KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Profesional sebagai Penyedia Jasa Hukum Vs. Profesional sebagai MANUSIA

Apapun Profesi Anda, Jangan Pernah Rendahkan Martabat Anda sebagai Seorang MANUSIA yang BERADAB Menjelma BIADAB

Ingatlah bahwa disaat bersamaan, dalam diri setiap individu secara inheren selalu setidaknya melekat paling sedikit dua buah profesi, yakni entah sebagai pengusaha, ibu rumah tangga, pelajar, guru, pejabat, pekerja kantoran, dan juga profesi sebagai seorang “MANUSIA”. Tidak ada yang salah ketika Anda selaku penyedia jasa hukum, baik pengacara, notaris, ataupun konsultan hukum, memiliki klien yang notabene seorang koruptor. Barulah menjadi kesalahan, ketika Anda membenarkan apa yang salah, dan berupaya membebaskan pihak yang sebetulnya bersalah. Kita selaku penyedia jasa hukum, dapat memberikan edukasi serta persuasi, agar klien bersikap realistis, dan mengetahui konsekuensi bila berbelit-belit ataupun mengingkari fakta hukum yang ada di persidangan.

Ada segelintir kecil atau banyak pihak yang menyatakan, ketika seseorang tidak bersedia menjadi penyedia jasa hukum bagi seorang koruptor yang nyata-nyata bermasalah dengan hukum karena melakukan aksi korupsi, maka itu artinya tidak profesional. Padangan demikian, terlampau naif dan menyederhanakan hal yang tidak sesederhana itu. Sebagai contoh, cobalah tanyakan pertanyaan berikut : menjadi pengacara bagi seorang koruptor, disebut profesional? Tapi, apakah Anda juga sudah profesional kepada diri anda sendiri sebagai seorang “MANUSIA”? Bila Anda mengarahkan klien Anda yang notabene koruptor tersebut, untuk kooperatif kepada aparatur penegak hukum dan transparan di pengadilan, atau bahkan secara sukarela menjadi seorang “justice collabotaror”, maka Anda dapat mewakili klien Anda untuk meminta hakim memberikan keringanan hukuman bagi klien Anda. Dengan demikian, Anda profesional sebagai seorang pengacara, juga profesional sebagai seorang “MANUSIA”.

Sebaliknya, membuat alat bukti palsu, membolak-balik fakta, merekayasa keterangan, menyusun alibi fiktif, semata demi kemenangan sang klien yang mengharap dibebaskan dari segala hukuman, maka Anda mungkin memang profesional dibidang profesi hukum Anda, namun disaat bersamaan Anda telah menghianati jatidiri Anda selaku seorang “MANUSIA”, dan Anda harus membayar harga yang “mahal” untuk itu. Yang paling tidak konsisten, ialah kalangan dokter. Mereka mengatas-namakan kode etik kedokteran, menolong seorang penjahat yang sekalipun tahu benar sang penjahat layak serta patut untuk dihukum mati. Disaat bersamaan, sang dokter menolak untuk mengeksekusi kebiri terpidana kasus asusila. Menyembuhkan, bukan merusak, sebagai kode etik kedokteran yang mereka pegang teguh tanpa kompromi. Betul, mereka profesional sebagai seorang dokter, namun tidak dalam urusan sebagai seorang “MANUSIA”.

Seorang konsultan pajak, bersedia menjadi konsultan bagi perusahaan yang selama ini mengemplang pajak. Bila sang konsultan bermaksud untuk membenani tata-kelola perpajakan perusahaan yang menjadi klien yang bersangkutan, maka sang konsultan pajak telah bersikap profesional dalam profesinya sebagai seorang konsultan pajak dan disaat bersamaan juga profesionalisme terhadap dirinya sendiri selaku “MANUSIA”. Sebaliknya, seorang auditor, ketika mengaudit suatu lembaga yang menjalankan tata kelola organisasi secara akuntabel, namun masih juga diberi penilaian negatif semata karena masalah penafsiran terhadap suatu implementasi norma hukum multitafsir yang berlaku (pasal karet), maka sang auditor telah bersikap profesional sebagai seorang auditor, namun tidak profesional sebagai seorang “MANUSIA” karena berupaya “mencari-cari kesalahan” (biasa dapat Anda jumpai dari karakter seorang petugas pajak).

