Falsafah Hukum Perihal Legitimasi HUKUMAN MATI dan Relevansinya dalam Praktik Peradilan di Indonesia
Question: Terdapat sejumlah kalangan yang mengatakan, hukuman mati itu melanggar HAM (hak asasi manusia), yakni terhadap “hak untuk hidup”. Apakah ada penjelasan terkait retorika dibalik “pro” dan “kontra” aturan hukum maupun vonis hukuman mati?
Brief Answer: Pihak-pihak yang selama ini menentang hukuman
mati terhadap pelaku kejahatan yang telah mengakibatkan banyak korban jiwa
bertumbangan—seolah-olah hanya pelaku kejahatan yang punya HAM, sementara itu
kalangan korban tidak diakui hak-haknya—membangun narasi bahwa fungsi
pemidanaan bukanlah untuk “pembalasan”, namun dalam rangka “pembinaan”.
Pertanyaan besarnya yang tidak pernah mampu dijawab oleh kalangan-kalangan
penentang hukuman mati:
1.) bila sang pelaku kejahatan,
semisal bandar obat-obatan terlarang, telah ternyata sekalipun telah divonis
pidana dan sedang menjalani masa hukuman di penjara, masih juga menjalankan
bisnis peredaran obat-obatan terlarang dengan dikendalikan dari dalam lembaga
pemasyarakatan (Lapas), maka fungsi “pembinaan” terbukti tidak efektif terhadap
pihak bersangkutan yang tidak akan mampu dibina, karenanya untuk apa lagi
dipertahankan untuk dibiarkan tetap hidup dan terus mencari mangsa
korban-korban baru lainnya?
2.) bila Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Tinggi semula memutus vonis pidana “seumur hidup” kepada sang
pelaku, lalu oleh peradilan tingkat yang lebih tinggi diubah menjadi pidana
“mati”, maka dengan tidak dieksekusinya sang pelaku, sama artinya negara lewat
aparatur penegak hukum melalaikan tugasnya untuk menjalankan amar putusan
dengan tetap dibiarkan hidup dan mendekam di penjara untuk seumur hidupnya—pembangkangan
terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht);
3.) kriminil melakukan
perlawanan ketika akan diamankan petugas, ataupun ketika pelaku kejahatan yang
jika dibiarkan dapat membahayakan keselamatan jiwa warga yang berpotensi
menjadi korban jiwa, seketika dapat ditembak oleh petugas hingga tewas di tempat—notabene
“eksekusi mati di tempat” itu sendiri;
4.) bila Undang-Undang telah
mengatur suatu larangan, lengkap dengan ancaman berupa “hukuman mati”, akan
tetapi tetap dilanggar, bahkan secara disengaja dengan motif keegoisan pribadi
sang pelaku semata, maka bukankah itu lebih patut disebut sebagai “minta
dihukum mati” alih-alih “dihukum mati”?
5.) bukankah teori ilmu hukum
yang paling dasar sudah menyatakan, ketika terdapat dua orang hanyut di tengah
samudera luas, namun hanya terdapat sebuah papan pelampung yang dapat
menyelamatkan satu orang, maka menjadi “alasan pemaaf” bagi salah seorang diantara
keduanya untuk menewaskan orang lainnya ketika terjadi perebutan satu-satunya
pelampung tersebut?
6.) atas dasar ilusi atau
spekulasi imajiner apakah, berdalil bahwa dengan dihapuskannya vonis hukuman
mati maupun norma hukum terkait ancaman hukuman mati, maka kondisi
sosial-kemasyarakatan suatu bangsa akan menjadi lebih humanis serta beradab,
ataukah sebaliknya, semakin “liar” dan “menjadi-jadi”?
