Mengenal Apa Itu Hak Atas Privasi (Privacy)

ARTIKEL HUKUM
Kita tentu sering mendengar istilah “privacy policy” yang kerap diterjemahkan sebagai “kebijakan privasi”. Isu tersebut menjadi sangat sensitif bahkan vital dalam lalu-lintas bisnis seperti pemberian data yang bersifat privat-personal seperti saat membuka rekening, permohonan kartu kredit, maupun saat register akun “belanja online”, hingga informasi seperti nomor kontak, alamat email, nomor KTP, nomor Kartu Keluarga, hingga alamat kediaman dan foto wajah.
Pelaku usaha yang menerapkan kebijakan privasi secara ketat, tidak akan memperjual-belikan data-data pribadi pelanggan / konsumen mereka, juga tidak akan memocorkan kepada pihak luar, tanpa seizin pemilik data pribadi. Data pribadi bersifat personal, melekat haknya pada indivitu itu sendiri semata sebagai pemilik dan penentu satu-satunya yang paling sahih atas penguasaan informasinya (the right of self determination). Itulah yang lebih tepatnya merujuk peristilahan “PRIVASI”.
Untuk memudahkan pemahaman, ilustrasi berikut dapat menjadi gambaran konkretnya. Baru-baru ini suatu pihak penerbitan buku hukum yang sudah cukup tua usianya, bernama Citra Aditya Bakti, yang sebelumnya menerbitkan buku paling pertama dari serangkaian karya tulisan penulis, secara bertubi meminta (nada kalimatnya lebih menyerupai mendesak atau bahkan memaksa) agar penulis memberikan Citra Aditya Bakti alamat-alamat email para dosen yang penulis kenal, dengan tujuan menjadi target “serangan” siber dalam rangka promosi buku-buku terbaru terbitan Citra Aditya Bakti.
Rupanya, penerbit buku hukum tersebut menggunakan cara-cara tidak etis dalam berjualan. Setidaknya terdapat dua perilaku tidak etis yang telah dilakukan oleh Citra Aditya Bakti dalam “tuntutannya” terhadap penulis untuk memberikan alamat-alamat email kalangan dosen fakultas hukum untuk dibombardir email-email milik mereka dengan pesan-pesan iklan promosi buku-buku terbitan sang penerbit. Siapa yang akan sudi diganggu tanpa diminta? Orang berakal sehat sudah akan menyadari etika bisnis mendasar demikian.
Pertama, yang menjadi tujuan, misi, atau “agenda tersembunyi” dari Citra Aditya Bakti dalam manuver bisnisnya tersebut, ialah dalam rangka membuat kalangan dosen terpikat oleh iming-iming atau tawaran tertentu entah berupa diberi buku tanpa bayar atau mendapat rabat tertentu dari buku “wajib” yang terjual pada peserta didik sang dosen, sehingga “memaksa” (secara politis) kalangan mahasiswa sang dosen untuk membeli buku wajib berupa buku-buku terbitan Citra Aditya Bakti.
Kita ketahui bersama, kalangan dosen yang menulis buku kerap menyalah-gunakan posisi dominannya dengan memaksa para siswa peserta didik untuk membeli buku tulisannya yang telah diterbitkan, dengan harga sangat mahal (tanpa diskon apapun yang mana semua diskon / rabat dari pihak penerbit akan “dimakan” sendiri oleh sang dosen), sekalipun isi bukunya kerap kali telah KADALUARSA (bahkan kerap tidak bermutu) dari segi teori maupun peraturan perundang-undangan. Bila perilaku kalangan dosennya saja demikian tidak etis, bagaimana muridnya dapat diharapkan menjadi lulusan atau sarjana hukum yang baik secara moral dan akhlak?
Dengan begitu, pihak Citra Aditya Bakti akan mencetak keuntungan besar, karena tidak perlu biaya promosi, namun angka penjualan akan mencetak angka keuntungan tinggi dengan membuat para siswa yang harus membayar mahal untuk itu. Satu panduan berikut ini dapat menjadi indikator, layak atau tidaknya seseorang disebut sebagai dosen: apakah dirinya menjual buku pada siswanya, terlebih apakah buku yang wajib dibeli sang siswa adalah buku yang ditulis oleh sang dosen itu sendiri? Dosen yang benar-benar baik dan beretika tinggi, memilih untuk memberikan salinan hand-out makalah tulisannya sendiri untuk dapat mereka fotokopi, ketimbang membeli buku.
