KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Ketika Akta Jual Beli, Tidak Cukup Memadai bagi Pembeli Tanah agar Dikategorikan sebagai Pembeli yang Beritikad Baik

Ketika Sertifikat BPN Tidak dapat Dipercaya dan Tidak Menjamin Posisi Hukum Pembeli, Sekalipun Otentik dan Diterbitkan oleh BPN (Negara)

AKAL SEHAT MERUPAKAN HUKUM & PROSEDUR TERTINGGI.

Lex neminem cigit ad impossibilta. Undang-Undang Tidak Memaksakan Seseorang untuk Melakukan Sesuatu yang Mustahil.

Question: Secara pribadi, saya heran dengan mereka yang mengurusi republik ini, pada satu sisi pemerintah mengkritik karena tidak melakukan prosedur pindah administrasi kependudukan, seperti memohon “surat pindah asal” dan “surat pindah datang” ke instansi terkait. Namun telah ternyata, untuk mengurusnya begitu rumit dan berbelit-belit, sekalipun sudah ada kartu KTP dan nomor KTP sebagai identitas penduduk. Dapat kita bayangkan, pihak instansi pemerintahan saat mengajukan permohonan pencatatan kependudukan untuk tujuan “pindah datang” dari tempat asal, meminta agar sang warga yang sudah mau repot-repot meluangkan waktu untuk melaporkan kepindahannya, dibuat bolak-balik dimintakan dokumen-dokumen seperti fotokopi KTP, kartu keluarga, akta lahir, bahkan sampai bukti kepemilikan rumah yang menjadi alamat baru tempat tinggal kita.

Bagaimana bila, itu rumah sewaan atau kontrakan, atau bilamana kita menumpang tinggal di kediakan sanak-keluarga, itu sama artinya pemerintah justru memberikan dis-insentif agar masyarakat malas untuk repot-repot melaporkan kepindahannya? Sekalipun punya milik sendiri, justru menjadi riskan ketika salinan sertifikat tanah diberikan kepada pihak lain, berpotensi disalah-gunakan seperti yang selama ini terjadi. Kebijakan pemerintah kita seringkali kontra-produktif dan tidak tepat sasaran, bahkan mendorong rakyatnya agar “kucing-kucingan” disamping “dipaksa tidak patuh hukum”.

Brief Answer: Jangankan itu, pernah terdapat praktik peradilan di Indonesia hingga Mahkamah Agung RI, yang memutus bahwa Anda selaku pembeli tanah tidak terjamin sekalipun yang Anda beli ialah berupa sertifikat hak atas tanah terbitan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Ketika pemerintah tidak menjamin sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh lembaganya sendiri, itu sama artinya warga atau rakyat dibiarkan seorang diri mencari jalan keluarnya sendiri tanpa adanya kepastian hukum. Itu sama artinya, negara atau pemerintah itu sendiri sejatinya tidak dapat dipercaya dan tidak dapat diandalkan.

Dapat Anda bayangkan, masyarakat justru diwajibkan menjadi “detektif” sekalipun tidak mempunyai kewenangan menyidik seperti penyidik kepolisian yang berhak untuk memanggil dan meminta keterangan saksi, menggeledah, maupun menyita. Bagaimana caranya, bagi kita rakyat biasa, menyelidik apakah sertifikat tanah terbitan BPN yang hendak kita beli, adalah betul milik pihak penjual? Bukankah jika seorang penjual tanah memiliki niat jahat, tentu saja mereka akan menyembunyikannya rapat-rapat? Bukankah itu sertifikat terbitan BPN, dan sudah ada “data yuridis” nama pemilik tanah yang tercantum dalam sertifikat? Mengapa praktik jual-beli sertifikat terbitan BPN, menjadi tidak lebih aman dan tidak berbeda dengan praktik jual-beli tanah girik tanpa sertifikat tanah? Warkah tanah, disimpan di BPN, dan acapkali BPN bersikap tertutup dan tidak transparan disamping tidak kooperatif terhadap warga yang hendak membeli tanah terbitan BPN.

