Bangsa Kita Belum Siap untuk DEMOKRASI EKSTREM ala KEBLABLASAN
Ketika IQ Rendah suatu Bangsa Berdemokrasi Ria secara Berlebihan, jadilah Dagelan
Banyak kita dengarkan komentar-komentar ataupun pendapat mereka yang mengaku / menyebut dirinya sebagai “pakar politik”, mendalilkan dan mengumandangkan jargon bahwa masyarakat pemilih kita telah “cerdas” dalam memilih para pemimpin ataupun wakil rakyat mereka baik di eksekutif maupun di legislatif baik di tingkat pusat maupun di daerah, dan disaat bersamaan banyak diantara masyarakat kita mengumandangkan jargon agar “tidak memilih partai politik yang korup”. Tetap saja, berbagai partai politik yang telah pernah dicoreng dan tercoreng kasus-kasus korupsi para kadernya, tetap saja terpilih kembali baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif di tingkat pusat maupun daerah. Lihat saja, partai politik pengusung rezim Orde Lama maupun Orde Baru, masih eksis dan mendominasi tingkat keterpilihannya mengisi jabatan-jabatan eksekutif dan legislatif hingga era demokrasi yang sudah berjalan beberapa dekade belakangan ini.
Tetap saja, berbagai mantan
kepala daerah yang sebelumnya dijerat kasus korupsi dan mendekam di penjara,
selepas menjalani masa hukuman, kembali mencalonkan diri dan kembali terpilih,
sebelum kemudian kembali terjerat kasus korupsi serupa untuk kedua kalinya. Apakah
benar, masyarakat kita telah benar-benar cerdas dan siap untuk berdemokrasi
secara “keblablasan” dimana baik kepala negara, kepala daerah tingkat provinsi hingga
kabupaten / kota, maupun anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah
ditentukan akan diduduki oleh keterpilihan oleh segenap rakyat luas? Buktinya,
para aktor maupun aktris, terpilih mengisi jabatan-jabatan kenegaraan bukan
karena dikenal karena kapabilitas dan kompetensinya, namun dipilih semata
karena kepopuleran serta karena banyaknya baliho ataupun spanduk kampanye yang terpampang
di berbagai ruas jalan maupun pada fasilitas publik maupun yang banyak
menyodorkan iming-iming “bantuan sosial”. Sebaliknya, banyak kalangan teknokrat
yang benar-benar terampil dibidangnya, tidak terpilih dalam kontestasi pemilihan
umum.
Penyelenggara pemilihan umum
kita juga tidak benar-benar “cerdas”. Sebagai contoh, mengapa kita selaku
rakyat, dipaksa harus memilih satu diantara segelintir calon yang mencalonkan diri
dalam pemilihan umum, sekalipun tidak ada satupun diantara para calon kontestan
tersebut yang kita minati untuk dipilih sebagai kepala negara / daerah maupun
sebagai wakil rakyat? Sebagai contoh, ketika dalam satu daerah pemilihan
(dapil), hanya terdapat satu calon yang mendaftarkan diri sebagai calon,
sehingga dalam bilik kotak suara, kompetitornya ialah “kotak kosong”. Ketika yang
menang ialah “kotak kosong”, karena itulah yang dipilih oleh masyarakat setempat
lebih dari lima puluh persen suara pemilih, maka yang menjabat sebagai kepala
daerah ialah “penjabat” yang ditunjuk oleh pemerintah pusat, bukan sang calon
pemilihan umum.
Maka, pertanyaan penulis ialah,
mengapa ketentuan demikian tidak diberlakukan juga terhadap seluruh dapil
sekalipun berbagai dapil terdapat lebih dari satu pasangan calon kontestan,
sehingga legitimasinya benar-benar solid dan mencerminkan suara rakyat yang
lebih konkret, yakni “tidak memilih satupun dari para pasangan calon tersebut
dengan cara memilih ‘kotak kosong’”, sehingga yang menjabat kemudian ialah “penjabat”
yang ditunjuk oleh pemerintah pusat? Bisa jadi, “mind set” masyarakat luas kita ialah, yang dimaksud dengan
demokrasi ialah dibolehkan datang ke bilik suara untuk memilih, dan yang
penting “memilih”, sekalipun “menu” opsi pilihannya tidak ada yang menarik dan
tidak layak untuk dipilih?
