Kabar Gembira bagi Pendosa = Kabar Buruk bagi Korban
Kabar Gemberi bagi Kriminil yang Dihapuskan Pidananya = Kabar Buruk bagi Korban
Kabar Gembira bagi Kreditor Nakal / Macet = Kabar Buruk bagi Wajib Pajak Pembayar Pajak
Question: Kabinet gemuk, warga pembayar pajak yang harus menanggungnya. Program pemerintah makan bergizi grat!s, terdengar populis, namun warga pembayar pajak juga yang harus menanggungnya. Begitupula program pemerintah “penghapusan kredit macet bagi usaha kecil dan menengah”, terkesan humanis yang juga populis mendongkrak citra pemerintah, namun lagi-lagi yang dibebani bebannya ialah warga pembayar pajak. Bukankah siapapun bisa, bangun infrastruktur ini dan itu, buat program ini dan itu, bila sumber dananya ialah dari berhutang maupun membebani masyarakat pembayar pajak?
Brief Answer: Pemerintah kita menyadari dan memahami betul, betapa rendahnya tingkat intelektual masyarakat kita di Indonesia, sehingga mudah untuk dibodohi serta dimanipulasi, sebelum kemudian dieksploitasi. Lihatlah pemerintah kita yang membangun ini dan itu, namun kesemua itu dibangun dari hutang yang kian menggunung, dimana masyarakat kita tidak mau menyadari bahwa ujung-ujungnya yang dibebani ialah seluruh rakyat selaku “wajib pajak”. Begitupula program populis seperti memberikan makan grat!s kepada para pelajar, ujung-ujungnya beban yang harus ditanggung ialah oleh para “wajib pajak”, namun yang mendapat “reputasi positif” ialah pemerintah yang berkuasa. Tidak terkecuali program penghapusan kredit bermasalah bagi kalangan usaha kecil, pada gilirannya ialah para “wajib pajak” yang harus menanggung dan menutupi kerugian anggaran / keuangan negara.
PEMBAHASAN:
Ketika pemerintah menggelontorkan subsidi untuk mendongkrak popularitas suatu kalangan elit politik tertentu, yang harus membiayai program subsidi-subsidi ataupun pemberian bahan kebutuhan pokok tersebut tidak lain tidak bukan ialah para “wajib pajak”, tidak lain ialah rakyat itu sendiri. Akan tetapi, popularitas diperoleh oleh pejabat berkuasa di pemerintahan (etil politik). Itu menyerupai modus berbagai minimarket, yang mengatas-namakan uang donasi dari konsumen untuk disalurkan bagi kegiatan sosial, namun pada realitanya pihak korporasi dibalik minimarket menjadikannya sarana promosi “brand” berkedok “kegiatan sosial” atau CSR (corporate social responsibility) yang gaib-nya justru bersumber dananya dari masyarakat selaku konsumen, bukan murni seutuhnya dari keuntungan usaha yang disisihkan oleh sang pelaku usaha.
Berangkat dari para paradigma berpikir demikian, menjadi jelas, bahwa ketika ada suatu pihak yang diuntungkan, sementara ada pihak-pihak lain yang dirugikan / dikorbankan / ditumbalkan, maka program-program demikian bukanlah program yang bersifat “win win solution”, alias program yang “tidak sehat”. Kabar gembira suatu kalangan tertentu, bisa jadi merupakan / menjadi kabar buruk bagi kalangan lain. Namun, akibat tingkat IQ yang rendah, mayoritas penduduk kita memandang dogma-dogma berikut sebagai “Agama SUCI” alih-alih “Agama DOSA” sekalipun mempromosikan gaya hidup tidak higienis dari dosa, akan tetapi mengkampanyekan gaya hidup penuh dosa sebagai seorang pecandu “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins), sekalipun hanya seorang pendosa yang membutuhkan “penghapusan dosa”:
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Abraham / Ibrahim ingin dan tergila-gila untuk bisa bersetubuh dengan puluhan bidadari di surga, namun kemudian Ishaq / Ismail yang ditumbalkan demi ego / obsesi pribadi sang ayah kandung yang hendak menyembelih leher putera kandungnya sendiri. Sekalipun, seorang “ayah yang betul-betul mengasihi anak kandungnya” akan memilih dilempar ke neraka daripada merampas nyawa dan hidup anaknya sendiri. Bukankah tidak ada yang lebih membingungkan, daripada ideologi korup bernama “penghapusan dosa”? Pada satu sisi, dengan munafiknya, para “agamais” di republik kita menyatakan ini dan itu sebagai “dosa” maupun “maksiat”, alias “HARAM”. Namun, bagai “berstandar ganda”, para agamais kita tersebut justru menjadikan “penghapusan dosa” sebagai “HALAL lifestyle”. Mereka, para “agamais” tersebut, menyebutnya sebagai “merugi” bila tidak memeluk “Agama DOSA”, merugi di mata pendosawan.