Negara, seolah-olah tidak benar-benar hadir di tengah masyarakatnya. Kesan atau nuansa pengabaian dan penelantaran, kental di republik bernama Indonesia ini. Kita dapat mencermati fenomena “over capacity” (over kapasitas) penghuni pada berbagai lembaga pemasyarakatan kita di seantero kota atau daerah di Indonesia, faktanya ialah lebih banyak laporan / pengaduan masyarakat yang menjadi korban kejahatan, yang dibaikan dan tidak ditindak-lanjuti oleh aparatur penegak hukum, sekalipun aparatur penegak hukum memegang kewenangan monopolisik mengakses keadilan pidana, sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan aksi “main hakim sendiri”. Kejahatan-kejahatan atau kriminalitas mana, justru tumbuh-subur dan berkembang-biak berkeliaran di jalan-jalan mencari mangsa, akibat selama ini dipelihara dan dibiarkan oleh negara.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, terdapat sebuah ilustrasi konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan leewat putusan sengketa register Nomor 381 PK/Pdt/2012 tanggal 27 Agustus 2013, perkara antara:

- SAMSINI, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat I; melawan

1. JAIMAN; 2. DASMAN, sebagai Para Termohon Peninjauan Kembali, semula selaku Para Penggugat; dan

1. SURYA EDI; 2. H. THOMAS BASRI; 3. BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN PASAMAN BARAT; 4. ADLIN, selaku Para Turut Termohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat II, III, IV dan Turut Tergugat.

Para Penggugat mempunyai sebidang tanah perumahan seluas 1680 m2 yang di atasnya berdiri sebuah rumah semi permanen serta tanaman yang ada seperti kelapa, durian, coklat dan lain-lain yang menjadi “Harta sengketa” peninggalan orang tua Penggugat I dan Tergugat II yang bernama Indun (almarhum) yang dibelinya dari Soghi sekitar tahun 80-an. Indun mempunyai 4 orang anak yaitu : 1. Dahlan (Alm), 2. Marasudin (Alm), 3. Jaiman (pr) Penggugat I dan Samsini (pr) Tergugat I. Penggugat I mempunyai 7 orang anak yaitu Dasman (Penggugat II), Jasnar, Erman, Amri, Lilis Sumarni, Eliyarni, dan Erma Yuliarni, sedangkan Samsini Mempunyai anak 4 orang yaitu Mariani, Samsinar, Ikrar dan Desi.

Setelah Indun meninggal dunia, harta sengketa dikuasai dan ditempati oleh Mariani (anak Tergugat I) yang kemudian disewakan / dikontrakan Mariani kepada Turut Tergugat Adlin. Sekitar bulan Maret 2011, Penggugat mendapat berita bahwa sebagian Harta sengketa telah dijual kepada Tergugat III H. Thomas Basri dan sebagian lagi dikuasai oleh Tergugat II Surya Edi dan Surya Edi membuat Bandar kecil sebagai pemisah antara yang dijual kepada Tergugat III H. Thomas Basri dengan yang dikuasai oleh Surya Edi. Penggugat kemudian berusaha menyelidiki persoalan ini dan mendapatkan kenyataan bahwa atas Harta Sengketa telah terbit sebuah sertipikat yaitu Sertifikat Hak MIlik Nomor 436 atas nama Tergugat I Samsini yang dibukukan tanggal 6 Januari 2011 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pasaman Barat.

Penggugat berusaha menemui Tergugat III H. Thomas Basri dan meminta penjelasan padanya, yang kemudian Penggugat diberikan foto copy sertipikat tersebut dan dalam sertipikat tersebut tertera telah terjadi jual beli tanggal 10 Maret 2011, seharga Rp45.000.000, harga jual beli yang sebenarnya Penggugat tidak tahu dan dibalik-namakan atas nama Tergugat III . H . Thomas Basri. Penggugat berusaha menyelidiki persoalan ini ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pasaman Barat dan mendapat kenyataan bahwa yang menjadi dasar pembuataan sertipikat adalah surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah (Sporadik) dan surat pernyataan kaum tertanggal 30 Juli 2010 yang dibuat Surya Edi selaku mamak Kepala Waris Samsini.