Kedua, Citra Aditya Bakti justru meminta penulis untuk melakukan PERBUATAN MELAWAN HUKUM dengan melanggar hak privasi para kalangan dosen yang penulis kenal. Sebagai analogi perbandingan, dalam dunia e-commerce, data pribadi seperti alamat email akun anggota / pembeli, dilarang oleh etika bisnis internasional untuk diperjual-belikan terlebih disebar-luaskan secara melanggar privasi pemiliknya. Skandal Cambridge Analytica yang sempat menyeret serta Facebook terkait pencurian data privasi para pengguna akun Facebook, menjadi salah satu contohnya.
Sehingga, bagaimana mungkin pihak Citra Aditya Bakti menuntut penulis untuk melakukan sesuatu yang MELANGGAR HUKUM dengan melanggar hak-hak privasi milik orang lain? Terlebih-lebih, apa urusannya antara strategi promosi buku-buku terbitan Citra Aditya Bakti dengan pihak penulis, yang bahkan buku-buku tersebut bukan ditulis oleh penulis? Mengapa Citra Aditya Bakti memperlakukan “mantan” penulisnya menyerupai sebagai seorang “budak” dan “kriminil perampok / pencuri”?
Perilaku lancang dan tidak etis Citra Aditya Bakti membuat penulis memutuskan untuk “memutus” hubungan kerja sama penerbitan dengan Citra Aditya Bakti secara permanen, dan mulai memilih untuk menerbitkan sendiri buku-buku tulisan penulis secara mandiri. Namun, penulis sempat menantang debat pihak Citra Aditya Bakti atas permintaannya yang absurd demikian, tanpa dapat dibantah oleh Citra Aditya Bakti barang sepatah kata pun.
Pada mulanya penulis tidak memberi tanggapan. Namun kemudian Citra Aditya Bakti secara bertubi memberi “perintah” secara tidak patut demikian, sampai akhirnya harus penulis beri respon secara seketika karena penulis nilai kondisinya telah dalam taraf “darurat”. Dalam tanggapan pihak Penulis atas tuntutan tidak etis Citra Aditya Bakti demikian, penulis menyebutkan bahwa Citra Aditya Bakti telah menuntut sesuatu yang MELANGGAR HUKUM, semenara Citra Aditya Bakti sendiri adalah penerbit khusus buku-buku bertemakan hukum.
Penulis sampaikan pada yang bersangkutan, bahwa Citra Aditya Bakti ternyata melakukan cara-cara yang melanggar hukum sementara bidang usahanya adalah penerbitan buku-buku hukum. Citra Aditya Bakti sebaiknya mulai perlu membaca buku-buku hukum terbitannya sendiri untuk memahami aturan hukum perihal perlindungan hukum bagi data PRIVASI yang menjadi hak asasi setiap warga negara.
Citra Aditya Bakti ibarat “tikus yang mati di lumbung padi”, menerbitkan buku-buku bertema hukum, namun justru tidak tahu hukum atau bahkan tahu hukumnya namun tetap juga melanggarnya. Apakah bersedia, para pengurus Citra Aditya Bakti nomor kontak pribadinya atau alamat kediamannya, disebar-luaskan untuk tujuan promosi-promosi penawaran produk suatu pihak, tanpa seizin mereka?
Citra Aditya Bakti menghubungi penulis bukan untuk tujuan penerbitan, namun untuk tujuan penyalah-gunaan nomor kontak pribadi penulis, sudah merupakan bentuk nyata dari pelanggaran terhadap hak privasi penulis, yang sejak semula memberi nomor kontak pribadi penulis dalam rangka penawaran kerja sama penerbitan karya tulis penulis—bukan untuk tujuan dijadikan “perampok” terlebih “budak” dari penerbit bersangkutan.
Penulis sampaikan pula pada Citra Aditya Bakti, bahwa Citra Aditya Bakti adalah penerbit buku hukum yang telah lama eksis dan telah menerbitkan ratusan judul buku hukum berbahasa indoensia, namun Citra Aditya Bakti justru MELANGGAR HUKUM dengan melanggar hak privasi penulis maupun hak privasi orang lain, adalah sebentuk hal yang “ironis”.
Terlebih ironis adalah apabila ternyata terdapat diantara penulis-penulis dari penerbit bersangkutan yang menyanggupi kemauan ilegal dari Citra Aditya Bakti, itu adalah ironi yang lebih ironis. Bila Citra Aditya Bakti hendak melakukan manuver bisnis yang melanggar hukum, mengapa melibatkan para penulisnya (bahkan untuk buku-buku yang bukan tulisan penulis) untuk mengotori tangannya melakukan perbuatan ilegal demi kepentingan pribadi Citra Aditya Bakti?