Mengapa “serangan fajar”, masih
eksis dan tumbuh subur di era reformasi dan demokrasi ini? Karena masih ada “demand” masyarakat pemilih itu sendiri,
sehingga ada “supply”, sehingga “hukum
pasar” masih berlaku di tengah masyarakat yang tidak benar-benar cerdas tingkat
intelektual maupun pengetahuannya. Di negara dengan tingkat pendidikan dan IQ
tinggi semacam di Amerika Serikat, partai politik hanya terdiri dari dua
partai, dimana tidak “keblablasan” se-ekstrem metoda pemilihan umum di Indonesia.
Orang dungu, bila dihadapkan kepadanya barang-barang madat yang adiktif namun “toxic”, semisal produk tembakau, minuman
beralkohol, hingga obat-obatan terlarang, maka kemungkinan besar yang akan terjadi
ialah diambil dan dipakainya barang-barang madat tersebut. Masyarakat kita di Indonesia,
belum siap untuk “demokrasi ekstrem”. Demokrasi secara moderat, penulis setuju
dan mendukung sepenuhnya, namun tidak terhadap “demokrasi keblablasan”.
Menurut World Population Review
rata-rata tingkat kecerdasan (IQ) orang Indonesia berada pada urutan 130 di
tahun 2022 dari sekitar 199 negara di dunia, dengan skor IQ ialah 78, jauh dari
memadai dan tidak dapat dibanggakan. Tidak menjadi mengherankan, pola paling
jamak yang dapat kita jumpai dari masyarakat di indoensia ialah : MAIN KEKERASAN
FISIK UNTUK MENYELESAIKAN SETIAP MASALAH, akibat otak mereka tidak berkembang,
sehingga selama ini hanya mengandalkan serta memberi makan “otot”-nya ketimbang
memberi asupan gizi bagi “otak”-nya. Kecerdasan manusia selama diukur dari skor
Intelligence quotient (IQ), digunakan
untuk mengukur seberapa cerdas seseorang atau suatu bangsa secara makro. Tes IQ
juga digunakan untuk mengukur memori jangka pendek dan jangka panjang. Selain
itu juga dapat diukur keterampilan seseorang dalam memecahkan teka-teki dan
masalah, serta memori. Itulah sebabnya, bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang
“pelupa”.
Menurut sebuah lembaga riset, Indonesia
hanya menempati peringkat 36 di Asia dengan rerata IQ 78,49. Sementara untuk
peringkat dunia, Indonesia menempati peringkat 130 alias diposisi “bontot”. Open minded atau memiliki pemikiran
terbuka, menjadi salah satu ciri dari seseorang yang cerdas. Orang-orang cerdas,
tidak hanya memiliki ide yang cemerlang, tetapi terbuka juga terhadap ide atau
peluang baru. Terkait hal ini, kalangan psikolog mengatakan bahwa orang cerdas
dengan pemikiran terbuka bisa mencari sudut pandang lain dan mempertimbangkan
bukti lebih adil. Di sisi lain, berpikiran terbuka membuat seseorang lebih
berhati-hati soal ide atau perspektif yang akan mereka adopsi.
Sebuah jurnal Psychological
Science menunjukkan hubungan antara pengendalian diri dan kecerdasan. Penelitian
dalam jurnal itu membuat studi kasus di mana peserta diberi pilihan mendapat
pembayaran yang kecil segera atau pembayaran yang besar di kemudian hari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peserta yang memilih imbalan besar di kemudian
hari memiliki pengendalian diri yang tinggi dan memiliki skor yang lebih tinggi
dalam tes kecerdasan. Sosok jenius Albert Einstein mengatakan bahwa dia tidak
memiliki bakat khusus, tetapi dia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan
penuh semangat. Dalam sebuah penelitian di Journal of Individual Differences
tahun 2016 pun ditunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan dan
keterbukaan terhadap pengalaman yang mencakup rasa ingin tahu yang besar di
masa dewasa.
