KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Demokrasi yang Sehat ialah, Berdemokrasi secara Proporsional dengan Tingkat Kecerdasan Intelektual Bangsa

Bangsa Kita Belum Siap untuk DEMOKRASI EKSTREM ala KEBLABLASAN

Ketika IQ Rendah suatu Bangsa Berdemokrasi Ria secara Berlebihan, jadilah Dagelan

Banyak kita dengarkan komentar-komentar ataupun pendapat mereka yang mengaku / menyebut dirinya sebagai “pakar politik”, mendalilkan dan mengumandangkan jargon bahwa masyarakat pemilih kita telah “cerdas” dalam memilih para pemimpin ataupun wakil rakyat mereka baik di eksekutif maupun di legislatif baik di tingkat pusat maupun di daerah, dan disaat bersamaan banyak diantara masyarakat kita mengumandangkan jargon agar “tidak memilih partai politik yang korup”. Tetap saja, berbagai partai politik yang telah pernah dicoreng dan tercoreng kasus-kasus korupsi para kadernya, tetap saja terpilih kembali baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif di tingkat pusat maupun daerah. Lihat saja, partai politik pengusung rezim Orde Lama maupun Orde Baru, masih eksis dan mendominasi tingkat keterpilihannya mengisi jabatan-jabatan eksekutif dan legislatif hingga era demokrasi yang sudah berjalan beberapa dekade belakangan ini.

Tetap saja, berbagai mantan kepala daerah yang sebelumnya dijerat kasus korupsi dan mendekam di penjara, selepas menjalani masa hukuman, kembali mencalonkan diri dan kembali terpilih, sebelum kemudian kembali terjerat kasus korupsi serupa untuk kedua kalinya. Apakah benar, masyarakat kita telah benar-benar cerdas dan siap untuk berdemokrasi secara “keblablasan” dimana baik kepala negara, kepala daerah tingkat provinsi hingga kabupaten / kota, maupun anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah ditentukan akan diduduki oleh keterpilihan oleh segenap rakyat luas? Buktinya, para aktor maupun aktris, terpilih mengisi jabatan-jabatan kenegaraan bukan karena dikenal karena kapabilitas dan kompetensinya, namun dipilih semata karena kepopuleran serta karena banyaknya baliho ataupun spanduk kampanye yang terpampang di berbagai ruas jalan maupun pada fasilitas publik maupun yang banyak menyodorkan iming-iming “bantuan sosial”. Sebaliknya, banyak kalangan teknokrat yang benar-benar terampil dibidangnya, tidak terpilih dalam kontestasi pemilihan umum.

Penyelenggara pemilihan umum kita juga tidak benar-benar “cerdas”. Sebagai contoh, mengapa kita selaku rakyat, dipaksa harus memilih satu diantara segelintir calon yang mencalonkan diri dalam pemilihan umum, sekalipun tidak ada satupun diantara para calon kontestan tersebut yang kita minati untuk dipilih sebagai kepala negara / daerah maupun sebagai wakil rakyat? Sebagai contoh, ketika dalam satu daerah pemilihan (dapil), hanya terdapat satu calon yang mendaftarkan diri sebagai calon, sehingga dalam bilik kotak suara, kompetitornya ialah “kotak kosong”. Ketika yang menang ialah “kotak kosong”, karena itulah yang dipilih oleh masyarakat setempat lebih dari lima puluh persen suara pemilih, maka yang menjabat sebagai kepala daerah ialah “penjabat” yang ditunjuk oleh pemerintah pusat, bukan sang calon pemilihan umum.

Maka, pertanyaan penulis ialah, mengapa ketentuan demikian tidak diberlakukan juga terhadap seluruh dapil sekalipun berbagai dapil terdapat lebih dari satu pasangan calon kontestan, sehingga legitimasinya benar-benar solid dan mencerminkan suara rakyat yang lebih konkret, yakni “tidak memilih satupun dari para pasangan calon tersebut dengan cara memilih ‘kotak kosong’”, sehingga yang menjabat kemudian ialah “penjabat” yang ditunjuk oleh pemerintah pusat? Bisa jadi, “mind set” masyarakat luas kita ialah, yang dimaksud dengan demokrasi ialah dibolehkan datang ke bilik suara untuk memilih, dan yang penting “memilih”, sekalipun “menu” opsi pilihannya tidak ada yang menarik dan tidak layak untuk dipilih?

