Aturan Hukum Blokir & Sita Tanah Kantor Pertanahan / BPN

LEGAL OPINION
BLOKIR & SITA TERHADAP TANAH, MAKSIMAL 1 KALI
Question: Apa benar, terhadap satu bidang tanah, hanya boleh diajukan blokir sebanyak satu kali?
Brief Answer: Hal pertama yang perlu SHIETRA & PARTNERS luruskan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah secara salah-kaprah memaknai segala “catatan status quo” sebagai “blokir”, meski menurut Hukum Acara Perdata yang disebut dengan “blokir” (berkonotasi “permanen” dan mengandung praduga bersalah”, yang mana baru akan gugur bila dikemudian hari penetapan sita dicabut oleh pengadilan), hanyalah sita jaminan perdata maupun sita pidana.
Yang menjadi payung hukum terbitnya peraturan BPN terkait “blokir”, ialah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mana Peraturan Pemerintah tersebut bahkan tidak menyebut-nyebut dan tidak pernah mengenal istilah “blokir”—akan tetapi hanya sebatas memakai istilah “catatan” untuk setiap permohonan status quo maupun sita terhadap objek hak atas tanah, yang dalam Peraturan BPN tahun 2017 tentang Blokir secara overlaping mengintroduksi peristilahan “catatan blokir”.
Alhasil, bahkan pihak ketiga yang secara de facto sama sekali tidak punya hak atas suatu objek tanah, selalu dimungkinkan secara sumir mem-“blokir” hak atas tanah yang telah diterbitkan sertifikat pendaftaran hak atas tanah yang notabene menurut Undang-Undang tentang Pokok Agraria (UU PA) dinyatakan sebagai alat bukti yang bersifat kuat—yakni dengan semudah melontarkan kalimat yang bernada “meng-klaim” (siapa pun dapat mengklaim secara sumir sebagai “pemilik”), meski Sertifikat Hak Atas Tanah terbit didahului Penetapan Pemberian Hak Atas Tanah (beschikking), dimana menurut Hukum Administrasi Negara, suatu penetapan / keputusan dinyatakan sebagai tetap sah keberlakuannya, sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya.
Yang lebih ekstrim, bahkan sekalipun pengadilan ternyata telah menolak “permohonan putusan provisi” ataupun “permohonan sita jaminan” oleh salah satu warga yang menggugat, pada praktiknya Kantor Pertanahan selalu menyikapinya secara berlebihan dengan “blokir” demi “blokir” (secara prematur), seakan tidak memercayai sertifikat yang telah diterbitkan oleh lembaganya sendiri. semestinya, Kantor Pertanahan / BPN memberlakukan “asas asumsi tidak bersalah” bagi pihak yang namanya tercantum dalam Data Yuridis Buku tanah dan Sertifikat sebagai pemilik yang sah.
Sikap BPN seolah (secara lancang) mencoba mendahului dan melangkahi proses ajudikasi di peradilan. “Blokir”, sudah barang tentu mengamputasi kebebasan bertindak pihak yang tercantum namanya dalam Data Yuridis Sertifikat Hak Atas Tanah—dimana asas kehati-hatian seharusnya diterapkan Kantor Pertanahan saat menelaah / mencermati permohonan pendaftaran hak atas tanah, bukan sebaliknya setelah terbit sertifikat hak atas tanah barulah asas kehati-hatian diberlakukan.
Secara teoretis Hukum Tata Negara, BPN dan jajaran instansi Kantor Pertanahan dibawahnya, hanyalah Lembaga Eksekutif yang secara esensialnya hanya berwenang untuk menjalankan putusan Lembaga Yudikatif, bukan berlaku prinsip yang sebaliknya. Menjadi rancu dan kontras sekaligus ironi, ketika pengadilan menolak permohonan sita jaminan juga menolak putusan sela (provisionil), namun pihak Kantor Pertanahan justru tetap membelakukan “blokir”.
Hal kedua yang perlu SHIETRA & PARTNERS luruskan, ialah bukanlah terhadap satu hak atas tanah hanya dapat diajukan “blokir” sebanyak maksimal satu kali permohonan “blokir”, namun lebih tepat bila disebutkan bahwa “terhadap satu objek hak atas tanah, hanya dapat diajukan catatan status quo sebanyak satu kali oleh satu pihak SUBJEK HUKUM PEMOHON”, sehingga permohonan “pencatatan status quo” masih terbuka peluang diajukan / dimohonkan oleh pihak lainnya di luar subjek hukum yang dahulu pernah mengajukan “blokir”.
Secara lebih pregresif (dan patut diapresiasi), bukan hanya permohonan “blokir” yang hanya diizinkan sebatas maksimum 1 kali oleh satu pihak pemohon, namun juga berlaku terhadap penetapan sita pengadilan, hanya boleh diajukan sita sebanyak maksimum 1 kali oleh satu pihak pemohon sita terhadap 1 objek hak atas tanah. Namun yang kini lebih ironis, BPN memperkenalkan istilah yang jauh lebih salah kaprah, yakni “Catatan Blokir” dan “Catatan Sita”.
