KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Advokat (Kuasa Hukum) Semestinya hanya Berhak Mewakili “Pemberi Kuasa” di Dalam Persidangan, bukan di Luar Persidangan

Imunitas Profesi Advokat, Kerap Disalahgunakan Oknum-Oknum “Pengacara Nakal”

Idealnya, profesi pengacara, atau yang beken dikenal dengan sebutan “advokat” ataupun “lawyer”, hanya dapat mewakili subjek hukum kliennya di dalam pengadilan, bukan “diluar dan didalam pengadilan”. Berangkat dari dasar argumentasi dan fakta empirik apakah? Dalam praktik di lapangan, banyak penulis temui modus-modus para pelaku mafia tanah, yang keseluruh proses aktivitas mafianya memakai “bumper” kalangan advokat, dengan kedok “kuasa hukum”.

Sang advokat selaku “kuasa hukum” dari subjek principal (klien sang pengacara), terlibat aktif dalam skenario maupun modus operandi sang mafia tanah—atau bahkan lebih jauh lagi, memberikan saran dan nasehat jahat kepada sang klien untuk bermain di “celah hukum” dalam rangka “memancing di air keruh”. Namun, mengapa dalam praktik peradilan perkara pidana selama ini di Indonesia, yang dijerat ialah pelaku tunggal, yakni sang subjek principal alias sang klien dari sang “kuasa hukum” semata, sekalipun nyata-nyata sang “kuasa hukum” merupakan pelaku turut-serta (deelneming)? Ingat, mereka dibayar untuk itu, bukan cuma-cuma.

Bila wakil atau utusan dari sang mafia tanah, ialah warga sipil biasa non-advokat, maka seketika itu juga aparatur penegak hukum menjeratnya sebagai pelaku turut-serta, dengan mendudukkannya dengan status sebagai “Terdakwa II” disamping sang pelaku otak intelektual yang memberi perintah kepada sang utusan yang didudukkan sebagai “Terdakwa I”. Namun, mengapa bila pelaku yang turut terlibat, yang dijadikan “kaki-tangan”, ialah berlatar-belakang advokat, maka diri sang advokat menjadi “imun”—dengan mengatas-namakan atau mengalah-gunakan Undang-Undang tentang Advokat yang mengatur bahwa seorang Advokat dalam menjalankan perannya sebagai pengacara, tidak dapat dituntut secara pidana.

Celah hukum demikian, dijadikan alat eksploitasi mengingat advokat diperkenankan mewakili sang klien baik diluar maupun didalam pengadilan. Alhasil, ketika sang advokat menjadi kaki-tangan yang menjalankan rencana jahat pihak yang mengutus atau membayar dirinya, sang “kaki-tangan” berlindung dibalik statusnya yang notabene seorang advokat. Itulah sebabnya, tren atau kecenderungan terkini, banyak antek-antek mafia tanah, mafia beras, mafia minyak goreng, mafia pupuk, dan mafia-mafia lainnya—negeri ini tidak pernah kekurangan kalangan mafia—kerap kali menyandang gelap advokat, dan mereka bebas berkeliaran menghirup udara segar sekalipun kegiatan atau aktivitas sehari-harinya ialah terlibat aktif secara langsung dan signifikan dalam aksi kejahatan pihak yang merencanakan, membiayai, memberikan sarana, maupun yang menyuruh.

Kabar buruknya, seluruh pelaku “otak intelektual” atau subjek mafia tersebut selalu menggunakan “kaki-tangan” (orang suruhan atau utusan atau wakil) dalam melaksanakan rencana maupun aksi kejahatannya, dan biasanya kaki-tangan suruhannya ialah berlatar-belakang advokat. Kita ambil contoh sederhana berikut sebagai konstruksi peristiwa peran advokat dalam mewakili kejahatan klien yang bersangkutan. Ada seorang terdakwa, yang menyuruh pengacaranya menyuap hakim yang menyidangkan perkara sang terdakwa. Cermati frasa “mewakili” sebagai “wakil” dari sang klien, bukankah terdengar sebagai alasan “klise”?

Ketika sang penyuap, yang notabene sang pengacara, tertangkap tangan oleh aparatur penegak hukum, sang “kuasa hukum” kerap membangun alibi klasik (lagu lama) : “Saya hanyalah ‘kuasa hukum’ yang sekadar mewakili klien saya. Ini uang klien saya, yang menyuap dan yang diuntungkan ialah klien saya, bukan saya, sementara saya hanyalah advokat yang mewakili klien, dan seorang advokat imun dari pemidanaan ketika sedang mewakili klien, baik diluar maupun didalam pengadilan.”

