ARTIKEL HUKUM
Banyak yang berpendapat, terutama para Sarjana Hukum klasik, bahwa seolah-olah norma hukum merupakan norma tertinggi di suatu komunitas bangsa beradab. Benarkah demikian? Kini saatnya konsepsi yang telah lama usang tersebut patut dipertanyakan, jika perlu digugat, karena terbukti tidak efektif dan tidak memajukan watak hidup bermasyarakat warga negaranya.
Bahkan terkadang, norma sosial masih lebih efektif ketimbang norma hukum. Koruptor terus lahir tak terbendung, karena memang sanksi sosial masyarakat kurang memadai dalam realitanya, sebagaimana banyak diantara tetangga di kediaman penulis, yang ternyata para tetangga tersebut merupakan koruptor namun tidak ada kritikan dari warga sekitar—ada lurah yang menyalahgunakan aset Pemda, ada anggota polisi yang tidak pernah berdinas namun selalu di rumah seperti ayam yang mengerami telurnya tetapi setiap bulannya selalu menerima gaji dari negara, dan masih banyak lagi. Semua tetangga mengetahui, namun tetap saja dihormati dan disegani, alih-alih dikucilkan secara sosial.
Merancang dan mengesahkan undang-undang sebanyak apapun, tidak akan pernah cukup dan implementasinya lebih jauh ironis lagi di tengah budaya hukum negeri Indonesia yang masih “tebang pilih” dan diwarnai aksi kolusi “pilih kasih”. Kerap terjadi, substansi pengaturan dalam undang-undang demikian ideal dan bagus, membuat warga berdecak kagum, namun soal penerapannya bagai “macan ompong” (alias PHP, pemberi harapan palsu) karena tiadanya keseriusan aparatur penegak hukum itu sendiri yang mulutnya terlampau besar minta “disuap”.
Jika memang norma hukum demikian “sakti” dan “sakral”, maka mengapa pelanggaran terhadap norma hukum disaat bersamaan demikian masif sampai-sampai otoritas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan Negara (Rutan) di seluruh daerah di Indonesia, mengklaim bahwa jumlah nrapidana di Indonesia telah overload yang tidak lagi sanggup tertampung oleh kapasitas ruang penjara, sehingga bahkan dipaksakan kebijakan “obral” remisi agar narapidana baru “mendapat” jatah pada sel-nya di balik jeruji?
Aturan sila kebhikkhuan, yang dalam terminologi Buddhisme disebut sebagai Vinaya, terdiri dari ratusan aturan bagi mereka yang memilih untuk menjalani hidup monastik sebagai seorang biarawan dan biarawati Buddhist. Dalam Vinaya Pitaka pernah dijelaskan, pada mulanya tidak ada aturan Kebhikkuan tersebut yang diatur oleh Sang Buddha. Namun seiring waktu, mulai terjadi pelanggaran moralitas oleh mereka yang telah memakai jubah Bhikkhu.
Sedikit demi sedikit, jumlah Sila dalam Vinaya mencapai hampir 300 sila. Mengapa hal tersebut sampai dapat terjadi? Sang Buddha kemudian menerangkan, bahwa tanpa moralitas, pengaturan Sila sebanyak apapun tidak akan ada habisnya. Dengan moralitas yang baik, tiada Sila apapun yang perlu dibuat pengaturannya dalam Vinaya.
Dari keterangan tersebut saja, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa banyaknya pengaturan dan aturan, merupakan “akibat” dari bobroknya moralitas subjek yang diatur—bukan sebagai “sebab”. Moralitas yang rendah, dangkal, bahkan sakit dan rusak, maka pengaturan dan aturan se-produktif apapun dibentuk dan dicetak mengisi kertas buku kumpulan undang-undang, tidak akan pernah cukup memadai.
Lihatlah, kini aturan hukum di Negara Indonesia telah menjelma “hutan rimba belantara”, sehingga tiada lagi satu pun Sarjana Hukum yang tahu semua isi aturan hukum—sehingga adagium “semua orang dianggap tahu hukum” menjadi suatu “senjata makan tuan” menyerupai sindrom lupus yang menyerang antibodi tubuh sendiri.
Dalam Buddhisme, sebagai perbandingan dengan hukum negara, terdapat hal yang lebih tinggi daripada Vinaya, yakni dua panduan moralitas berikut, yakni: “takut akan buah karma buruk akibat berbuat jahat” (hiri) dan “malu atas perbuatan yang buruk dan tidak patut” (ottapa). Seorang bhikkhu sejatinya tidak harus menghafal ratusan Sila dalam Vinaya Pitaka, namun cukuplah bagi dirinya untuk benar-benar memerhatikan kedua aspek moralitas paling mendasar: hiri dan ottapa—takut berbuat jahat dan malu untuk berbuat jahat.