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
terdapat ilustrasi konkret yang dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan
lewat dua buah preseden terkait vonis “hukuman mati” dengan dua konteks
karakteristik perkara yang cukup menjelaskan validitas “hukuman mati”. Yang
pertama ialah sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register
Nomor 2799 K/PID.SUS/2018 tanggal 20 Desember 2018, dimana Mahkamah Agung RI
membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang bahwa terhadap
alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi Terdakwa tersebut, Mahkamah Agung
berpendapat sebagai berikut:
- Bahwa alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan karena putusan Judex
Facti Pengadilan Tinggi yang memperbaiki putusan Judex Facti Pengadilan
Negeri mengenai jenis pidana yang dijatuhkan dan menyatakan Terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan
permufakatan jahat dalam jual beli Narkotika Golongan I bukan tanaman beratnya
melebihi 5 (lima) gram” tidak salah dan telah menerapkan peraturan hukum
sebagaimana mestinya serta cara mengadili telah dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
- Bahwa demikian pula putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang memperbaiki
pidana yang dijatuhkan oleh Judex Facti Pengadilan Negeri dari pidana
penjara seumur hidup menjadi pidana mati, tidak melampaui kewenangannya dan
telah mempertimbangkan dengan cukup semua keadaan yang memberatkan dan sifat
perbuatan yang dilakukan Terdakwa;”
Dalam perkara terpisah lainnya,
yakni putusan Mahkamah Agung RI No. 2629 K/PID.SUS/2015 tanggal 23 Februari
2016, dimana Terdakwa merupakan seorang warga negara Nigeria, yang menjadi
pertimbangan hukum serta amar putusan Mahkamah Agung RI ialah sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa alasan kasasi Jaksa / Penuntut
Umum dapat dibenarkan, Judex Facti Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum
dalam hal memperbaiki putusan Judex Facti Pengadilan Negeri dengan mengurangi
hukuman Terdakwa dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup;
“Bahwa sangat keliru Judex
Facti / Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan
Undang-Undang 1945, karena dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang 1945 menyatakan
Indonesia adalah negara hukum, dengan demikian konsekwensi setiap
penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas harus berdasarkan hukum termasuk
Undang-Undang yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah yang merupakan
representasi dari kehendak rakyat Indonesia. Undang-Undang tentang Narkotika
Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur tentang hukuman mati merupakan upaya untuk
memberantas Narkotika yang semakin menjamur di Indonesia mengancam keselamatan
bangsa dan negara;
“Bahwa Judex Facti / Pengadilan
Tinggi terlihat hanya mempertimbangkan kepentingan Terdakwa semata, tidak
mempertimbangkan akibat dari perbuatan Terdakwa mengorbankan masyarakat
Indonesia yang menurut penelitian BNN tahun 2015 pengguna Narkotika telah
mencapai 5.100.000 (lima juta seratus ribu) orang di Indonesia dan setiap hari
lebih 60 (enam puluh) orang meninggal dunia dengan demikian dipandang tidak
adil menjunjung tinggi hak terhadap Terdakwa disisi lain hak hidup korban
akibat pengguna Narkotika dari perbuatan Terdakwa tidak diperhatikan; Di
negara besar di dunia seperti halnya Amerika Serikat di beberapa negara bagian
masih tetap menerapkan pidana mati;
“Bahwa alasan Judex Facti
Pengadilan Tinggi mengurangi hukuman Terdakwa pada pokoknya adalah penjatuhan
pidana mati harus dipertimbangkan secara saksama dan teliti karena berkaitan
dengan nyawa seseorang, selain itu barang bukti yang menjadi pertimbangan berat
ringannya pidana dalam perkara a quo jumlahnya hanya sebanyak 350 gram, jumlahnya
jauh dari barang bukti pelaku tindak pidana Narkotika yang telah menjalani eksekusi;
“Bahwa alasan pertimbangan
Judex Facti Pengadilan Tinggi tersebut tidak beralasan sebab tidak
mempertimbangkan secara lebih mendalam makna ketentuan Pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Jo. Pasal 197 Ayat (1) Huruf F KUHAP;
“Bahwa alasan pertimbangan
Judex Facti Pengadilan Tinggi mengenai jumlah barang bukti sebanyak 350 gram
kurang tepat sebab Terdakwa sudah kali kedua melakukan tindak pidana Narkotika.
