KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Bila Semua Produsen hanya Mempekerjakan Robot, maka Manusia Mana yang Sanggup Membeli Produk Mereka?

Membongkar Kedunguan Berpikir Dibalik Ketamakan Pelaku Usaha

Robot dan AI, merupakan Predator “Tenaga Kerja Manusia”—Sifatnya Bukan Membantu, namun Menggantikan Fungsi Manusia

Sadarkah Anda, betapa beruntungnya Warga Negara Indonesia, dimana berbagai restoran maupun kafe negeri kita masih mempekerjakan “koki manusia”? Di negara-negara maju, peran sebagai koki, pramusaji, hingga barista pengocok kopi, telah digantikan oleh robot. Dalam waktu dekat, wajah berbagai industri kuliner kita di Indonesia pun, akan mengalami transformasi serupa, hanya persoalan waktu. Mari kita dalami dan selami cara berpikir kalangan pengusaha produsen maupun manufaktur. Mengapa tidak menggunakan “tenaga kerja manusia”, dalam proses produksi seperti beberapa dekade yang lampau, mengapa kini semuanya menggunakan lengan-lengan robotik serta mesin-mesin yang digerakkan oleh kecerdasan buatan?

Karena lebih efisien dan lebih produktif “tenaga kerja robot”. Itulah sebabnya, kalangan pengusaha berlomba-lomba berinvestasi pada proses produksi “padat modal”, alih-alih “padat karya”. Muaranya, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, mengatas-namakan “efisiensi usaha”. Efek dominonya tidak hanya berhenti sampai di situ, tidak lagi adanya pembukaan lapangan pekerjaan bagi “tenaga kerja manusia”. Namun, ironisnya, para pengusaha tersebut yang saat ini mulai bersikap seolah-olah tidak butuh “manusia”, melupakan atau abai, bahwa konsumen mereka adalah “manusia”. Jika Anda menemukan restoran dimana koki maupun pramusaji-nya ialah robot, maukah Anda memesan makanan di sana dan menjadi konsumen mereka?

Bagai “lingkaran setan”, ketika penduduk suatu negara tidak memiliki penghasilan akibat tidak ada lapangan pekerjaan yang menjadi sumber nafkah mereka, pada gilirannya “daya beli” masyarakat menurun. Ketika “daya beli” masyarakat menurun / melemah, pada gilirannya produk-produk yang diproduksi para produsen tersebut kehilangan “pangsa pasar”. Sehingga, secara “gambaran besar” yang lebih utuh, mempekerjakan “tenaga kerja robot” pada gilirannya akan mematikan kesinambungan dan eksistensi sang pelaku usaha itu sendiri. Meski demikian, kalangan pengusaha kita masuk dalam sebuah zona yang disebut “psikologi panik serba-salah” : bila pabrik masih mempekerjakan “tenaga kerja manusia”, itu sama artinya kalah bersaing terhadap kompetitor yang proses produksi masif-nya menggunakan “tenaga kerja mesin / robot”.

Sama artinya juga, produsen yang masih menggunakan “tenaga kerja manusia” sedang memberi “subsidi” kepada produsen yang menggunakan “tenaga kerja robot”—karena para manusia yang selama ini bekerja sebagai pegawai / pekerja / buruh kepada pengusaha yang masih mempekerjakan “tenaga kerja manusia”, membeli produk-produk yang lebih murah, yakni produk-produk yang diproduksi oleh produsen yang menggunakan “tenaga kerja robot” dalam proses produksinya. Terjebak dalam “lingkaran jurang tanpa dasar”, pengusaha yang masih mempekerjakan “tenaga kerja manusia” pada gilirannya menemukan usahanya mulai tersisih, kalah bersaing, tersingkir dari pasar, tidak mampu membayar pekerjanya, terlilit hutang, lalu “gulung tikar” bila tidak pailit. Apakah para pembaca, merasa bahwa apa yang terurai di atas, begitu relevan terhadap fenomena yang riak-riaknya kini mulai muncul ke permukaan?

Lebih jauh, secara makro dan dari perspektif ekonomi global, penggunaan “tenaga kerja robot” yang masif serta efisien, dapat berdampak hebat terhadap negara-negara yang mengimpor produk-produk yang diproduksi oleh negara-negara “padat modal” demikian. Ilustrasi konkretnya, berbagai manufaktur di Indonesia kolaps, kalah dari segi harga, kuantitas, maupun kualitas barang menghadapi gempuran produk-produk dari Negeri China, yang menggunakan proses produksi massal secara efisien berkat teknologi robotik. Akan tetapi, perekonomian masyarakat di China sendiri tidak terangkat, mengingat devisa hasil ekspor barang-barang produksi dalam negeri mereka ke negara lain, tidak “merembes” kepada masyarakat, namun terkapitalisasi di tangan para pemodal kuat yang mampu berinvestasi pada teknologi produksi robotik—mengingat pabrik-pabrik mereka tidak lagi mempergunakan “tenaga kerja manusia” sebagai faktor produksi. Daya beli masyarakat di China kini telah menurun, maka produk-produk produsen di sana tidak terserap di pasar lokal mereka, membuat para produsen tersebut menjadikan negara lain sebagai “target market”.