Kini, mari kita lihat implementasinya. Dua orang anak dipergoki penulis sedang mencuri buah dari pohon buah di kediaman penulis, seketika dirinya kabur mengambil “langkah seribu” secepat kilat meninggalkan TKP (tempat kejadian perkara). Dirinya “takut” akan hukuman atas perbuatan buruk mereka (akibat), namun dirinya tidak “malu” ketika melakukan perbuatan buruk yang tercela.
Yang luar biasa, ialah kejadian berikut ini. Di waktu yang lain, seorang dewasa dengan menggunakan galah, di siang “bolong”, di tengah jalan, tepat di depan kediaman penulis, penulis pergoki dirinya sedang mencuri buah dari pohon buah milik keluarga penulis. Apa yang kemudian terjadi, meski dirinya mendapat teguran, namun gaibnya si pencuri ini tanpa rasa malu ataupun bersalah, dan tapa rasa takut apapun, tetap asyik dengan sibuknya melanjurkan aksinya mencuri dengan demikian tenang dan bebasnya seolah itu rumah dan pohon miliknya—padahal dirinya memiliki pekerjaan dan memiliki upah dari pekerjaannya namun masih juga mencuri buah yang tidak seberapa harganya.
Aneh tapi nyata! Itulah contoh sekaligus cerminan nyata manusia yang “sudah putus urat malu-nya”, dan disaat bersamaan “bermain api” serta “tidak takut terjerumus ke neraka”, demikian bangga menggali “lubang kubur sendiri” dengan menanam berbagai karma buruk. Semurah itukah harga diri dan nilai moralitas digadaikan hanya demi sebutir buah yang tidak seberapa harganya, artinya dirinya mengobral murah harkat dan martabatnya sendiri. Secara tidak langsung, dirinya telah merendahkan harkat umat manusia secara keseluruhan.
Sikap “malu”, sangat terkait dengan faktor moril yang paling terdalam dari sanubari seorang manusia. Ada atau tidak ada orang yang melihat perbuatan dan sikapnya, seseorang yang “tahu malu” tidak akan melakukan perbuatan tercela yang dapat dicela oleh para bijaksana. Pernah suatu ketika, penulis mengambil sebuah gelang karet ketika membeli sesuatu dari sebuah warung tanpa seizin maupun sepengetahuan pemilik warung. Ah, hanya sebuah gelang karet murahan, penulis membatin.
Beberapa waktu kemudian, bukan merasa senang karena merasa beruntung bisa memiliki sesuatu secara “mencuri” demikian, tetap saja penulis terusik oleh “suara / kata hati” agar penulis mengembalikan sebuah gelang karet yang harganya tidak sampai seratus rupiah demikian. Semalaman itu pula penulis tidak dapat tidur. Tidak ada alasan yang dapat ditolerir oleh suara hati kita yang terdalam, sekecil apapun perbuatan tercela tersebut—kecuali kita telah membunuh kata hati kita sendiri sehingga menjadi bungkam untuk selamanya, atau bahkan menghianati kata hati kita sendiri.
Sekalipun bila si pemilik warung memiliki kamera pengintai dan menangkap basah perbuatan penulis yang mencuri sebuah kareng gelang, toh tetap saja laporan pidana tidak akan ditindak-lanjuti pihak berwajib, bahkan hakim mungkin juga akan geleng-geleng kepala dan “menutup mata”, atau kita dapat menghibur dengan menipu diri bahwa si pemilik warung juga tidak akan berkeberatan dan dengan senang hati akan memaafkan kita. Tapi apa yang membuat penulis merasa demikian tersiksa dan bersalah, sehingga ada dorongan kuat untuk mengembalikan benda “terkutuk” murahan tersebut? Anda sendiri tahu jawabannya.
Tidak kurang jumlah orang-orang cerdas dan terdidik di Indonesia. Namun, Indonesia selalu kekurangan orang-orang yang “tahu malu”. Jangankan “tahu malu”, takut akan akibat pelanggaran saja mereka dengan mudahnya melakukan pelanggaran demi pelanggaran dengan berbangga hati.
Betapa tidak, semua pembaca website ini, baik orang dewasa maupun masih kanak-kanak, sadar dan tahu bahwa penulis mencari nafkah dari jasa tanya-jawab seputar hukum (konsultasi)—namanya saja sudah KONSULTAN HUKUM—namun tetap saja ribuan diantara mereka melanggar peringatan di website ini, menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis (yang jelas tidak bersedia diganggu oleh seorang pelanggar), hingga dengan lancang melecehkan dan “memperkosa” profesi penulis seolah penulis penulis tidak berhak untuk mencari nafkah, dan seolah hanya mereka sendiri yang berhak untuk “makan nasi”, meski masalah hukum para “pengemis” yang mendadak miskin tersebut adalah perihal sengketa tanah dan bisnis yang tidak sedikit nilai nominalnya, namun tidak bersedia membayar imbalan jasa sebagai kompensasi layanan SEPERAK PUN. Luar biasa, diluar biasa atau memang sudah jadi kebiasaan bangsa ini? Anda sendiri yang lebih tahu.