Pada perkara yang pertama Terdakwa ditangkap dan dipersalahkan melakukan tindak
pidana Narkotika dengan barang bukti 3 kg heroin;
“Bahwa Terdakwa yang sedang
menjalani pidana penjara selama 20 tahun atas perkara yang pertama, ternyata
sifat jahat Terdakwa belum kembali normal, Terdakwa belum sadar dan bertobat
atas segala perbuatannya yang merugikan dan merusak jiwa dan raga manusia / pengguna
secara massif. Bahkan Terdakwa tidak merasa bersalah dan menyesal dengan
mengulangi lagi tindak pidana yang sejenis / sama;
“Bahwa penjatuhan pidana
seumur hidup bagi Terdakwa tidak akan mengurangi niat atau sifat atau kelakuan
jahat Terdakwa. Penjatuhan pidana seumur hidup bagi Terdakwa tidak ada jaminan
bahwa Terdakwa tidak mengulangi perbuatannya;
“Bahwa salah satu cara untuk
mencegah Terdakwa mengulangi perbuatan a quo adalah dengan menjatuhkan pidana
mati bagi Terdakwa sehingga Terdakwa tidak lagi melakukan kegiatan peredaran
gelap Narkotika;
“Bahwa keberadaan Terdakwa
di Lembaga Pemasyarakat sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi orang di
dalam LP maupun di luar LP hal ini dibuktikan Terdakwa dapat mengendalikan
Narkotika di luar LP dengan menggunakan jaringan yang sudah dibangun Terdakwa
sebelumnya;
“Bahwa alasan yuridis
memperberat hukuman Terdakwa yaitu Terdakwa sudah dalam posisi sebagai residive
melakukan tindak pidana;
“Bahwa selain alasan tersebut, Terdakwa
adalah bagian dari sindikat peredaran gelap Narkotika dan mempunyai peranan
yang signifikan, sehingga untuk mematahkan pergerakan Terdakwa dan jaringannya
Terdakwa harus dijatuhi pidana mati;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi
dari Penuntut Umum dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor:
69/PID/2015/PT.BTN tanggal 24 Agustus 2015 yang memperbaiki Putusan Pengadilan
Negeri Tangerang Nomor: 1974/PID.SUS/2014/PN.TNG tanggal 1 April 2015, untuk kemudian
Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana
yang akan disebutkan di bawah ini;
“Menimbang, bahwa sebelum
menjatuhkan pidana Mahkamah Agung akan mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang giat-giatnya
memberantas Narkotika;
- Perbuatan Terdakwa dapat mengakibatkan kerugian jiwa, raga dan harta
benda bagi bangsa dan negara Indonesia termasuk masyarakat;
- Perbuatan Terdakwa merusak generasi muda dan bangsa Indonesia;
- Terdakwa sebagai otak / pengendali bisnis Narkotika dari balik
Tahanan Lapas, dan Terdakwa sedang menjalani pidana di LAPAS;
- Motivasi Terdakwa untuk mendapat uang semata;
Hal-hal yang meringankan:
- Nihil;
“MENGADILI :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Jaksa / Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Tangerang tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor: 69/PID/2015/PT.BTN
tanggal 24 Agustus 2015 yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Tangerang
Nomor: 1974/PID.SUS/2014/PN.TNG tanggal 1 April 2015 tersebut;
MENGADILI SENDIRI,
1. Menyatakan Terdakwa SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA alias NICK alias IKE
CHUKUNG EZE alias NICK HORRISON telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana: Tanpa hak atau melawan hukum melakukan
permufakatan jahat menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I dalam
bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram dan Mentransfer atau
menitipkan uang yang berasal dari tindak pidana Narkotika;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA alias
NICK alias IKE CHUKUNG EZE alias NICK HORRISON oleh karena itu dengan pidana
MATI;
3. Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) buah kotak kardus
yang di dalamnya terdapat 1 (satu) buah pajangan kalender berbentuk mobil
mainan yang pada bagian rodanya berisi : 1 (satu) bungkus plastik berisikan
Kristal putih yang diduga Narkotika jenis Shabu dengan berat brutto 350 (tiga
ratus lima puluh) gram;
Dipergunakan dalam perkara
terpisah an. Terdakwa EMMY ROMAULI SILALAHI A.D HUMALA SILALAHI.”