Cobalah Anda tanyakan kepada kalangan “agamais” tersebut, mereka akan sesumbar bahwa ini dan itu adalah “haram”. Namun, kemudian tanyakanlah kepada yang bersangkutan, apakah “penghapusan dosa” adalah “haram” ataukah “halal”? AURAT TERBESAR, ialah berbuat kejahatan yang dapat dicela oleh para bijaksanawan seperti menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak lain, alias berbuat “dosa” itu sendiri. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, ditutup busana. Namun, perhatikanlah, setiap harinya speaker eksternal pengeras suara tempat ibadah mereka tanpa malu-malu, tanpa tabu, justru mengumandangkan doa-doa dan permohonan “PENGHAPUSAN DOSA” (iming-iming yang “too good to be true” bagi kalangan pendosawan). Kejahatan bukanlah terjadi akibat IQ, namun kejahatan terjadi akibat lemahnya IQ.
Pernahkan Anda bertanya, dogma-dogma korup bernama “penghapusan dosa” demikian, yang alih-alih mempromosikan gaya hidup higienis dari dosa, justru mengkampanyekan “penghapusan dosa”, lebih layak disebut sebagai “Agama SUCI” ataukah “Agama DOSA”? Pendosawan menjadi pemeluknya, dimana para umatnya ialah para kalangan pendosawan. Pendosa, hendak berceramah perihal hidup suci, luhur, mulia, lurus, bersih, murni, dan baijk? Itu menyerupai orang buta yang hendak menuntun para butawan lainnya. Neraka pun disebut sebagai surga, dan berbondong-bondong mereka melaju dalam jalan bebas hambatan menuju ke lembah jurang gelap dan hina. Terhadap dosa dan maksiat, para pendosawan (pecandu ideologi “penghapusan dosa”) tersebut begitu kompromistik. Sebaliknya, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, para pendosawan tersebut begitu intoleran.
Setiap tahunnya, sang “agamais” merayakan pesta-pora penghapusan dosa, sekalipun konsumsi meningkat hampir dua kali lipat dari biasanya. Pada saat meningal dunia, para sanak keluarga dari sang almarhum pendosawan, melantunkan doa-doa dan permohonan “penghapusan dosa” bagi almarhum pendosawan—seolah, Tuhan lebih PRO terhadap pendosa alih-alih bersikap adil terhadap kalangan korban. Ketika masih atau ketika mereka berada di negara-negara dimana mana mereka adalah minoritas, mereka menuntut serta menikmati toleransi. Akan tetapi, giliran mereka menjelma mayoritas, mereka hendak membumi-hanguskan toleransi yang dahulu mereka nikmati.
Para pendosawan yang berdelusi merasa sebagai kaum paling superior yang berhak menjadi “polisi moral” dimaksud, begitu pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri buah manisnya, dan disaat bersamaan begitu pengecut untuk bertanggung-jawab terhadap perbuatan-perbuatan buruk mereka yang telah pernah atau masih sedang menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lain. Mereka begitu besar mulut ketika bebicara perihal Tuhan, agama, maupun ayat-ayat Kitab mereka, namun disaat bersamaan begitu miskin dari sikap-sikap “berani untuk bertanggung-jawab”. Dahulu, ribuan tahun lampau, ketika agama samawi belum diperkenalkan kepada umat manusia, tiada kalangan pendosa yang merasa yakin akan masuk surga ketika ajal menjemput mereka. Kini, para pendosawan berbondong-bondong dan berlomba-lomba memproduksi dosa, berkubang dalam dosa, mengoleksi segudang dosa, mengubur diri dalam segunung dosa, akan tetapi yakin terjamin akan masuk surga. Hukum pasar pun berlaku di sini, ada “demand” maka ada “supply” bernama dogma-dogma “penghapusan dosa”.