Ssemakin cerdas seseorang, maka
semakin ia tahu bahwa dirinya tidak banyak tahu. Dengan begitu, orang yang
cerdas akan terus haus belajar dan mempelajari sesuatu yang belum dia ketahui
secara terus-menerus. Ciri orang cerdas lainnya adalah ia bisa merasakan emosi
yang ada pada orang lain, alias peka terhadap perasaan orang lain. Orang yang
mempunyai empati akan bertindak sesuai dengan kebutuhan. Saat daftar negara
dipersempit jadi negara di Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi buncit
dari 9 negara (tidak ada data dari Brunei Darussalam dan Timor Leste). Negara
di Asia Tenggara dengan IQ tertinggi ditempati Singapura (104,75), Vietnam
(101,14) dan Malaysia (99,07). ementara secara global, dihitung dari 199 negara
yang terdaftar, Indonesia menempati posisi ke-129.
Skor IQ dinilai rendah saat
berada di angka 70 ke bawah. Skor sangat rendah bisa menjadi indikator
disabilitas intelektual. Sementara itu, seseorang akan dianggap jenius jika
memiliki skor IQ mencapai 140. Menurut laporan dari World Population Review
2022, rerata IQ orang Indonesia itu 78,49 sehingga tergolong sangat rendah. Maka.
rata-rata penduduk Indonesia masuk ke dalam golongan tingkat IQ rendah atau
keterbelakangan mental. Lalu apa dampaknya jika kebanyakan masyarakat di
Indonesia memiliki IQ yang rendah bahkan masuk ke dalam golongan
keterbelakangan mental? Orang dengan IQ yang rendah memiliki rasa keingintahuan
yang rendah. Orang yang tidak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi akan
merasa cukup dengan apa yang telah didapatnya sekarang dan tidak ada keinginan
untuk mengupgrade diri untuk menambah pengetahuannya.
Jika dihubungkan dengan dunia
pekerjaan, orang seperti ini akan stagnan pada satu titik dan tidak dapat
meningkatkan pendapatan finansialnya. Yang pada akhirnya orang ini akan menjadi
golongan masyarakat miskin. IQ rendah, dampaknya ialah gaya berpikir yang
tertutup. Mereka tidak bisa menerima ide atau gagasan baru, opini dan bahkan
informasi baru. Biasanya mereka hanya teguh kepada pendirian yang mereka telah
mereka buat dalam waktu lama, tanpa pernah merasa perlu membuat evaluasi ulang.
Mereka ibarat katak dalam tempurung, sempit cara berpikirnya. Disaat bersamaan,
terjadi fenomena berkurangnya kemampuan untuk merenungkan berbagai hal. Aktivitas
merenung akan membuat kita menemukan sudut pandang baru yang mungkin tidak
terpikirkan oleh kita sebelumnya, dan menjadi bagian dari introspeksi diri.
Orang yang IQ tinggi akan
merenungkan berbagai hal sebelum memulai dan ketika mengakhiri sesuatu
kegiatan. Sedangkan orang yang memiliki IQ rendah tidak memiliki kemampuan
untuk merefleksikan sebuah kejadian. Hal ini yang membuat mereka sulit untuk
belajar dan bergerak maju untuk perubahan kearah lebih baik. Kurangnya daya
pikir secara kritis, adalah pola lainnya dari lemahnya tingkat IQ. Mengatasnamakan
“kepatuhan secara mutlak”, bangsa kita dilatih agar tidak mampu berpikir kritis
(critical thinking), sekalipun
diperlukan agar manusia dapat mengatasi berbagai masalah dengan menemukan jalan
keluar secara cepat dan tepat. Dengan selalu berpikir kritis, kamu bisa
menganalisis, mempertimbangkan, lalu menyimpulkan suatu hal tidak secara tergesa-gesa.