Lantas, apakah yang menjadi
argumentasi Jaksa Penuntut Umum sebagai “kontra narasi” terhadap pihak-pihak
yang menentang “hukuman mati” bagi pelaku “kejahatan yang sangat jahat”? Dalam
perkara tingkat kasasi terhadap Terdakwa atas nama SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA di
atas, pada mulanya yang menjadi putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1974/PID.SUS/2014/PN.TNG
tanggal 1 April 2015 berupa amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA alias NICK alias IKE
CHUKUNG EZE alias NICK HORRISON telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana: 1. Tanpa hak atau melawan hukum melakukan
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika menjadi perantara
dalam jual beli Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman beratnya
melebihi 5 (lima) gram dan 2. Mentransfer atau menitipkan uang yang berasal
dari tindak pidana Narkotika;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA alias
NICK alias IKE CHUKUNG EZE alias NICK HORRISON dengan pidana MATI.”
Dalam tingkat banding, yang kemudian
menjadi putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor: 69/PID/2015/PT.BTN tanggal 24
Agustus 2015, berupa amar sebagai berikut:
- Menerima permintaan banding
dari Jaksa / Penuntut Umum dan Terdakwa;
- Memperbaiki putusan
Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 1 April 2015, Nomor 1974/Pid.Sus/2014/PN.Tng,
yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan kepada
Terdakwa sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA alias NICK alias IKE
CHUKUNG EZE alias NICK HORRISON telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana : 1. Tanpa hak atau melawan hukum melakukan
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika menjadi perantara
dalam jual beli Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman beratnya
melebihi 5 (lima) gram dan 2. Mentransfer atau menitipkan uang yang berasal
dari tindak pidana Narkotika;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SIMON IKECHUKWU EZEAPUTA alias
NICK alias IKE CHUKUNG EZE alias NICK HORRISON oleh karena itu dengan pidana
penjara SEUMUR HIDUP.”
Pengadilan Tinggi Banten dalam pertimbangan
hukum dalam putusannya, menyebutkan bahwa sebagai bagian dari masyarakat hukum memberikan
pendapatnya tentang hukuman mati, pada pokoknya berupa pandangan berikut:
1. Bahwa hukuman mati adalah
merupakan peninggalan sistem kolonial belanda, sementara Belanda sendiri telah
menghapus hukuman mati sejak 17 Februari 1983;
2. Hukuman mati bertentangan
dengan UUD 1945 Pasal 28 A;
3. Bahwa Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui
UU No. 12 Tahun 2005;
4. Hukuman Mati selain bentuk
pelanggaran HAM bertentangan dengan prinsip hak azasi manusia;
5. Hukuman Mati bertentangan
juga dengan sistem hukum modern dimana penghukuman harus bersifat
koreksional untuk memperbaiki bukan untuk balas dendam;
6. Bahwa menurut hukum
internasional prinsip-prinsip ”fair trial”
menjadi bagian penting dari proses hukum yang tidak dapat dipisahkan;
7. Bahwa dalam lingkup
masyarakat internasional pengakuan hukuman mati hampir tidak mempunyai tempat
pada masyarakat yang demokratis dan berbudaya;
8. Bahwa praktek eksekusi
hukuman mati dapat dikatakan sebagai pidana paling kejam karena tidak ada lagi
harapan bagi Terpidana untuk memperbaiki kejahatannya sementara salah satu
