KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Apakah PENGGUSURAN, adalah Hal Tabu di Negara HUKUM?

Norma Hukum, Ibarat Aturan Main, Siapapun Pemain yang Terlibat maka Harus Patuh dan Taat

Hukum Harus Dibentuk secara DEMOKRATIS, namun juga Harus Ditegakkan secara KOMUN!STIK

Hukum Itu Keras, namun Itulah Adanya Hukum, Norma Imperatif yang memiliki Daya Paksa Pembeda dengan Norma Sosial

Menjadi ironis ketika terdapat calon Kepala Daerah, yang mengkritik serta mencemooh Kepala Daerah sebelumnya yang ia sebut sebagai “Gubernur tukang menggusur”. Sang calon Kepala Daerah, nyata-nyata membei indikasi, bahwa dirinya akan atau selama ini menjalankan roda pemerintahan tidak secara “based on the rule of law”. Hukum itu keras, namun itulah adanya. Kita memiliki Peraturan Daerah mengenai Tata Ruang Wilayah, yang membagi-bagi ruang sesuai peruntukkannya : ada daerah pemukiman, dan ada daerah niaga komersial, kawasan industri, masing-masing memiliki tempat dan peruntukkannya masing-masing. Apa jadinya, bila ditengah-tengah pemukiman padat penduduk, terjadi alih-fungsi sebuah rumah menjelma pabrik yang menimbulkan pencemaran air hingga polusi suara dan udara?

Semua penduduk berhak mencalonkan diri menjadi presiden, namun tidak semua penduduk dapat diloloskan menjadi presiden. Tanya mengapa? Tidak ada yang melarang para pedagang untuk berdagang, terlebih berdagang di lokasi yang strategis, namun berdaganglah di tempat yang semestinya atau yang memang diperuntukkan untuk itu. Ketika pada sebuah trotoar atau pedestrian, ditemukan “pedagang kaki lima”, maka sang pedagang tidak dapat berlindung dibalik alibi “demi kemanusiaan, jangan digusur, sekadar mencari sesuap nasi”. Mengatas-namakan tidak punya lapak di lokasi yang strategis, butuh nafkah, para “pedagang kaki lima” kemudian merampas hak pejalan kaki dengan meng-okupasi trotoar, sementara pengusaha yang patuh dan taat hukum hanya bisa menyewa ruko / toko di lokasi yang tidak se-strategis trotoar yang berada persis di pinggir jalan.

Sama halnya, mengatas-namakan tidak punya tempat tinggal, serta mengatas-namakan “papan” merupakan “kebutuhan pokok manusia”, kemudian membangun bedeng-bedeng di lokasi yang bukan untuk peruntukkannya, bahkan di “ruang terbuka hijau”. Mengatas-namakan telah menghuni selama belasan tahun, berdelusi menjadi resisten dari penggusuran. Begitupula warga pemukim yang mengalih-fungsikan tempat tinggalnya sebagai tempat usaha maupun perkantoran ataupun niaga-bisnis jual-beli bahkan gudang, sehingga menimbulkan potensi dampak bencana seperti kebakaran, dampak sosial seperti parkir liar, sampah, kebisingan, dan lain sebagainya.

Mengatas-namakan mencari pekerjaan, urbanisasi deras membanjiri ibukota, pada muara atau gilirannya melahirkan daerah-daerah kumuh padat penduduk. Mengatas-namakan “membuka lapangan pekerjaan”, para preman pun dipelihara dan dilestarikan menjadi penguasa lahan parkir (juru parkir). Mengatas-namakan ibadah, jalan umum pun ditutup. Mengatas-namakan hajatan, jalan umum pun dirampas seharian (pernah terjadi, pelakunya ialah mantan Lurah, memberi teladan yang buruk, sekalipun hanya berjarak beberapa ratus meter dari lokasi terdapat lapangan milik Rukun Warga yang biasa disewa warga yang hendak hajatan). Bangsa kita adalah bangsa yang begitu gemar “mengatas-namakan” segala sesuatunya. Tidak ada yang di-“haram”-kan oleh bangsa “agamais” kita, selain “babi”—dimana bahkan “penghapusan dosa” pun di-“halal”-kan bahkan dijadikan simbol “halal lifestyle”, sekalipun hanya seorang pendosa yang butuh penghapusan ldosa.