Ketika seseorang tidak memiliki
kemampuan untuk berpikir kritis, mereka cenderung menelan mentah semua
informasi yang dia dapat, baik itu sebuah informasi yang benar maupun yang dis-informatif,
sehingga rentan terpapar “HOAX” memakannya
secara mentah-mentah. Ironisnya, mereka yakin dengan informasi yang dimilikinya
dan berkeyakinan bahwa orang yang memiliki informasi lain adalah keliru. Mereka
lebih banyak masuk dalam kegiatan “meyakini” alih-alih “berpikir”. Mereka dengan
IQ rendah karenanya tidak sering berubah pikiran. Dikala kita mendapatkan
informasi baru, ilmu baru, atau pengetahuan baru, perspektif kita dapat lebih
luas dan memiliki pandangan secara lebih holistik dari sebelumnya.
Orang dengan IQ tinggi tidak
sulit menghadapi perubahan. Disaat mereka menghadapi perubahan informasi atau
ilmu, maka mereka tidak segan untuk merubah pikiran mereka dan mengakui bahwa mereka
salah sebelumnya. Karena itu orang dengan IQ yang tinggi cenderung nyaman berada
dalam forum yang penuh dengan diskursus dan perbedaan pendapat, tidak memandang
perdebatan merupakan sesuatu yang “tabu”. Fenomena demikian bertolak-belakang
terhadap mereka yang memiliki IQ rendah, rentan ketika berada pada suatu forum dengan
pemikiran yang plural (tidak seragam). Orang dengan IQ rendah akan terus
memaksakan pendapatnya, mereka lebih mudah terpancing membuat “gesekan” ataupun
ancaman-ancaman verbal dan fisik.
Berpikir kreatif juga disebut
berpikir divergen atau lateral, yaitu menghubungkan ide atau hal-hal yang
sebelumnya tidak berhubungan. Untuk dapat berpikir kreatif dengan baik, perlu
keberanian dan keyakinan pada diri sendiri.
Seseorang yang mengembangkan kreativitasnya terus-menerus akan menjadi
orang yang inovatif yang “mendobrak” kekakuan. Sebaliknya, mereka dengan IQ
rendah cenderung sukar untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Ini menyebabkan,
mereka akan memiliki daya saing yang lebih rendah. Kabar buruk lainnya, mereka
adalah buruk dalam mengambil kesimpulan, cenderung gegabah dalam menyimpulkan
sesuatu.
Tingkat kecerdasan berkorelasi terahdap
konsep “mental age” atau usia mental.
Secara kontradiktif, masyarakat kita di Indonesia kerap berdelusi sebagai
bangsa yang ber-EQ dan SQ tinggi, meski faktanya ialah : tidak korup yang
ditunjukkan Singapura merupakan perwujudan dari kecerdasan emosional (EQ). Fakta
salah satu tanda kecerdasan, yaitu menciptakan ide-ide baru. Secara historis,
hal ini mungkin berarti menolak takhayul dan menemukan cara-cara baru untuk
mengorganisir masyarakat. Satu studi menjelaskan mengapa orang yang lebih
cerdas lebih cenderung menjadi ateis dan lebih cenderung menjadi liberal secara
politik. Studi ini menemukan bahwa orang dewasa muda yang menggambarkan diri
mereka sangat konservatif dan memiliki rata-rata IQ sebesar 95, sementara
mereka yang menggambarkan diri mereka sebagai sangat liberal memiliki rata-rata
IQ sebesar 106.