Urusan promosi buku-buku terbaru terbitannya, adalah urusan pribadi Citra Aditya Bakti, BUKAN URUSAN PiHAK PENULIS. Untuk apa pihak penulis menerbitkan karya tulisnya pada penerbit bersangkutan, bila penulisnya masih harus dituntut untuk dipusingkan urusan promosi? Penerbit buku profesional tidak menggunakan cara-cara tidak etis demikian. Ternyata, penerbit yang sudah cukup senior dari segi umur, tidak identik dengan profesionalisme maupun dari segi standar etika berbisnis.
Pada akhirnya penulis tanpa lagi berbasa-basi karena tiada respon apapun dari pihak Citra Aditya Bakti atas “kemarahan” pihak penulis yang telah berkali-kali dilecehkan oleh Citra Aditya Bakti, penulis menyampaikan pula bahwa Citra Aditya Bakti telah menyalah-gunakan nomor kontak pribadi penulis, sehingga sejak saat itulah nomor kontak Citra Aditya Bakti akan penulis blokir karena sudah menyerupai sebentuk “TEROR / SPAM”.
Mungkin itulah sejarah pertama kalinya, seorang penulis yang memutuskan hubungan dengan suatu perusahaan penerbitan buku. Penulis tidak khawatir sekalipun sisa royalti penulis yang belum dibayarkan oleh Citra Aditya Bakti, tidak akan diserahkan pada penulis—toh, royalti penulis buku penerbitan demikian sangatlah minim sekali, lebih cenderung menguntungkan pihak penerbit semata. Skema self publishing masih jauh lebih menguntungkan pihak penulis.
Bukan kali ini saja Citra Aditya Bakti melakukan perilaku tidak etis. Pemilik dari Citra Aditya Bakti, pernah suatu waktu terlibat investasi bodong yang jatuh pailit karena tersandung “skema ponzi”—investasi bodong mana sama sekali tidak rasional, mengingat iming-iming bunga yang mencapai ratusan persen sehingga orang berakal sehat tidak akan menaruh dana pada deposito “penuh ketamakan” semacam itu (termakan oleh ketamakan sendiri). Pihak pemilik dari penerbit Citra Aditya Bakti menyalah-gunakan posisinya selaku penerbit buku pertama karya tulis penulis, dengan berulang kali menghubungi penulis untuk meminta konsultasi hukum terkait perkara kepailitan, tanpa bersedia membayar tarif SEPERAK PUN.
Ketika pada akhirnya harus penulis beri penegasan, setelah berjam-jam penulis layani dalam sesi konsultasi tanpa diberi tarif, bahwa bila yang bersangkutan hendak berkonsultasi masalah hukum lebih lanjut, maka yang bersangkutan perlu menghormati profesi penulis selaku konsultan dengan membayar tarif jasa profesi. Royalti penulis pun belum lagi dibayarkan oleh Citra Aditya Bakti, namun sang pemiliknya menuntut layanan “lebih” dari penulisnya. Ketika akhirnya penulis menyebut angka “tiga juta rupiah” untuk konsultasi masalah kepailitannya, tanpa membatasi kuota waktu konsultasi, dirinya ternyata kemudian tidak berani lagi menghubungi penulis.
Tarif yang sudah penulis patok bagi dirinya hingga serendah demikian, masih juga tidak bersedia membayar, mengindikasikan dirinya hanya bermaksud untuk mengeksploitasi profesi penulis buku-buku yang diterbitkan oleh penebit buku miliknya, tanpa pernah berniat membayar tarif jasa konsultasi SEPERAK PUN, dan sekali pun sebelumnya penulis telah berjam-jam memberi konsultasi via online bagi kepentingan diri yang bersangkutan tanpa membebani tarif jasa konsultasi.
Sang pemilik dari penerbit Citra Aditya Bakti, dengan demikian, telah menyalah-gunakan nomor kontak pribadi penulis—suatu bentuk ekses pelanggaran terhadap hak privasi milik penulis. Rupanya kali ini Citra Aditya Bakti kembali melecehkan penulisnya dengan permintaan yang sangat tidak dapat ditolerir, mengingat sifatnya yang demikian melecehkan—meminta penulis untuk melanggar hak privasi milik orang lain.