Dalam doktrinal ilmu hukum, terdapat sebuah prinsip bernama “sic utere” (lengkapnya “sic utere tuo ut alienum non laedas”). Prinsip tersebut memiliki makna : “gunakan harta kita, properti kita, halaman kita, tetapi jangan sampai merugikan pihak lain”. Dalam text ilmu hukum di negara dengan tradisi hukum Anglo Saxon, prinsip “sic utere” juga dikenal dengan sebutan “good neighbourliness” alias “No harm rule”. Karena itulah, norma hukum dibentuk, dalam rangka menjaga dan membentuk ketertiban umum. Tanpa kepastian hukum, maka tiada tercipta ketetiban umum. Sementara itu, kepastian hukum hanya dapat tercipta ketika norma hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, serta “NO EXCUSE”. Apa fungsi “ketertiban umum”? Bayangkan ketika di sebuah jalan raya, terdapat pengemudi yang justru berkemudi di lajur sebelah kanan, apa jadinya?

PT. KAI yang membidangi bidang perkeretaan di Indonesia, tercatat sebagai lembaga yang paling “rajin” menggusur warga-warga yang bertempat-tinggal di bantaran rel. Begitupula lembaga seperti pengadilan, melakukan eksekusi pengosongan, yang notabene adalah penggusuran itu sendiri. Tidak terkecuali ketika Pemda (Pemerintah Daerah) lewat aparaturnya, menertibkan pemukiman liar, pedagang liar, ataupun pelaku usaha yang melanggar tata ruang maupun mengalih-fungsikan ruang pemukiman. Sehingga, pertanyaan yang lebih relevan ialah : apakah penggusurannya adalah legal ataukah ilegal dan apakah pemukim bermukim secara legal ataukah ilegal? Alih-alih memberikan motivasi bagi tegaknya peraturan dalam rangka tercipta ketertiban umum dalam hidup bertetangga, bernegara, dan berbangsa, sang calon Kepala Daerah justru berupaya “menegasikan” fungsi utama norma hukum. Bagai berstandar-ganda, ketika pemerintah membangun besar-besaran proyek “jalan tol” yang menggusur demikian masif lahan-lahan persawahan maupun pemukiman penduduk, mengapa tiada yang berkomentar “miring” ataupun mengkritik, bahkan menyerukan slogan “lanjutkan” sekalipun “BONGKAR, BONGKAR, BONGKAR”?

Ketika seorang calon Kepala Daerah atau Kepala Daerah menafikan serta memandang remeh salah satu fungsi utama hukum, yakni menjaga ketertiban umum serta “law as a tool of social engineering”, maka kepemimpinan sang calon Kepala Daerah atau Kepala Daerah bersangkutan menjadi patut kita ragukan, atas dasar alasan : membangun kebijakan bukan berdasarkan hukum, menggerakkan roda pemerintahan tidak berlandaskan hukum, dan jikalaupun ada peraturannya maka tidak perlu ditegakkan sebagaimana mestinya. Bahasa sederhana dari “the rule of law”, ialah “aturan main”. Bayangkan, ketika Anda patuh terhadap aturan main catur di atas papan catur, sementara lawan tanding Anda tidak mau patuh terhadap aturan main catur, maka dapat dipastikan apa yang kemudian akan terjadi.

Adapun fungsi sebuah negara menurut falsafah “negara kemakmuran” (welfare state), tidak berfungsi sebagai “anjing penjaga malam” (watch dog), juga tidak berfungsi sekadar sebagai “wasit”, akan tetapi melaksanakan fungsinya sebagai pembuat aturan dan penegak aturan (mengatur dan mengeksekusi peraturan), itulah yang baru layak disebut sebagai seorang negarawan yang visioner serta berwawasan hukum. Tampaknya, sang calon Kepala Daerah atau Kepala Daerah, masih memakai paradigma berpikir seorang “dinasti”, bak seorang raja, dimana “mulut atau perkataan seorang raja” adalah hukum itu sendiri, tidak dikenal apa yang disebut sebagai “asas legalitas”, sehingga tidak merasa butuh membuat peraturan hukum tertulis ataupun menegakkan hukum tertulis, namun akan memerintahkan berdasarkan “mulut” ataupun “selera” sang penguasa belaka.

Terdapat sebuah “Chinese Wisdom”, yang kurang-lebih berbunyi sebagai berikut : Tahu kapan harus bersikap lunak, dan tahu kapan harus bersikap otoriter. Ada saat harus mengalah, dan ada saat bersikap keras. Itulah seni “menang” dan kalah”. Otoriter tidaklah selalu berkonotasi negatif, ia menjadi tepat ketika saatnya tepat dan butuh sikap tegas. Demi atau mengatas-namakan “belas kasihan”, apakah setiap pengungsi yang datang, harus kita terima dengan “tangan terbuka”? Bukankah seharusnya kita mulai mau untuk belajar dari pengalaman, betapa “tamu-tamu tidak diundang” tersebut berpotensi kembali membuat kegaduhan serta keonaran terhadap penduduk lokal setempat? Apa jadinya, bila kita selalu berkata “Yes Man”? Ada kalanya, kita harus menerima; dan ada kalanya, kita harus menolak, itulah yang disebut “bijaksana”, yakni menempatkan segala konteks yang ada secara proporsional dan secara profesional.

