Resiko Barang Bukti Milik Korban maupun Saksi yang Disita Penyidik, Putusan Hakim justru Memerintahkan JPU Menyerahkan Barang Bukti Sitaan Diserahkan kepada Pihak Ketiga
Terdapat kerancuan dan ambigu dalam praktik di persidangan perkara pidana, praktik tidak logis mana telah berlangsung selama beberapa dekade lamanya dan tampaknya tidak ada seorang pun yang menyadari dan berupaya meluruskannya. Barang bukti “dikembalikan” kepada seseorang darimana barang bukti disita, semestinya begitu secara akal sehat. Faktanya, tidak jarang kita jumpai putusan perkara pidana dimana barang bukti justru oleh hakim dinyatakan agar “dikembalikan” kepada pihak lain. Keganjilan kedua, yang tidak irasionalnya, barang bukti yang disita seharusnya sebatas yang bersifat barang-barang hasil kejahatan atau barang-barang yang digunakan untuk kejahatan. Faktanya, bahkan barang bukti yang sekadar fotokopi dokumen pun disita oleh penyidik. Untuk apa juga barang bukti berupa fotokopi dokumen, disita?
Pernah terjadi, dan tidak
tertutup kemungkinan akan kembali terjadi, atau bahkan sudah kerap terjadi,
barang yang selama ini dikuasai oleh pihak korban pelapor maupun milik saksi,
diminta oleh pihak penyidik untuk dijadikan sebagai barang bukti dalam rangka menyelidiki
maupun menyidik kebenaran laporan maupun untuk mencari tahu perbuatan pidana
pihak terlapor ataupun tersangka. Ironisnya, alih-alih membuat tanda-terima
atau serah-terima peminjaman barang bukri, penyidik justru menyodorkan “berita
acara SITA” alias menjadikan barang-barang tersebut sebagai barang SITAAN. Lantas,
apa potensi resiko terburuk yang dapat terjadi dan telah pernah terjadi kemudian?
Majelis Hakim di persidangan ketika
membuat putusan, dapat menyimpang dari apa yang menjadi tuntutan Jaksa Penuntut
Umum (JPU). Pihak JPU dalam Surat Tuntutannya, menyatakan agar barang bukti
sitaan diserahkan / dikembalikan kepada siapa barang bukti tersebut disita. Namun,
hakim dalam putusannya justru menyatakan agar barang bukti diserahkan kepada pihak
terdakwa atau bahkan kepada pihak ketiga. Kejadian semacam demikian, bukan satu
atau dua kali terjadinya, namun seolah keganjilan praktek semacam demikian
seolah dibiarkan berlangsung sejak lama dan entah akan berjalan sampai kapan,
melahirkan polemik serta sengketa baru dikemudian hari : lapor kehilangan sapi,
kemudian turut kehilangan mobil.
Mengapa juga, sifatnya bukan
membedakan antara barang bukti hasil “pinjaman” penyidik dan barang bukti “sitaan”?
Kepada korban pelapor maupun saksi atau pemilik barang bukti, cukuplah barang-barang
tersebut bersifat “dipinjamkan” sehingga menjelma “barang bukti pinjaman”, yang
karenanya Majelis Hakim terkunci untuk tidak membuat amar putusan “mengembalikan”
kepada selain daripada siapa benda tersebut dipinjam yang sebelumnya telah rela
meminjamkannya kepada pihak penyidik dalam rangka penegakan hukum? Bila konteksnya
ialah barang bukti “sitaan” hasil kejahatan atau barang bukti yang terkait alat
kejahatan, hakim bebas menyatakan agar barang tersebut dirampas untuk negara,
dikembalikan kepada terdakwa, ataukah diserahkan kepada pihak ketiga.
Perlu kita pahami, menurut
konsep hukum pidana, penyitaan tergolong sebagai “upaya paksa”, karenanya dapat
diajukan keberatan berupa praperadilan. Masalahnya ialah, tidak ada yang dapat menebak
masa depan. Sebagai korban pelapor ataupun sebagai saksi, Anda mungkin akan
mengira bahwa barang bukti yang Anda pinjamkan (namun oleh penyidik yang
meminjam justru “menyita” barang tersebut) nantinya oleh hakim dalam amar
putusan akan dikembalikan kepada Anda. Ketika penyidik meminta “pinjam”,
sifatnya penyidik yang meminta, bukan suatu pemaksaan (“upaya paksa” dimana Anda
suka atau tidak suka harus menyerahkan. Sehingga meminjamkan sifatnya ialah
kesukarelaan dan sikap kooperatif atau turut serta berkontribusi dalam penegakan
hukum, bukan suatu “upapa paksa” oleh pihak penyidik.
