3 Rangkap Profesi dalam Setiap Individu yang Penting untuk Anda Ketahui dan Pahami
Dalam kesempatan sebelumnya, penulis telah membahas perihal dua rangkap profesi yang sejatinya diemban setiap individu dalam waktu yang bersamaan, yakni profesi terkait karir (terkait pencarian nafkah) dan profesi terkait harkat dan martabat sebagai seorang “MANUSIA”. Kini, penulis akan mengajak para pembaca untuk mengungkap rangkap ketiga dari masing-masing individu, yakni sebagai “DIRI SENDIRI”. Sebagai contoh, penulis mencari nafkah dengan berprofesi sebagai seorang Konsultan Hukum. Itu adalah profesi nomor ketiga penulis. Sementara itu profesi nomor kedua, ialah sebagai seorang “MANUSIA”. Adapun profesi nomor kesatu penulis, ialah sebagai “DIRI PENULIS SENDIRI”. Lantas, apa tujuan dan manfaatnya, memahami rangkap profesi disatu waktu bersamaan demikian?
Tidak
ada yang keliru, bersikap egois dan mementingkan diri sendiri. Namun, barulah
menjadi keliru, bila sikap egois dikombinasikan dengan sifat serakah, sehingga
tidak memiliki rasa malu ataupun takut merampas hak-hak orang lain. Bila ada orang-orang yang merendahkan
Anda hanya karena bersikap individualis ataupun egoistik, maka yang
bersangkutan tidak memahami ajaran Sang Buddha yang pernah berpesan : “Perbuatan
baik artinya, tidak merugikan orang lain, tidak merugikan diri sendiri,
juga tidak melecehkan diri sendiri.”—yang bila maknai secara ‘a
contrario’, menjadi dapat kita baca bahwa merugikan diri sendiri, itu bukanlah
perbuatan baik, namun peruatan buruk (a bad deed). Sang Buddha mencela
orang yang tidak dapat menghargai orang lain maupun dirinya sendiri, sebagai “orang
dungu”. Bangsa Indonesia kerap menghina dan merendahkan Bangsa Barat sebagai
individualistik, namun tengoklah betapa KORUP bangsa “agamais” bernama Indonesia
ini.
Lalu, bagaimana bila Anda punya
sifat dasariah / watak sebagai seseorang yang murah hati yang gemar berbuat
baik kepada orang lain sebagai DNA otak Anda? Bila pada satu sisi Anda berbuat
baik kepada orang lain, namun disaat bersamaan merugikan diri Anda sendiri, maka
sejatinya Anda memang profesional sebagai seorang “MANUSIA”, namun tidak
profesional dalam kapasitas Anda sebagai “DIRI ANDA SENDIRI”. Bila Anda masih
menaruh hirau terhadap komentar / penilaian orang lain bahwa Anda adalah orang
baik ataukah orang jahat, maka itu artinya selama ini Anda berbuat baik dengan
motif utama untuk dipandang baik oleh orang lain (demi ketenaran ataupun “nama
harum”), tidak murni berbuat baik demi kebaikan itu sendiri.
Orang yang tulus dan murni
memiliki niat baik, bahkan tidak merasa perlu diketahui orang lain bahwa
dirinya telah berbuat kebaikan. Orang baik, masuk surga, sekalipun selama ini Anda
berbuat baik secara “anonim” atau “dibalik layar”, atau bahkan sekalipun banyak
orang memandang dan meyakini bahwa Anda bukanlah orang baik. Sebagaimana kata
pepatah dalam Bahasa Inggris : “Be a good person, but don’t waste time to prove it.” Jika Anda telah terbiasa berbuat
kebajikan dalam keseharian dan dalam berbagai kesempatan yang ada, maka Anda tahu
betul SIAPA DIRI ANDA. Ketika orang lain salah-paham (mis-persepsi) terhadap Anda,
menuding Anda sebagai orang jahat, maka secara sendirinya Anda akan memiliki
imun atau antibodi berupa bahasa dari dalam relung hati yang berbunyi : “I
don’t care.”—Saya tidak perduli apa kata orang lain. Karena Anda telah memahami
secara inheren, bahwa : orang baik masuk surga, dan orang jahat masuk neraka.