Permasalahan yang selalu terjadi dalam praktik, semua pihak yang membuat sengketa dan mengajukan permohonan “blokir” selalu mengklaim dirinya sebagai pemilik yang paling berhak (tidak pernah terjadi dalam sejarah, suatu pihak mempersengketan suatu bidang tanah tanpa mengklaim sebagai pemilik yang lebih berhak), sementara belum terdapat satu pun putusan pengadilan yang mengandung jenis amar putusan declaratoir ataupun constitutief bahwa dirinya adalah benar sebagai pemilik.
Sehingga, siapa pun dapat saja mem-“blokir” suatu hak atas tanah yang telah bersertifikat, cukup dengan membuat klaim secara “sumir”—sehingga tidak dapat dihindari suatu kesan bahwa begitu mudahnya BPN Kantor Pertanahan “mengumbar” “blokir”, dengan mengatas-namakan kehati-hatian, tentu saja.
PEMBAHASAN:
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2017
TENTANG
TATA CARA BLOKIR DAN SITA
Menimbang :
a. bahwa untuk tertib administrasi pertanahan dalam melakukan pencatatan blokir, sita atau adanya sengketa dan perkara mengenai hak atas tanah, perlu dilakukan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah berupa pencatatan pada Buku Tanah dan Surat Ukur;
b. bahwa tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, masih tersebar di beberapa ketentuan, belum lengkap, tidak seragam dan terdapat pengaturan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat, sehingga perlu disusun dalam peraturan tersendiri;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Tata Cara Blokir dan Sita;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5098);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5804);
6. Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 18);
7. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 21);
8. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
9. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan;
10. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar;
11. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 569);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG TATA CARA BLOKIR DAN SITA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pencatatan blokir adalah tindakan administrasi Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk untuk menetapkan keadaan status quo (pembekuan) pada hak atas tanah yang bersifat sementara terhadap perbuatan hukum dan peristiwa hukum atas tanah tersebut
 [Note SHIETRA & PARTNERS: BPN dan Kantor Pertanahan akan terjebak dalam retorik tak berkesudahan akibat memakai istilah “blokir” yang sejatinya tidak dikenal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang secara lebih lugas dan sederhana mempergunakan istilah “catatan adanya sita” maupun “catatan adanya permohonan status quo”.]
2. Status Quo adalah keadaan tetap sebagaimana keadaan sekarang.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mempergunakan istilah “status quo” untuk sebuah klaim sumir kepemilikan terhadap sertifikat hak atas tanah milik pihak lain (belum ada putusan pengadilan), dan mempergunakan istilah “sita” untuk mencatat keterangan adanya penetapan sita, sehingga menjadi ambigu bila BPN justru mencampur-aduk keduanya.]
3. Pencatatan Sita adalah tindakan administrasi Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk untuk mencatat adanya sita dari lembaga peradilan, penyidik atau instansi yang berwenang lainnya.
4. Sita Perkara adalah penyitaan terhadap Buku Tanah, Surat Ukur atau data lainnya yang diajukan oleh juru sita pengadilan atau pihak yang berkepentingan meliputi penggugat atau tergugat dalam rangka perlindungan terhadap objek perkara.
5. Sita Pidana adalah penyitaan terhadap Buku Tanah, Surat Ukur atau data lainnya yang diajukan oleh penyidik yang dipergunakan sebagai alat bukti dalam peradilan dengan Berita Acara Penyitaan dan tanda terima barang yang disita.
6. Sita Penyesuaian adalah permohonan sita yang kedua / ketiga dan seterusnya yang bertujuan untuk menyesuaikan pada sita sebelumnya dan objek sita secara nyata telah dipertanggungkan kepada pihak lain.
7. Skorsing adalah pencatatan perintah Pengadilan Tata Usaha Negara untuk penundaan pelaksanaan keputusan yang diterbitkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Pertanahan.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Menjadi ambigu sekaligus mengherankan, “blokir” sejatinya ialah “skorsing” itu sendiri, dimana suatu penetapan / keputusan pejabat tata usaha negara (semisal keputusan pemberian hak atas tanah yang menjadi dasar keberadaan suatu sertifikat hak atas tanah) tetap dianggap sebagai sah dan berlaku sepanjang penetapan tersebut belum dicabut atau dibatalkan oleh pengadilan.
[Maka, bila Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) belum membuat “putusan sela” berupa perintah “skorsing”, mengapa Kantor Pertanahan mendahului lembaga ajudikasi dengan secara serta-merta memblokir suatu sertifikat hak atas tanah yang semula diterbitkan oleh instansinya sendiri? Itulah kerancuan terbesar terminologi “blokir” yang selama ini dipergunakan oleh aparatur Kantor Pertanahan dan BPN.]
8. Penghapusan catatan adalah tindakan administrasi Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk untuk menghapus adanya catatan blokir atau sita.
9. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang agraria / pertanahan dan tata ruang.
BAB II
MAKSUD, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pencatatan dan penghapusan blokir dan sita atau adanya sengketa dan perkara mengenai hak atas tanah.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan keseragaman, standarisasi dan tertib administrasi dalam pelaksanaan pencatatan dan penghapusan catatan blokir dan sita atau adanya sengketa dan perkara mengenai hak atas tanah.
BAB III
BLOKIR
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Pencatatan blokir dilakukan terhadap hak atas tanah atas perbuatan hukum atau peristiwa hukum, atau karena adanya sengketa atau konflik pertanahan.
