KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Politik PESUGIHAN Presiden Republik Indonesia, Kebijakan Populis Bakar Uang dengan Mengorbankan Pembayar Pajak

Bangsa Indonesia, “Warga IQ 78”, Posisi BUNCIT, Terbelakang dalam Ukuran Kecerdasan Intelektual yang Berdelusi Memiliki EQ dan SQ Tertinggi di Dunia

Question: Sebenarnya mudah atau tidak, menjadi kepala negara untuk negara dengan jumlah penduduk dan kekayaan alam begitu besar seperti Indonesia ini, lengkap dengan segala kompleksitas sosial dan politiknya?

Brief Answer: Siapapun sejatinya bisa, menjadi Kepala Negara / Pemerintahan di Republik Indonesia ini. Mengapa? Bangun infrastruktur ini dan itu, mendulang popularitas pemberian bantuan sosial, menaikkan upah pegawai negeri sipil, program makan bergizi bagi anak-anak, namun kesemua itu atas dasar HUTANG (warga pembayar pajak yang harus membayar dan menanggungnya) serta menggenjot penarikan pajak dari para wajib pajak secara “ketok harga” (angka pajak terhutang yang ditagihkan “main asal tembak”).

PEMBAHASAN:

Kenaikan Upah Minimum Provinsi mencapai hampir tujuh persen, makan bergizi (tapi murahan) bagi para anak dan ibu hamil, gaji Aparatur Sipil Negara dinaikkan (jika perlu gaji ke-20), gaji guru naik (plus embel-embel tunjangan ini dan itu), gaji hakim naik (namun masih mendambakan gratifikasi serta pemerasan jual-beli putusan), menghapus kredit macet para debitor, akan tetapi kesemua itu memakai / menggunakan hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri, atau jalan pintas seperti memungut pendapatan dari para Wajib Pajak dimana seorang ibu penjual pecel viral karena ditagih pajak tiga juta Rupiah per bulan. Berangkat dari paradigma aktual demikian, sejatinya siapapun bisa menjadi seorang presiden di republik bernama Indonesia ini, semudah obral gaji naik, obral bantuan sosial, pastilah populer dan terpilih kembali untuk ke-100 kalinya.

Bangsa kita memiliki IQ rata-rata diangka 78 (dimana IQ 70 tergolong “disabilitas kognitif”) sehingga mudah untuk dibodohi serta dimanipulasi oleh penguasa yang berkuasa membangun narasi secara linear. Alhasil, para elit politik kita menyadari betul lemahnya daya pikir dan daya kritis rakyatnya, sehingga kerap dieksploitasi untuk kepentingan para segelintir elit politik. Masyarakat kita tidak mau menyadari, bahwa kesemua itu ditanggung oleh rakyat itu sendiri pada gilirannya, dimana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini semakin tidak akuntabel memungut pajak dari masyarakat (dengan angka tagihan yang tidak jelas perhitungannya, memeras warga sendiri dengan berkedok pajak) dengan dalil meningkatkan pendapatan negara, kabinet gemuk yang dibiayai / ditanggung oleh warga pembayar pajak, kenaikan pajak yang mencekik rakyat luas (rakyat itu sendiri yang sejatinya membiayai program-program populis dan bombastis Kepala Negara), maupun jumlah hutang pemerintah yang kian menyerupai “gunung hutang” yang suatu waktu pasti akan “meletus” karena harus ditanggung oleh warga pembayar pajak, hingga menghapus piutang atas kredit macet yang lagi-lagi membebani rakyat pembayar pajak.