Dosa-dosa mereka telah “too big to fall”, karenanya mereka butuh dan mencandu ideologi korup bernama “penghapusan dosa”. Mereka yang bukan merupakan “kreditor nakal” serta “tidak macet”, tidak butuh program-program “tidak bertanggung-jawab” semacam “penghapusan kredit macet”, sekalipun usahanya tergolong kecil. Sama halnya, warga yang patuh terhadap hukum, tidak pernah butuh “penghapusan kesalahan pidana”. Begitupula kalangan ksatriawan yang memilih untuk berani mengambil tanggung-jawab terhadap korban-korban mereka, dimana para korban tidak perlu mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari sang ksatriawan pemeluk “Agama KSATRIA”. Sama halnya, para suciwan terampil dan terlatih dalam latihan disiplin diri yang ketat bernama mawas diri dan pengendalian diri (self-control), para suciwan tersebut tidak pernah membutuhkan iming-iming korup semacam “penghapusan dosa” atau istilah-istilah sejenis lainnya.
Ironisnya, kita bahkan mendengar kaum “agamais” di negeri kita menciptakan istilah “Juleha” alias “juru sembelih HALAL” (menumpahkan darah dan merampah makhluk hidup lain yang ingin hidup, disebut “HALAl”?). Begitupula dogma yang menyatakan “hewan diciptakan oleh Tuhan untuk dimakan oleh manusia”, dimana ironinya ialah disaat bersamaan dogma mereka juga mengajarkan bahwa “manusia NON adalah domba yang hilang”, dimana ketika sang “domba” ditemukan maka akan di-“sate” sebelum kemudian di-“panggang barbeque”. Dogma-dogma demikian bertolak-belakang dengan khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
18 (8) Pedagang Ikan
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di tengah-tengah para penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, selagi berjalan di sepanjang jalan raya, di suatu tempat tertentu Sang Bhagavā melihat seorang pedagang ikan sedang membunuh ikan dan menjualnya. Beliau meninggalkan jalan raya, duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untukNya di bawah sebatang pohon, dan berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat pedagang ikan itu yang sedang membunuh ikan dan menjualnya?”
“Ya, Bhante.”
(1) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang pedagang ikan, yang membunuh ikan-ikan [302] dan menjualnya, dapat, karena pekerjaan dan penghidupannya itu, bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan?”
“Tidak, Bhante.”
“Bagus, para bhikkhu, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian. Karena alasan apakah? Karena ia melihat dengan kejam pada ikan yang ditangkap ketika ikan-ikan itu dibawa ke tempat pemotongan. Oleh karena itu ia tidak bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan.
(2) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang penjagal sapi, yang membunuh sapi-sapi dan menjualnya … [303] (3) … seorang penjagal domba … (4) … seorang penjagal babi … (5) seorang penjagal unggas … (6) … seorang penjagal rusa, yang membunuh rusa-rusa dan menjualnya, dapat, karena pekerjaan dan penghidupannya itu, bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan?”
“Tidak, Bhante.”
“Bagus, para bhikkhu, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian. Karena alasan apakah? Karena ia melihat dengan kejam pada rusa yang ditangkap ketika rusa-rusa itu dibawa ke tempat penjagalan. Oleh karena itu ia tidak bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan.
“Para bhikkhu, seseorang yang melihat dengan kejam pada binatang-binatang yang ditangkap ketika binatang-binatang itu dibawa ke tempat penjagalan tidak akan bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan. Apalagi yang dapat dikatakan tentang seorang yang melihat dengan kejam pada seorang manusia terhukum yang dibawa menuju tempat pembantaian? Ini akan mengarah menuju bencana dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani setelah kematian, ia akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.