Contoh lain pelanggaran hak terhadap privasi, ialah terjadi secara masif dalam dunia lamaran kerja via online. Salah satu contoh konkretnya ialah pelanggaran ribuan hak privasi para pelamar kerja dalam “skandal Jobstreet.com dan Indobara Bahana”, dimana pelamar kerja membuat akun di website Jobstreet, meng-upload dokumen elektronik terkait curricullum vitae pribadi pelamar bersangkutan, sebelum kemudian Jobstreet menjadi penghubung dengan Indobara Bahasa selaku pemasang iklan lowongan pada website milik Jobstreet.
Ketika pelamar kerja mengajukan lamaran / submit aplikasi kepada lowongan yang dibuka oleh Indobara Bahana, Jobstreet memasok data-data digital sang pelamar. Namun apa yang kemudian tejadi? Apakah Jobstreet menjaga dan memastikan betul hak-hak privasi para pelamarnya yang memercayakan Jobstreet untuk menjaga hak-hak pribadi data milik pribadi sang pelamar yang bersifat personal?
Apa yang kemudian terjadi, sangat mengejutkan. Ribuan pelamar selama kurun waktu data lamaran tahun 2013 hingga akhir tahun 2018, dihimpun oleh Indobara Bahana TANPA DIMUSNAHKAN sekalipun para pelamar tersebut tidak dipekerjakan dan sekalipun data-data pribadi (privasi) demikian merupakan milik pribadi dan semata personal milik sang pelamar masing-masing bersangkutan (sole owner). Tiada lisensi atau izin bagi sang pemasang iklan untuk dapat terus menyimpan dan memiliki data-data pribadi pelamar, terlebih mempublikasikannya kepada publik.
Namun bukanlah itu yang paling mengejutkan. Yang paling mengejutkan ialah, ribuan data privasi berbentuk softcopy atau data digital berupa curricullum vitae berbentuk file elektronik yang sebelumnya di-submit atau dikirimkan kepada Indobara Bahana selaku pemasang iklan pada Jobstreet, dimana Jobstreet selaku perusahaan perantara menjembatani pelamar dan pemasang lowongan serta sebagai media tempat dipasangnya iklan lowongan kerja secara online, ternyata DI-PUBLISH OLEH INDOBARA BAHANA KE JEJARING DUNIA MAYA ALIAS KE DUNIA INTERNET, ALIAS DISEBAR-LUASKAN KEPADA KHALAYAK RAMAI.
Alhasil, data-data pribadi pelamar seperti tanggal lahir, alamat rumah, nomor KTP, nomor NPWP, tempat kelahiran, status, nomor kontak, alamat email, nomor telepon, hingga data-data pribadi lainnya, menjadi dapat diakses jutaan bahkan miliaran pengguna internet dari seluruh penjuru dunia! Itulah skandal pelanggaran hak privasi yang paling masif dan paling akbar yang pernah terjadi dalam sejarah dunia digital di Indonesia.
Jobstreet gagal dan lalai memastikan keselamatan data-data pribadi para pelamarnya yang menaruh kepercayaan pada server milik Jobstreet. Sementara Indobara Bahana mengimpan tanpa izin data-data pribadi pelamar pada server perusahaannya yang ternyata di-link ke dunia maya sehingga semua orang dapat mengakses data-data pribadi orang lain yang dahulu menjadi pihak pelamar lowongan pekerjaan. Dari segi ilmu pengetahuan IT, hal demikian merupakan bentuk konkret “KESENGAJAAN”, bukan suatu kelalaian, oleh sebab tidak lazim data yang sedemikian sensitif disimpan pada satu server yang sama dengan server yang terhubung ke dunia maya secara global (internet) dan membiarkan mesin penjelajah meng-crawl data-data tersebut sehingga ter-index dalam database internet lintas batas dan lintas negara.
Sekalipun kini Indobara Bahana telah memindahkan data-data yang dhimpun dan disimpan secara ilegal demikian dari server-nya yang terhubung ke internet, dan masih dicurigai / ditengarai tetap dikuasai data-data demikian secara ilegal (menyimpan sebagai data milik tanpa izin pemilik data privasi), namun tetap saja data-data pribadi para pelamar telah (sempat) tersebar luas di dunia maya yang mungkin saja telah jutaan orang mengakses data-data privasi yang tidak semestinya diketahui oleh publik karena data privasi pribadi milik pelamar hanya di-submit oleh pelamar UNTUK TUJUAN MELAMAR, BUKAN UNTUK TUJUAN DISIMPAN TERLEBIH DI-PUBLISH DI INTERNET. Bukan karena di-bobol atau terbobol oleh hacker, namun pihak PT. INDOBARA BAHANA itu sendiri yang karena sengaja atau lalai (tidak menghargai) untuk melindungi data-data pribadi masyarakat pelamar kerja (bahkan data-data pelamar yang bertahun-tahun lalu melamar dan tidak diterima bekerja tetap dikuasai dan dipublikasikan secara ilegal) sehingga data-data pribadi ribuan orang tersebar luas di jagat maya.