tujuan pemidanaan adalah untuk mendidik atau memeperbaiki orang yang suka
melakukan kejahatan agar menjadi orang baik tabiatnya sehingga bermartabat bagi
masyarakat;
9. Pemberlakuan hukuman mati
cendrung menekankan aspek balas denda (retributive);
10. Penderitaan yang dialami
dalam pemberian hukuman mati tidak hanya dialami oleh terpidana tetapi juga
oleh keluarganya, terlepas dari nasib korban maupun keluarga korban;
11. Pemberian hukuman mati di
Indonesia berdampak besar dalam upaya advokasi pemerintah untuk menyelamatkan
ratusan Warga Indonesia yang terancam mati di Negara lain;
12. Pemberian predikat ”E”
sebagai pridikate terburuk dari Komite HAM PBB;
13. Bahwa hukuman mati sama
sekali tidak membantu perang terhadap kejahatan karena kejahatan itu berkembang
seiring dengan perkembangan peradaban manusia;
Adapun menurut pendapat Jaksa
Penuntut Umum, Hakim Pengadilan tinggi Banten hanya mengutip pendapat dari satu
pihak saja, yakni pendapat dari masyarakat hukum yang menolak hukuman mati. Sekalipun,
pada sisi lain masih terdapat masyarakat hukum yang setuju dengan hukuman mati
dengan argumen yang lebih sangat realitis, dimana untuk Kejahatan-kejahatan
yang sifatnya extra ordinary crime (Kejahatan
luar biasa) masih diperlukan penjatuhan hukuman mati, seperti halnya dalam
kejahatan Narkotika jika bandar atau pelaku peredaran Narkotika beserta
jaringannya tidak diputus mata rantainya, tentu saja hal tersebut akan
mengakibatkan banyak lagi generasi muda / anak-anak bangsa yang menjadi korban
kejahatan Narkotika dari pencadu hingga mati karena ketergantungan Narkotika
tersebut.
Sehingga menurut kami
penjatuhan hukuman MATI masih sangat diperlukan untuk kejahatan-kejahatan yang
luar biasa termasuk kejahatan Narkotika dengan tujuan untuk menyelamatkan
masyarakat luas yang lebih banyak dari ancaman dan bahaya Narkotika; Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Banten dalam pertimbangan hukumnya, menyebutkan bahwa
dalam penjatuhan hukuman mati, harus dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam sistem penjatuhan
pidana dalam hukum positif di Indonesia terdapat pentahapan pemidanaan dari
maksimal 20 (dua puluh) tahun kemudian maksimal seumur hidup dan terakhir
pidana mati sehingga seharusnya penjatuhan pidana khususnya pidana mati maka
tahapan demikian benar dipertimbangkan dengan seksama dan teliti karena berkaitan
dengan penghilangan nyawa seseorang;
b. Jumlah barang bukti hendaknya
menjadi pertimbangan berat ringannya penjatuhan pidana dalam hal ini jumlah
barang bukti dalam perkara Terdakwa sejumlah 350 gram adalah jauh dari jumlah
barang bukti yang terbukti ada dalam perkara terpidana yang telah menjalani eksekusi
hukuman mati yang rata-rata jumlah barang buktinya diatas atau lebih dari 1
(satu) kilogram;
c. Bahwa Terdakwa dalam perkara
ini adalah orang yang diperalat sehingga bukan otak pelaku perbuatan;
d. Bahwa dalam perkara Terdakwa
terbukti melakukan ”permufakatan jahat” namun hanya Terdakwa yang dijatuhi
hukuman mati sementara Terdakwa lain yang kebetulan bukan warga negara
Indonesia dihukum selain hukuman mati, hal ini mengindikasikan adanya
diskriminasi terhadap penerapan pasal-pasal hukum pidana terhadap warga negara
asing;
e. Bahwa Terdakwa melakukan
perbuatannya lagi maka tidak semata-mata kesalahan terpidana tetapi harus
dipertimbangkan juga sistem pembinaan dan juga lembaga pembinaannya dalam hal
ini Lapas.
