KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Romantisme Dunia Ketenagakerjaan yang Mengingkari Perubahan Zaman, TEKS Tidak Lagi Sejalan dengan KONTEKS Zaman dan Era

Aturan Hukum Harus IDEALIS ataukah RASIONALIS?

Ketika TEKS Terlepas / Diasingkan dari KONTEKS-nya, Jadilah Norma Hukum yang Buta, Membabibuta

Ketika konteks berubah, maka teks (normatif hukum) harus diubah. Itulah yang disebut kebijakan yang rasional. Sebaliknya, lawan kata dari sikap rasional ialah sikap kaku yang bernama “idealis” yang seakan tidak menjejakkan kaki ke bumi alias tidak membumi. Ironisnya, kalangan buruh yang tampak di keseharian bersentuhan langsung dengan dunia ketenagakerjaan, seakan tidak memahami apa itu “bumi” dan “membumi”. Mereka seakan hidup dalam sebuah utopia bernama “romantisme masa lampau” yang sudah tidak relevan dengan kondisi ketenagakerjaan di tingkat lokal maupun global. Menurut para pembaca, aturan hukum yang humanis haruslah bersifat “idealis” ataukah “rasionalis”? Artikel ini akan menjawabnya untuk Anda.

Dahulu, saat Undang-Undang Cipta Kerja untuk pertama kalinya diterbitkan sebelum pandemik Corona Virus melanda dunia pada tahun 2020, penulis menjadi satu diantara banyak kalangan yang menentang perubahan-perubahan berbagai ketentuan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kini, memasuki era disrupsi digital AI (Artificial Intelligence) maupun “generative AI” dan robot-robot yang mampu menggantikan banyak fungsi “tenaga kerja manusia”, sehingga lini produksi berbagai manufaktur menjadi terotomatisasi, pada saat itu pula konteks dunia ketenagakerjaan sudah berubah, secara drastis dan dramatis. Ancaman nyata kini sudah berada persis di depan mata kita, berbagai lapangan pekerjaan tidak lagi terbuka luas akibat berbagai industri telah bersifat “padat modal” alih-alih “padat karya”, dan berbagai “tenaga kerja manusia” telah digantikan fungsi dan perannya oleh “robot-robot yang dilengkapi AI” dalam rangka “efisiensi usaha”.

PHK (pemutusan hubungan kerja) massal menjadi tren global, tidak terkecuali di Indonesia, dan disaat bersamaan lapangan pekerjaan semakin sempit serta selangka mencari bongkahan logam mulia. Itulah konteks dunia kekinian ketenagakerjaan kita, tanpa terkecuali, serta telah menjadi kenyataan fenomena global. Tengoklah ketika Undang-Undang Cipta Kerja diberlakukan, berbagai pemberitaan terkait PHK masal terjadi di Indonesia, sementara angka pengangguran untuk pekerja formal meningkat, dan disaat bersamaan daya beli menurun akibat jumlah kelas menengah menurun (akibat kehilangan pekerjaan ataupun tidak mampu mencari pekerjaan disamping tingkat upah yang rendah). Baru-baru ini, pada tanggal 31 Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi RI membatalkan sebagian ketentuan norma hukum terkait ketenagakerjaan pada Undang-Undang Cipta Kerja, sehingga sebagian besar ketentuan normatif tentang ketenagakerjaan kembali kepada Undang-Undang Ketenagakerjaan yang notabene diterbitkan lebih dari 20 tahun yang lampau.

Undang-Undang Ketenagakerjaan, diterbitkan lebih dari dua dekade yang lampau, ketika segala fungsi pekerjaan pada sektor produksi dan manufaktur masih cukup bersifat manual (padat karya) sehingga membuka banyak lapangan pekerjaan dimana daya tawar calon pencari pekerjaan cukup tinggi. Kini, kondisi telah berbanding terbalik, daya tawar calon pencari kerja menurun drastis akibat mereka harus berkompetisi dengan begitu banyak pencari kerja lainnya disamping “AI” yang kian cerdas dan kian melampaui kecerdasan seorang manusia (tenaga kerja robotik dan AI). Ketika Undang-Undang Ketenagakerjaan kembali diberlakukan, sekalipun konteksnya sudah jauh berbeda dari kondisi dua dekade yang lampau, maka pertanyaan relevan yang patut kita ajukan kepada kalangan buruh yang mengajukan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja tersebut ialah : mau dibawa kemana dunia ketenakerjaan di republik bernama Indonesia ini? Di negara-negara besar seperti di Amerika Serikat dan China, para sarjana di kedua negara tersebut telah menyatakan : kini, mencari-cari pekerjaan yang masih tersisa bagi manusia, adalah pekerjaan itu sendiri.