(2) Pencatatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan:
a. dalam rangka perlindungan hukum terhadap kepentingan atas tanah yang dimohon blokir; dan
b. paling banyak 1 (satu) kali oleh 1 (satu) pemohon pada 1 (satu) objek tanah yang sama.
(3) Hak atas tanah yang buku tanahnya terdapat catatan blokir, tidak dapat dilakukan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Menjadi pertanyaan paling mendasar, ketika belum terdapat putusan lembaga ajudikadi (peradilan) yang membuat amar putusan berkarakter constitutief, mengapa Kantor Pertanahan / BPN merasa berhak untuk mengamputasi hak subjek hukum yang namanya tercantum dalam Data Yuridis sertifikat hak atas tanah sebagai pemilik sah untuk melakukan perbuatan hukum terkait hak atas tanah miliknya tersebut?
[Itulah kerancuan utama konsepsi “blokir”—yang kesan konotasinya demikian “vulgar” dan “kasar”, alih-alih menggunakan istilah yang lebih halus seperti “status quo” sebagaimana dikenal dalam PP Nomor 24 Tahun 1997.]
Bagian Kedua
Permohonan dan Persyaratan
Pasal 4
(1) Permohonan pencatatan blokir dapat diajukan oleh:
a. perorangan;
b. badan hukum; atau
c. penegak hukum.
(2) Dalam permohonan pencatatan blokir harus mencantumkan alasan yang jelas dan bersedia dilakukan pemeriksaan atas permohonan dimaksud.
Pasal 5
(1) Perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b, wajib mempunyai hubungan hukum dengan tanah yang dimohonkan pemblokiran.
 (2) Pemohon yang mempunyai hubungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. pemilik tanah, baik perorangan maupun badan hukum;
b. para pihak dalam perjanjian baik notariil maupun di bawah tangan atau kepemilikan harta bersama bukan dalam perkawinan;
c. ahli waris atau kepemilikan harta bersama dalam perkawinan;
d. pembuat perjanjian baik notariil maupun di bawah tangan, berdasarkan kuasa; atau
e. bank, dalam hal dimuat dalam akta notariil para pihak.
Pasal 6
Persyaratan pengajuan blokir oleh perorangan atau badan hukum, meliputi:
a. formulir permohonan, yang memuat pernyataan mengenai persetujuan bahwa pencatatan pemblokiran hapus apabila jangka waktunya berakhir;
[Note SHIETRA & PARTNERS: Apapun penafsiran terhadap keberlakuan Peraturan BPN ini, berlaku kaedah yang lebih superior, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang mengatur norma imperatif bahwa masa berlaku efektif “catatan status quo” hanyalah sebatas 30 hari, dimana lewat dari jangka waktu tersebut maka demi hukum “catatan status quo” gugur demi hukum sekalipun tanpa dimohonkan penghapusan status quo. Berbasarkan berbagai preseden putusan Mahkamah Agung RI, BPN / Kantor Pertanahan kerap digugat warga pemilik tanah dan dihukum oleh pengadilan untuk menghapus “catatan status quo” demikian setelah lewatnya jangka waktu 30 hari, karena Kantor Pertanahan melanggar aturan mainnya sendiri.]
b. fotokopi identitas pemohon atau kuasanya, dan asli Surat Kuasa apabila dikuasakan;
c. fotokopi Akta Pendirian Badan Hukum;
d. keterangan mengenai nama pemegang hak, jenis hak, nomor, luas dan letak tanah yang dimohonkan blokir;
e. bukti setor penerimaan negara bukan pajak mengenai pencatatan blokir;
f. bukti hubungan hukum antara pemohon dengan tanah, seperti:
1) surat gugatan dan nomor register perkara atau skorsing oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam hal permohonan blokir yang disertai gugatan di pengadilan;
[Note SHIETRA & PARTNERS: Ketentuan dalam butir ayat diatas sangatlah janggal, mengignat sifat dari “skorsing” PTUN ialah “putusan sela/ provisionil” yang mengabulkan permohonan “skorsing”, sementara terhadap surat gugatan belum tentu Majelis Hakim Pengadilan Negeri akan mengabulkan “putusan sela” serupa. Seolah, dengan adanya surat gugatan saja, sudah cukup sebagai pengganti “putusan sela”.]
2) surat nikah / buku nikah, kartu keluarga, atau Putusan Pengadilan berkenaan dengan perceraian atau keterangan waris, dalam hal permohonan blokir tentang sengketa harta bersama dalam perkawinan dan/atau pewarisan; dan
3) Putusan Pengadilan berkenaan dengan utang piutang atau akta perjanjian perikatan jual beli, akta pinjam meminjam, akta tukar menukar yang telah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang, dalam hal permohonan blokir tentang perbuatan hukum.
g. syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
(1) Penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, dapat mengajukan pencatatan blokir untuk penyidikan dan penuntutan kasus pidana.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan kata lain, BPN telah mencampur-aduk istilah hukum “status quo”, “blokir”, dan “sita”, sehingga menjadi konsep yang rancu dan ambigu. Perhatikan dan cermati bab berikutnya dari Peraturan BPN ini, dimana akan ditemukan istilah “catatan sita” yang dibedakan dengan “catatan blokir”. Sehingga, keduanya adalah sama ataukah saling berbeda?]