Mengapa “serangan fajar”, masih eksis dan tumbuh subur di era reformasi dan demokrasi ini? Karena masih ada “demand” masyarakat pemilih itu sendiri, sehingga ada “supply”, sehingga “hukum pasar” masih berlaku di tengah masyarakat yang tidak benar-benar cerdas tingkat intelektual maupun pengetahuannya. Di negara dengan tingkat pendidikan dan IQ tinggi semacam di Amerika Serikat, partai politik hanya terdiri dari dua partai, dimana tidak “keblablasan” se-ekstrem metoda pemilihan umum di Indonesia. Orang dungu, bila dihadapkan kepadanya barang-barang madat yang adiktif namun “toxic”, semisal produk tembakau, minuman beralkohol, hingga obat-obatan terlarang, maka kemungkinan besar yang akan terjadi ialah diambil dan dipakainya barang-barang madat tersebut. Masyarakat kita di Indonesia, belum siap untuk “demokrasi ekstrem”. Demokrasi secara moderat, penulis setuju dan mendukung sepenuhnya, namun tidak terhadap “demokrasi keblablasan”.

Menurut World Population Review rata-rata tingkat kecerdasan (IQ) orang Indonesia berada pada urutan 130 di tahun 2022 dari sekitar 199 negara di dunia, dengan skor IQ ialah 78, jauh dari memadai dan tidak dapat dibanggakan. Tidak menjadi mengherankan, pola paling jamak yang dapat kita jumpai dari masyarakat di indoensia ialah : MAIN KEKERASAN FISIK UNTUK MENYELESAIKAN SETIAP MASALAH, akibat otak mereka tidak berkembang, sehingga selama ini hanya mengandalkan serta memberi makan “otot”-nya ketimbang memberi asupan gizi bagi “otak”-nya. Kecerdasan manusia selama diukur dari skor Intelligence quotient (IQ), digunakan untuk mengukur seberapa cerdas seseorang atau suatu bangsa secara makro. Tes IQ juga digunakan untuk mengukur memori jangka pendek dan jangka panjang. Selain itu juga dapat diukur keterampilan seseorang dalam memecahkan teka-teki dan masalah, serta memori. Itulah sebabnya, bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang “pelupa”.

Menurut sebuah lembaga riset, Indonesia hanya menempati peringkat 36 di Asia dengan rerata IQ 78,49. Sementara untuk peringkat dunia, Indonesia menempati peringkat 130 alias diposisi “bontot”. Open minded atau memiliki pemikiran terbuka, menjadi salah satu ciri dari seseorang yang cerdas. Orang-orang cerdas, tidak hanya memiliki ide yang cemerlang, tetapi terbuka juga terhadap ide atau peluang baru. Terkait hal ini, kalangan psikolog mengatakan bahwa orang cerdas dengan pemikiran terbuka bisa mencari sudut pandang lain dan mempertimbangkan bukti lebih adil. Di sisi lain, berpikiran terbuka membuat seseorang lebih berhati-hati soal ide atau perspektif yang akan mereka adopsi.

Sebuah jurnal Psychological Science menunjukkan hubungan antara pengendalian diri dan kecerdasan. Penelitian dalam jurnal itu membuat studi kasus di mana peserta diberi pilihan mendapat pembayaran yang kecil segera atau pembayaran yang besar di kemudian hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta yang memilih imbalan besar di kemudian hari memiliki pengendalian diri yang tinggi dan memiliki skor yang lebih tinggi dalam tes kecerdasan. Sosok jenius Albert Einstein mengatakan bahwa dia tidak memiliki bakat khusus, tetapi dia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan penuh semangat. Dalam sebuah penelitian di Journal of Individual Differences tahun 2016 pun ditunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan dan keterbukaan terhadap pengalaman yang mencakup rasa ingin tahu yang besar di masa dewasa.

Ssemakin cerdas seseorang, maka semakin ia tahu bahwa dirinya tidak banyak tahu. Dengan begitu, orang yang cerdas akan terus haus belajar dan mempelajari sesuatu yang belum dia ketahui secara terus-menerus. Ciri orang cerdas lainnya adalah ia bisa merasakan emosi yang ada pada orang lain, alias peka terhadap perasaan orang lain. Orang yang mempunyai empati akan bertindak sesuai dengan kebutuhan. Saat daftar negara dipersempit jadi negara di Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi buncit dari 9 negara (tidak ada data dari Brunei Darussalam dan Timor Leste). Negara di Asia Tenggara dengan IQ tertinggi ditempati Singapura (104,75), Vietnam (101,14) dan Malaysia (99,07). ementara secara global, dihitung dari 199 negara yang terdaftar, Indonesia menempati posisi ke-129.

Skor IQ dinilai rendah saat berada di angka 70 ke bawah. Skor sangat rendah bisa menjadi indikator disabilitas intelektual. Sementara itu, seseorang akan dianggap jenius jika memiliki skor IQ mencapai 140. Menurut laporan dari World Population Review 2022, rerata IQ orang Indonesia itu 78,49 sehingga tergolong sangat rendah. Maka. rata-rata penduduk Indonesia masuk ke dalam golongan tingkat IQ rendah atau keterbelakangan mental. Lalu apa dampaknya jika kebanyakan masyarakat di Indonesia memiliki IQ yang rendah bahkan masuk ke dalam golongan keterbelakangan mental? Orang dengan IQ yang rendah memiliki rasa keingintahuan yang rendah. Orang yang tidak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi akan merasa cukup dengan apa yang telah didapatnya sekarang dan tidak ada keinginan untuk mengupgrade diri untuk menambah pengetahuannya.