Realitanya, semua “dipukul rata”
oleh penyidik dalam tingkat penyidikan : kesemua barang bukti DISITA serta
dibuatkan PENETAPAN SITA. Akibatnya fatal, baik JPU maupun hakim, memandangnya
sebagai barang bukti sitaan, sehingga Majelis Hakim bebas sebebas-bebasnya untuk
menentukan status barang bukti sitaan tersebut apakah akan dirampas untuk
negara, diserahkan kepada terdakwa, ataukah diserahkan kepada pihak ketiga yang
sebetulnya sama sekali tidak berhak, sekalipun faktanya pihak korban pelapor
atau pihak saksi telah secara sukarela menyerahkan barang miliknya untuk
dijadikan barang bukti sebagai bentuk kontribusinya membantu penyidik menegakkan hukum, justru
berpotensi mengalami kerugian karena barang yang semula ia kira sekadar
meminjamkannya kepada penyidik yang dahulu kala memintanya, akhirnya justru
disita dan oleh hakim dinyatakan untuk diserahkan kepada pihak lain.
Bila kita mencermati ketentuan
di dalam Hukum Acara Pidana, terdapat satu buah pasal yang menggunakan istilah
barang bukti “dikembalikan” ketika perkara telah selesai disidangkan dan
diputus. Konsekuensi dibalik makna “dikembalikan”, artinya bukanlah disita. Istilah
yang betul secara yuridis terkait barang sita, ialah “penetapan sita” dan “menyatakan
agar sita diangkat” alias “penetapan pengangkatan sita”. Frasa “mengembalikan”,
hanya tepat merujuk kepada barang bukti yang sejak semula sifatnya “dipinjamkan”
serta “meminjam”, semisal saksi meminjamkan barang bukti berupa surat, atau korban
pelapor meminjamkan kotak CCTV berisi memori rekaman video yang merekam
kejadian yang sedang disidik oleh pihak penyidik.
Kembali lagi, fakta di
lapangan, tidak pernah ada berita acara serah-terima “peminjaman” barang bukti
dari saksi maupun korban pelapor dalam Berkas Perkara. Yang ada ialah “penetapan
sita” serta “berita acara penyitaan” disamping “tanda terima penyerahan barang
sitaan”. Kini, mari kita sedikit merujuk Hukum Acara Perdata sebagai perbandingan
sederhananya. Bila hakim dalam putusan sela menyatakan bahwa permohonan “sita
jaminan” dikabulkan, maka diterbitkanlah “penetapan sita jaminan”, yang bila dalam
amar putusan akhirnya hakim menilai bahwa sita perlu diangkat, maka akan menyatakan
agar “penetapan sita diangkat”—bukan “dikembalikan”, karena memang “sita
jaminan” bukanlah pinjam-meminjam.
Kini, pertanyaan terbesarnya,
bila Anda adalah korban pelapor atau sekadar saksi yang berniat berkontribusi membantu
penyidik untuk mengungkap dan menegakkan hukum, lalu diminta barang bukti
terkait perkara, apakah akan Anda berikan? Pada titik itulah kerancuan terbesar
praktek di lembaga kepolisian yang menjadi titik awal penegakan hukum atas
sebuah laporan / aduan. Bila Anda korban pelapor yang punya kepentingan paling
dominan agar penegakan hukum pidana ditegakkan dan dijalankan, mungkin akan
berspekulasi dengan mengambil resiko menyerahkan barang milik Anda untuk disita
oleh penyidik. Pertanyaannya, saksi manakah, yang akan secara sukarela
menyerahkan barang miliknya agar disita, lengkap dengan resiko oleh hakim
diputus agar diserahkan kepada pihak selain Anda?
Idealnya, Hukum Acara Pidana “mengunci”
hakim pemutus perkara, agar hanya dapat membuat amar putusan : 1.)
mengembalikan kepada siapa barang bukti disita atau dipinjam (bisa jadi saksi,
korban, atau terdakwa pihak yang meminjamkannya kepada penyidik); atau 2.)
dirampas untuk negara bila barang bukti adalah barang sitaan yang disita (secara
paksa, tentunya) dari pihak tersangka / terdakwa. Tidak sedikit masyarakat yang
awam hukum, tidak menyadari resiko “meminjamkan” (namun “disita” oleh penyidik)
barang bukti demikian, bahkan tidak sedikit pula aparatur penegak hukum yang
tidak memahami konsep sederhana sebagaimana terurai di atas. Kesemuanya identik
dengan “disita” alias “barang bukti sitaan”, sekalipun itu hanya berupa
fotokopi surat yang tidak memiliki nilai pembuktian apapun.
Bila Anda bertanya kepada penulis,
bila penulis dipanggil sebagai saksi, lalu penyidik bertanya : “Apakah Saudara memiliki barang bukti terkait
peristiwa pidana ini?” Mengingat penulis menyadari konsekuensi berupa
bahaya laten dibaliknya, terutama bila barang milik penulis memiliki nilai
ekonomis tidak sedikit, semisal sertifikat tanah, maka penulis akan cenderung
seketika memberi respon jawaban : “TIDAK
ADA.” Terkadang, norma-norma hukum yang tidak logis, memaksa masyarakat untuk
menjaga dirinya sendiri, sekalipun artinya perlu membuat keputusan cepat untuk “berkata
lain daripada yang sebenarnya”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.