Dalam surat pernyataan penguasaan fisik Bidang Tanah (Sporadik) dan surat pernyataan kaum yang dibuat tersebut, tertera suku Tergugat I Samsini adalah Melayu dan Mamak Kepala Warisnya adalah Surya Edi, tapi yang sebenarnya Tergugat I Samsini sukunya adalah Jambak bukan Melayu dan Mamak Kepala Warisnya bukan Surya Edi tapi Penggugat II sendiri, selaku lelaki tertua yang masih hidup dalam kaum Indun (nenek Penggugat). Tergugat I Samsini telah berani menukar sukunya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atas harta sengketa, padahal sebagai orang Minang yang menjunjung tinggi adat, suku adalah sesuatu yang sangat berharga dan dihormati di Minangkabau ini, yang tidak bisa dibeli berapapun harganya. Para Penggugat tidak tahu bagaimana Prosesnya sehingga bisa terbit sertipikat atas harta sengketa atas nama Tergugat I Samsini, padahal Ibu Penggugat sebagai kakak dari Samsini, anak dari Indun masih hidup dan sama-sama berhak atas harta sengketa. Pembuatan sertipikat atas nama Samsini dan jual beli yang dilakukan atas harta sengketa, tanpa sepengetahuan dan seizin Para Penggugat.

Terhadap gugatan Penggugat, Tergugat IV mengajukan eksepsi bahwa Tergugat IV masih berkeyakinan penerbitan Sertifikat Hak Milik atas nama Samsini terletak di Nagari Aia Gadang Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat, dan sertipikat tersebut sudah dibalik namakan an. Thomas Basri, berdasarkan Akta Jual Beli PPAT. Oleh Tergugat IV adalah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang administrasi pertanahan dan merupakan putusan Tata Usaha Negara. Yang dapat memutuskan sah tidaknya suatu putusan Pejabat Tata Usaha Negara, adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan Penggugat mengada-ada, mengingat untuk proses penerbitan sertipikat hak melalui tahapan-tahapan seperti penelitian alas hak, pengukuran secara fisik di lapangan dan Panitia Pemeriksaan Tanah (“A”), serta melakukan pengumuman selama 2 bulan, sesuai yang diatur dalam PP 24 Tahun 1997 dan KA BPN 3 / 1997.

Dalam penjelasan Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, diterangkan bahwa Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar, sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari Buku Tanah dan Surat Ukur tersebut. Sekalipun demikian, terhadap gugatan Para Penggugat, yang kemudian menjadi amar Putusan Pengadilan Negeri Pasaman Barat Nomor 13/Pdt.G/2011/PN.PSB tanggal 18 Oktober 2011 yang berkekuatan hukum tetap, adalah sebagai berikut:

“Menimbang, …. Tetapi untuk membuktikan apakah penerbitan sertipikat hak milik atas nama Tergugat I Samsini sesuai prosedur dan beralasan hukum tentunya Para Tergugat tidak hanya semata-mata berbijak pada alat bukti surat saja (bewijs scriftelik), tetapi Para Tergugat harus membuktikan juga melalui keterangan saksi-saksi (bewijs getuide) di depan persidangan;

[Note SHIETRA & PARTNERS : Bagaimana mungkin, pihak pembeli dapat menghadirkan saksi? Sejatinya, telah terdapat adagium hukum yang berbunyi : Lex neminem cigit ad impossibilta. Artinya : Undang-undang tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang mustahil.]

MENGADILI :

Dalam Eksepsi

- Menolak Eksepsi Tergugat;

Dalam Pokok Perkara:

- Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;

- Menyatakan Penggugat I dan Tergugat I adalah ahli waris dari Indun dan Penggugat II adalah Mamak Kepala Waris dalam kaum Indun;

- Menyatakan harta sengketa adalah harta warisan dari almarhum Indun yang dibelinya dari Sori;

- Menyatakan Pengugat I dan Tergugat I serta ahli waris yang lain dari almarhum Indun berhak atas harta sengketa;

- Menyatakan Sertifikat Hak Milik Nomor 436 atas nama Samsini (Tergugat I) yang telah dibalikn-amakan atas nama H. Thomas Basri (Tergugat III) tidak mempunyai kekuatan hukum;