Secara tidak bijaksana (bila tidak dapat disebut sebagai “dungu”), para kalangan buruh yang tergabung dalam konfederasi buruh seluruh Indonesia tersebut merasa bangga ketika 90 persen dari tuntutan mereka dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi RI, sehingga praktis sebagian besar norma hukum ketenagakerjaan di Indonesia kembali kepada norma hukum Undang-Undang Ketenagakerjaan. Banyak diantara warga masyarakat kita, memberikan ucapan selamat dan apresiasi kepada kalangan buruh tersebut, tanpa mau menyadari bahaya laten dibalik semua “kegilaan membabibuta” tersebut, sewaktu-waktu siap “meledak” dan menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai “dampak sosial”. Seyogianya, kalangan buruh tersebut memetakan kajian tentang “Analisis Mengenai Dampak Sosial” jika “idealisme” mereka dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi RI yang kerap “mengabulkan ataupun menolak tidak tepat pada waktunya”.

Kini, mari kita memakai sudut pandang atau “point of view” kalangan pengusaha, agar para pembaca mendapatkan “the big picture” alias gambaran besar yang lebih utuh tentang “apa yang sebenarnya terjadi”. Ketika zaman dan konteks sudah berubah, tidak terkecuali atau terutama norma-norma terkait ketenagakerjaan, maka berinvestasi pada “padat karya” sudah tidak lagi menarik, bahkan sudah dipandang “menakutkan”, mereka akan lebih memilih berinvestasi pada “padat modal” berupa mesin-mesin robotik terotomatisasi maupun AI untuk menggantikan fungsi “tenaga kerja manusia”. Dampak berantainya jelas, investor asing hanya akan bersedia masuk ke Indonesia, bila berupa “padat modal”, bukan “padat karya”. Alhasil, tidak akan ada peningkatan / pertambahan lapangan pekerjaan baru untuk penduduk di Indonesia. Gilirannya, yang disebut “Made in Indonesia” tidak selalu berkonotasi menyerap tenaga kerja, karena yang bekerja ialah “tenaga kerja robotik” yang di-impor dari negara asing.

Kedua, pengusaha lokal mulai merasa terancam akibat konsekuensi yuridis mempekerjakan “tenaga kerja manusia” akan dihadapkan kepada Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dinilai memberatkan kalangan usaha sementara iklim usaha saat kini telah penuh ketidak-pastian. Karenanya, berusaha dan membuka usaha di Indonesia akan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat “high risk”. Mempekerjakan “tenaga kerja manusia” akan dimasukkan ke dalam kategori “cost” usaha, “potential liability”, bukan lagi sebagai faktor produksi. Untuk itu, “cost” usaha harus dipangkas, caranya ialah dengan menggantikan mereka dengan “tenaga kerja robotik”, dimana “tenaga kerja robotik” dipandang sebagai faktor produksi alias investasi itu sendiri. Konsekuensi yuridis mempekerjakan “tenaga kerja manusia” dapat begitu menakutkan dan menghantui : pesangon dan kompensasi lainnya berdasarkan cara perhitungan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, sengketa hubungan industrial, mogok kerja, demonstrasi, dsb.

Cara kalkulasi investasi pada “tenaga kerja robotik” jauh berbeda, yakni dinilai dari harga investasi pada “tenaga kerja robotik” dikomparasikan dengan nilai amortasinya. Semisal, harga pembelian “tenaga kerja robotik” adalah sekian rupiah, akan digunakan untuk memproduksi sekian ratus ribu produk, dan akan digunakan untuk sekian tahun produksi. Ketika “tenaga kerja robotik” tersebut rusak, maka pengusaha akan membeli “tenaga kerja robotik” baru dan kriteria dalam pembukuannya sebagai “investasi” alias “asset” alih-alih sebagai “liability”. Sebaliknya, “tenaga kerja manusia” selalu dinilai sebagai sebentuk “liability”, bahkan “potential liability” yang sangat memusingkan untuk dapat dikalkulasi maupun diprediksi dikemudian hari.

Tidak butuh IQ jenius untuk bisa memprediksi apa yang akan terjadi pada dunia ketenagakerjaan kita di Indonesia, “mimpi buruk” akan menghantui, dimana berbagai PHK massal akan tercipta, pertumbuhan angka “tenaga kerja robotik” yang berbanding terbalik dengan pertumbuhan “tenaga kerja manusia”, tingkat daya tawar “tenaga kerja manusia” menurun anjlok sehingga para “tenaga kerja manusia” banting-harga dan jual-murah tenaga serta keterampilan dan waktu dirinya sendiri karena harus berkompetisi sengit dengan pencari kerja lainnya (take it or leave it), lapangan pekerjaan yang menyusut drastis akibat telah menjadi hegemoni “tenaga kerja robotik”, sehingga pada gilirannya kalangan buruh itu sendiri yang dirugikan dan terancam kehilangan pekerjaan serta kesulitan mencari pekerjaan yang masih tersisa ruang-celahnya untuk dimasuki.

