Bakteri Amoeba Melakukan Replikasi Diri lewat Pembelahan, Umat Manusia Berkembang=Biak dengan Melahirkan Anak, Artificial Intelligence (AI) Menggandakan Diri Lewat Mekanisme COPY—PASTE
Pada salah satu gerai kios penjual minuman dan makanan, yang mana kokinya ialah robot, seorang pengunjung dengan penuh ketertarikan serta antusias tertawa dan merekamnya dengan handphone, bahkan mungkin menikmati sajian yang dijual oleh gerai tersebut. Ia tidak menyadari, bahwa cepat atau lambat, robot-robot tersebut akan membuat dirinya kehilangan pekerjaan dimasa mendatang, hanya persoalan waktu dan diprediksi tidak akan lama lagi. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri kita dari kepunahan, ialah dengan memboikot restoran-restoran maupun kedai-kedai yang mengancam eksistensi umat manusia. Memang bahwa kedai-kedai konvensional sangat tidak higienis, tetesan keringat sang koki yang mencemari bahan makanan, bahkan ketidak-jelasan proses memasak di belakang dapur, menjadikan itu alasan kuat untuk mulai melirik restoran yang mana tenaga kerjanya ialah robot.
Namun, bila ideologi demikian
kita terapkan secara konsisten, faktanya kini berbagai industri pembuatan jamu
sachet sekalipun, sebagai contoh, kesemuanya menggunakan proses produksi
otomatisasi. Hampir semua pabrik raksasa dan modern, kian “padat modal” yang
menjadi antinomi “padat karya”. Hampir setiap produk bermerek yang kita jumpai
di pasar swalayan, tidak lagi berupa “padat karya”, namun sepenuhnya “padat
modal” dimana proses produksinya telah tidak lagi melibatkan faktor “tenaga
kerja manusia”, akan tetapi otomatisasi mesin-mesin produksi. Mencermati fakta
demikian, yang tidak pernah terungkap di depan mata, mungkin akan tampak
terselubung, “silent killer” bagi “tenaga
kerja manusia”, dimana pada berbagai kawasan industri kian sepi manusia namun
demikian angka produksinya sangat fenomenal. Akan tetapi ketika berbagai
restoran yang mana dipertontonkan secara vulgar tenaga koki dan pramusaji yang
telah digantikan dengan “tenaga kerja robot”, kini membuat kita mulai tersadar
dan tersentak dari lamunan kita. Ada apa dengan dunia ini dan mau dibawa kemana
dunia ini?
Sungguh ironis sekaligus mengerikan,
melihat kebodohan umat manusia yang secara penuh kebanggaan membawa
peradabannya umatnya sendiri menuju kepunahan. Di negara-negara maju, mulai
timbul tren dimana pramusaji maupun koki pada kafe maupun restoran, tidak lagi
berupa “tenaga kerja manusia”, namun “tenaga kerja robotik”, dimana kesemua ini
tidak pernah terjadi sebelumnya (unprecedented).
Hanya tinggal mununggu waktu, sampai petugas kasir maupun tenaga keamanan di masing-masing
rumah makan, akan digantikan pula oleh robot-robot berbasis AI (kecerdasan
buasan, Artificial Intelligence). Pergerakan
lengan-lengan dan jemari-jemari robotik tersebut, begitu gemulai dan presisi, “lebih
manusia daripada manusia” dari sudut panadng pergerakannya.
Kini, di China, berhasil
diciptakan robot humanoid yang mampu berjalan dan menyeimbangkan diri dengan
sempurna, sekalipun ia didorong dari arah belakang maupun ditendang salah satu kakinya,
sang robot mampu seketika menyeimbangkan diri sehingga tidak terjatuh. Memasak dan
mengangkut logistik di gudang, bukan lagi mustahil pada era robotik canggih
berbasis AI—dimana perkembangannya begitu eksponensial dan disaat bersamaan
membuat sebagian dari kita yang menyadari bahaya / ancaman dibalik kecanggihan
teknologi humanoid berbasis AI, sungguh mengancam eksistensi umat manusia,
setidaknya akan menggantikan peran dan fungsi “tenaga kerja manusia”, alias
mengambil-alih pekerjaan sebagian besar profesi yang selama ini dijadikan sumber
nafkah umat manusia.