TITIK. Sesederhana itu saja. Tidak ada keraguan ataupun perasaan gentar terhadap
komentar pihak eksternal diri.
Ketika Anda masih butuh komentar
dari eksternal diri, semisal pengakuan publik bahwa Anda adalah orang baik, maka
Anda cenderung untuk mudah dimanipulasi serta di-setir emosinya. Ketika Anda telah
tidak lagi merasa butuh komentar dari orang lain, Anda akan memiliki
kecenderungan suatu sikap yang oleh Sang Buddha disebut sebagai “bagaikan batu
karang yang bergeming meski dihempas ombak maupun badai”. Berhati-hatilah
ketika Anda tidak menyadari profesi Anda yang paling utama, yakni profesi nomor
kesatu Anda berupa “DIRI SENDIRI”, maka orang-orang yang tidak bertanggung-jawab
yang mengetahui betul sifat baik Anda, akan membuat Anda cenderung mudah
dimanipulasi serta dijadikan objek “sapi perahan” untuk dieksploitasi demi
kepentingan mereka seorang.
Cobalah renungkan kisah klasik
berikut, karena unsur relevansinya dengan pembahasan di atas. Ketika Anda berada
di atas pesawat, lalu terjadi turbulensi di udara, maka sebelum Anda memakaikan
anak-anak Anda masker pernafasan, Anda perlu terlebih dahulu menolong diri Anda
sendiri, dan itulah aturan / SOP baku di atas pesawat bagi penumpang. Kita mungkin
seringkali gagal dalam profesi kita sebagai seorang pekerja, wirausahawan, dan
sebagainya, namun kita tidak boleh gagal untuk profesi nomor kedua dan terutama
profesi nomor kesatu Anda, yakni sebagai seorang “MANUSIA” dan disaat bersamaan
juga sebagai seorang “DIRI SENDIRI”. Bila bukan diri kita sendiri
yang menghargai diri kita sendiri, maka siapa yang akan menghargai diri kita? Justru itulah, tugas utama
diri kita : menjaga diri kita sendiri secara baik-baik. Ketika kita tidak /
belum mampu menolong orang lain, setidaknya kita tidak merepotkan orang lain.
Adalah delusi, ketika Anda tidak
menghargai diri sendiri lantas berharap orang lain akan menaruh sikap hormat
dan menghargai diri Anda. Kita harus belajar untuk menghargai dan menghormati
diri kita sendiri, sebelum mengharap orang lain akan bersikap demikian terhadap
kita. Ibarat pedal gas (akselerasi) dan pedal rem (deselerasi) dalam setiap
unit kendaraan bermotor maupun yang tidak bermotor, menyadari serta menjiwai /
menghayati peran kita sebagai seorang “MANUSIA” membuat kita cenderung bersikap
altruistik berlebihan yang ekstrem, yang ditolak oleh Sang Buddha. Satu-satunya
pedal rem kita ialah menyadari profesi nomor kesatu kita, yakni “DIRI KITA
SENDIRI”. Ada orang-orang, yang bahkan rela memberi kepada orang lain yang
tidak jelas moralitasnya, sementara dirinya sendiri kekurangan. Ia, sejatinya
tidak profesional untuk kapasitas paling utamanya, yakni profesi yang sedang ia
jalankan tanpa ia sadari selaku sebagai seorang “DIRINYA SENDIRI”.
