Kebijakan yang Realistis, Pahit, namun Itulah Adanya
Paradigma ANALOG di Era DIGITAL, Mau Dibawa Kemana
Negeri Kita?
Kini, di China, bursa kerja di Tiongkok (China) mengalami titik suram, dimana tren atau kecenderungan serupa dijumpai di negara-negara global manapun, tidak terkecuali di Amerika Serikat. Satu dari lima orang yang Anda jumpai di China, adalah pengangguran akibat diberhentikan (terkena “efisiensi usaha”), masih mencari pekerjaan, ataupun yang sudah menyerah mencari pekerjaan akibat berbagai bidang mulai dari industri hingga manufaktur telah bersifat “padat modal” alih-alih “padat karya”. Contoh sederhana, dengan hadirnya teknologi dibidang pertanian, semisal mesin traktor pembajak sawah, mesin pemotong padi, drone pengangkut hasil bumi, kesemua itu memangkas banyak rantai produksi yang semula diisi oleh “tenaga kerja manusia” menjelma “padat modal”. Itu contoh di sektor rural (pedesaan), fenomena di daerah-daerah urban jauh lebih mengerikan, faktor produksi telah terotomatisasi oleh lengan-lengan robotik yang dilengkapi kecerdasan buatan yang menggantikan fungsi “tenaga kerja manual”.
Bursa kerja telah dibanjiri
tenaga kerja yang bergelar sarjana. Namun, akibat “over supply”, sementara itu antara “supply” dan “demand” kian
tidak berimbang dan tidak seiring sejalan, akibatnya terjadi pusaran “jebakan
gelar akademik”, para sarjana tersebut membayar mahal biaya perkuliahan yang
mereka sadari dan ketahui sebetulnya tidak relevan ilmunya dengan dunia
pekerjaan, semata demi mendapat gelar “master” (magister Strata 2) maupun gelar
“doktoral” (Phd). Tetap saja, sebanyak apapun gelar-gelar “master” dan “Phd”
tersebut dicetak oleh berbagai universitas top di China, lapangan pekerjaan
yang ada tetap sempit dan kompetisi kian ketat karena diperebutkan oleh para
kandidat pencari kerja lainnya. “Lingkaran setan” pun dimulai, daya tawar
“tenaga kerja manusia” tiba di “titik nadir”, mereka yang bergelar “master” di
China berakhir menemukan diri mereka menjadi petugas satpam maupun petugas
kebersihan.
Di China, jumlah lulusan
sarjana baru setiap tahunnya, tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang
ada maupun lapangan pekerjaan yang baru. Akibatnya, setiap tahunnya China
dibanjiri oleh lulusan sarjana baru (fresh
graduate) yang bertahun-tahun gagal mencari pekerjaan. Mereka bukan tidak
mau mencari pekerjaan, mereka telah frustasi akibat gagal dan selalu menemui
kegagalan dalam setiap lamaran kerja yang mereka kirimkan dan proses interview
yang mereka ikuti. Kini, menjadi pemandangan umum di China, para anak muda
bergelar sarjana tampak tidur menggelandang di jalan-jalan. Sebagian diantara
mereka telah terpuruk oleh kenyataan, dari semula belajar keras mulai dari
sekolah dasar hingga menempuh perkuliahan di perguruan tinggi yang berbiaya
tinggi dimana para orangtua mereka harus berhutang dari kerabat, berakhir “jobless”, menggelandang tanpa pekerjaan,
merana, pulang kampung sebagai “pecundang”. Semula mereka berharap bisa
“mengubah nasib” dengan menempuh pendidikan tinggi dari universitas top di
China, ternyata hanya “delusi”. Kenyataannya Ai bahkan lebih cerdas daripada
profesor di berbagai universitas tersebut.