Sang pengacara, sejak awal tahu betul adanya niat jahat dari sang klien, namun tetap melakukan kejahatan mewakili atau demi kepentingan sang klien, karenanya sang advokat “terlibat aktif” secara nyata dalam kejahatan yang dilakukan oleh sang klien sebagai “perpanjangan tangan”, dengan klasifikasi delik sebagai “pelaku turut-serta” yang saling bermufakat (adanya unsur persekongkolan). Karenanya, aparatur penegak hukum perlu memahami, bahwa yang disebut “mewakili klien” dalam Undang-Undang Advokat, ialah dalam rangka itikad baik kedua belah pihak, baik pihak subjek principal “pemberi kuasa” maupun dari pihak advokat selaku “penerima kuasa”.

Setidaknya, ketika sang pengacara “patut menduga” adanya niat jahat dari sang klien, maka ia berhak untuk menolak menjadi wakil, dan itu sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Advokat—yang sayangnya, banyak dilupakan atau diabaikan oleh kalangan profesi advokat di Tanah Air—sehingga istilah “wakil” sejatinya selalu terkandung “pilihan bebas” (free will) dari sang pengacara apakah menerima akan atau tidak akan menerima pemberian kuasa untuk menjadi “kuasa hukum” yang bersangkutan.

Disamping indikator apakah sang pengacara memiliki itikad baik dalam menjalankan tugasnya selaku “wakil” dari sang subjek principal “pemberi kuasa”, perlu juga dicermati sampai sejauh apakah keterlibatan dari sang pengacara dalam mewakili dan melaksanakan rencana ataupun aksi kejahatan dari sang subjek principal, dengan mengajukan pertanyaan berikut : seberapa signifikan peran aktif dari sang advokat selaku “kuasa hukum”, dalam mewakili klien dimana sang klien dikemudian hari terbukti atau disangkakan atau terdapat bukti permulaan yang cukup untuk patut diduga melakukan kejahatan / delik yang diancam pidana?

Bila peran aktifnya terlampau signifikan, semisal terlibat dari sejak awal serangkaian modus kejahatan sang klien, maka sang pengacara patut menduga adanya niat tidak baik dari kliennya, dan memiliki “kehendak bebas” untuk tidak turut terlibat lebih jauh lagi. Sejatinya, Kode Etik tertinggi segala jenis profesi ialah dua prinsip berikut : akal sehat (common sense) dan tidak merugikan pihak manapun.

Bukan meluluskan seseorang menjadi advokat hanya atas dasar “ilmu hafalan” pasal-pasal peraturan perundang-undangan ataupun hafal tidaknya isi Kode Etik yang tidak benar-benar dapat disebut “etika”—lihatlah wajah para petinggi Organisasi Advokat kita di Tanah Air, saling berebut kekuasaan sehingga pecah setidaknya menjadi tiga organisasi, mereka sama sekali tidak mencerminkan etika berorganisasi sehingga patut diragukan daya tindak etika profesinya sendiri.

Tengoklah Kode Etik profesi Notaris yang lebih menyerupai Anggaran Dasar sebuah Perusahaan, sehingga tidak heran profesi Notaris merupakan profesi yang paling dekat dengan mafia tanah saat merampas hak atas tanah pihak lain (dalam banyak kasus yang penulis jumpai, kalangan Notaris berani menerbitkan Akta Jual-Beli (AJB) sekalipun tidak ada “alas hak” dari pihak penjual baik berupa girik maupun sertifikat hak atas tanah dari BPN)—sekalipun, Notaris secara hukum hanya berhak menerbitkan PPJB (perjanjian perikatan jual-beli) bila “alas hak”-nya belum eksis, semisal belum pecah sertifikat induk. Namun Notaris berani menerbitkan AJB, sekalipun pihak penjual sekadar mengklaim “gunung atau kebun anu seluas ratusan ribu meter persegi, adalah milik saya selaku penjual”.

Tengoklah juga Kode Etik POLRI, setebal modul perkuliahan anak kuliah, namun apakah sejalan dengan praktiknya di lapangan? Fredy Sambo, Kadiv PROPAM POLRI (polisinya polisi), telah ternyata pelaku pembunuhan. Anda akan terkejut ketika mendapati Kode Etik profesi Kejaksaan yang ternyata begitu minim substansi, namun kaya makna, dimana pelanggaran terjadi tidak semasif di lingkungan POLRI. Bila ingin disarikan esensinya, Kode Etik tertinggi ialah cukup diwakili satu kata, yakni : moralitas—yang kini langka di republik tercinta kita, dimana logam mulia masih dapat kita temukan di pasar-pasar tradisional, namun kejujuran tidak mudah ditemukan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.