Hukum Negara : Dimana Bumi Dipijak, di Situlah Langit Dijunjung

ARTIKEL HUKUM
Kita mungkin sering atau pernah mendengar istilah seperti Hukum Agama Syariat Islam, Hukum Agama Kristen, dan Hukum Agama Hindu. Banyak yang meyakini, Agama Buddha tidak memiliki hukum agama sama sekali. Benarkah pandangan demikian seperti yang banyak disebut-sebut oleh pihak yang ironisnya sama sekali tidak pernah mendalami ajaran Sang Buddha? Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba meluruskan salah-kaprah yang kerap terjadi di tengah masyarakat kita.
Bila kita mengupas berbagai ulasan dalam Tripitaka yang dihimpun selama 40 tahun Sang Buddha (Guru Agung dari para dewa dan manusia) membabarkan Dharma, kita justru menemukan banyak sekali uraian tentang hukum, dimulai dari hukum karma, hukum alam, hukum moralitas, hingga hukum negara. Penulis akan kupas satu per satu secara singkat dan sederhana saja, namun diupayakan tanpa mereduksi esensinya.
Tidak ada ajaran agama yang demikian mampu merangkul sekaligus mengakomodasi kemajemukan serta toleransi antar umat beragama, selain Buddhisme. Dalam bahasan sebelumnya, penulis sempat mengurai perihal “Moralitas Melampaui Norma Hukum”, dimana pada kesempatan tersebut penulis telah mengurai secara gamblang betapa Norma Hukum Negara ternyata masih kalah “sakti” dan kalah “efektif” bila dibanding dengan “hukum / norma moral”.
Buddhistik mengusung tipe negara sekuler, menentang keras tipe negara berbasis agama yang dapat menjadi rezim diktatoriat penindasan terhadap kaum minoritas terlebih berpotensi menghapus toleransi kemajemukan serta kebhinekaan yang merupakan warisan leluhur kita. Bangsa yang hebat selalu mampu menghargai sejarah dan budayanya.
Hukum Agama haruslah sebuah pilihan semata (yang artinya dapat ditolak dan tidak diikuti secara bebas), bukan suatu yang bersifat imperatif dipaksakan, karena kebebasan beragama dan memeluk keyakinan, adalah hal yang tidak dapat ditawar-tawar dalam ajaran Buddhistik yang sarat harmoni terhadap alam maupun kemajemukan sosial bermasyarakat. Menjadi ateis atau mengkritisi ajaran Sang Buddha pun bukan merupakan “dosa” ataupun kejahatan yang harus diberangus, dalam pandangan Sang Buddha—bahkan Sang Buddha itu sendiri yang mengundang agar ajarannya tidak dipercayai mentah-mentah dan jika perlu dikritisi.
Hukum Agama adalah sebuah pilihan, dalam arti tiada larangan ataupun kewajiban yang berlaku umum terhadap publik luas, namun semata diikuti lewat penundukan diri yang penuh kebebasan memilih setiap masing-masing individu. Sebagai contoh, Hukum Agama Buddhisme tentang Uposatha, latihan puasa yang hanya makan dari tempo waktu terbitnya matahari hingga matahari tepat berada di atas kepala kita (dalam tempo 6 jam tersebut diperkanankan makan, selebihnya selama 18 jam tidak lagi makan), selebihnya tidak mengkonsumsi makanan apapun hingga keesokan paginya kembali. Hal demikian tidaklah dipaksakan sifatnya, namun fakultatif bagi yang ingin menjalankannya saja semata. Tidak ada hukuman bagi yang tidak menghendaki latihan Uposatha.
Begitupula aturan Kebhikkhuan (Vinaya), berisi lebih dari dua ratus Sila yang kekat dan berat, namun itu pun hanya diberlakukan terhadap mereka yang menundukkan diri ke dalam komunitas Sanggha (persamuan para bhikkhu). Begitu pun Pancasila Buddhis, yang menekankan faktor tekad untuk melatih diri tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berkata dusta, tidak melakukan perilaku asusila, dan tidak mengkonsumsi zat yang dapat melemahkan kesadaran—semua bersifat tekad “untuk tidak”, alias latihan. Bukan Sang Buddha yang akan memberi hadiah ataupun hukuman bagi yang melanggar, semua Sila tersebut merupakan panduan / pedoman bagi kebaikan si pelaku latihan itu sendiri, menyerupai Kode Etik profesi.
Lain ladang, lain belalang. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Buddhisme sangat mengakomodasi dan menghargai prinsip universal tersebut, oleh karena itulah agama tidak pernah boleh ikut campur masalah politik dan hukum negara, agar agama tidak menjadi komoditas untuk dipolitisir. Agama adalah agama, politik adalah politik, dan hukum adalah hukum. Bersih dari anasir apapun, tepat dan persis seperti yang diidealkan oleh Hans Kelsen lewat teori “Hukum Murni” beliau yang termasyur dan telah menjadi maskot / legenda ilmu hukum kelas dunia—terlepas dari segala kontroversinya yang namun para pengkritiknya tidak mampu menawarkan konsep hukum yang lebih elaboratif.