Per akhir tahun 2024, jumlah hutang pemerintah Republik Indonesia telah mencapai angka lebih dari 8.500 triliun Rupiah, dimana bunga yang harus dibayarkan sebesar 800 tritilun Rupiah, kecenderungannya hutang akan kian meningkat kian tahunnya, sebagaimana rezim-rezim pemerintahan kita sebelumnya. Pertanyaan terbesarnya, mau sampai kapan hutang-hutang tersebut terakumulasi dan menggunung? “Warga IQ 78” membeo teori “ekonomi irasional” yang menyebutkan, hutang negara yang masih dalam kisaran 30—40% dari PDB adalah “aman”. PDB (product domestic bruto) bukanlah aset milik pemerintah, namun aset milik rakyat. Bagaimana mungkin, basis penilaian kesehatan keuangan pemerintahan suatu negara dibanding rasio hutangnya justru memakai basis PDB alih-alih pendapatan per kapita penduduknya?

Sipil ketika meminjam hutang ke lembaga keuangan maupun pembiayaan, meminjam hutang dengan agunan berupa aset milik pribadi maupun milik penjamin. Bagaimana ceritanya, pemerintah yang meminjam hutang (baik dalam maupun hutang luar negeri), namun aset milik rakyat yang digadaikan dan dijadikan jaminan? Idealnya, aset-aset milik pemerintah yang dijadikan agunan hutang-hutang pemerintah tersebut [lihat Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara). Disaat bersamaan, secara egoistik pemerintah mengatur bahwa aset-aset milik pemerintah tidak dapat disita ataupun dilelang, apapun alasannya, sekalipun pemerintah “gagal bayar” atas hutang-hutang yang telah dibuatnya dan ingkar-janji membayar ataupun melunasi. Alhasil, aset milik rakyat-lah yang kemudian ditumbalkan alias dijadikan korban yang harus menanggung segala hutang-hutang yang dibuat oleh pemerintah.

"Pasal 1340 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.” Pemerintah yang berhutang, namun warga masyarakat yang harus menanggungnya dan dijadikan “tumbal”. Itulah, yang disebut sebagai “politik PESUGIHAN”. Jika pada akhirnya, “gunung hutang” yang menyerupai “Skema Ponzi Piramida” (praktik gali lubang dan tutup lubang) tersebut terakumulasi mencapai titik terpuncak yang tidak lagi mampu ditanggung, bahkan sekadar untuk membayar bobot beban bunganya pun tidak lagi mampu, siapa yang harus membayarnya, warga masyarakat? “Warga IQ 78” tidak pernah mau ataupun tidak mampu menyadari “bom waktu” yang sewaktu-waktu akan meledak dikemudian hari, hanya persoalan waktu, cepat atau lambat.

Kesemua fenomena politik di atas, tampaknya dipelajari oleh pemerintah dari dogma irasional berikut, yang meng-halal-kan segala cara demi “ego pribadi”, dimana seorang ayah sekalipun demi “ego pribadi”-nya hendak menyetubuhi puluhan bidadari “berdada montok yang selaput daranya dapat didaur-ulang” tega dan dibenarkan untuk menyembelih serta menumpahkan darah anak kandungnya sendiri (tumbal yang dikurbankan), bahkan dirayakan oleh umat “agamais” di republik kita setiap tahunnya, yakni dimulai dari kisah pengorbanan Ishak (Ismail) atas perintah Allah kepada Abraham (Ibrahim) tercatat dengan eksplisit dalam Kitab Kejadian, (Alkitab) 22:1-3.

(1) Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.”

(2) Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”

(3) Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. [NOTE : Menurut ilmu hukum, sudah terjadi delik “percobaan pembunuhan”, karena melakukan persiapan disamping juga merupakan delik “pembunuhan berencana”—sudah terdapat “niat jahat” untuk menyembelih lengkap dengan segala perangkat pendukungnya untuk menyembelih.]

Peristiwa pengurbanan ini diceritakan juga dalam Al-Quran dalam versi yang sangat singkat, dan tanpa menyebut secara jelas nama anak yang akan dikurbankan oleh Ibrahim. Mari kita simak ayat-ayat Al-Quran yang bercerita tentang kisah perintah Allah kepada Ibrahim versi Al-Quran sebagai berikut dalam Surah Ash Shaffat ayat 100 - 111.

(100) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.