Pihak Penuntut Umum membangun
argumentasi dengan narasi sebagai berikut. Pemerintah telah melakukan berbagai
tindakan dalam usaha pencegahan tentang penyalahgunaan Narkoba yaitu pencegahan
secara preventif maupun secara reperesif, dimana Pemerintah telah membentuk
BAKOLAK INPRES Nomor 6 Tahun 1971 yang didalamnya terdapat masalah Narkoba. Dalam
GBHN Tahun 1993 dengan tegas menempatkan masalah Narkoba menjadi perhatian
khusus serta pengawasan yang ketat terhadap bahaya Narkoba yang dapat merusak
mental dan fisik generasi muda sebagai generasi penerus bangsa.
Didalam pertimbangan Pemerintah
sebagaimana dimuat dalam pertimbangan dalam pembentukan Undang-Undang RI. Nomor
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan dengan jelas dan tegas bahwa
penyalahgunaan Narkotika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan
bangsa, sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan Nasional. Peningkatkan
pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan pengedaran gelap Narkoba sangatlah diperlukan karena
kejahatan Narkotika pada umumnya tidak dilakukan Terdakwa sendiri atau
perorangan secara berdiri sendiri, melainkan oleh sindikat secara bersama-sama yang
terorganisasi secara mantap dimana anggota jaringannya bergerak dalam “ruang
gelap”.
Penjatuhan hukuman yang berat
kepada para pelaku pengedar maupun yang menjadi perantara peredaran Narkotika, terlebih
terhadap bandar Narkotika sangatlah tepat, terutama terhadap Terdakwa yang saat
ini sedang menjalani hukuman atas perkara yang dilakukan Terdakwa sebelumnya,
dimana Terdakwa telah dihukum selama 20 (dua puluh) tahun. Dengan demikian Terdakwa
sebagai warga binaan yang sedang menjalani hukuman harusnya Terdakwa
merenung atas kesalahan yang telah diperbuatnya, namun faktanya adalah sebaliknya
dimana Terdakwa masih berperan untuk masuknya Narkotika ke Indonesia dan
memberi perintah serta mengendalikannya di balik jeruji Penjara, sehingga
apabila Terdakwa hanya tetap sebagai warga binaan maka akan bertambah banyak pula
korban-korban bertumbangan, dimana untuk menghindari adanya korban berikutnya
maka penjatuhan pidana yang paling tepat adalah hukuman MATI.
Jaksa Penuntut Umum menutup
argumentasinya dengan diskursus bahwa putusan hakim seharusnya dapat diandalkan
untuk memberikan daya tangkal / efek jera baik kepada terdakwa maupun kepada
masyarakat. Tujuan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana bukanlah
merupakan pembalasan, akan tetapi bertujuan sebagai pendidikan atau pelajaran
bagi semua orang dan untuk menjaga ketertiban bagi masyarakat luas dan
terpidana itu sendiri. Penjatuhan pidana yang lunak-ringan, tidak dapat
diharapkan sebagai daya tangkal bagi calon Tersangka lainnya yang akan melakukan
perbuatan yang sejenis.
Pidana yang dijatuhkan terhadap
Terdakwa yang terlampau ringan, nyata-nyata tidak sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat, oleh karenanya penjatuhan yang berat kepada Terdakwa Tindak Pidana Narkotika
sangatlah tepat. Dengan penjatuhan pidana yang berat terhadap Terdakwa, akan
memberikan pengaruh yang sangat besar kepada pihak lain terutama bagi pelaku
yang terlibat dalam peredaran Narkotika, sehingga penjatuhan Pidana mati bagi Terdakwa
adalah sudah sangat tepat. Begitupula hak-hak keadilan bagi korban maupun
keluarga korban Narkotika, vonis hukuman mati bagi pelaku memang merupakan “kabar
buruk” bagi kalangan pelaku, namun disaat bersamaan merupakan “kabar baik” bagi
kalangan korban maupun keluarganya. Kita tidak perlu menunggu sampai keluarga kita
ataupun orang-orang yang kita cintai menjadi korban peredaran Narkotika, itu “terlampau
mahal harganya”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.