Dengan kata lain, tidak ada rumus baku untuk setiap situasi, akan tetapi kondisional. Kebijakan “serba anti penggusuran”, sama salahnya dengan kebijakan “serba dukung penggusuran”. Mengatas-namakan HAM, bandar obat-obatan terlarang pun dilarang untuk dihukum mati. Bukanlah hukuman mati yang salah, namun menghukum mati orang tidak bersalah yang keliru dan tidak menghukum mati orang yang patut dieksekusi mati juga sama kelirunya. Kita mengisi sebuah baskom berbentuk kotak, air membentuk dirinya ke dalam bentuk kotak. Baskom berbentuk bulat, air pun membentuk dirinya ke dalam bentuk bulat. Tidak ada yang keliru dengan “kotak” ataupun “bulat”, itu hanyalah sebuah “variabel” yang bebas nilai. Adapun nilai, dibentuk lewat pemaknaan terhadap suatu konteks yang dihadapkan.

Sang calon Kepala Daerah atau Kepala Daerah, bahkan tidak sebijaksana seekor anjing, sebagaimana dapat kita jumpai lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

191 (1) Anjing

“Para bhikkhu, ada lima praktik masa lampau para brahmana ini yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana. Apakah lima ini?

(1) “Di masa lampau, para brahmana melakukan hubungan seksual hanya dengan para perempuan brahmana, bukan dengan para perempuan bukan-brahmana. Tetapi sekarang brahmana melakukan hubungan seksual baik dengan para perempuan brahmana maupun dengan para perempuan bukan-brahmana. Akan tetapi, anjing-anjing, masih melakukan hubungan seksual hanya dengan anjing-anjing betina, tidak berpasangan dengan binatang-binatang betina lainnya. Ini adalah praktik masa lampau pertama para brahmana yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.

(2) “Di masa lampau, para brahmana melakukan hubungan seksual dengan para perempuan brahmana hanya pada saat masa suburnya, tidak pada masa tidak suburnya. Tetapi sekarang [222] brahmana melakukan hubungan seksual dengan para perempuan brahmana baik pada masa subur maupun pada masa tidak subur. Akan tetapi, anjing-anjing masih melakukan hubungan seksual dengan anjing-anjing betina hanya pada masa subur, tidak pada masa tidak subur. Ini adalah praktik masa lampau ke dua para brahmana yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.

(3) “Di masa lampau, para brahmana tidak membeli dan menjual para perempuan brahmana, dan mereka akan mulai hidup bersama hanya melalui saling mencintai, melakukannya demi kelangsungan keluarga. Tetapi sekarang para brahmana membeli dan menjual para perempuan brahmana, dan mereka mulai hidup bersama baik karena saling mencintai maupun tidak saling mencintai, melakukannya demi kelangsungan keluarga. Akan tetapi, anjing-anjing masih tidak membeli dan menjual anjing-anjing betina, dan mereka akan mulai hidup bersama hanya melalui saling mencintai, melakukannya demi kelangsungan keluarga. Ini adalah praktik masa lampau ke tiga para brahmana yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.

(4) “Di masa lampau, para brahmana tidak menimbun kekayaan, hasil panen, perak, dan emas. Tetapi sekarang para brahmana menimbun kekayaan, hasil panen, perak, dan emas. Akan tetapi, anjing-anjing masih tidak menimbun kekayaan, hasil panen, perak, dan emas. Ini adalah praktik masa lampau ke empat para brahmana yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.

(5) ) “Di masa lampau, para brahmana mencari dana makanan di malam hari untuk makan malam dan mencari dana makanan di pagi hari untuk makan pagi. Tetapi sekarang para brahmana memakan sebanyak yang mereka inginkan hingga perut mereka penuh, dan kemudian membawa pergi sisanya. Akan tetapi, anjing-anjing masih mencari makanan di malam hari untuk makan malam dan mencari makanan di pagi hari untuk makan pagi. Ini adalah praktik masa lampau ke lima para brahmana yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima praktik masa lampau para brahmana itu yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.” [223]

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.