Jika ada di antara warga di China
yang masih bisa menemukan pekerjaan atau masih bisa bekerja, maka mereka
tergolong orang yang “sangat-amat beruntung”. Namun, upah yang ditawarkan
pemberi kerja menyerupai “kerja rodi”, sangat tidak manusiawi. Berkebalikan
dengan fenomena di Indonesia dimana anak-anak muda membelanjakan tabungan
mereka secara membabi-buta sebagai pelampiasan terhadap “jobless” dirinya, anak muda di China telah belajar kiat-kiat mengencangkan
“ikat pinggang”. Kini, para anak muda di China memilih pekerjaan
informal—sebenarnya bukan “memilih”, mereka terpaksa melakoninya—semisal
menjadi kurir pengantar makanan / paket, menjadi influencer maupun streamer
online, tanpa adanya jaminan di hari tua. Profesi-profesi informal tersebut
tidak dapat mereka lakoni hingga pada usia di paruh baya. Namun, demi “memoles”
statistik, pemerintah di China mulai mengkategorikan pekerjaan-pekerjaan
informal tersebut sebagai pekerjaan “formal”, agar tingkat serapan tenaga kerja
di China digambarkan “mulus” dan “indah”. Tidak beda jauh dengan cara
pemerintah di Indonesia memandang kualifikasi “miskin” maupun “bekerja”,
sekalipun yang dimaksud ialah hanya mampu berjualan tissue di jalanan maka
sudah digolongkan “bekerja”.
Kini, di China pun ada
kebijakan baru yang “di atas kertas” tampak fenomenal, yakni naiknya umur
pensiun bagi pekerja. Ini menyerupai kebijakan baru di Indonesia, yakni setiap
tahun kedepannya maka usia pensiun pekerja bertambah hingga kelak pada suatu
saat belasan tahun kemudian, maka usia pensiun dapat mencapai lebih dari enam puluh
tahun. Kedengaran indah dan idealis. Akan tetapi, ironisnya, mengingat sarjana
baru dicetak setiap tahunnya, namun tidak dapat diserap oleh dunia kerja,
dimana berbagai perusahaan terkemuka di China mulai melakukan serangkaian
kebijakan PHK alias “pemutusan hubungan kerja” (lay off), akibatnya alih-alih terbuka lapangan pekerjaan baru, yang
terjadi saat kini ialah kian sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia dan
masih tersisa.
“Job fair” di China selalu dibanjiri pengunjung yang hendak melamar.
Satu buah posisi “entry level”, dapat
dikunjungi ribuan pelamar kerja. Pemerintah China kemudian menyerukan kebijakan
yang bertentangan dengan kebijakannya sendiri, yakni mulai melakukan PHK
terhadap pekerja yang telah memasuki usia dewasa, demi memberikan kesempatan
pencari kerja berupa sarjana muda untuk bekerja. Jangankan berbicara bekerja
hingga usia pensiun di umur lebih dari umur enam puluh tahun, mereka bisa
bekerja hingga usia diatas tiga puluh atau empat puluh tahun saja, sudah
tergolong sangat beruntung. Di China, jika Anda terkena PHK pada usia 30-an
tahun, maka akan sangat sukar bagi Anda untuk mencari pekerjaan baru. Kriteria
dalam daftar lowongan yang dibuka bagi pelamar, bisa sangat irasional
(tuntutannya berlebihan, harus menguasai seluruh keterampilan perkantoran, usia
masih muda, dan setidaknya menyandang gelar “master”), namun dengan tawaran
upah / gaji yang sangat menyerupai “kerja rodi”.