Dimana pun kita berpijak, kita berada dalam satu semesta yang sama, maka kita semua tunduk pada Hukum Karma—tanpa dapat ditoleransi barang setitik pun, hukum karma adalah hukum yang sangat ketat dan keras, tidak dapat disuap ataupun dihapus, tidak kenal kompromi, dan eksekusinya berjalan secara otomatis tanpa perintah. Dan, ketika kita berada dalam satu ladang, maka kita tunduk pada Hukum Negara masing-masing negara.
Tidak ada “belalang” yang perlu diseragamkan untuk setiap “ladang” yang sudah beragam sebagai kodratnya dari sejak semula penciptaan semesta dan segala isinya ini. Masing-masing memiliki keunikan serta keindahannya sendiri, saling mengisi dan melengkapi, menjadi warna pelangi.
Menyeragamkan hanya akan merusak harmoni. Upaya penyeragaman lewat ancaman atau kekerasan merupakan suatu pandangan picik yang berbahaya bagi kebhinekaan yang telah ditetapkan para founding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika penyeragaman diwajibkan di negara ini semata karena mereka mayoritas (sehingga memiliki kekuaatan daya tekan, power yang “tends to corrupt”), maka di negara lain dimana mereka justru sebaliknya hanyalah minoritas, mereka sama sekali tidak berhak untuk minta toleransi beragama dengan mengatasnamakan kemajemukan. Tidak boleh diberlakuakn standar ganda dalam hal sesensitif ini.
Negara yang menghargai kemajemukan adalah negara yang ramah terhadap penghuninya, sekaligus menjadi aset bagi pembangunan negeri itu sendiri. Negara yang tidak menghargai dan tidak mengakui kemajemukan, akan menjadi negara terbelakang yang “tandus”—secara sendirinya akan ditinggalkan dan dikucilkan pergaulan internasional, bahkan tidak direstui oleh penduduknya sendiri yang minoritas.
Hukum Alam pun bahkan tidak seragam sepenuhnya. Antara iklim di Kutub Utara dan di Khatulistiwa, tidaklah sama, maka musimnya pun berbeda antara negara tropis, subtropik, dan arktik. Begitupula budaya adat istiadat, saling beragam, yang kesemua itu bukanlah musuh dalam Buddhisme yang seolah perlu diperangi terlebih dimusnahkan dan dijadikan semua serba seragam, lewat pemaksaan, serangai bilah pedang, atau pertumpahan darah jika perlu. Kemajemukan adalah kekayaan sekaligus keindahan, dalam pandangan Buddhistik.
Agama tidak perlu mengurusi Hukum Negara ataupun Hukum Privat warga negaranya, sama seperti agama tidak perlu intervensi para ilmuan sains dan ilmiah, karena dengan sendirinya para ilmuan dan ahli hukum negara akan lahir secara pastinya untuk membentuk Hukum Negara dan ilmu pengetahuan sains yang ideal sesuai kondisi negara “ladang” mereka masing-masing. Itulah yang kemudian membuat Albert Einstein memberi apresiasi sedalam-dalamnya bagi Buddhistik sebagai “agama masa depan”, karena kontribusinya memberi kesempatan besar bagi para peneliti dan ilmuan untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan tanpa didikte sesuatu yang mengatasnamakan agama.
Dengan mengatasnamakan agama, seolah semua menjadi “sahih”, itu merupakan ancaman terbesar dari tipe “negara berbasis agama”, yang jarang dipahami masyarakat kita. Agama adalah dan harus hanya menjadi urusan pribadi masing-masing individu, privat dan privasi sifatnya. Kita tidaklah dapat dengan piciknya menyatakan agama kita pribadi, untuk menjadi alat penekan atau alat penindas bagi mereka yang berlainan keyakinan, seolah hanya kita pribadi yang paling berhak beragama.
Sebaliknya, jika kita mencoba keluar dari jalur negara tipe sekuler, maka yang tampil ialah negara berbasis agama. Negara berbasis agama, sama artinya membuka peluang besar politisisasi agama, dan ketika agama dipolitisir (dijadikan komoditas “seksi” politikus-“tik-us”), maka itu sama artinya akan mencoreng wajah agama itu sendiri. Tampaknya Sang Buddha sudah mampu meramalkan, suatu ketika lahir seorang Lord Acton yang kemudian melontarkan pernyataan klasik terkenalnya itu: “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely!
Jangan pernah jadikan Hukum Agama sebagai hal yang absolut, lihat sendiri apa yang telah terjadi sekarang-sekarang ini, bangsa itu sendiri yang menjadi korbannya, dengan mudahnya umat “disetir” dan agama dijadikan “papan percaturan” perebutan kekuasaan. Bahkan “perang saudara” dengan sama-sama saling menggunakan panji “agama” yang sama, sangat disayangkan. Melawan atau menentang si tokoh agama (in casu politikus), dipandang dan dimaknai sama dengan mencoba melawan agama yang dikenakannya (seperti pakaian atau jubah tameng saja)—padahal sama sekali tidak ada korelasi sangkut-pautnya. Sedikit-sedikit, menyerupakan STOP KRIMINALISASI PEMUKA AGAMA “X”!!! Padahal apa hubungannya?