Jobstreet.com merupakan perusahaan yang tidak mengusung Kebijakan Privasi demi kepentingan perlindungan data-data pribadi para pelamarnya—suatu kesalahan fatal yang bahkan melepas tangan begitu saja ketika mendapati beberapa kali dibobolnya sistem server milik Jobstreet sebagaimana pernah diberitakan beberapa tahun lampau.
Tampaknya Jobstreet terlampau menyepelekan data-data privasi yang menjadi hak milik pribagi para pelamarnya (sole owner) yang bersifat personal, sehingga melamar kerja secara online melalui jejaring situs Jobstreet.com maupun sister company-nya, JobsDB.com (keduanya satu grub usaha, dimiliki beneficial owner yang sama), bukanlah suatu langkah bijak bila Anda selaku pelamar mencoba untuk mulai menghargai hak-hak privasi Anda sendiri dengan tidak lagi melakukan lamaran kerja lewat online baik sistem website maupun pengiriman aplikasi lamaran kerja lewat email tanpa ada jaminan garansi oleh pembuka lowongan untuk menjaga kerahasiaan privasi pelamar serta jaminan untuk memusnahkan data-data privasi pelamar yang tidak dinyatakan lolos seleksi rekruitmen.
PT. JobsDB Indonesia berdasarkan instruksi holding company-nya di Hongkong, bahkan melakukan praktik bisnis yang lebih “nakal”, yakni modus transfer pricing (profit shifting) ke Hongkong yang merugikan Negara Indonesia sehingga pembukuan keuangannya dilaporkan selalu mencetak rugi demi kerugian setiap tahunnya—mengakibatkan Kantor Pajak Indonesia tidak dapat menarik pajak dari badan hukum tersebut secara optimal.
Kita sering mendapati pesan-pesan berisi penawaran produk dari pihak yang tidak kita kenal, dan bertanya-tanya, dapat dari manakah pihak tersebut alamat email maupun nomor kontak pribadi kita, bahkan hingga alamat kediaman kita? Privasi, memberikan kita perlindungan untuk tidak diganggu ketenangan dan kedamaian hidup masing-masing warga negara, sebagai sebentuk hak asasi.
Kebijakan Privasi melindungi para pemilik data pribadi tersebut dari gangguan-gangguan yang bersifat tidak diizinkan dan tidak dikehendaki oleh si pemilik data untuk masuk dan mengaksesnya, entah itu alamat kediaman, nomor telepon, alamat email, maupun data-data pribadi lainnya yang bersifat privat-personal dan sensitif KARENA RENTAN DISALAH-GUNAKAN PIHAK-PIHAK YANG TIDAK BERTANGGUNG-JAWAB. Dengan kata lain, Kebijakan Privasi mencegah terjadinya penyalah-gunaan. Hak atas privasi juga memberi hak prerogatif sang pribadi pemilik data personal tersebut, untuk sewaktu-waktu melakukan self determination berupa menghapus atau memberi perintah untuk menghapus dan memusnahkan data-data pribadi yang sebelumnya pernah ia berikan, agar tidak disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang mungkin saja dikemudian hari akan bersikap tidak bertanggung-jawab dengan bertentangan dengan kepentingan pribadi sang pemilik data privasi personal demikian.
Untuk menyimak lebih jauh investasi penulis terhadap “Skandal Jobstreet—Indobara Bahana ala Cambrige Analitica”, lihat ulasan selengkapnya dalam bahaya melamar kerja lewat online, dimana penulis berhasil mengungkap modus dimana ribuan pelamar dilanggar hak-hak privasinya secara demikian masif dan berbahaya bagi keselamatan para pelamarnya. Tersebar-luasnya data-data pribadi milik pelamarnya, merupakan bukti Jobstreet tidak menerapkan standar SOP yang tegas bagi perlindungan dan keselamatan pelamar selaku pengguna jasanya yang telah menaruh kepercayaan untuk men-submit data-data pribadi mereka kepada Jobstreet, yang ternyata kemudian disalah-gunakan oleh PT. INDOBARA BAHANA.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.