Orang dengan IQ tinggi lebih
sabar dalam urusan keuangan. Mereka bersedia menunggu lebih lama untuk
meningkatkan uang mereka dan menerima risiko yang terlibat. Orang cerdas tidak
menuntut begitu banyak imbalan untuk mengambil risiko. Tampaknya tanda-tanda
kecerdasan, toleransi risiko, dan kesabaran saling terkait. Penelitian
sebelumnya telah menemukan bahwa orang yang suka berpikir lebih memiliki daya
ingat lebih baik dan sering mengambil lebih banyak waktu untuk membuat
keputusan. Akhirnya, mereka membuat keputusan yang lebih baik. Mungkin itulah penjelasannya,
mengapa Bangsa Indonesia dikenal begitu konsumtif dan disaat bersamaan terjerat
berbagai hutang dan dana pinjaman untuk keperluan konsumtif.
Orang dengan kecerdasan tinggi
lebih mudah menerima kebingungan dan ketidakjelasan. Banyak masalah dalam hidup
tidak memiliki jawaban yang pasti—dan orang yang cerdas dapat menangani ini secara
relatif lebih mudah. Orang yang lebih cerdas dapat membuat keputusan lebih baik
karena mereka mampu menerima ambiguitas. Rasa ingin tahu menjadi salah satu
tanda kecerdasan. Rasa ingin tahu bahkan bisa sepenting kecerdasan dalam
seberapa baik seseorang berhasil dalam hidup. Karenanya, populasi penduduk yang
“gemuk” namun bermasalah dalam ukuran ‘IQ”, cenderung menjadi “beban demografi”.
Disamping itu, orang dengan IQ
lebih tinggi kurang agresif dan cenderung mengikuti aturan, disamping “sense of justice” yang lebih solid.
Kecerdasan yang lebih tinggi dikaitkan dengan perilaku yang lebih baik, tidak mencuri,
dan tidak merasa perlu untuk berkata dusta. Sebaliknya, orang muda dengan IQ
lebih rendah lebih cenderung mengkhawatirkan dan mengganggu orang lain, serta
terlibat dalam perilaku anti-sosial. Biasanya, anak laki-laki anti-sosial
memiliki skor IQ 10 poin lebih rendah dari teman sebaya yang lebih sosial. itulah
bukti empirik, betapa IQ berkorelasi linear terhadap tingkat EQ seseorang.
Memiliki kemampuan dalam urusan
“kontrol diri” (self-control) yang
lebih kuat disebutkan merupakan tanda kecerdasan yang lebih tinggi. Menghadapi
godaan, orang yang lebih cerdas tetap tenang. Dalam penelitian ini, mereka
dengan kecerdasan lebih tinggi menunggu lebih lama untuk mendapatkan imbalan
yang lebih besar. Mudah bekerja sama juga menjadi salah satu tanda kecerdasan.
Orang yang lebih cerdas cenderung bersikap hati-hati dengan kepercayaan mereka
pada awalnya, lalu membangunnya dengan pengalaman. Orang yang kooperatif
cenderung lebih membantu, percaya pada kerja sama tim dan saling mendukung.
Selain itu, orang yang kooperatif cenderung lebih baik dalam melihat gambaran
besar dan belajar dari pengalaman serta terbuka pada pengalaman baru ataupun
cara berpikir lain.
Tidak konvensional menjadi
sifat kepribadian yang paling kuat terkait dengan kecerdasan tinggi. Orang
dengan tanda-tanda kecerdasan ini lebih cenderung menikmati argumen filsafat,
teka-teki otak, masalah baru, dan kegiatan eksentrik atau tidak biasa. Mereka
juga merasa lebih bahagia, dimana konon orang yang merasa lebih bahagia
cenderung memiliki IQ tinggi. Tingkat kebahagiaan, berkorelasi lurus pada
rendahnya tingkat kriminalitas. Mereka sudah kreatif, sehingga tidak pernah
merasa perlu merampas hak-hak ataupun kebahagiaan orang lain untuk menjadi
bahagia dan menikmati hidup. Dengan demikian, terdapat ancaman serius dibalik “demokrasi
keblablasan”, ada harga mahal yang harus kita bayarkan dimana bangsa kita belum
siap terhadap resiko dibaliknya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.