(2) Persyaratan pengajuan blokir oleh penegak hukum, meliputi:
a. formulir permohonan;
b. Surat Perintah Penyidikan;
c. Surat Permintaan Pemblokiran dari instansi penegak hukum disertai alasan diajukannya pemblokiran dengan memuat keterangan yang jelas mengenai:
1) nama pemegang hak;
2) jenis dan nomor hak; dan
3) luas dan letak tanah, atau
d. syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penerimaan Permohonan dan Pemeriksaan
Pasal 8
(1) Pengajuan permohonan pencatatan pemblokiran disampaikan melalui loket Kantor Pertanahan setempat disertai dengan dokumen kelengkapan persyaratan.
(2) Petugas loket melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan.
(3) Dalam hal persyaratan permohonan telah lengkap, petugas loket menyampaikan kepada pemohon bahwa persyaratan telah lengkap dan pemohon membayar biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan biaya untuk melaksanakan pengkajian dan pencatatan.
 (5) Dalam hal setelah dilaksanakan pengkajian, permohonan tidak memenuhi syarat untuk dilakukan pencatatan, maka biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dikembalikan.
(6) Petugas loket menerima berkas permohonan yang telah lengkap dilampiri dengan bukti pembayaran dan kepada pemohon diberikan bukti penerimaan berkas.
(7) Dalam hal persyaratan permohonan belum lengkap, berkas permohonan dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi.
Pasal 9
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilanjutkan dengan proses:
a. pengkajian; dan
b. pencatatan.
(2) Proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak surat permohonan diterima lengkap.
Bagian Keempat
Pengkajian
Pasal 10
(1) Berkas permohonan yang telah lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) disampaikan kepada pejabat yang mempunyai tugas di bidang sengketa, konflik dan perkara.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menindak-lanjuti permohonan dengan melakukan pengkajian.
(3) Pengkajian dilakukan dengan memperhatikan:
a. subyek/pihak yang mengajukan permohonan pencatatan blokir;
b. syarat dan alasan dapat dilakukannya pencatatan blokir;
c. jangka waktu blokir; dan
d. biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional.
(4) Permohonan pencatatan pemblokiran terhadap sebagian hak atas tanah yang telah terdaftar, hanya dapat dilakukan setelah letak tanah dan batas tanah yang dimohonkan pemblokiran diketahui.
(5) Hasil pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat diterima atau ditolaknya permohonan pencatatan dan disertai pertimbangan.
(6) Hasil pengkajian disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Bagian Kelima
Tata Cara Pencatatan Blokir
Pasal 11
(1) Dalam hal hasil pengkajian menerima permohonan pencatatan, Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk melakukan pencatatan blokir.
(2) Dalam hal hasil pengkajian menolak permohonan pencatatan, Kepala Kantor Pertanahan memberitahukan secara tertulis melalui surat resmi kepada pemohon blokir dan/atau pihak-pihak yang bersangkutan disertai alasan penolakannya.
(3) Pencatatan blokir dapat dilakukan secara manual atau elektronik.
(4) Pencatatan blokir dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk pada Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan.
(5) Pencatatan blokir paling sedikit memuat keterangan mengenai waktu (jam, menit dan detik) dan tanggal pencatatan, subyek yang mengajukan permohonan, serta alasan permohonan.
Pasal 12
(1) Pencatatan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dilakukan dengan mencatat uraian catatan blokir sesuai dengan format yang berbunyi:
“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat blokir berdasarkan permohonan Saudara ... dengan alasan ... ”/
“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat blokir berdasarkan perintah … dengan alasan … ”/
“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat blokir berdasarkan pertimbangan … ”.
(2) Penulisan pencatatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicatat di:
a. buku tanah, pada kolom pencatatan Pendaftaran Peralihan Hak, Pembebanan dan Pencatatan Lainnya; dan
b. surat ukur, pada lembar gambar surat ukur yang masih tersedia.
(3) Dalam hal tidak tersedia ruang kosong pada surat ukur untuk mencatat blokir maka pencatatan blokir dilakukan pada kertas terpisah dan dilekatkan pada surat ukur dimaksud.
(4) Pencatatan blokir disahkan dengan ditandatangani oleh pejabat yang melakukan pencatatan dan dibubuhkan cap Kantor Pertanahan.
(5) Setelah pencatatan blokir disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang mempunyai tugas di bidang hubungan hukum keagrariaan memberitahukan secara tertulis melalui surat resmi kepada pemohon blokir dan/atau pihak-pihak yang bersangkutan secara patut.
Bagian Keenam
Jangka Waktu Blokir
Pasal 13
(1) Catatan blokir oleh perorangan atau badan hukum berlaku untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pencatatan blokir.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang dengan adanya perintah pengadilan berupa penetapan atau putusan.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Itulah bukti ambiguitas sikap BPN. Istilah “blokir” berdasarkan definisi Pasal 1 Peraturan BPN ini, ialah semata bersifat “status quo sementara”. Namun dinyatakan dalam pasal ini, jangka waktu “blokir” dapat diperpanjang dengan adanya penetapan sita pengadilan. Maka, menjadi pertanyaan besar (blunder tak berujung pangkal), apa masih layak disebut sebagai “catatan blokir” sebagaimana disebut-sebut dalam ayat ke-1 dari pasal ini?]
