KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Vonis PERSONA NON GRATA sebagai Alternatif Vonis Hukuman Mati, Dibiarkan Hidup namun Diperlakukan Bak Almahum

Alternatif Vonis Pidana Penjara yang Lebih Menakutkan Kalangan Kriminal daripada Vonis Hukuman Mati

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Nasional, sejatinya merupakan KUHP warisan kolonial namun dengan kemasan baru. Kelak, akan kita jumpai kembali kasus-kasus dimana seorang terdakwa pelaku korupsi sebagaimana perkara korupsi di tubuh ASABRI maupun JIWASRAYA, yang dinyatakan terbukti bersalah namun divonis pidana penjara NOL tahun, karena maksimal pidana penjara kumulatif yang dapat dijatuhkan kepada seorang terdakwa hanya sebatas maksimum 20 tahun penjara lamanya, karenanya jika seorang kriminil telah menjelma kriminal, janganlah tanggung-tanggung dalam melakukan kejahatan seperti hanya melakukan korupsi di satu tempat saja—itu belum mengkalkulasi remisi yang bisa mencapai puluhan bulan totalnya.

Berlainan halnya bila sang pelaku diakumulasi vonis hukumannya yang bisa mencapai ratusan bahkan ribuan tahun pidana penjara sebagaimana praktik di negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, remisi sekalipun tidak akan membuat sang “kriminal berat” bisa menghirup udara bebas sampai akhir hayatnya, alias vonis “mati membusuk di balik jeruji penjara”. Begitupula vonis hukuman mati, kian tampak “lembek” dalam konsepsi KUHP Nasional karena kental nuasa kompromi, sekalipun saat kini saja penerapan eksekusi terhadap vonis hukuman mati masih bersifat “separuh hati”. Jika saja para regulator kita cukup berani dan kreatif dalam membuat revolusi dalam aturan pemidanaan, maka kita seharusnya telah memiliki KUHP yang benar-benar revolusioner, salah satunya alternatif vonis hukuman mati yang seharusnya bisa dirancang agar tidak kalah menakutkannya dengan dihukum mati.

Dewasa kini, negara-negara global mulai menerapkan sanksi “persona non grata” terhadap warganegaranya sendiri ketika terbukti melakukan “scam” (penipuan berbasis digital), alias para “scammer”. Terdapat salah satu makna yang menarik dari istilah “persona non grata” yang telah ternyata tidak selalu berkonotasi sikap politik suatu bangsa lokal terhadap diplomat asing, namun bisa juga bermakna “orang yang tidak disukai / tidak disenangi”. Para “scammer” tersebut tidak lagi dapat membuka rekening pada lembaga pembiayaan maupun keuangan, baik sebagai nasabah maupun debitor, tidak dapat mengakses padar modal, maupun sistem keuangan apapun. Ibaratnya, para “scammer” tersebut diberi sanksi berupa “dimatikan hak-hak keperdataannya”, di-“blacklist”.

Bila dalam rezim hukum internasional, negara yang dinilai melanggar hukum internasional diberi sanksi embargo produk maupun arus lalu-lintas keuangan, termasuk boikot dan sebagainya, maka sebagai pengganti vonis pidana mati, hak-hak keperdataan dan hak-hak sipil sang terhukum / tervonis / terpidana dapat juga diberlakukan, bilamana itu telah menjadi “hukum positif” (aturan hukum yang diterbitkan dan diberlakukan pada saat masa kini atau pada masanya tersebut). Vonis “persona non grata” dapat sama menakutkannya atau bahkan lebih menakutkan daripada vonis pailit maupun dimiskinkan bilamana Undang-Undang tentang Perampasan Asset telah benar-benar diterbitkan dan diberlakukan.

Undang-Undang tentang Perampasan Asset, mematikan hak-hak keperdataan yang telah ada saat vonis, bukan mematikan hak-hak keperdataan saat kini dan di masa mendatang, juga tidak mematikan hak-hak sipil yang bersangkutan. Namun ketika seorang terdakwa divonis “persona non grata”, hak-hak keperdataannya masa kini maupun di masa mendatang ataupun hak-hak sipilnya dapat dimatikan secara temporer kurun waktu tertentu maupun secara permanen. Hak-hak sipil yang dimatikan, semisal tidak dapat memiliki Surat Izin Mengemudi, tidak dapat memilih ataupun dipilih dalam pemilihan umum, tidak dapat mendirikan organisasi maupun menjabat dalam suatu organisasi, tidak dapat memiliki KTP (bila telah memiliki maka akan dicabut / dibatalkan) maupun Kartu Keluarga, tidak dapat memiliki Akta Perkawinan, passport, dan lain sebagainya.

Singkatnya, vonis “persona non grata” ibarat sang terpidana tidak lagi diakui sebagai warganegara, namun dipandang dan diperlakukan selayaknya warga asing pendatang, yang tidak dapat memiliki hak atas tanah, tidak dapat membuka maupun memiliki dana pada rekening, tidak dapat bersekolah karena identitas kependudukannya telah dihapus, tidak dapat ke luar negeri karena tidak lagi dapat diterbitkan passport atas nama yang bersangkutan, bahkan nama dan nomor indentitas kependudukan (NIK) yang bersangkutan telah dihapus dari database Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Secara lahiriah, sang terpidana masih eksis dan hidup alias masih dapat bebas berkeliaran, namun secara administrasi kependudukan telah benar-benar dihapus eksistensinya, sehingga menjelma “gelandangan tanpa identitas” yang hanya dapat bergentayangan namun eksistensinya dianggap tidak pernah ada.

Regulator kita pun dapat saja merancang regulasi, vonis pidana “persona non grata” dapat berupa mematikan hak-hak sipil semata, dengan seketika menerbitkan Akta Kematian bagi yang bersangkutan—sekalipun sang subjek terpidana tidak divonis hukuman mati—sehingga praktis segala aset atas nama dirinya jatuh ke dalam budel waris bagi para ahli warisnya, istri / suaminya seketika menjadi janda / duda, dan tidak lagi dianggap hidup secara administrasi kependudukan, alias telah tercatat sebagai berstatus almarhum dalam database Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Bagaimana mungkin, orang mati dapat mendirikan perusahaan ataupun menjadi direksi, memilih ataupun dicalonkan dalam suatu pemilihan umum, menikah ataupun diceraikan, menjual ataupun membeli aset, membuka ataupun menarik isi rekening, dan lain sebagainya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.