Sudah demikian tegas ditegaskan dalam peringatan di website ini, pelanggar yang menyalah-gunakan dan berani dengan lancang “memperkosa” profesi penulis akan dikenakan sanksi BLACKLIST dengan ID para pelanggar tersebut di-publish dalam Laman BLACKLIST pada website ini, akan tetapi senyatanya kemudian terbukti bahwa ribuan orang telah dikenakan sanksi tersebut tidak membawa efek berkurangnya para pelanggar yang setiap harinya terus bermunculan para pelanggar baru demi pelanggar baru, seakan tiada akhir, sampai akhirnya penulis harus terpaksa menyembunyikan nomor kontak dan alamat email kerja penulis dari website komersiel profesi milik penulis ini sendiri.
Mereka, para pelanggar tersebut, tidak merasa malu bersikap imoral dan tidak juga merasa takut akan akibatnya, sungguh tidak dapat dipahami oleh orang berakal sehat. Mungkin karena memang sebagian rakyat dari bangsa ini, telah sudah sakit kronis mentalnya. Menyuruh penulis untuk “makan batu”, disaat bersamaan mengharap “selamat” dan meminta “dilayani” atas masalah hukum yang menyerupai sampah busuk miliknya? Hanya orang gila yang punya asumsi demikian, namun ternyata banyak sekali orang gila-orang gila “berdasi” demikian di neger ini seperti telah penulis buktikan sendiri.
Seorang pengemis tidak pernah memiliki masalah hukum, terlebih masalah aset tanah ataupun masalah ketenagakerjaan. Seorang pengemis tidak mencuri mangga untuk mengganjal perut yang kelaparan. Seorang pengemis tidak mencari makan dengan merampok nasi dari piring profesi orang lain yang juga sedang mencari nafkah. Jelaslah, para pelanggar dan pencuri tersebut adalah LEBIH HINA DARIPADA PENGEMIS. Mereka dengan sikap dangkal mereka yang membuat martabat mereka lebih rendah daripada seorang Tuna Wisma sekalipun.
Bangsa dengan mental yang buruk, layak dan sudah sepatutnya mendapat pimpinan negara yang bermental tidak kalah buruknya. Ketika moralitas suatu bangsa dan negara telah baik dan tertata secara utuh, maka pemimpin yang sejati akan muncul dan tampil secara sendirinya. Ketika murid siap, guru akan tampil dan siap untuk mengajar dengan sendirinya. Rakyat dengan moraltias yang rusak, sebanyak apapun aturan untuk mengatur sikap dan perilaku mereka, tidak akan pernah ada banyak faedahnya, semua bagai “tambal-sulam”.
Demikian masifnya peraturan perundang-undangan, merupakan efek “puncak gunung es” kegagalan sendi pendidikan karakter dan sendi agama dalam memanusiakan manusia di Bumi Pertiwi ini. Pada akhirnya, semua beban dan tanggung-jawab tersebut dibebankan kepada pundak para Sarjana Hukum yang selalu tertatih-tatih tertinggal dibelakang kenyataan yang hendak diatur olehnya.
Mengapa kita tidak mulai dengan pendekatan serta strategi baru, yakni mengajak masyarakat untuk menumbuhkan budaya “hiri” dan “ottapa”? Semata patuh terhadap norma hukum, merupakan kepatuhan “kering” tanpa makna, yang akan tetap dilanggar bila tiada aparat penegak hukum yang mengawasi ataupun mudah untuk di-“suap” dengan kapasitas perutnya yang seakan tidak akan pernah kenyang dan penuh—terlebih bila modus baru tersebut belum terdapat pengaturan spesifik tegasnya.
Telah ternyata, sebagian dari masyarakat Indonesia (tanpa bermaksud melebih-lebihkan) lebih memilih untuk bersikap malu menjadi orang miskin tanpa mobil dan gadget mewah, ketimbang bersikap malu menjadi koruptor dan pencuri. Menjadi miskin, bukanlah sebuah dosa. Mengingkari kemiskinan dengan merampok nasi dari piring orang lain, itulah dosa yang memalukan—terlebih bila merampok nasi dari orang lain yang jauh lebih miskin daripada dirinya yang dikuasai ketamakan tak berkesudahan, hingga sampai-sampai tidak punya lagi rasa malu ketika melihat wajahnya di cermin.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.