Jika dihubungkan dengan dunia pekerjaan, orang seperti ini akan stagnan pada satu titik dan tidak dapat meningkatkan pendapatan finansialnya. Yang pada akhirnya orang ini akan menjadi golongan masyarakat miskin. IQ rendah, dampaknya ialah gaya berpikir yang tertutup. Mereka tidak bisa menerima ide atau gagasan baru, opini dan bahkan informasi baru. Biasanya mereka hanya teguh kepada pendirian yang mereka telah mereka buat dalam waktu lama, tanpa pernah merasa perlu membuat evaluasi ulang. Mereka ibarat katak dalam tempurung, sempit cara berpikirnya. Disaat bersamaan, terjadi fenomena berkurangnya kemampuan untuk merenungkan berbagai hal. Aktivitas merenung akan membuat kita menemukan sudut pandang baru yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita sebelumnya, dan menjadi bagian dari introspeksi diri.

Orang yang IQ tinggi akan merenungkan berbagai hal sebelum memulai dan ketika mengakhiri sesuatu kegiatan. Sedangkan orang yang memiliki IQ rendah tidak memiliki kemampuan untuk merefleksikan sebuah kejadian. Hal ini yang membuat mereka sulit untuk belajar dan bergerak maju untuk perubahan kearah lebih baik. Kurangnya daya pikir secara kritis, adalah pola lainnya dari lemahnya tingkat IQ. Mengatasnamakan “kepatuhan secara mutlak”, bangsa kita dilatih agar tidak mampu berpikir kritis (critical thinking), sekalipun diperlukan agar manusia dapat mengatasi berbagai masalah dengan menemukan jalan keluar secara cepat dan tepat. Dengan selalu berpikir kritis, kamu bisa menganalisis, mempertimbangkan, lalu menyimpulkan suatu hal tidak secara tergesa-gesa.

Ketika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, mereka cenderung menelan mentah semua informasi yang dia dapat, baik itu sebuah informasi yang benar maupun yang dis-informatif, sehingga rentan terpapar “HOAX” memakannya secara mentah-mentah. Ironisnya, mereka yakin dengan informasi yang dimilikinya dan berkeyakinan bahwa orang yang memiliki informasi lain adalah keliru. Mereka lebih banyak masuk dalam kegiatan “meyakini” alih-alih “berpikir”. Mereka dengan IQ rendah karenanya tidak sering berubah pikiran. Dikala kita mendapatkan informasi baru, ilmu baru, atau pengetahuan baru, perspektif kita dapat lebih luas dan memiliki pandangan secara lebih holistik dari sebelumnya.

Orang dengan IQ tinggi tidak sulit menghadapi perubahan. Disaat mereka menghadapi perubahan informasi atau ilmu, maka mereka tidak segan untuk merubah pikiran mereka dan mengakui bahwa mereka salah sebelumnya. Karena itu orang dengan IQ yang tinggi cenderung nyaman berada dalam forum yang penuh dengan diskursus dan perbedaan pendapat, tidak memandang perdebatan merupakan sesuatu yang “tabu”. Fenomena demikian bertolak-belakang terhadap mereka yang memiliki IQ rendah, rentan ketika berada pada suatu forum dengan pemikiran yang plural (tidak seragam). Orang dengan IQ rendah akan terus memaksakan pendapatnya, mereka lebih mudah terpancing membuat “gesekan” ataupun ancaman-ancaman verbal dan fisik.

Berpikir kreatif juga disebut berpikir divergen atau lateral, yaitu menghubungkan ide atau hal-hal yang sebelumnya tidak berhubungan. Untuk dapat berpikir kreatif dengan baik, perlu keberanian dan keyakinan pada diri sendiri.  Seseorang yang mengembangkan kreativitasnya terus-menerus akan menjadi orang yang inovatif yang “mendobrak” kekakuan. Sebaliknya, mereka dengan IQ rendah cenderung sukar untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Ini menyebabkan, mereka akan memiliki daya saing yang lebih rendah. Kabar buruk lainnya, mereka adalah buruk dalam mengambil kesimpulan, cenderung gegabah dalam menyimpulkan sesuatu.