Pasal 14
(1) Catatan blokir oleh penegak hukum, berlaku sampai dengan dihentikannya kasus pidana yang sedang dalam penyidikan dan penuntutan, atau sampai dengan dihapusnya pemblokiran oleh penyidik yang bersangkutan.
(2) Kepala Kantor Pertanahan dapat meminta keterangan kepada penyidik terkait kasus atas tanah yang dicatat blokir.
Bagian Ketujuh
Hapusnya Catatan Blokir
Pasal 15
(1) Catatan blokir oleh perorangan atau badan hukum, hapus apabila:
a. jangka waktu blokir berakhir dan tidak diperpanjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; [Note SHIETRA & PARTNERS: Norma ni berlaku secara “demi hukum” hapus atau gugur, tanpa perlu dimohonkan.]
b. pihak yang memohon pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum jangka waktu berakhir;
c. Kepala Kantor menghapus blokir sebelum jangka waktunya berakhir; atau
d. ada perintah pengadilan berupa putusan atau penetapan.
(2) Dalam hal catatan blokir diperpanjang atas perintah pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), maka catatan blokir dapat dihapus apabila ada perintah pengadilan berupa putusan atau penetapan.
(3) Permohonan penghapusan catatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, disampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 16
(1) Catatan blokir oleh penegak hukum, hapus apabila:
a. kasus pidana yang sedang dalam penyidikan dan penuntutan telah dihentikan; atau
b. penyidik mengajukan penghapusan catatan blokir.
(2) Permohonan penghapusan catatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, disampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Bagian Kedelapan
Tata Cara Penghapusan Blokir
Pasal 17
(1) Penghapusan blokir dilakukan apabila memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16.
(2) Penghapusan blokir dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk pada Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan.
(3) Penghapusan blokir dapat dilakukan secara manual atau elektronik.
(4) Penghapusan blokir paling kurang memuat keterangan mengenai waktu (jam, menit dan detik) dan tanggal pencatatan, subyek yang mengajukan permohonan, alasan penghapusan. [Note SHIETRA & PARTNERS: Frasa “subjek yang mengajukan permohonan” dalam ketentuan pasal ini tidak berlaku, bilamana hapusnya blokir terjadi secara “demi hukum” sebagaimana diatur dalam norma PP Nomor 24 Tahun 1997 yang merupakan lex superior dari Peraturan BPN ini.]
Pasal 18
(1) Penghapusan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan dengan mencatat uraian penghapusan catatan blokir sesuai dengan format yang berbunyi:
“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dihapus catatan blokir tanggal ... jam ... yang dimohonkan oleh Saudara / penyidik … dengan alasan …”
(2) Ketentuan pencatatan blokir pada buku tanah dan surat ukur serta pengesahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) mutatis mutandis dengan ketentuan penghapusan blokir.
(3) Penghapusan catatan blokir diberitahukan secara tertulis melalui surat resmi kepada pemohon blokir dan/atau pihak-pihak yang bersangkutan secara patut.
Bagian Kesembilan
Pencatatan Blokir atas Inisiatif Kementerian
Pasal 19
Selain melalui permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pencatatan blokir dapat dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atas:
a. perintah Menteri;
b. perintah Kepala Kantor Wilayah; atau
c. pertimbangan dalam keadaan mendesak.
Pasal 20
(1) Menteri atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b dapat memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan untuk melakukan pencatatan blokir.
(2) Pencatatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
a. penyelesaian masalah pertanahan yang bersifat strategis dan berdampak secara nasional; atau
b. penertiban tanah terlantar, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal dilakukan dalam rangka penyelesaian masalah pertanahan yang bersifat strategis dan berdampak secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, perintah pencatatan blokir dituangkan dalam surat perintah Menteri atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
(4) Dalam hal dilakukan untuk penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b maka pencatatan blokir dilaksanakan pada saat tanah diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional kepada Menteri.
Pasal 21
(1) Dalam hal pertimbangan keadaan mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, Kepala Kantor Pertanahan dapat melakukan pencatatan blokir.
(2) Mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. adanya sengketa atau konflik pertanahan;
b. perlindungan terhadap aset pemerintah. [Note SHIETRA & PARTNERS: Aset milik BUMN/D maupun milik pemerintah, tidak dapat disita dan pengadilan akan menolak permohonan sita demikian.]
(3) Pencatatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
(4) Kepala Kantor Pertanahan menyampaikan permohonan pertimbangan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
(5) Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menindaklanjuti permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan menerbitkan pertimbangan paling lama 1 (satu) minggu sejak diterimanya permohonan.
Pasal 22
(1) Pencatatan blokir atas inisiatif Kementerian dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya perintah pencatatan blokir atau pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
(2) Catatan blokir atas inisiatif Kementerian berlaku sampai dengan masalah pertanahan dinyatakan selesai.
(3) Dalam hal catatan blokir dilakukan dalam rangka penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4), berlaku sampai dengan ditindak-lanjutinya usulan penetapan tanah terlantar.
