KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Bila Laporan / Aduan Korban Pelapor Tidak Ditanggapi Polisi, Warga dapat Berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri agar Diberikan “Memo” untuk Ditindak-Lanjuti oleh Pihak Kepolisian

Bukanlah Penyidik-Polisi yang Mengerti Hukum, namun Jaksa Penuntut pada Kejaksaan Negeri yang Selama ini Berperan sebagai Guru Pemberi “Petunjuk” bagi Kalangan Penyidik

Praperadilan merupakan Satu-Satunya “Daya Paksa” yang Dimiliki oleh Warga Sipil terhadap Penyidik Kepolisian, namun Polisi Kerap Sama Sekali Tidak Memberikan Bukti Aduan kepada Pelapor (Dicatat pun Tidak)

Question: Para wakil rakyat kita di parlemen maupun pemerintah yang merancang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), mengapa seolah-olah bersikap tidak tahu apa yang terjadi di kantor-kantor polisi tempat masyarakat mengadu ataupun melaporkan kejahatan (pelanggaran hukum) yang mereka alami. Seringkali laporan ataupun aduan tidak ditanggapi, bahkan dicatat pun tidak, terlebih meminta identitas pelapor ataupun terlapor. Tidak jarang pihak polisi tersebut justru melecehkan dan menghakimi warga yang mengadu, sampai-sampai harus berdebat seolah polisi-polisi ini tidak mengerti hukum, paling mengerti hukum, satu-satunya yang paham hukum, atau sebaliknya membodoh-bodohi pihak pelapor.

Yang lebih sering terjadi ialah polisi yang justru meminta pelapor untuk menyerahkan bukti, meskipun hanya (penyidik) polisi yang berwenang menggeledah dan menyita. Akhirnya, kami mendatangi Kejaksaan Negeri setempat, lalu meminta semacam “memo” berisi keterangan singkat bahwa ada aturan pasal pidana yang mengaturnya dan perbuatan yang kami lapor memang merupakan pidana, barulah laporan kami dicatat secara resmi dan diproses oleh polisi. Tampaknya, satu-satunya daya tekan politis terhadap polisi hanya dimiliki Kejaksaan. Warga harus bergerilya sendiri dengan cara berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri, barulah polisi itu mau membuat laporan polisi berisi aduan warga pelapor.

Semestinya KUHAP mengatur, bahwa polisi wajib membuat bukti surat tanda-terima laporan, tanpa boleh pilih-pilih aduan, dimana proses penyelidikan yang tidak diproses atau tidak ditindak-lanjuti polisi ini pun dapat di-praperadilan-kan agar diproses secara serius. Jika tidak, kejadian-kejadian dimana polisi sama sekali tidak menanggapi, tidak mencatat aduan, tidak membuatkan surat aduan, tidak menindak-lanjuti, atau sengaja semata menyelidiki tanpa pernah mau dinaikkan statusnya menjadi penyidikan, bukankah itu yang disebut “justice denied”?

Brief Answer: Memang benar bahwa dari pengalaman di lapangan, pihak penyidik kepolisian kerap tidak benar-benar menguasai ilmu hukum pidana. Selama ini kalangan penyidik kepolisian dicerdaskan dan dididik sepanjang masa profesi mereka oleh kalangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri yang memberikan berbagai “petunjuk” (P-19) sehingga membuat kalangan polisi tampak seolah-olah / seakan-akan mengerti hukum. Untuk itu warga pelapor dapat meminta semacam “memo” berisi “petunjuk” non-formal kepada Kejaksaan Negeri dalam domisili hukum yang sama dengan Kantor Polisi dimaksud, agar pihak penyidik menyadari bahwa laporan warga pelapor seharusnya dicatat serta ditanggapi secara formal-resmi, bukan justru diabaikan dan ditelantarkan tanpa kejelasan ataupun kepastian hukum.

Benar bahwa satu kelemahan paling utama yang seolah dibiarkan berlubang dan menganga di KUHAP, ialah tidak ada pasal yang tegas-tegas mengatur kewajiban bagi pihak kepolisian untuk membuat tanda-terima bukti laporan / aduan warga, apapun laporan dan aduannya, sehingga warga pelapor memiliki bukti telah pernah mengadu / melapor, sehingga warga sipil memiliki kekuatan untuk melakukan “daya paksa” agar laporan / aduan secara serius ditindak-lanjuti—mengingat selama ini dan secara hukum akses keadilan pidana dimonopolisir oleh aparatur penegak hukum, terutama penyidik dari kepolisian.

Karenanya juga, benar bahwa prapradilan merupakan satu-satunya instrumen legal “daya paksa” yang dimiliki oleh warga sipil ketika berhadap-hadapan dengan aparatur penegak hukum (dalam hal ini ialah penyidik) yang mengabaikan tugas, wewenang, dan tanggung-jawab profesinya yang memonopolisir akses menuju peradilan pidana. Dalam praktik, bisa dikatakan bahwa hanya segelintir kecil aduan / laporan warga yang benar-benar dicatat (sehingga tercatat secara formal), yang benar-benar ditindak-lanjuti, dan yang benar-benar disidangkan pelaku / terlapornya di persidangan pidana sehingga berujung vonis hukuman pidana.

