KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Secara Falsafah, PEMERASAN Lebih Jahat daripada Kejahatan PENIPUAN

Preman Pasar Mengutip UANG KEAMANAN, sementara Preman Kerah Putih (Berseragam) Mengutip UANG PELICIN, Sama-Sama MEMERAS dan Sama-Sama Pelaku PEMERASAN

Pidana Tidak Perlu Dijatuhkan bila Tidak Menimbulkan EFEK JERA, karenanya Vonis Pemidanaan Perlu Tegas serta Efektif Menjerakan Pelaku maupun Calon Pelaku

Question: Banyak preman berkedok Ormas (organisasi kemasyarakatan), meminta uang dari pemilik toko yang menjual barang. Mereka meminta uang dengan alasan “uang keamanan”. Bagaimana pandangan hukumnya atas praktik yang tumbuh-subur seolah dipelihara oleh negara ini karena dibiarkan berkeliaran di pasar-pasar maupun di jalan-jalan?

Brief Answer: Itu namanya modus “pemerasan”, dimana sang pelaku menggunakan metode (baca : modus) tidak etis yang bernama “akrobatik moral”, seolah mereka adalah pahlawan, pelindung, penyelamat, tenaga keamanan, atau sejenisnya, sekalipun faktanya ialah bila kalangan-kalangan demikian tidak ada maka negeri kita akan berjalan dengan aman dan tertib serta damai. Singkat kata, ancaman keamanannya ialah kalangan mereka sendiri, sehingga menjadi ironis ketika mereka menggunakan istilah “uang keamanan” untuk memeras masyarakat yang lebih lemah daripada mereka dari segi jumlah ataupun postur tubuh.

Untuk menghadapi modus “putar balik logika moril” demikian, maka harus kita hadapi dengan cara “perang moral” sebagai berikut. Ketika mereka, para preman pemalas serta “pengecut”—tidak akan berani bila “satu lawan satu dengan tangan kosong”—tersebut kembali datang untuk meminta “pungli” (pungutan liar), maka ucapkanlah kalimat berikut:

Tidak rela dan tidak iklas saya diminta-mintakan seperti itu, kami kerja cari nafkah dengan susah-payah, resiko merugi, dan tanpa merugikan orang lain.

“Maksud kalian apa, minta ‘uang keamanan’? Kalau tidak kami berikan, lalu kalian mau apa? Mau menganiaya kami, mau merusak toko atau barang dagangan kami? itu namanya kalian MEMERAS kami, bukan untuk menjaga keamanan! Kalian tidak takut dosa, berarti kalian orang yang TIDAK BENAR!

Namun kita tidak boleh melupakan bahwa bukan hanya “preman-preman pasar” demikian yang kerap melakukan modus pemerasan. Modus pemerasan ala “kerah putih” (collar crime) kerap dipertontonkan secara berjemaah oleh kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) alias Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memegang kewenangan monopolistik, dimana layanan publik akan dipersukar terhadap seseorang warga bila tidak melayani keinginan sang ASN / PNS. Biasanya, para pelaku pemerasan “berkerah putih” demikian menyalah-gunakan istilah “prosedur” sebagai kedoknya, yang mana akan ia simpangi ataupun gunakan untuk mendorong dan mendesak warga agar melayani keinginan sang ASN / PNS—sehingga warga yang harus “serve” sang aparatur alih-alih sang “civil servant” yang melayani masyarakat.

Karenanya, bila “preman pasar” melakukan aksi pemerasan dengan memakai ancaman kekerasan fisik, maka “preman kerah putih” melakukan pemerasan dengan modus yang terselubung—yakni berlindung dibalik alibi “prosedur” yang bisa sang pelaku rancang berbelit-belit penuh persyaratan yang irasional atau sebaliknya sama sekali tidak diterapkan (disimpangi) bilamana ada “uang pelicin”. Pemerasan, sifatnya merendahkan martabat dan menimbulkan ketakutan dibalik suatu ancaman, karenanya sifatnya bisa dikategorikan lebih jahat dan lebih keji daripada tindak pidana penipuan yang sekadar bermain dalam ranah tipu-muslihat.

PEMBAHASAN:

Sekalipun sifat kejahatan pemerasan bisa lebih tidak beradab daripada kejahatan penipuan, namun praktik peradilan di Indonesia selama ini masih “meng-anak-tirik-an” korban-korban kasus pemerasan. Untuk memudahkan pemahaman, terdapat ilustrasi konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana pemerasan register Nomor 2025 K/Pid.Sus/2008 tanggal 7 Desember 2009, dimana Terdakwa didakwa karena dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 368 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Bermula ketika Terdakwa mengatakan kepada warga setempat “besok hari lebaran ketupat kamu semua harus memberikan saya uang sebesar Rp2.000, apabila tidak memberi akan di pukul”. Korban bernama Fanel, Ahrul dan Agus kemudian memberi uang pada Terdakwa karena takut pada Terdakwa yang telah memberikan ancaman verbal untuk menganiaya demikian. Mereka takut pada Terdakwa dan pernah melihat Terdakwa melakukan penganiayaan terhadap para warga, dimana juga tubuh Terdakwa lebih besar. Namun setelah Terdakwa mendapat uang dari para korban, Terdakwa mengatakan “uang ini tidak cukup untuk beli minuman keras”.

Yang menjadi tuntutan pihak Jaksa Penuntut Umum, berupa:

1. Menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana Pemerasan sesuai Pasal 368 ayat (1) dakwaan kami;

2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dikurangi selama dalam tahanan.

Namun, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Kudus Nomor 240/Pid.B/2007/PN.Kds, tanggal 21 Mei 2008, berupa amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa Riyanto bin Agus Supakih terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Pemerasan’;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan;

3. Menetapkan lamanya Terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan Terdakwa melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan habis selama 6 (enam) bulan.”

Dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Semarang, Nomor 246/Pid/2008/PT.Smg, tanggal 4 Agustus 2008, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum;

- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Kudus, tanggal 21 Mei 2008, Nomor 240/Pid.B/2007/PN.Kds, yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai pengurangan lama pidana yang dijatuhkan dengan masa tahanan Terdakwa, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa Riyanto bin Agus Supakih terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pemerasan”;

2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa Riyanto bin Agus Supakih karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan;

3. Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan Terdakwa melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan habis selama 6 (enam) bulan;”

Pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa perbuatan Terdakwa tersebut merupakan perbuatan kedua bagi setelah perkara Pasal 170 ayat (1) KUHP yang telah diputus Pengadilan Tinggi Semarang tanggal 11 Februari 2008 Nomor 35/Pid/2008/PT.SMG dimana Terdakwa telah pernah dihukum dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan karena melakukan “pengeroyokan” (penganiayaan fisik secara bersama-sama). Dengan demikian Majelis Hakim seharusnya menjatuhkan pidana lebih tinggi dari tuntutan Penuntut Umum, alih-alih menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yakni hanya berupa “pidana masa percobaan” yang tidak membawa “efek jera”.

Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa adapun keberatan Pemohon Kasasi / Jaksa Penuntut Umum tersebut tidak dapat dibenarkan karena judex factie sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kudus tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.