Tingkat kecerdasan berkorelasi terahdap konsep “mental age” atau usia mental. Secara kontradiktif, masyarakat kita di Indonesia kerap berdelusi sebagai bangsa yang ber-EQ dan SQ tinggi, meski faktanya ialah : tidak korup yang ditunjukkan Singapura merupakan perwujudan dari kecerdasan emosional (EQ). Fakta salah satu tanda kecerdasan, yaitu menciptakan ide-ide baru. Secara historis, hal ini mungkin berarti menolak takhayul dan menemukan cara-cara baru untuk mengorganisir masyarakat. Satu studi menjelaskan mengapa orang yang lebih cerdas lebih cenderung menjadi ateis dan lebih cenderung menjadi liberal secara politik. Studi ini menemukan bahwa orang dewasa muda yang menggambarkan diri mereka sangat konservatif dan memiliki rata-rata IQ sebesar 95, sementara mereka yang menggambarkan diri mereka sebagai sangat liberal memiliki rata-rata IQ sebesar 106.

Orang dengan IQ tinggi lebih sabar dalam urusan keuangan. Mereka bersedia menunggu lebih lama untuk meningkatkan uang mereka dan menerima risiko yang terlibat. Orang cerdas tidak menuntut begitu banyak imbalan untuk mengambil risiko. Tampaknya tanda-tanda kecerdasan, toleransi risiko, dan kesabaran saling terkait. Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa orang yang suka berpikir lebih memiliki daya ingat lebih baik dan sering mengambil lebih banyak waktu untuk membuat keputusan. Akhirnya, mereka membuat keputusan yang lebih baik. Mungkin itulah penjelasannya, mengapa Bangsa Indonesia dikenal begitu konsumtif dan disaat bersamaan terjerat berbagai hutang dan dana pinjaman untuk keperluan konsumtif.

Orang dengan kecerdasan tinggi lebih mudah menerima kebingungan dan ketidakjelasan. Banyak masalah dalam hidup tidak memiliki jawaban yang pasti—dan orang yang cerdas dapat menangani ini secara relatif lebih mudah. Orang yang lebih cerdas dapat membuat keputusan lebih baik karena mereka mampu menerima ambiguitas. Rasa ingin tahu menjadi salah satu tanda kecerdasan. Rasa ingin tahu bahkan bisa sepenting kecerdasan dalam seberapa baik seseorang berhasil dalam hidup. Karenanya, populasi penduduk yang “gemuk” namun bermasalah dalam ukuran ‘IQ”, cenderung menjadi “beban demografi”.

Disamping itu, orang dengan IQ lebih tinggi kurang agresif dan cenderung mengikuti aturan, disamping “sense of justice” yang lebih solid. Kecerdasan yang lebih tinggi dikaitkan dengan perilaku yang lebih baik, tidak mencuri, dan tidak merasa perlu untuk berkata dusta. Sebaliknya, orang muda dengan IQ lebih rendah lebih cenderung mengkhawatirkan dan mengganggu orang lain, serta terlibat dalam perilaku anti-sosial. Biasanya, anak laki-laki anti-sosial memiliki skor IQ 10 poin lebih rendah dari teman sebaya yang lebih sosial. itulah bukti empirik, betapa IQ berkorelasi linear terhadap tingkat EQ seseorang.

Memiliki kemampuan dalam urusan “kontrol diri” (self-control) yang lebih kuat disebutkan merupakan tanda kecerdasan yang lebih tinggi. Menghadapi godaan, orang yang lebih cerdas tetap tenang. Dalam penelitian ini, mereka dengan kecerdasan lebih tinggi menunggu lebih lama untuk mendapatkan imbalan yang lebih besar. Mudah bekerja sama juga menjadi salah satu tanda kecerdasan. Orang yang lebih cerdas cenderung bersikap hati-hati dengan kepercayaan mereka pada awalnya, lalu membangunnya dengan pengalaman. Orang yang kooperatif cenderung lebih membantu, percaya pada kerja sama tim dan saling mendukung. Selain itu, orang yang kooperatif cenderung lebih baik dalam melihat gambaran besar dan belajar dari pengalaman serta terbuka pada pengalaman baru ataupun cara berpikir lain.

Tidak konvensional menjadi sifat kepribadian yang paling kuat terkait dengan kecerdasan tinggi. Orang dengan tanda-tanda kecerdasan ini lebih cenderung menikmati argumen filsafat, teka-teki otak, masalah baru, dan kegiatan eksentrik atau tidak biasa. Mereka juga merasa lebih bahagia, dimana konon orang yang merasa lebih bahagia cenderung memiliki IQ tinggi. Tingkat kebahagiaan, berkorelasi lurus pada rendahnya tingkat kriminalitas. Mereka sudah kreatif, sehingga tidak pernah merasa perlu merampas hak-hak ataupun kebahagiaan orang lain untuk menjadi bahagia dan menikmati hidup. Dengan demikian, terdapat ancaman serius dibalik “demokrasi keblablasan”, ada harga mahal yang harus kita bayarkan dimana bangsa kita belum siap terhadap resiko dibaliknya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.