Tampaknya, Sang Buddha lebih memilih untuk menjadikan agama Buddha sebagai basis ajaran Norma Moral semata. Contoh sederhana berikut mungkin cukup mewakili sebagai simbolik statement demikian. Beberapa ratus atau ribuan tahun lampau, hampir tidak ditemukan aturan hukum yang sedemikian menjelma “hutan rimba” seperti sekarang ini. kebanyakan hanya norma-norma adat dan sosial yang bersifat moralitas semata.
Namun pernahkah kita tanyakan pada diri kita, mengapa keadaan saat kini, dikala aturan hukum pidana dan hukum perdata ataupun hukum tata negara menjelma demikian “menggurita”, justru kejahatan dan peperangan terjadi semakin masif dan semakin luar biasa, sampai-sampai konon berbagai penjara pun telah penuh sesak tidak sanggup menampung para kriminil baru? Mengapa dicetaknya aturan hukum baru tampak seolah seperti berkejaran dengan “pencetakan” para kriminil baru?
Dalam Buddhisme, berinvestasi perhatian kita semata pada penguatan Hukum Negara adalah hal yang membuang waktu dan akan membuat frustasi sepanjang tiada pengukuhan terhadap Norma Moralitas yang mana menjadi pengawas sekaligus penegak normanya ialah diri kita sendiri, bukan orang lain sebagai hakim ataupun eksekutornya.
Akhir kata, hanya neraka yang membutuhkan segudang aturan bagi penghuninya yang memang butuh diatur oleh pihak lain karena tidak mampu mengontrol perilaku dirinya sendiri. Sebaliknya, alam surga, tidak terlampau membutuhkan banyak aturan, mungkin aturan tertulis pun tidak lagi dibutuhkan di tempat semacam surga.
Semakin banyak aturan diproduksi dan direproduksi, justru merupakan cerminan / indikator nyata, sedang rusak / sakitnya Norma Moral bangsa di negara bersangkutan. Ketika anggota parlemen dan regulator kita berbangga diri telah mencetak ribuan aturan baru setiap tahunnya, melakukan press release dengan gegap-gempita, penulis justru merasa miris dan sekaligus prihatin. Aturan “konyol” apa lagi kini? Sungguh penghamburan waktu.
Mau sampai kapan kita berinvestasi pada usaha tiada guna demikian? Belum cukup banyakkah aturan-aturan hukum tertulis itu yang kini menjerat dan mencekik leher kita sehingga untuk bernafas bebas pun menjadi demikian sukar? Jangankan Anda yang orang awam hukum, penulis sendiri yang menghabiskan waktu untuk riset regulasi hukum, tidak sanggup menelan semua aturan hukum negara itu.
Mengapa untuk kemana-mana, kita harus dibebani, memikul, dan menenteng segudang aturan Hukum Negara demikian, belum lagi ditambah Hukum Agama, atau bahkan menjelma sebagai “polisi agama” yang seolah berhak menghakimi warga negara lain yang belum tentu memiliki keyakinan yang sama?
Dalam Buddhisme, kita cukup berjalan ringan dengan bekal Norma Moral, tidak kurang tidak lebih, itu saja sudah lebih cukup. Kita sendiri yang menjadi penegaknya, diri kita sendiri selaku pengawasnya, dan diri kita sendiri pula yang dilatih sebagai penerap disiplin dan inspekturnya. Masing-masing belajar untuk bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Adakah yang lebih indah daripada menjadi manusia dan pribadi yang berdaya?
Dunia yang ideal bukanlah dunia dengan “seabrek” aturan, namun dunia yang dapat membuat kita semua bernafas dengan lega penuh kebebasan dengan saling “berbagi ruang”. Tanpa penjara yang bernama, “norma agama” yang kadang terlihat diktator, radikal, cenderung menghakimi orang lain, dan bahkan intoleran jika dapat kita sebut demikian. Padahal, sebagaimana telah kita ketahui, agama adalah apa yang berhubungan dengan internal hati (“ranah privat”) kita pribadi masing-masing, bukan orang lain yang menjadi hakim dan eksekutor untuk perilaku kita sendiri.
Akhir kata, bila terdapat penafsiran ajaran Buddhistik, yang bila ternyata melenceng dari konteksnya, maka itu adalah kesalahan pribadi penulis, bukan tanggung-jawab dari Sang Buddha, dan penulis dengan penuh kerendahan hati akan sepenuhnya disertai tangan terbuka menerima kritik-kritik terkait hal tersebut, serta memikul tanggung-jawab demikian atas opini pribadi ini. Bila Anda tidak memiliki sebentuk kerendahan hati untuk mengakui hak masing-masing individu untuk memiliki apa yang mereka yakini, maka setidaknya Anda tidak menjadi hakim terlebih eksekutor bagi warga negara lainnya atas apa yang mereka pilih dan yakini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.