Masalahnya Bukan Terletak pada Regulasi, namun pada
Integritas-Mentalitas Aparaturnya
Buat Apa jadi Orang Baik, jadi Penjahat (Pendosa) Saja Masuk Surga Lewat Iming-Iming “PENGHAPUSAN DOSA” (too good to be true)—sekalipun hanya Seorang PENDOSA yang Butuh “PENGHAPUSAN DOSA”
Question: Bukankah di Indonesia, tidak pernah kekurangan kaum agamais yang mengaku bertuhan dan beragama yang rajin beribadah, sehingga mengapa regulator selaku pembuat kebijakan, kini mulai merancang jarak antara masyarakat pemohon layanan publik dan aparatur di kantor-kantor pemerintahan dengan membuat aplikasi digital pelayanan publik sehingga tidak perlu berjumpa ataupun bertatap-muka dengan aparatur? Bukankah itu artinya, mesin atau robot atau AI masih lebih jujur dan lebih ideal ketimbang manusia-manusia yang katanya ber-agama dan ber-tuhan? Pertanyaan kedua, apakah aplikasi-aplikasi pelayanan publik tersebut, benar-benar bisa menyelesaikan masalah pungli yang selama ini menghantui warga?
Brief Answer: Ketika pemerintah pro terhadap rakyatnya, dengan
membuat berbagai aplikasi sehingga tidak menjadi objek “mangsa empuk” oleh para
Aparatur Sipil Negara ataupun Pegawai Negeri Sipil (para “civil servant”) yang nyata-nyata digaji dari pajak yang dibayar
oleh masyarakat, maka itu adalah bukti konkret tidak terbantahkan bahwa
“agamais” justru “negatif”, “toxic”,
“patut dibuat jarak”, “korup”, “predator”, “jahat”, “kanibal”, dan lain
sebagainya yang berkonotasi negatif, sehingga patut digantikan dengan aplikasi
digital bagi warga pemohon pelayanan publik yang lebih “civil friendly”. Lantas, bila kita saja alergik terhadap
manusia-manusia “agamais” semacam itu, atas dasar delusi apakah “manusia
sampah” semacam itu hendak disukai dan dipersatukan dengan Tuhan, ibarat “nila
setitik rusak susu sebelanga”?
Sejatinya regulasi yang mengatur mengenai prosedur, perizinan, SOP, dan
lain sebagainya, telah ada “hukum positif”-nya yang begitu ideal redaksional
pengaturannya. Namun, kembali lagi kepada “the
man behind the gun / SOP”, dimana hukum tertinggi tetaplah “moralitas”.
Seminim apapun aturan hukum dirancang dan dibentuk, jika moralitas aparaturnya
berintegritas, maka publik terlayani dan terlindungi dari aparatur-aparatur
“predator”. Sebaliknya, sebanyak dan segemuk apapun peraturan dibentuk, bila
moralilitas manusia dibaliknya ialah korup, maka kesemua prosedur, peraturan,
dan aturan hukum apapun akan “di-akali” ataupun ditemukan / dibuat celah
hukumnya.
Sebagai contoh, Kode Etik anggota Kepolisian POLRI tercatat sebagai Kode
Etik ter-tebal dan ter-gemuk dari segala profesi yang ada, namun dapat kita
lihat sendiri drama-drama dan intrik-intrik yang bahkan menjerat Kepala Divisi
Propam POLRI (polisi-nya polisi) yang bernama Fredy Sambo. Fenomenanya
berkebalikan dengan Kode Etik Kejaksaan, minim substansi namun padat etika.
Hanya seorang pengecut—lawan katanya ialah jiwa ksatria—yang tidak berani
bertanggung-jawab ataupun dimintakan pertanggung-jawaban atas
perbuatan-perbuatannya sendiri, dimana tidak jarang bahkan kalangan korban
harus mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari sang pelaku.