Itulah, bencana dibalik “padat modal”, alih-alih “padat karya”. “Efisiensi usaha” di era robotik berbasis Artificial Intelligence (kecerdasan buatan, AI), memiliki lawan kata yang berbeda dari kondisi satu abad yang lampau, dari semula mengoptimalkan keterampilan “tenaga kerja manusia” menjelma “tiada lagi tenaga kerja manusia”—alias menihilkan “tenaga kerja manusia” dan menggantikan mereka dengan “tenaga kerja robotik”. Kini, kita masuk pada pertanyaan utamanya : ketika saat kini saja, ekonomi global termasuk di China, Amerika Serikat, Eropa , tidak terkecuali di Indonesia, menuju jurang resesi yang dapat terlihat dari indikator berupa pertumbuhan masyarakat kelas miskin (menurunnya jumlah kelas menengah), deflasi dalam beberapa bulan berturut-turut, tingkat pengangguran meningkat, faktor produksi bersifat “padat modal” alih-alih “padat karya”, lapangan pekerjaan begitu langka, berbagai fungsi / bidang pekerjaan mulai tergantikan oleh kecanggihan teknologi berbasis AI, maka bagaimana wajah negeri maupun dunia ekonomi global dalam satu atau dua dekade yang akan datang?

Ketika penyusun kebijakan di negeri kita, tampak tidak mampu bersikap realistis dengan tidak mau menyadari bahwa ekonomi global maupun ekonomi lokal dalam negeri dalam kondisi “tidak baik-baik saja”—demi “memoles” keberhasilan pemerintahan dan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan yang berkuasa—serta diperkeruh oleh sikap “seolah republik kita sedang baik-baik saja” dan “tidak ada masalah yang berarti sehingga cukup ‘business as usual’”. Terlepas dari segala inkompetensi para pemimpin dan penyusun kebijakan kita, pola berpikir masyarakat kita masih kerap dikeruhkan dan bahkan diracuni oleh ideologi-ideologi “toxic”, semisal jargon atau slogan-slogan klise seperti : “menikah adalah ‘pintu rezeki’”, “rezeki sudah ada yang atur”, “kesulitan adalah cobaan Tuhan”, “bila Tuhan berkehendak, maka itu yang akan terjadi”, “nasib ada di tangan Tuhan”, “manusia hanya dapat berencana, Tuhan yang memutuskan”, maupun seperti yang kerap diperdengarkan kepada kita “Tuhan tidak pernah tidur”.

Kesenjangan ekonomi, pada era kapitalisasi yang dimotori oleh kecanggihan teknologi berbasis mesin-mesin robotik berkekuatan AI (powered by AI), kian melebar dan kian senjang antara si kaya dan si miskin. Pada saat itulah, rakyat kita mulai merasakan, betapa “Tuhan telah lama tertidur”, lalu mencoba menipu dan membohongi dirinya sendiri, lewat masuk ke dalam jebakan bernama “pinjaman online”, “pay later”, “gali lubang, tutup lubang”, hingga kriminalitas seperti menipu, menggelapkan dana milik orang lain, meminjam hutang namun “lebih galak yang ditagih daripada yang ditagih”, bahkan hingga menjual anak kandung sendiri demi memuaskan adiksi terhadap “jud! online”.

Seakan belum cukup sampai di situ, para pemuka agama kita masih juga “mengompori” umatnya sendiri lewat pembodohan usang berikut : “Memangnya uang dan harta, dibawa mati?”, “uang dan harta itu dosa”, “jaminan di akherat lebih penting daripada harta duniawi yang fana ini”, dan ujaran-ujaran penuh spekulatif lainnya. Terdapat dua pernyataan dari Robert T. Kiyosaki yang makin relevan untuk kondisi kekinian dewasa ini : “Uang bukanlah sumber kejahatan, kekurangan uang-lah yang menjadi sumber kejahatan” dan “Bisnis saya bertumbuh, karena saya memberi, memberikan nafkah kepada pegawai saya.” Ketika pengusaha mematikan pegawainya sendiri dengan menutup lapangan pekerjaan dan menggantikannya dengan robot, sama artinya sang pelaku usaha sedang menuju ke arah “perlahan namun pasti” mematikan dirinya sendiri, karena “perputaran uang” tidak terbentuk.

Ketika para pelaku usaha menghidupi para “pegawai manusia”-nya, itu sama artinya para pelaku usaha tersebut sedang menjaga kelangsungan usahanya sendiri secara berkesinambungan. Namun, itu butuh “gerakan bersama”, agar pelaku usaha yang masih idealis tidak menyerupai “sedang memberi subsidi” bagi korporasi-korporasi tamak yang serakah. Kini, cobalah amati fenomena berikut : produk-produk lokal maupun impor (supply) membanjiri pasar kita, dengan harga yang lebih murah akibat “efisiensi usaha” disamping fenomena deflasi, namun mengapa tingkat penjualan mereka (justru) terus menurun akibat anjloknya “demand” (maupun daya beli)? Kini, semua jawabannya menjadi logis bagi kita, namun gagal diamati, diprediksi, dan diantisipasi oleh para ekonom lokal maupun ekonom kelas dunia manapun.

Cukup akal sehat dan pikiran yang jernih, untuk mampu mamahami fenomena “jurang ekonomi” dewasa ini. Yang ada untuk kedepannya, ekonomi kita maupun ekonomi global akan terus masuk ke dalam “jurang terjal”, tidak akan pernah kembali ke masa jaya dimana “tenaga kerja manusia” masih dibutuhkan dalam faktor produksi. Indikatornya jelas, permintaan negara asing terhadap komoditas Indonesia yang selama ini menjadi primadona ekspor, mulai menurun. Deflasi dan “gig economy” (ekonomi pekerja serabutan non-formal) menjadi hal yang lumrah kita jumpai, daya beli menurun, PHK massal, pria / wanita mulai memilih melajang akibat bersikap realistis terhadap keadaan ekonominya, pelaku usaha “padat karya” tumbang, masyarakat dengan ekonomi kelas menengah menurun, kesenjangan ekonomi kian melebar, pusat-pusat perbelanjaan kosong dari pengunjung, hutang negara meningkat, menyusul kemudian ialah meningkatnya angka kriminalitas.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.