Dengan demikian, di China era
kekinian, perihal isu-isu normatif semacam “upah minimum” maupun “usia pensiun”,
sudah tidak relevan, karena fenomena realitanya begitu pahit dan sangat
memukul. Mendengarkan kisah pilu para anak muda di China yang gagal mencari
pekerjaan tersebut, dapat membuat kita turut meneteskan air mata. Fenomena
serupa, sejatinya terjadi di sejumlah negara, bahkan di seluruh negara di
dunia, baik negara maju maupun negara berkembang, tidak terkecuali di
Indonesia. Pemerintah maupun calon pemimpin kita di Indonesia ketika berjanji
(menjual “iming-iming”) akan menaikkan “upah minimum” ataupun pertumbuhan
ekonomi tinggi, maka fakta realita “jauh api dari panggang”, yakni : masih
untung bisa bekerja, mengapa masih mempermasalahkan upah dibawah “upah
minimum”? JIka Anda tidak bersedia bekerja dengan persyaratan “segudang
pengalaman dan keterampilan”, jam kerja yang “tidak manusiawi”, namun gaji yang
jauh di bawah “upah minimum”, maka yang mengantri melamar pekerjaan ini masih
banyak.
Isu-isu kontemporer ketenaga-kerjaan
global maupun lokal, mulai sejak era robotik berbasis “kecerdasan buatan” (AI, artificial intelligence) yang mengusung
konsep “padat modal” alih-alih “padat karya”—keduanya tidak seiring berjalan,
namun satu sama lain saling menegasikan satu sama lainnya—bukan lagi perihal
“upah minimum” maupun “usia pensiun”, itu semua adalah isu-isu pada era analog.
“Tsunami AI” membawa dampak terhadap semua profesi, tanpa terkecuali, tidak
terkecuali para progammer mengingat AI generasi terbaru satu dekade yang akan
datang diprediksi telah mampu menciptakan dan memperbaharui dirinya sendiri (AI
menciptakan AI). Ironisnya, seakan hidup di atas menara gading, para penyusun
kebijakan maupun para akademisi masih menggunakan pendekatan dan materi
pembelajaran yang hanya relevan pada era analog.
Ketika era telah berubah, namun
paradigma berpikir masih konvensional, maka siap-siaplah negeri kita terpuruk
seperti yang dialami banyak masyarakat seperti kisah yang telah umum terjadi di
China dewasa kini. Bukan hanya di Indonesia, fenomena deflasi terjadi. Bukan
hanya di Jepang, anak muda memilih untuk membujang. Tetap saja, pemerintah
bersikap “negeri kita baik-baik saja” (lewat polesan Badan Pusat Statistik yang
penuh “sponsored”), mengklaim
keberhasilan pemerintah, masih mengadopsi mental “pemborosan anggaran” dan
“pembengkakan hutang”, maka kesemuanya dibiarkan berjalan begitu saja—semisal
seperti pada era pandemik global akibat Corona Viruse Disease pada tahun 2020,
pemerintah Republik Indonesia tegas “anti
lockdown”, mengatas-namakan ekonomi rakyat jelata dapat menjerit bila
ekonomi lumpuh (sekalipun masyarakat Indonesia tipikalnya ialah “DIE HARD”, sebagaimana akan kita bahas
di bawah).
Kini, berbagai platform
“pinjaman online” hingga “pay later”
dibiarkan tumbuh menjamur, mengakibatkan bangsanya sendiri terjerat hutang yang
mencekik dan melilit leher. Kesemua itu terjadi, karena pemerintah kita masih
memandang atau berpura-pura bersikap “semua masih baik-baik saja”, “tidak ada
yang perlu dipermasalahkan”, “jangan menakut-nakuti, tidak perlu paranoid”,
atau seperti jargon “lanjutkan”. Kita tahu, bahwa bangsa Indonesia masih tidak
memiliki kecerdasan ataupun kepandaian dalam “melihat jauh ke depan”. Sebagai
contoh, masyarakat kita sudah dikenal “DIE
HARD”, dalam artian bila makanan tidak sehat yang mereka konsumsi tidak
seketika membuat mereka mual, muntah, diare, maka artinya itu aman dikonsumsi
dan tidak perlu memusingkannya. Sekalipun, sejatinya bibit penyakit sedang
dalam proses akumulasi dan terus terakumulasi, bermuara pada “silent killer”.