PEMBAHASAN:
Masyarakat, warga,
pekerja, maupun pelaku usaha yang membutuhkan izin, maka dapat dipastikan akan
berupaya agar izin diperoleh, sekalipun dipersulit atau bahkan dijadikan objek
“pungutan liar” (pungli). Sadarkah Anda, silih-berganti Aparatur Sipil Negara
kita berganti oleh generasi baru, namun budaya “pungutan liar” tetap terjadi,
maka itulah watak mentalitas bila tidak dapat disebut sebagai akar budaya
bangka kita. Itu sikap bangsa kita terhadap sesama anak bangsa, namun mengapa
bangsa kita begitu “sok moralis” dan mencoba menjadi “polisi moral” bagi isu
geopolitik global (eksternal) semisal di Gaza-Palestine jauh di sana? Nasional
bermakna, tidak menyakiti, juga tidak melukai dan tidak merugikan sesama anak
bangsa. Sudahkah bangsa kita berjiwa nasionalis? Semut di seberang samudera,
tampak. Namun gajah tepat di depan mata, tidak tampak?
Karenanya, berangkat dari
latar-belakang sosio-politis di atas, para aparatur kita menyadari dan mengetahui
betul, sekalipun permohonan izin mereka dipersukar, pada ujungnya masyarakat
selaku warga tidak berdaya menghadapi perilaku “monopoli” penyelenggara negara
selaku penerbit perizinan, baik permohonan secara manual maupun via daring-online. Sebagai contoh dalam kasus
pemerasan izin penggunaan tenaga kerja asing, sekalipun selama ini proses
perizinan berlangsung secara tanpa tatap-muka alias online, namun modus yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja
sehingga terjaring “OTT” (operasi tangkap-tangan) oleh KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada pertengahan tahun 2025 ialah dipersulit atau bahkan
diabaikannya permohonan pemohon, sehingga pemohon yang merasa perlu /
membutuhkan izin tersebut, terpaksa mendatangi Kementerian Tenaga Kerja
sehingga ibarat ikan yang masuk sendiri ke dalam jaring perangkap yang dipasang
sang oknum—oknum-nya berjemaah, generasi demi generasi.
Itu menjadi contoh
sempurna, se-ideal apapun SOP, aturan, maupun prosedur perizinan dibentuk, bila
dibaliknya masih ialah “agamais”, maka semua itu hanya akan menjelma formalitas
belaka. Sebenarnya korupsi “pemerasan terselubung” yang paling “gemuk” terjadi
di tubuh POLRI, dimana warga dipersulit ketika mencoba memohon SIM (surat izin
mengemudi), lalu POLRI melakukan “pemerasan terselubung” dengan kedok
“sertifikat latihan mengemudi” yang mana warga pemohon SIM harus membayar biaya
tambahan kepada pihak penyelenggara “latihan mengemudi” demi mendapatkan
sertifikat tersebut agar dapat seketika diberikan SIM dimana ujian praktik
mengemudi sekadar menjadi formalitas belaka, dimana “latihan mengemudi” itu pun
sekadar formalitas mengingat lokasinya di area dalam lingkungan pembuatan SIM
serta tanpa benar-benar terdapat pelatihan yang memadai dan personal.
Satu orang warga, harus
merogoh-kodek “pemerasan terselubung” ala POLRI untuk mendapatkan SIM, sebesar
Rp500.000 (besaran biaya pada sekitar tahun 2017), dimana dapat dipastikan
terdapat aliran uang dari pihak swasta penyelenggara “latihan mengemudi” kepada
petinggi POLRI yang mengepalai kantor penerbitan SIM. Jika dalam sehari
terdapat seribu warga pemohon SIM, maka 1.000 x Rp500.000 = Rp500.000.000 uang
hasil “pungli” berhasil dihimpun. Silahkan Anda kalikan sendiri setahun,
seberapa besar “pemerasan terselubung” yang terjadi di tubuh POLRI selama ini,
terjadi secara vulgar serta sudah menjadi “rahasia umum”.