(4) Tindak-lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penetapan sebagai tanah terlantar atau pengeluaran dari daftar data tanah terindikasi terlantar.
Pasal 23
Catatan blokir atas inisiatif Kementerian, hapus apabila:
a. ada surat perintah pengangkatan blokir oleh Menteri atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, untuk blokir atas perintah Menteri atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3);
b. penetapan sebagai tanah terlantar atau pengeluaran dari daftar data tanah terindikasi terlantar, untuk blokir atas perintah Menteri atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4); dan/atau
c. Kepala Kantor menurut keyakinannya menghapus blokir, untuk blokir karena pertimbangan dalam keadaan mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pasal 24
Tata cara pencatatan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 serta tata cara penghapusan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18, mutatis mutandis dengan pencatatan dan penghapusan blokir atas inisiatif Kementerian.
BAB IV
SITA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
(1) Pencatatan Sita dilakukan terhadap hak atas tanah dalam rangka kepentingan penyelesaian perkara di pengadilan atau penyidikan.
(2) Pencatatan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling banyak 1 (satu) kali oleh 1 (satu) pemohon pada 1 (satu) objek tanah yang sama. [Note SHIETRA & PARTNERS: Kaedah / norma bentukan BPN dalam ayat ini, patut diberi apresiasi oleh warga masyarakat, demi keberlakuan asas kepastian hukum.]
(3) Hak atas tanah yang berada dalam keadaan disita tidak dapat dialihkan dan/atau dibebani hak tanggungan.
(4) Hak atas tanah yang berada dalam keadaan disita dapat di roya, diperpanjang dan/atau diperbaharui dengan memberitahukan kepada Ketua Pengadilan, (oleh) para pihak yang berperkara dan/atau penyidik.
(5) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan perbuatan administrasi pemerintahan dan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
Pasal 26
(1) Pencatatan Sita meliputi:
a. pencatatan Sita Perkara;
b. pencatatan Sita Pidana; dan
c. pencatatan Sita Berdasarkan Surat Paksa.
(2) Pencatatan Sita Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan terhadap hak atas tanah yang sedang menjadi obyek perkara di pengadilan.
(3) Pencatatan Sita Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dalam rangka penyidikan.
(4) Pencatatan Sita Berdasarkan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan pencatatan sita terhadap hak atas tanah yang menjadi obyek utang pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Permohonan dan Persyaratan
Pasal 27
(1) Permohonan pencatatan Sita Perkara, diajukan oleh:
a. juru sita pengadilan; atau
b. pihak yang berkepentingan meliputi penggugat atau tergugat, untuk kepentingan penyelesaian perkara di pengadilan.
(2) Permohonan pencatatan sita perkara dilengkapi dengan melampirkan:
a. penetapan sita dari Ketua Pengadilan yang menerangkan secara jelas mengenai subyek hak, jenis hak, nomor hak dan letak tanah yang diletakkan sita; dan/atau
b. putusan pengadilan yang menyatakan sah dan berharga sita terhadap hak atas tanah obyek perkara.
(3) Dalam hal Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan merupakan pihak dalam perkara, maka Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk harus mencatatkan adanya perkara dalam buku tanah mengenai obyek perkara tersebut.
[Note SHIETRA & PARTNERS: BPN telah terjebak dalam salah-kaprah dan “blunder” yang dibuat olehnya sendiri, karena selama ini mencampur-adukkan antara “blokir” dan “pencatatan”. Apakah “catatan” selalu diindentikkan dengan “blokir”? Apa yang menjadi konsekuensi yuridis dari dicatatnya “catatan adanya perkara” demikian? Mengapa BPN tidak menerangkan apakah akibat dari adanya “catatan adanya perkara” tersebut?]
(4) Kepala Seksi yang mempunyai tugas di bidang penyelesaian perkara wajib menginformasikan kepada Kepala Seksi yang mempunyai tugas di bidang pendaftaran tanah untuk mencatatkan adanya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
[Note SHIETRA & PARTNERS: BPN tidak berani membuat pernyataan tegas dalam peraturan ini, apakah “catatan adanya perkara” disama-artikan dengan “blokir”?]
Pasal 28
(1) Permohonan pencatatan Sita Pidana diajukan oleh penyidik / penegak hukum.
(2) Permohonan pencatatan sita pidana oleh penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan melampirkan:
a. Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, sesuai dengan tempat terjadinya tindak pidana;
b. surat perintah penyitaan yang ditandatangani oleh penyidik;
c. penetapan pengadilan; dan/atau
d. syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam keadaan mendesak, Kepala Kantor Pertanahan dapat melakukan pencatatan sita terlebih dulu berdasarkan surat perintah penyitaan dari instansi penyidik.
(4) Setelah dicatatkan Sita Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyidik harus menindaklanjuti dengan memproses penerbitan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 29
(1) Pencatatan Sita Berdasarkan Surat Paksa diajukan oleh juru sita pajak.
(2) Permohonan pencatatan sita berdasarkan surat paksa oleh juru sita pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan melampirkan Surat Perintah melaksanakan Penyitaan dari instansi yang berwenang.
(3) Ketentuan sita berdasarkan surat paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penerimaan Permohonan dan Pemeriksaan
Pasal 30
(1) Pengajuan permohonan pencatatan sita disampaikan melalui loket Kantor Pertanahan setempat disertai dengan dokumen kelengkapan persyaratan.