(101) Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. [NOTE : Namun menjadi kabar buruk bagi sang anak yang memiliki ayah kandung yang EGOISTIK dan NARSISTIK!]

(102) Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar”. [NOTE : Sang anak “durhaka” ini telah mencelakai ayah kandungnya sendiri dengan membiarkan tangan sang ayah banjir darah karena menumpahkan darah anak kandungnya sendiri. Sang anak pun tidak menghargai hidup pemberian Tuhan. Penjahat yang paling beruntung ialah penjahat yang selalu gagal melancarkan niat jahatnya, sementara itu penjahat yang paling malang ialah penjahat yang selalu lancar ketika hendak mewujudkan niat jahatnya.]

(103) Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

(104) Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,

(105) susungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang berbuat baik. [NOTE : Sang setan menang, dua orang dungu membenarkan bisikan sang setan.]

(106) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. [NOTE : Pertanyaannya, Tuhan Maha Tahu, mustahil masih perlu menguji umat manusia yang usianya sudah setua uzia Planet Bumi. Hanya setan, yang merasa perlu menguji kedunguan umat manusia.]

(107) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

(108) Kami abadikan Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang yang dating kemudian.

(109) (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. [NOTE : Anda lihat, yang punya niat buruk dan jahat untuk membunuh orang lain, justru diberikan “reward” alih-alih diberi “punishment”. Jika yang berlaku ialah hukum pidana, jelas bahwa sang ayah terkena delik pasal “percobaan pembunuhan berencana”, alias kriminal, penjahat.]

(111) Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Seorang ayah yang betul-betul mencintai putera-puterinya, akan memilih dilempar ke neraka daripada menyakiti anak tercintanya tersebut. “Warga IQ 78” kita, alih-alih mencela dogma-dogma “sesat penuh egosentris” di atas, justru merayakannya setiap tahun, serta menirunya sehingga “dukun jahat pesugihan laris manis” karena dipromosikan oleh Agama Samawi. Akibat apakah? Pendosa, hendak berceramah perihal hidup suci, lurus, baik, mulia, luhur, serta beradab? Itu menyerupai orang buta yang hendak menuntun para butawan lainnya, dimana neraka pun disebut sebagai surga, dan berbondong-bondong bergerak menuju alam rendah tersebut dengan rasa bangga dan terjamin.

“Warga IQ 78” kita pun menyebut dogma-dogma berikut sebagai “Agama SUCI” alih-alih menyadarinya sebagai “Agama DOSA” yang mempromosikan “penghapusan dosa” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa—sekalipun nyata-nyata hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan / penebusan / pengampunan dosa” (abolition of sins, too good to be true). Babi, disebut “haram”. Namun “penghapusan dosa”, disebut “halal” (halal lifestyle):

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Tidak banyak yang dapat kita harapkan dari “Warga IQ 78”. Kepala Negara yang jelas-jelas dan nyata-nyata membodohi rakyatnya sendiri, di-elu-elu-kan serta begitu populer dicintai rakyatnya yang “dungu”. Kini Anda menjadi maklum serta mahfum mengapa “Warga IQ 78” kita disebut “bonus demografi” oleh pemerintah, alih-alih memandangnya sebagai “petaka demografi”—semata karena bangsa dengan rata-rata IQ diangka 78 memang mudah untuk dibodohi, diperdaya, serta dimanipulasi disamping dieksploitasi untuk kepentingan para pemegang kekuasaan di republik “agamais” ini. Berikut penjelasan, mengapa bangsa kita kerap mengeluhkan mahalnya barang-barang kebutuhan pokok, korupsi merajalela seakan dipelihara, negeri subur dan kaya akan kekayaan alam namun segala produk hortikultura hingga garam pun masih impor sampai-sampai bangsa kita begitu melaratnya sehingga menyerupai “bangsa gelandangan” yang untuk urusan paling dasar sekalipun seperti makan pun harus diberikan oleh pemerintah (memakai uang Wajib Pajak, tentunya), mengutip sabda Sang Buddha:

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.