Orang-orang yang cenderung
mudah terpengaruh serta terbawa oleh pergaulan negatif, terjadi akibat “takut dikucilkan”
atau “takut tidak diterima oleh komunitas”, maka akan menjelma “serigala” hanya
demi diterima oleh “kawanan serigala”. Orang-orang yang telah menjalani profesi
paling utamanya secara profesional, tidak akan gentar ketika harus memilih
untuk berjalan seorang diri—sebagaimana pesan dari Sang Buddha : “Ketika tidak
ada kawan seperjalanan yang sepadan dengan moralitas dan disiplin latihan diri
kita, maka berjalanlah seorang diri daripada bersama serta orang dungu (toxic
person)”. Mengapa demikian, karena orang bijak sadar betul bahwa ia sepanjang
hidupnya punya atau membawa serta “DIRINYA SENDIRI”. Mereka tidak pernah
kesepian ataupun merasa tidak memiliki dukungan dari siapapun, karena mereka
selalu punya “DIRI MEREKA SENDIRI”.
Pastilah para pembaca pernah
mendengar anekdot semacam “jadilah dokter bagi diri Anda sendiri”, atau semacam
“jadilah pengacara bagi diri Anda sendiri”. Tentunya, dalam banyak kasus, kita
perlu membuat keputusan serta penilaian oleh diri kita sendiri, terlepas dari
apapun pendapat ataupun penilaian orang lain, dimana pastilah Anda pun pernah
mengalami hal / kondisi serupa. Pernah terjadi, seseorang menuntut dilayani
tanya-jawab seputar hukum namun tidak bersedia membayar sepeser pun atas sengketa
warisan keluarganya—sikap yang lebih hina daripada pengemis. Pengemis manakah,
yang punya sengketa warisan?—sekalipun jelas-jelas penulis mencari nafkah dalam
profesi sebagai seorang konsultan yang sedang menjual jasa tanya-jawab / konseling
seputar hukum, seakan penulis tidak punya hak untuk mencari nafkah, lalu
penulis dilecehkan sebagai “mata duitan”. Apakah kita harus tersinggung,
dilecehkan demikian? Jawabannya ialah, ketika kini penulis mendapat perlakuan
serupa, penulis tidak segan menjawab tegas : “MEMANG! MEMANG SAYA MATA DUITAN!
Kamu mati sekalipun, apa urusannya dengan saya? Kamu hanyalah manusia sampah,
tempatmu di TONG SAMPAH!”
Cobalah Anda buka Konstitusi
NKRI, yakni UUD RI Tahun 1945, terdapat satu pasal yang berbunyi sebagai
berikut : “Bekerja dan mendapat imbalan, adalah hak asasi manusia.”
Artinya, pihak yang menuntut penulis untuk menjadi “budak kerja rodi” yang
bersangkutan, sejatinya merupakan pelaku pelanggaran hak asasi penulis, lebih
tepatnya atas hak profesi penulis selaku Konsultan Hukum, selaku MANUSIA, juga
selaku “DIRI SENDIRI”. Ia memaksakan kehendaknya untuk merampok nasi dari
piring milik orang lain. “Manusia sampah” semacam itu tidak patut mendapat
pertolongan, atas alasan apakah? Ketika seseorang memperlakukan orang lain secara
demikian, maka dirinya sendiri pun membuka kerentanan akan diperlakukan
demikian. Yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang.
Dalam berbagai kejadian sehari-hari,
banyak anggota kepolisian ketika berhadapan dengan sipil, yang secara arogan melanggar
prinsip “MIRANDA RULES” yang salah satunya berbunyi : “You have right
to REMAIN SILENT” yang bermakna bahwa kita semua, tanpa terkecuali,
punya hak untuk “TETAP DIAM” ataupun untuk “TIDAK MENJAWAB” serta untuk “TIDAK
DIGANGGU”. Polisi saja kerap bersikap abai terhadap prinsip tersebut, terlebih masyarakat
“premanis” kita, dimana tidak jarang penulis ditanya-tanya, namun penulis yang
tidak bersedia diganggu justru dihardik bahkan diancam akan dianiaya karena
merasa diabaikan oleh penulis yang sedang membaca buku [budaya “menyelesaikan
setiap masalah dengan kekerasan fisik”, cerminan budaya masyarakat yang masih
tergolong primitif, belum beradab]. Alhasil, ketika mereka yang memperlakukan
penulis bak “punya kewajiban untuk meladeni serta memuaskan pertanyaan mereka”,
ketika mereka diposisikan dalam keadaan serupa, semisal ditanya-tanya oleh “tamu
tidak diundang”, maka mereka punya kewajiban moral untuk meladeni dan memuaskan
mereka semua.