Bila “early warning system” tubuh kita seringkali sangat tumpul, sehingga
minyak jelantah maupun sayur mengandung pestisida pun masih juga dikonsumsi
oleh masyarakat kita, maka kecerdasan finansial masyarakat kita jauh lebih
memprihatinkan. Bangsa kita tidak mampu memahami bahwa terjerat “pinjaman
online” maupun sejenis “pay later”,
sejatinya “menggali lubang kubur sendiri”. Tetap saja, masyarakat kita “DIE HARD”, dengan menyatakan bahwa
“rejeki sudah ada yang atur”, “Tuhan tidak tidur”, “ini cobaan”, “nasib ada di
tangan Tuhan”. Ujung-ujungnya, mereka melakukan kriminalisasi seperti mencuri,
menipu, melakukan penggelapan, atas dasar faktor ekonomi (terjerat hutang,
kemiskinan akut, atau seperti “bosan hidup miskin”). Sama “DIE HARD”-nya dengan sikap masyarakat kita terhadap pandemik tahun
2020 silam, maupun ketika masyarakat kita selalu mengulangi lagu lama : “tukang sampah saja tidak pernah cuci tangan
ketika makan, masih hidup!” (DIE
HARD).
Apakah para pembaca mengetahui,
apa yang akan terjadi dalam waktu dekat, tidak sampai satu dekade sejak artikel
ini diterbitkan? Saat kini, di Indonesia, belum tersedia kafe, kedai, maupun
restoran yang pelayan maupun koki-nya adalah robot, semua masih mempekerjakan
“tenaga kerja manusia”. Di negara-negara maju, sebagian diantaranya telah
digantikan oleh robot, mulai dari tenaga koki, pramusaji, barister pengocok campuran
kopi, dan lain sebagainya. Hanya persoalan waktu, setidaknya hitungan beberapa
tahun, sebelum kesemua itu menjadi realita dan disrupsi atau tren baru akan
lumrah kita jumpai di Indonesia.
Pada saat itulah, “PHK massal”
benar-benar menghantui negeri kita, mengingat berbagai kawasan industri telah
menyerupai “kota mati” (jarang tampak manusia) meskipun produksi mereka
berproduksi optimal oleh lengan-lengan robotik terotomatisasi. Pindah ke desa,
bertani dan mencari profesi terkait pertanian? Pada saat Anda mulai menyadari
apa yang terjadi, robot-robot pun sudah merambah dunia pertanian, tidak
menyisakan ruang apapun untuk Anda bernafas. Lalu Anda mulai berpikir “banting
setir” menjadi penjual barang di “marketplace”?
Itu pun sudah terlambat, berbagai produsen sudah berjualan secara langsung di
platform-platform penjualan online tersebut secara langsung, memangkas rantai
distribusi maupun reseller, demi
memperbesar margin keuntungan mereka. Anda, kita semua, dkepung oleh AI dan
digitalisasi.
Jika Anda bukan produsen dan
bukan importir langsung maupun “first
hand”, maka “berjualan (secara) online” sama artinya Anda hanya bisa hidup
dengan mengandalkan “mukzijat”, mengingat “marketpalce”
mengusung konsep “persaingan terbuka sempurna”. Ketika daya tawar konsumen
lemah, sementara itu Groos Domestic Bruto kita didominasi konsumsi rumah-tangga
kalangan kelas menengah, sementara jumlah kelas menengah kian menurun, maka
“banting harga” sekalipun tidak akan mendongkrak angka penjualan dan tidak
menjamin apapun. Ketimpangan ekonomi, yang kaya kian kaya, yang miskin kian
miskin, itulah bukti tidak terbantahkan bahwa “Tuhan sudah lama tertidur”. Kini
atau saat tiba momen itulah, Anda bisa menjawab secara jujur, bahwa hidup ini
adalah “nikmat” ataukah sejatinya “dukkha”. Mungkin Anda bertanya-tanya,
bukankah produk-produk “Made In China”
merajai dunia, jika begitu mengapa justru banyak pengangguran di sana?
Sayangnya, yang memproduksi barang-barang tersebut adalah “tenaga kerja ROBOT”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.