Sebagian besar laporan / aduan warga, berakhir kepada “pengabaian / penelantaran”. Alhasil, timbul kesan di benak banyak warga yang mulai skeptis, apatis, serta ragu untuk membuang-buang waktu melapor, agar tidak kembali merugi, yakni “rugi waktu” dan “rugi perasaan” yang kini justru pelakunya ialah kalangan polisi yang semestinya menegakkan hukum (aparatur penegak hukum). Ironisnya, sekalipun hanya segelintir kecil dari seluruh aduan / laporan warga yang benar-benar dicatat secara formal, benar-benar ditindak-lanjuti, dan benar-benar disidangkan dan bermuara pada vonis pemidanaan, namun KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Nasional justru terkesan mengumbar sanksi non-penjara, dengan alasan klise : penjara sudah penuh—sebuah kegagalan sistemik yang seolah dilestarikan dan menjadi “lagu lama”.

Fakta berikut adalah tidak terbantahkan : bila memang penyidik kepolisian benar-benar paham hukum pidana, maka tidaklah perlu penyidik melakukan gelar-perkara maupun olah tempat kejadian perkara (TKP) didampingi JPU dari Kejaksaan Negeri, juga tidak perlu ada berbagai “petunjuk” (P-19) dari JPU. Justru berangkat dari fakta demikian, kerendahan hati kalangan profesi penyidik-kepolisian menjadi penting, ketika terdapat warga yang memberanikan diri datang untuk mengadu / melaporkan, dengan tidak seketika menghakimi / mem-vonis secara prematur bahwa itu “bukanlah tindak pidana”.

Mungkin, idealnya Hukum Acara Pidana mengatur bahwa aduan / pelaporan atas dugaan tindak pidana alternatifnya dapat berada di loket Kejaksaan Negeri bila diabaikan oleh pihak kepolisian, lalu berbekal “petunjuk pendahuluan” dari JPU maka suka atau tidak suka pihak penyidik di kepolisian harus serta wajib menindak-lanjuti laporan / aduan pihak pelapor.

PEMBAHASAN:

Kemampuan untuk mencermati apakah suatu peristiwa hukum adalah pidana atau bukan, yang tidak banyak diketahui publik ialah bahwa peran Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjadi sentral. Kalangan JPU pula yang selama ini mencerdaskan kalangan penyidik kepolisian, lewat berbagai “petunjuk” yang diberikan oleh JPU di Kejaksaan Negeri setempat (semacam mentor / tutor pribadi peer to peer antara JPU dan penyidik kepolisian). Demikian pula untuk meyakinkan hakim bahwa seorang Terdakwa patut divonis pidana, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan ilustrasi konkret kefasihan / kepiawaian dan ketelitian kalangan profesi JPU yang mendakwa dan menuntut, lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 449 K/Pid/2023 tanggal 25 Mei 2023, sebuah perkara yang cukup kompleks karena bila tidak dicermati secara detail dan elaboratif, maka tampak sebagai kecelakaan biasa.

Terhadap dakwaan dan tuntutan JPU, yang kemudian menjadi Putusan Pengadilan Negeri Tarakan Nomor 183/Pid.B/2022/PN.Tar tanggal 7 November 2022, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa MUH. ASRUL bin HASANUDDIN terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Pembunuhan’;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa MUH. ASRUL bin HASANUDDIN oleh karena itu dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;”

Dalam tingkat Banding, yang menjadi Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur Nomor 245/PID/2022/PT.SMR tanggal 3 Januari 2023, berupa amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

- Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa MUH. ASRUL bin HASANUDDIN;

- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tarakan Nomor 183/Pid.B/2022/PN Tar, tanggal 7 November 2022, yang dimintakan banding tersebut;

- Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

- Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;”

Pihak Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa terhadap alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi I / Terdakwa dan Pemohon Kasasi II / Penuntut Umum tersebut, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:

1. Terhadap alasan kasasi Pemohon Kasasi I / Terdakwa;

- Bahwa alasan permohonan kasasi Terdakwa mengenai adanya kesalahan penerapan hukum atau penerapan hukum tidak sebagaimana mestinya yang dilakukan oleh judex facti (Pengadilan Negeri Tarakan dan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda) mengenai pemidanaan Terdakwa tidak dapat dibenarkan karena judex facti tidak salah menerapkan hukum dalam mengadili Terdakwa;

- Bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tarakan yang menyatakan Terdakwa MUH. ASRUL bin HASANUDDIN terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Pembunuhan’ dan oleh karena itu Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun, berdasarkan fakta dan pertimbangan hukum yang benar, yaitu:

- Bahwa Terdakwa pada saat menahkodai 1 (satu) unit speed boat berwarna putih hijau dengan logo ‘NIKE’ berwarna merah bertulisan CELEBES dengan mesin 250 PK merek Suzuki warna hitam dengan keadaan lampu yang tidak menyala sedangkan posisi saksi Rio Prasetyo berada di atap speedboat dan saksi Zulkarnaen alias Ukar duduk di bagian belakang speedboat dekat mesin;