Yang namanya “butuh”, maka
dijadikan objek pemerasan (baik secara terselubung maupun secara
terang-terangan ala premanisme), maka dapat dipastikan warga sipil akan pasrah
menerima kenyataan dengan menuruti kemauan sang pemeras, tanpa daya. Dalam
praktik, sebagian rezim perizinan bermuara pada formalitas belaka, serta
menjadi objek pungutan liar. Bahkan, apa yang dilakukan tanpa izin sekalipun,
dapat “di-putih-kan” dikemudian hari. Bila Lord Acton memiliki anekdot yang
termasyur : “Power tends to corrupt”,
maka penulis memiliki adagium yang lebih membumi dan relevan dengan konteks
masyarakat di Indonesia, yakni : “Kekuasaan
monopolistik yang dibalut perizinan, tends to corrupt”.
Disebut “oknum”, bila
sifatnya hitungan jari. Jika polanya ialah generasi demi generasi, sekalipun
aparaturnya silih-berganti, itu bukanlah “oknum”, namun memang watak karakter
atau wajah kultur bangsa kita. Ini dan itu, disebut “haram”, dilarang, diancam hukuman
masuk neraka, dan lain sebagainya. Namun ujung-ujungnya, dinegasikan oleh dogma
internal keagamaan itu sendiri yang justru mengajarkan “PENGAMPUNAN /
PENGHAPUSAN DOSA”—sehingga menyerupai sebentuk “contradictio in terminis”, dua proposisi yang saling menegasikan
satu sama lainnya, melahirkan delusi “superior” yang semu. Itu lebih layak
disebut “Agama SUCI” ataukah “Agama DOSA”?
Babi, disebut “haram”.
Namun ideologi KORUP (bagi KORUPTOR DOSA, tentunya) semacam “PENGAMPUNAN /
PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins)
justru diklaim sebagai “halal” serta dijadikan maskot”halal lifesytle” yang begitu dibangga-banggakan oleh kaum “agamais”
tersebut. AURAT TERBESAR ialah berbuat kejahatan yang tercela, semisal
menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya. Sekalipun sekujur
tubuh dibalut busana, akan tetapi tanpa rasa malu ataupun tabu, justru secara
vulgar mempromosikan “PENGHAPUSAN DOSA” lewat speaker pengeras suara kepada
publik luas, alih-alih mengkapanyekan gaya hidup higienis dari dosa dan
maksiat.
Terhadap dosa dan maksiat,
begitu kompromistik. Akan tetapi mengapa terhadap kaum yang berbeda keyakinan,
begitu intoleran? Ketika masih sebagai minoritas, kaum “agamais” tersebut
menikmati serta menuntut toleransi dari Bangsa Buddhist Nusantara abad ke-15
Masehi era Majapahit (agama Nenek Moyang Bangsa Nusantara sejak abad ke-5
Masehi), namun ketika menjelma mayoritas mereka justru ingin memberangus
toleransi yang dahulu / semula mereka nikmati. “Kabar gembira” bagi penjahat
(pendosa), sama artinya “kabar buruk / duka” bagi kalangan korban—kesemuanya
dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
PENDOSA,
namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia,
agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Ibarat orang BUTA
yang hendak menuntun para BUTAWAN lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga.
Siapakah yang paling mengharap dihapus dosa-dosanya? Tentunya para PENDOSA.
Semakin BERDOSA, semakin sang PENDOSA tergila-gila mencandu dan mabuk
“PENGHAPUSAN DOSA”. Mabuk “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan
juga kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (keduanya bersifat “bundling” alias satu
paket). Alih-alih sibuk bertanggung-jawab terhadap korban-korban yang
bersangkutan atau sibuk berbuat kebaikan bila tidak sibuk berlatih disiplin
diri yang ketat (self-control),
justru lebih sibuk memohon “PENGAMPUNAN DOSA” (teladan buruk lebih nyata
daripada kata-kata yang dibaluri madu)—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]