- Menyatakan Akta Jual Beli Tanah Nomor 336/2011 tanggal 22 Februari 2011 adalah cacat dan batal demi hukum;

- Menghukum Para Tergugat atau siapapun yang memperoleh hak darinya untuk menyerahkan harta sengketa berupa sebidang tanah dan rumah semi permanen berdasarkan hasil pemeriksaan setempat dengan batas-batas sebagai berikut:

- Sebelah utara berbatas dengan banda kecil di sebelahnya tanah Nanang;

- Sebelah selatan berbatas dengan tembok yang disebelahnya tanah Upik / Naldi;

- Sebelah timur berbatas dengan banda kecil Jalan Raya Simpang Empat-Ujung Gading;

- Sebelah Barat berbatas dengan banda kecil yang disebelahnya tanah Cendra Kerana;

Kepada Penggugat-Penggugat dalam keadaan bebas dan kosong selanjutnya berlaku ketentuan hukum waris;

- Memerintahkan Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh terhadap putusan ini;

- Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara yang hingga kini ditaksir sejumlah sebesar Rp2.216.000,00 (dua juta dua ratus enam belas ribu rupiah);

- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”

Sesudah Putusan Pengadilan Negeri Pasaman Barat Nomor 13/Pdt.G/2011/PN.PSB tanggal 18 Oktober 2011 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut, diberitahukan kepada Tergugat I pada tanggal 18 Oktober 2011, kemudian terhadapnya oleh Tergugat I diajukan permohonan peninjauan kembali pada tanggal 6 Maret 2012, permohonan tersebut disertai dengan memori peninjauan kembali yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal itu juga. Memori peninjauan kembali dari Tergugat I tersebut telah diberitahukan kepada Para Penggugat dan Tergugat II, III, IV dan Turut Tergugat pada tanggal 13 Maret 2012. Para Penggugat kemudian mengajukan tanggapan tertulis terhadap memori peninjauan kembali yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Pasaman Barat pada tanggal 9 April 2012.

Pihak Tergugat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pasaman Barat telah menyalah-gunakan palu keadilan dalam perkara ini, berusaha mencari-cari alasan untuk melemahkan bukti kepemilikan Pemohon Peninjauan Kembali dengan mempergunakan Yurisprudensi Nomor 3901 K/Pdt/1985 untuk mengenyampingkan sertipikat tanah terbitan BPN, sekalipun sertifikat tanah BPN mengandung “data fisik” dan “data yuridis” yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 5/1960 Tentang UUPA jo PP Nomor 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian dijadikan dasar penerbitan sertifikat tanah sengketa yang sebelumnya diumumkan untuk jangka waktu 90 hari.

Pengadilan Negeri Pasaman Barat telah nyata-nyata keliru dalam menilai keterangan saksi yang diajukan oleh Penggugat sekarang Termohon Peninjauan Kembali dalam perkara ini, terlihat dari pertimbangan Hukum pada putusannya yang pada pokoknya menyebutkan, bahwa obyek sengketa adalah milik Indun yang diperoleh dengan cara dibeli dari Sori adalah pertimbangan yang sangat mengada-ada serta klaim sepihak juga bukan urusan pihak pembeli. Dari empat orang saksi yang dihadirkan Penggugat (Termohon Peninjauan Kembali) yaitu saksi Amri, saksi Bambang Fitra Wijaya, saksi Zulkami dan saksi Herman tidak satupun saksi tersebut yang menyaksikan langsung, mendengar langsung atau mengetahui langsung peristiwa jual beli tanah sengketa antara Indun dan Sori. Dengan demikian pendapat Pengadilan Negeri Pasaman Barat yang mengatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali belum dapat membuktikan kepemilikannya adalah mengada-ada.

