bagi diri kita sendiri, bangun tidur tidak boleh lewat dari pukul sekian pagi, tidur malam maksimum pukul sekian malam dan tidak boleh lewat dari pukul tersebut, pengeluaran bulanan maksimal sekian rupiah, menonton acara hiburan maksimum sekian jam, membaca buku minimal sekian halaman per hari, produktif menulis karya ilmiah minimal sekian buah artikel per hari, makan maksimum sekian porsi, olahraga minimal sekian menit tiap pagi, bermeditasi sekian menit setiap hari, yang pada pokoknya membatasi dan mendorong kita untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu (aturan main yang kita bentuk untuk diri kita sendiri secara pribadi dan personal). Dengan sendirinya, kita akan mengenal gaya hidup bernama disiplin diri sebagai cara hidup baru kita, yang membuat hidup kita lebih terkontrol dan lebih terkendalikan—serta lebih sehat, lebih berdaya, dan lebih produktif sebagai efek samping positifnya (sebagai “bayaran”).

Mengejar kebebasan, sah-sah saja, bila sebagai tujuan hidup. Sebagai contohnya ialah Nibbana, suatu istilah atau penyebutan bagi “tanpa kondisi sehingga tiada lagi kelahiran kembali, kebebasan tertinggi”, merupakan tujuan hidup. Namun, harus “ditebus” dengan disiplin diri yang ketat dan berat bernama Dana-Sila-Samadhi yang tidak kenal kompromi, sebagai jalan hidup. Betul sebagai tujuan hidup, mengejar kebebasan finansial, namun hanya dapat ditempuh lewat jalan hidup berupa disiplin diri dalam kerja keras dan kerja cerdas. Bila jalan hidup adalah harga yang harus kita kerahkan, maka tujuan hidup adalah bayaran yang akan kita peroleh.

Karena itulah, landasan atau pilar dari kebebasan, adalah disiplin diri. Disiplin diri yang kokoh, maka akan terbangun bangunan monumental bernama “liberty” yang lebih ajeg dan kukuh. Semakin kokoh tiang pancang, semakin tinggi konstruksi gedung yang memungkinkan untuk kita bangun diatasnya. Menyebut-nyebut perihal kebebasan tanpa disertai syarat berupa disiplin diri, amatlah mencelakai disamping merugikan. Kebebasan adalah atau menjadi bayarannya, sementara disiplin diri menjadi harganya. Kita harus berani membayar atau menebusnya lewat disiplin diri, barulah kita berhak dan patut serta layak menikmati kebebasan. Sebaliknya, tiada pemalas yang patut memiliki dan memperoleh kebebasan, justru dijerat oleh kemiskinan dan kebodohan akut yang mematikan dan menyengsarakan, bahkan setelah usia pensiun masih tetap harus “membanting tulang” mencari nafkah, sementara itu tiada sengsara yang disebut sabagai “bebas”.

Sebagai penutup untuk melengkapi bahasan kita, yang mungkin paling kontraproduktif ialah “disiplin diri untuk disiplin diri itu sendiri”. Bila pada tipe negara egaliter, warga yang dipaksa untuk berdisiplin diri akan diganjar dengan “reward” berupa kebebasan, maka pada tipe negara yang menekankan militeristik-komun!stik, disiplin diri yang imperatif bagi rakyatnya semata untuk disiplin diri itu sendiri, tiada tawaran kebebasan apapun bagi warganya yang telah berdisiplin diri, maka itulah yang dapat kita sebut sebagai salah satu “neraka dunia” yang pernah dikenal dan dicatat dalam sejarah peradaban umat manusia.

Sama halnya serta tidak terkecuali, seorang pegawai atau anak yang telah banyak melakukan disiplin diri dalam pekerjaan ataupun tugas sekolahnya, patut mendapat “reward” berupa kebebasan finansial maupun kebebasan memilih minat disiplin ilmu yang hendak ia tekuni ataupun untuk mengisi waktu luangnya. Dengan cara yang sama, kita membangun komunitas mikro maupun makro, bahkan dunia global (global vilage) dengan jalan hidup senada, bukan untuk jalan hidup itu sendiri, namun untuk suatu tujuan hidup yang dicita-citakan secara bersama, yakni : kemerdekaan serta kebahagiaan. Hanya negara-negara yang masih terjajah, baik oleh bangsa asing maupun oleh bangsa sendiri, yang mana disiplin diri ialah demi disiplin diri itu sendiri.

Menjadi salah-kaprah, bilamana terdapat pihak-pihak yang dengan bangga menyebutkan, “born to be free”—diri yang bersangkutan akan tersiksa sendiri akibat minim atau bahkan nihil disiplin diri. Lebih baik, sebukanlah kalimat positif seperti “born to be success”, yakni lewat jalan hidup berupa disiplin diri sebagai “investasi” atau modal usaha”-nya, sebelum kemudian memetik buah manisnya yang bernama kebebasan itu sendiri sebagai tujuan hidup yang hendak diraih.

Sekali lagi, untuk menjadi sukses, kita harus berani membayar harganya, yang tidak lain ialah disiplin diri. Disiplin diri, mensyaratkan keberanian untuk mengambil sejumlah komitmen serta konsistensi, suka ataupun tidak suka, tanpa kompromi, serta tidak banyak membuat-membuat alasan. Dapat kita analogikan Dhamma dan Vinaya sebagai perahu (jalan hidup) untuk menyeberang ke tepian di seberang (tujuan hidup). Ketika kita telah tiba di tepian seberang (kebebasan), kita dapat meninggalkan perahu tersebut, tanpa perlu lagi dibebani oleh beratnya bobot perahu yang sebelumnya telah kita pergunakan untuk mengarungi luasnya samudera.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.