Terdapat sebuah penyakit yang bernama “lupus”. Penyebab “lupus”, ialah antibodi tubuh yang berlebihan, akibatnya berdampak buruk terhadap tubuh itu sendiri. Untuk itu, orang bijak memahami betul prinsip dibalik “seni menang dan kalah”. Bila kita mau bersikap cukup arif dan bijaksana, kita tidak lagi dapat bersikap “kolot” alias “konsevatif” yang “jauh panggang dari api” bernama “tingkat upah yang memakmurkan buruh”. Tren kedepannya, masih dapat bekerja saja sudah patut masih bersyukur. Kita perlu menjejakkan kaki kita di permukaan bumi, agar “membumi”. Dengan begitu, harapannya kita mampu bersikap rasional dalam menyikapi suatu situasi yang sesuai pada konteks-nya masing-masing. Aksi para kalangan buruh yang mengakibatkan norma-norma hukum terkait ketenagakerjaan kembali kepada Undang-Undang Ketenagakerjaan, pada gilirannya akan melahirkan fenomena “back fire” alias bumerang bagi kepentingan kalangan buruh itu sendiri.

Sebagai penutup, penulis akan membagikan tips “mengubah petaka menjadi berkah”. Adalah momen yang tepat, ketika “krisis ekonomi”, kita belajar dan berlatih untuk bergaya hidup sederhana. Lihatlah para pejabat korup, sekalipun telah memiliki harta kekayaan sebanyak satu triliun rupiah, masih tidak puas dengan hidupnya, dengan masih juga mencandu korupsi dan kolusi. Ada level kebahagiaan yang lebih tinggi dan melampaui cara-cara hidup konvensional yang penuh keglamoran seperti selama ini dipertontonkan oleh publik, dan kita patut mencoba cara hidup baru berikut ini dari khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

IV. Penghuni Hutan

181 (1) Penghuni Hutan

“Para bhikkhu, ada lima jenis penghuni hutan ini. Apakah lima ini?

(1) Seorang yang menjadi penghuni hutan karena ketumpulan dan kebodohannya;

(2) seorang yang menjadi penghuni hutan karena ia memiliki keinginan jahat, karena ia didorong oleh keinginan;

[Kitab Komentar : Pāpiccho icchāpakato āraññiko hoti. “Ia berpikir, ‘Sewaktu aku sedang menetap di hutan, mereka akan memberikan penghormatan padaku dengan empat benda kebutuhan, dengan berpikir bahwa aku adalah seorang penghuni hutan. Mereka akan menghargai moralitasku, dengan berpikir bahwa aku puas dan terasing, dan seterusnya.’ Demikianlah ia menjadi seorang penghuni hutan berdasarkan pada keinginan jahat, karena ia dikuasai oleh keinginan.”

(3) seorang yang menjadi penghuni hutan karena ia gila dan pikirannya terganggu;

(4) seorang yang menjadi penghuni hutan, [dengan berpikir]: ‘Hal ini dipuji oleh para Buddha dan para siswa Buddha’;

(5) dan seorang yang menjadi penghuni hutan demi keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan [kekotoran-kekotoran], demi keterasingan, demi kesederhanaan. Ini adalah kelima jenis penghuni hutan itu. Seorang yang menjadi penghuni hutan demi keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan [kekotoran], demi keterasingan, demi kesederhanaan, adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis penghuni hutan ini.

Seperti halnya, para bhikkhu, dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim-ghee, yang dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula seorang yang menjadi penghuni hutan demi keinginan yang sedikit … demi kesederhanaan adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis penghuni hutan ini.”

~0~

182 (2) – 190 (10) Pemakai Jubah Potongan Kain, dan seterusnya.

“Para bhikkhu, ada lima jenis pemakai jubah potongan kain ini … lima jenis orang yang menetap di bawah pohon … [220] … lima jenis orang yang menetap di tanah pemakaman … lima jenis orang yang menetap di ruang terbuka … lima jenis orang yang menjalankan praktik selalu duduk … lima jenis orang yang menjalankan praktik menggunakan tempat tidur apa saja … lima jenis orang yang menjalankan praktik satu kali … lima jenis orang yang menjalankan praktik menolak makanan tambahan … lima jenis orang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya. Apakah lima ini?

(1) Seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ketumpulan dan kebodohannya;

(2) seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ia memiliki keinginan jahat, karena ia didorong oleh keinginan;

(3) seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ia gila dan pikirannya terganggu;

(4) seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya, [dengan berpikir]: ‘Hal ini dipuji oleh para Buddha dan para siswa Buddha’;

(5) dan seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya demi keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan [kekotoran], demi keterasingan, demi kesederhanaan. Ini adalah kelima jenis orang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya. Seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya demi keinginan yang sedikit … demi kesederhanaan, adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis orang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya.

“Seperti halnya, para bhikkhu, dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim-ghee, yang dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya [221] demi keinginan yang sedikit … demi kesederhanaan adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis orang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya ini.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.