Terlepas dari itu, menurut hukum pembuktian, Penggugatlah yang harus lebih dahulu membuktikan dalil gugatannya karena gugatannya dibantah oleh Para Tergugat. Sepanjang proses persidangan tidak satupun surat bukti dari pihak Penggugat yang membuktikan bahwa tanah sengketa adalah pembelian dari Indun. Tidak satupun saksi yang melihat, menyaksikan dan mendengar langsung peristiwa jual beli antara Indun dan Sori. Dengan tidak dapatnya pihak Penggugat membuktian bahwa tanah sengketa merupakan pembelian Indun, maka sudah seharusnya menurut hukum gugatan Penggugat untuk ditolak. Mengapa justru pihak Tergugat yang diwajibkan untuk membuktikan dalil bantahannya, sekalipun Penggugat gagal membuktikan dalil gugatannya?

Pembenan pembuktian dengan saksi oleh Pengadilan Negeri Pasaman Barat kepada Para Tergugat terkait dengan prosedur dan alasan penerbitan sertipikat tanah sengketa oleh Kantor Pertanahan, adalah terlalu berlebihan sehingga menjadi tidak logis. Jikalau memang ada kesalahan prosedur dalam penerbitan sertipikat tanah sengketa, beralasan tidaknya penerbitan sertipikat tanah sengketa maka hal itu bukan kewenangan Pengadilan Negeri Pasaman Barat untuk menilainya, melainkan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara. Lagi pula menurut hukum pembuktian, hal itu menjadi beban pembuktian Penggugat, bukan menjadi kewajiban Para Tergugat.

Pihak Tergugat juga keberatan terhadap pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Pasaman Barat yang mengharuskan Badan Pertanahan untuk mengkaji dan meneliti riwayat perolehan tanah dari segi hukum dan hukum adat yang berlaku sebelum penerbitan sertipikat tanah. Pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Pasaman Barat dalam putusannya juga menyebutkan bahwa penerbitan sertipikat tanah sengketa mengandung cacat hukum karena tidak diketahui Para Penggugat dan ahliwaris lainnya. Bila dikaitkan pula dengan dalil Penggugat, bahwa tanah sengketa adalah harta Indun yang dibelinya dari Sori, tidak ada surat bukti satupun yang menunjukan bahwa tanah sengketa adalah pembelian Indun.

Pengadilan Negeri Pasaman Barat dinilai tidak memahami kekuatan dari suatu akta autentik, sehingga keliru dalam mempertimbangkan fakta dalam perkara ini. Akta Jual Beli merupakan Akta Autentik karenanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat dan sempurna. Namun Pengadilan Negeri Pasaman Barat sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukumnya mengharuskan akta jual beli tersebut didukungan oleh keterangan saksi. Padahal sebagai alat bukti Jual Beli tidak memerlukan bukti tambahan karena merupakan bukti autentik.

Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang Undang, maka oleh karena itu permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena membaca secara saksama alasan-alasan peninjauan kembali tanggal 5 Maret 2012 dan jawaban alasan peninjauan kembali tanggal 9 April 2012 dihubungan dengan pertimbangan Judex Facti:

- Bahwa Judex Facti tidak melakukan kekhilafan / kekeliruan yang nyata dalam memutus perkara a quo karena telah mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan dengan benar;

- Bahwa Tergugat III tidak dapat dianggap sebagai pembeli yang beritikad baik yang harus dilindungi karena tidak melakukan penelitian tentang status objek sengketa waktu jual beli karena terbukti objek sengketa bukan milik Penjual;

[Note SHIETRA & PARTNERS : Sengketa internal antar ahli waris, bukanlah urusan pembeli, namun kemudian pembeli yang dijadikan korban. Bagaimana caranya, masyarakat sipil ketika hendak membeli objek tanah bersertifikat terbitan BPN, membuktikan dan mencari bukti tanah tersebut milik siapa? Bukankah pembeli, merupakan “pihak ketiga” yang patut dilindungi oleh hukum?

[Lalu untuk apa “data yuridis” dicantumkan dan tercantum dalam sertifikat tanah? Jelas bahwa pertimbangan hukum Mahkamah Agung demikian dapat menjelma “preseden buruk” dikemudian hari, karena tiada lagi kepastian hukum bagi masyarakat yang hendak membeli suatu hak atas tanah yang sekalipun telah bersertifikat terbitan BPN.]

- Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tidak sesuai dengan maksud Pasal 67 huruf f Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali SAMSINI tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

1. Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali SAMSINI tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.