(2) Petugas loket melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan.
(3) Dalam hal persyaratan permohonan telah lengkap, petugas loket menyampaikan kepada pemohon bahwa persyaratan telah lengkap dan pemohon membayar biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan biaya untuk melaksanakan pencatatan.
(5) Petugas menerima berkas permohonan yang telah lengkap dilampiri dengan bukti pembayaran dan kepada pemohon diberikan bukti penerimaan berkas.
(6) Dalam hal persyaratan permohonan belum lengkap, berkas permohonan dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi.
Pasal 31
(1) Kepala Kantor Pertanahan dapat menolak melakukan pencatatan sita apabila penetapan dan/atau Putusan Pengadilan tentang sita tidak menguraikan subyek hak, jenis hak, nomor hak, luas dan letak obyek hak dengan jelas.
(2) Pencatatan sita terhadap sebagian hak atas tanah yang telah terdaftar, hanya dapat dilakukan setelah letak tanah dan batas tanah yang dimohonkan sita diketahui.
(3) Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan pencatatan sita dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak surat permohonan diterima lengkap.
(4) Dalam hal Kepala Kantor Pertanahan menolak melakukan pencatatan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berkas permohonan dikembalikan dengan disertai alasan yang jelas.
Bagian Keempat
Tata Cara Pencatatan Sita
Pasal 32
(1) Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan pencatatan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dengan melakukan pencatatan sita.
(2) Pencatatan sita dapat dilakukan secara manual atau elektronik.
(3) Pencatatan sita dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk pada Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan.
(4) Pencatatan sita paling sedikit memuat keterangan mengenai waktu (jam, menit dan detik) dan tanggal pencatatan, subyek yang mengajukan permohonan, serta alasan permohonan.
Pasal 33
(1) Pencatatan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dilakukan dengan mencatat uraian catatan sita sesuai dengan format yang berbunyi:
“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat sita berdasarkan permohonan Saudara .... dengan alasan...”/ Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat sita berdasarkan penetapan sita ... dengan alasan ...”/
“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat sita berdasarkan surat paksa ...”.
(2) Pencatatan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat di:
a. buku tanah, pada kolom pencatatan Pendaftaran Peralihan Hak, Pembebanan dan Pencatatan Lainnya; dan
b. surat ukur, pada lembar gambar surat ukur yang masih tersedia.
(3) Dalam hal tidak tersedia ruang kosong pada surat ukur untuk mencatat sita, maka pencatatan sita dilakukan pada kertas terpisah dan dilekatkan pada surat ukur dimaksud.
(4) Pencatatan blokir disahkan dengan ditandatangani oleh pejabat yang melakukan pencatatan dan dibubuhkan cap Kantor Pertanahan.
(5) Setelah pencatatan sita disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk memberitahukan secara tertulis melalui surat resmi kepada pemohon sita dan/atau pihak-pihak yang bersangkutan secara patut.
Pasal 34
(1) Sita tidak dapat dilakukan terhadap hak atas tanah yang:
a. merupakan Barang Milik Negara / Daerah (BMN/BMD) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. dibebani hak tanggungan; atau
c. telah terpasang sita atas suatu perkara atau obyek perkara yang sedang dipasang hak tanggungan.
(2) Dalam hal hak atas tanah dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b maka dapat dilakukan pencatatan Sita Persamaan.
(3) Dalam hal hak atas tanah telah terpasang sita atas suatu perkara atau obyek perkara yang sedang dipasang hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, maka dapat diletakkan Sita Persamaan dari Pengadilan Negeri untuk dicatatkan sita atas perkara lain.
(4) Sita Persamaan dari Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan baik dalam berperkara maupun pemegang hak tanggungan.
Pasal 35
(1) Sita Perkara tidak menghalangi proses permohonan perpanjangan maupun pembaharuan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4).
(2) Perpanjangan maupun pembaharuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan, yang memuat penjelasan bahwa proses perpanjangan atau pembaharuan tidak menghapus catatan adanya perkara tersebut.
(3) Dalam hal hak atas tanah yang dimohon untuk dicatatkan adanya Sita Perkara telah menjadi obyek lelang eksekusi, maka pendaftaran peralihan hak tetap dapat dilaksanakan dengan memberitahukan kepada pemenang lelang mengenai adanya perkara gugatan atas tanah tersebut dan mencatat pada buku tanah yang menjadi obyek lelang.
(4) Obyek lelang eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa parate eksekusi hak tanggungan atau sebagai pelaksanaan putusan pengadilan menyangkut perkara utang piutang.
(5) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dialihkan oleh pemenang lelang hingga perkara tersebut memperoleh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Kaedah tersebut melanggar norma hukum Surat Edaran Mahkamah Agung Nomo 7 Tahun 2012, yang mengatur bahwa:
- Pemegang Hak Tanggungan yang beritikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak.
- Perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang ber-itikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (obyek jual beli tanah).
- Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang tidak berhak.