- Bahwa pada saat itu kecepatan speedboat yang dinakhodai Terdakwa adalah 24,8 Knot dan ketika memasuki perairan Pamusian Tarakan dan akan berbelok masuk ke sungai, Terdakwa tidak menurunkan kecepatan speedboatnva sehingga saksi Rio Prasetyo yang berada di atas atap speedboat melihat ada speed boat bermesin 40 PK yang datang dari arah Tanjung Pasir Tarakan menuju ke arah speedboat Terdakwa dengan jarak ±100 meter, berteriak kepada Terdakwa ‘Awas ada speedboat 40’ namun Terdakwa tidak mendengarnya;

- Bahwa speedboat berwarna putih hijau dengan logo ‘NIKE’ berwarna merah bertulisan CELEBES dengan mesin 250 PK merek Suzuki warna hitam yang dinakhodai Terdakwa, lampunya dalam keadaan tidak menyala sehingga tidak terlihat oleh kapal maupun speedboat lainnya yang akan berpapasan dengan speedboat Terdakwa;

- Bahwa selanjutnya speedboat yang Terdakwa nakhodai tersebut bertabrakan dengan speedboad bermesin 40 Pk yang ditumpangi oleh Sdr. Agusliansyah, Sdr. Arfan dan Sdr. Rizky;

- Bahwa akibat tabrakan tersebut, seluruh penumpang di speedboat 40 PK yang berjumlah 3 (tiga) orang yaitu Sdr. Agusliansyah, Sdr. Arfan dan Sdr. Rizky sebagaimana hasil Visum et Repertum, meninggal dunia;

- Bahwa Terdakwa tidak melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib;

- Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas, perbuatan Terdakwa yang menyadari bahwa dirinya belum mempunyai Surat Kecakapan Kapal (SKK) sebagai syarat seseorang dapat mengemudikan kapal / speedboat, karena kemampuannya mengemudikan speedboat belum teruji dan Terdakwa juga sangat menyadari betul bahkan bisa memperkirakan bahwa apabila kapal yang dikendarainya / dinakhodainya tidak berlampu dan berjalan di malam hari, maka sudah pasti kapalnya tidak akan terlihat oleh kapal perahu / speedboat lainnya yang akan berpapasan dengannya, sehingga kemungkinan besar kapal / speedboatnya dapat ditabrak oleh kapal lain yang tidak melihatnya.

Terdakwa juga menyadari betul bahwa perairan yang akan dilewatinya adalah perairan yang dekat dengan Pelabuhan, serta perairan yang akan menyisir di pinggir Kota Tarakan, yang tentunya perairan seperti itu adalah perairan yang cukup ramai dilalui oleh kapal speedboat lainnya, sehingga speedboat Terdakwa seharusnya berjalan pelan, apalagi speedboatnya tidak berlampu, namun seluruh hal-hal tersebut, dikesampingkan oleh Terdakwa, bahkan dalam keadaan yang seperti tersebut di atas, Terdakwa mengemudikan kapal / speedboatnya dengan kecepatan tinggi yakni 24,8 knot.

Berdasarkan ajaran teori kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis) perbuatan Terdakwa yang mengendarai speedboat tanpa penerangan lampu pada malam hari dengan kecepatan tinggi di perairan yang ramai, maka sedari awal Terdakwa memang sengaja mengambil resiko bertabrakan dengan kapal lain, yang mana pada akhirnya kapal / speedboat yang dinakhodai Terdakwa benar-benar bertabrakan dengan speedboat lainnya dan mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dengan demikian perbuatan Terdakwa sedemikian rupa itu telah memenuhi semua unsur Pasal 338 KUHP sebagaimana dakwaan Penuntut Umum;

- Bahwa selain itu alasan kasasi dari Pemohon Kasasi I / Terdakwa tersebut tidak dapat dibenarkan, karena alasan keberatan tersebut hanya mengenai penilaian terhadap hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, keberatan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum diterapkan tidak sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

- Bahwa demikian pula pidana yang dijatuhkan judex facti telah pula dipandang adil dan seimbang dengan kesalahan Terdakwa. Judex facti telah mempertimbangkan aspek-aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam menjatuhkan pidana bagi Terdakwa dan judex facti dalam putusannya telah mempertimbangkan secara adil, objektif dan komprehensif keadaan yang memberatkan dan meringankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juncto Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga tidak terdapat alasan untuk memperbaiki putusan judex facti dalam perkara a quo;

2. Terhadap alasan kasasi Pemohon Kasasi II / Penuntut Umum;

- Bahwa alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum yang pada pokoknya Penuntut Umum sependapat dengan lamanya pidana penjara (strafmaat) yang dijatuhkan oleh judex facti dan mohon untuk menguatkan putusan judex facti tersebut;

“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dan ternyata pula putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I / Terdakwa dan Pemohon Kasasi II / Penuntut Umum tersebut dinyatakan ditolak;

M E N G A D I L I :

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II / PENUNTUT UMUM pada KEJAKSAAN NEGERI TARAKAN dan Pemohon Kasasi I / Terdakwa MUH. ASRUL Bin HASANUDDIN tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.