Aparatur penegak hukum, menyeret seorang pencuri buah di suatu kebun, karena kelaparan dan kemiskinan akut. Sang aparatur penegak hukum telah bersikap profesional dalam urusan profesinya selaku penegak hukum. Namun, pertanyaan terbesarnya ialah, apakah mereka telah profesional terhadap diri mereka sendiri selaku seorang “MANUSIA”? Banyak kalangan, terlampau tenggelam dalam obsesi profesi eksternalnya, dan disaat bersamaan terasing serta mengabaikan profesi internalnya sebagai seorang “MANUSIA”—atau bahkan telah lama lupa, dirinya adalah seorang “MANUSIA”. Itulah, ketika seseorang kian berjarak dengan dirinya sendiri, kemanusiaannya menjadi tumpul dan berkarat. Tidak menjadi mengherankan, ketika seseorang bersikap hewanis, premanis, barbariknis, ataupun predatoris.

Banyak kalangan, menyalahgunakan profesinya dengan mengatas-namakannya sebagai “profesional”. Sebagai contoh, demi uang jasa yang tidak sebanding dengan kerugian yang diakibatkan olehnya, seorang penyedia jasa appraisal dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), atas permintaan kreditor membuat penilaian atas properti milik seorang debitor, lalu memuluskan niat jahat sang kreditor untuk me-MARK DOWN nilai pasar dan nilai likuidtasi aset agunan milik debitor. Katakanlah tarif jasa yang diterima oleh sang appraiser, ialah sekian juta rupiah, namun kerugian yang diderita oleh sang debitor pemilik agunan mencapai puluhan miliar rupiah. Hanya demi tarif beberapa juta atau belasan atau puluhan juta rupiah, Karma Buruk yang ditanggung olehnya karena terlibat turut serta dalam modus MARK DOWN agunan milik debitor, ialah sebesar kerugian yang diderita oleh pihak korban. Pertanyaannya, apakah itu layak?

Seorang hakim, atau anggota dewan perwakilan kita di parlemen, selalu rajin dan tidak pernah absen dari kehadirannya di ruang sidang. Mereka profesional dalam profesinya sebagai hakim ataupun wakil rakyat. Namun, keputusan-keputusannya telah ternyata mengandung anasir politik dan kolusi (penyalah-gunaan wewenang). Seorang dosen, tidak pernah absen mengajar, namun bersikap arogan terhadap para mahasiswanya. Ia profesional dalam profesinya sebagai seorang dosen, namun tidak profesional sebagai seorang “MANUSIA”. Ketika kita berhadapan dengan manusia lain, sesama manusia, maka pendekatannya ialah pendekatan manusiawi (humanis), dengan mengakui serta menghormati pilihan, aspirasi, kesukaran, perasaan, serta hak maupun kewajiban masing-masing. Karena itulah, penulis kerap menyebutkan bahwa yang disebut sebagai nasionalis artinya, tidak menyakiti, tidak melukai, dan tidak merugikan sesama anak bangsa.

Profesional sebagai seorang manusia, artinya diri kita tidak merendahkan martabat dan harkat diri kita sendiri, sehingga tidak terjatuh dalam kemerosotan menjelma apa yang oleh Sang Buddha disebut sebagai “manusia hewan”. Kita, perlu benar-benar menjiwai dan menghayati serta menjalankan profesi kita sebagai seorang “manusia manusia”, dimana kita perlu berupaya sedemikian rupa agar meningkat menjadi seorang “manusia dewa”. Bisa jadi profesi kita dalam karir cukup buruk, berjalan di tempat tanpa promosi ataupun kenaikan pangkat. Akan tetapi, kita tidak boleh menyerah dan pasrah ataupun mengabaikan profesi kita selaku seorang “MANUSIA”. Tanpa dirawat secara rutin dan telaten, bahkan kebun di rumah Anda dapat menjelma “rimba belantara ilalang”.

Sebagai penutup, contoh berikut dapat menjadi alat “uji moral” bagi Anda masing-masing, apakah uraian di atas telah Anda pahami dengan baik ataukah belum. Abraham / Ibrahim, melakukan percobaan atau permulaan perbuatan dengan niat bulat untuk menyembelih dan menumpahkan darah anak kandungnya sendiri, Ishaq / Ismail, mengatas-namakan perintah Allah. Sebagai seorang umat (hamba Allah ataupun nabi), Abraham / Ibrahim adalah seorang profesional. Namun, selaku seorang ayah dan sesama manusia, ia telah “GAGAL TOTAL”. Demi bisa bersenang-senang bersetubuh dengan puluhan bidadari berdada montok di kerajaan Allah, ia tega merampas hak hidup anak kandungnya sendiri (SELFISH MOTIVE). Seorang ayah yang baik, akan memilih untuk dilempar ke neraka demi menebus nyawa sang anak terkasih, bukan justru merampasnya. Bila Anda benar memahami ulasan dalam artikel ini, Anda mampu memahami, bahwa : At that time, Ibrahim was not a father, but an EXECUTOR!

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.