Perihal perlindungan hukum bagi pembeli tanah yang beritikad baik, diatur lebih lanjut lewat Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016, yang salah satu butir kaedah pentingnya terkait kriteria “pembeli yang beritikad baik”, ialah sebagai berikut:
“Mengenai pengertian pembeli beriktikad baik sebagaimana tercantum dalam kesepakatan kamar perdata tanggal 9 Oktober 2014 pada huruf a disempurnakan sebagai berikut:
Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
a. Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara / prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan yaitu:
- Pembelian tanah melalui pelelangan umum, atau:
- Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, atau;
- Pembelian terhadap tanah milik adat / yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu:
a. dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan / diketahui Kepala Desa / Lurah setempat).
b. didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.
- Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
b. Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan antara lain:
- Penjual adalah orang yang berhak / memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya, atau;
- Tanah / objek yang diperjual-belikan tersebut tidak dalam status disita, atau;
- Tanah objek yang diperjual-belikan tidak dalam status jaminan / hak tanggungan, atau;
- Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.”

Pasal 36
(1) Ketentuan pencatatan Sita Perkara atas pendaftaran tanah pertama kali dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah.
(2) Tata cara pencatatan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri ini.
Pasal 37
(1) Dalam hal pencatatan Sita Pidana atau Sita Berdasarkan Surat Paksa, maka atas permintaan penyidik atau juru sita pajak dapat diberikan fotokopi data pendaftaran tanah berupa Buku Tanah, Surat Ukur dan/atau warkah yang diperlukan, dan dilegalisir.
(2) Dokumen asli yang disita tetap disimpan di Kantor Pertanahan, dan apabila diperlukan dapat ditunjukkan dalam persidangan atau sesuai dengan kebutuhan.
(3) Dalam hal Buku Tanah yang dimohonkan sita oleh penegak hukum atau juru sita pajak tidak ditemukan, Kepala Kantor Pertanahan membuat Buku Tanah Pengganti sesuai ketentuan yang berlaku.
(4) Untuk pengamanan Buku Tanah, Surat Ukur dan warkah yang dicatatkan sita, Kepala Kantor Pertanahan harus menempatkan benda sitaan tersebut dalam tempat khusus.
Bagian Kelima
Jangka Waktu Sita
Pasal 38
Sita Perkara mengikat pihak penggugat dan tergugat, dan berlaku sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang salah satu amarnya menyatakan gugatan ditolak atau tidak dapat diterima, atau mengenai pengangkatan sita maupun penetapan penghapusan / pengangkatan sita.
Pasal 39
Sita Pidana berlaku sampai dengan perkara yang diperiksa selesai, dan dibuktikan dengan adanya:
a. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan surat permohonan pengangkatan sita dari penyidik; atau
b. perkara dinyatakan selesai yang dibuktikan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pasal 40
Sita Berdasarkan Surat Paksa berlaku sampai dengan:
a. penanggung pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak;
b. berdasarkan putusan pengadilan; atau
c. putusan badan penyelesaian sengketa pajak atau ditetapkan lain oleh menteri yang berwenang atau kepala daerah.
Bagian Keenam
Hapusnya Catatan Sita
Pasal 41
(1) Catatan sita hapus apabila jangka waktu berlakunya sita berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40.
(2) Pihak yang berkepentingan, penyidik atau juru sita pajak mengajukan permohonan penghapusan catatan blokir dengan melampirkan persyaratan: [Note SHIETRA & PARTNERS: BPN terjebak dalam salah-kaprah yang dibuatnya sendiri, dengan memakai / menukar isitlah “sita” dengan “blokir”.]
a. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal permohonan penghapusan catatan Sita Perkara;
b. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal permohonan penghapusan catatan Sita Pidana; atau
c. surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang, putusan pengadilan atau putusan badan penyelesaian sengketa pajak atau surat lainnya yang diterbitkan oleh menteri yang berwenang atau kepala daerah, dalam hal permohonan penghapusan catatan Sita Berdasarkan Surat Paksa.
(3) Permohonan penghapusan catatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Bagian Ketujuh
Tata Cara Penghapusan Sita
Pasal 42
(1) Penghapusan catatan sita dilakukan apabila memenuhi ketentuan dalam Pasal 41.
(2) Penghapusan sita dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk pada Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan.
(3) Penghapusan sita dapat dilakukan secara manual atau elektronik.
(4) Penghapusan sita paling kurang memuat keterangan mengenai waktu (jam, menit dan detik) dan tanggal pencatatan, subyek yang mengajukan permohonan, alasan penghapusan.
Pasal 43
(1) Penghapusan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilakukan dengan mencatat uraian penghapusan catatan sita sesuai dengan format yang berbunyi:
“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dihapus catatan sita tanggal ... jam ... yang dimohonkan oleh Saudara ... / penyidik / juru sita pajak … dengan alasan … ”.
(2) Ketentuan pencatatan sita pada buku tanah dan surat ukur serta pengesahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), mutatis mutandis dengan ketentuan penghapusan sita.
(3) Penghapusan catatan sita diberitahukan secara tertulis melalui surat resmi kepada pemohon sita dan/atau pihak-pihak yang bersangkutan secara patut.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan mengenai blokir dan sita dalam:
a. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
b. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan;
c. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan;
d. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar; dan
e. peraturan perundang-undangan lainnya,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 45
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2017
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
Ttd.
SOFYAN A. DJALIL
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Agustus 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1112
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.