Ketika penulis berkunjung ke
suatu daerah yang masih asing bagi penulis, saat bertanya alamat namun ada
warga yang tidak menanggapi atau bahkan mengabaikan, penulis tidak pernah
merasa tersinggung ataupun memaksa—toh bertanya alamat artinya penulis MEMINTA
tolong, yang dimintai tolong punya hak prerogatif untuk tidak memberikan pertolongan.
Mengapa? Karena penulis terkadang merasa punya hak serupa, yakni hak untuk
tidak diganggu oleh orang asing. Ketika penulis menyadari tidak punya kewajiban
demikian, maka penulis pun memperlakukan orang lain dengan menghargai hak
mereka untuk tidak bersedia diganggu. Mereka punya hak untuk “DIAM” maupun
untuk “TIDAK MENJAWAB”. Mereka sekadar sedang menjalankan peran mereka sebagai “DIRI
MEREKA SENDIRI”, dan karenanya penulis menyadari bahwa mereka adalah kaum “harmless”
karena mereka pun pastilah tidak pernah memaksa orang lain untuk dijadikan objek
“interogasi” serupa.
Uniknya, terdapat doktrin dalam
teks-teks ilmu hukum, ketika ada dua orang hanyut di lautan samudera luas,
namun hanya terdapat satu papan pelampung untuk satu orang, maka mereka diberi
kompromi oleh hukum untuk menyelamatkan diri mereka sendiri MASING-MASING,
sekalipun artinya harus ada satu orang yang ditewaskan. Pada konteks kejadian
demikian, sang “egoistik” gagal menjalankan perannya sebagai seorang “MANUSIA”,
namun ia menjalankan peran profesinya yang paling utama alias yang nomor
kesatu, yakni sebagai “DIRINYA SENDIRI”.
Sebagai penutup, contoh
dikeseharian berikut mungkin bisa cukup lebih menjelaskan bagi para pembaca. Ketika
Anda memiliki orangtua, saudara, tetangga, ataupun teman, yang selama ini
membuat Anda dipaksa serta terpaksa harus “suka dan duka seorang diri” dalam
perjalanan hidup Anda, dimana mereka tidak pernah eksis saat Anda benar-benar membutuhkan
pertolongan, maka ketika giliran mereka membutuhkan pertolongan, Anda punya hak
prerogatif untuk bersikap “suka dan duka seorang diri”.
Ketika seseorang memilih untuk “bunuh
diri”, menyakiti dirinya sendiri, menanam Karma Buruk untuk ia petik sendiri
buah pahitnya di masa mendatang, menipu dirinya sendiri (dengan berkata dusta),
merugikan dirinya sendiri, menelantarkan dirinya sendiri (buang-buang waktu
untuk hal yang tidak berfaedah dan buang-buang kesempatan untuk berbuat baik),
bersikap bermalas-malasan (punya energi, namun pelit untuk menggunakannya),
maka ia tidak menyadari bahwa selama ini ia sejatinya melakoni sebuah profesi
yang paling utama yang sejatinya perlu untuk ia jalankan, yakni “MENJADI DIRI
SENDIRI” dan “MENJAGA KEPENTINGAN DIRINYA SENDIRI”. Ketika ada seseorang yang
menyebut bahwa diri Anda adalah seorang “egoistik” karena Anda berbahagia dan
memilih untuk bahagia dalam hidup Anda, maka jawablah secara tegas tanpa sebersit
pun keraguan : “MEMANG! Silahkan bila Anda mau mengisi hidup Anda dengan
bermuka masam dan hidup dalam keasaman! Saya memilih untuk BERBAHAGIA dan
mengisi hidup saya dengan KEBAHAGIAAN!”
© Hak Cipta HERY
SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.