Laporan pada sebuah media
menyebutkan, koki robotik pembuat pizza, mampu memproduksi pizza jauh lebih
efisien dan lebih cepat daripada “koki manusia”. Mungkin saat kini teknologi
masih cukup mahal, namun hanya tinggal menunggu waktu sampai humanoid berbasis
AI diproduksi secara massal dan kian murah disamping kian canggih fungsinya,
maka perlahan namun pasti, berbagai kedai hingga restoran akan diisi oleh “tenaga
kerja robotik”. Ironisnya, saat kini negara-negara maju dengan demografi
(jumlah penduduk) terbesar di dunia seperti Amerika Serikat dan China, berlomba-lomba
menciptakan mesin-mesin robotik cerdas berteknologi canggih untuk menggantikan “tenaga
kerja manusia”—alias mematikan lapangan pekerjaan untuk penduduk dan rakyat /
warga mereka sendiri. Jadilah, “petaka demografi”, fenomena mana mulai terlihat
riak-riaknya di kedua negara tersebut. Di China, kini pertumbuhan ekonominya
mulai melambat, sekalipun produk-produk buatan dalam negeri mereka telah
merajai dunia.
Alih-alih mulai menyadari
kegilaan mereka yang akan membuat punah lapangan pekerjaan bagi “tenaga kerja
manusia”, mereka “tancap gas” menuju akselerasi berkecepatan penuh bernama “berlomba-lomba
menciptakan robotik berbasis AI” yang juga dikenal dengan istilah sebagai “humanoid
robotic”. Mereka menciptakan penggangguran baru dan PHK (pemutusan hubungan
kerja) bagi rakyat mereka sendiri, dan disaat bersamaan mengekspor teknologi-teknologi
humanoid-robotik mereka ke negara-negara maju dan berkembang lainnya, membuat “wabah
PHK” menghantui seantero dunia. Kini, sebagian besar masyarakat di Amerika
Serikat mulai menyadari bahaya dan ancaman besar dibalik humanoid-AI, dan mulai
membuat kampanye masif menentang AI maupun humanoid-robotic—mengingat tingkat
PHK di Amerika Serikat benar-benar telah menuju era mengkhawatirkan.
Tidak ada pengecualian, profesi
Anda maupun kita semua, tidak terkecuali profesi programmer, penyanyi, pendesain
grafis, fotografer, produser, semua terancam dan berpotensi tergantikan, dalam waktu
dekat, tidak perlu menunggu dua atau tiga dekade yang akan datang. Disrupsi AI
dan humanoid, tidak dapat disebut sebagai evolusi maupun revolusi lagi, namun
lebih menyerupai sebuah ledakan atau letusan dahsyat yang amat mendadak dan
mengejutkan tanpa dapat membuat kita menyadari apa yang sebetulnya telah dan
sedang terjadi (speechless). Bagi sebagian
dari kita, yang telah melihat langsung dampak dari AI dan ancaman dibaliknya,
hanya bisa terperangah tanpa daya. Bila dianalogikan, kita terpukul telak tanpa
dapat kembali bangkit (KNOCK OUT).
Anak-anak Anda mungkin mulai bertanya-tanya,
“Ayah dan Bunda-ku, untuk apa aku harus
belajar melukis maupun program desain? Sekarang ini setiap orang mampu cukup
mengetik beberapa baris kalimat pada kolom ‘prompt’ di aplikasi Ai yang sudah
merakyat ini, maka hasilnya akan muncul seketika, sangat artistik, realistic,
dan epik. Untuk apa aku susah-payah belajar, bila kemampuan ‘machine learning’
Ai maupun generative AI jauh melampaui kecerdasan maupun kejeniusan Einstein
dan akan kian jauh lebih unggul lagi daripada manusia?” Bila itu yang
ditanyakan oleh anak-anak Anda, maka apakah jawaban yang paling bijak sebagai
orangtua? “Maafkan kami, anakku. Mungkin demi
kebaikan engkau, tidak semestinya kami melahirkan engkau.”
AI, berpotensi mengandung
propaganda, ia mampu membentuk “opini publik” maupun menggiring perspektif
publik luas. Sebagai contoh, mereka yang mengendalikan AI, tanpa kita sadari, “meracuni”
algoritma yang berjalan dibalik “otak server” AI, dengan suatu dis-informasi
yang disusupi dalam kolom “answer”,
atau bahkan menyusupinya dengan ideologi-ideologi tertentu, hingga melakukan
seleksi informasi secara diskriminatif alias parsial. Selama ini, kita
berasumsi bahwa Ai adalah bebas dan murni dari anasir politis maupun kepentingan-kepentingan
segelintir pihak tertentu yang mampu menyewa “pesan-pesan sponsor” ke dalam “otak
server” AI. AI dapat diminta untuk menganalisa “BIG DATA” pada berbagai media,
kecenderungan warga pemilih dalam suatu ajang pemilihan umum (pemilu) yang akan
berlangsung, lalu memberikan data-data yang dihimpun dan diolah oleh AI
tersebut kepada pihak konsultan politik swasta untuk dieksploitasi hingga
disalahgunakan untuk keperluan politik maupun komersial dan bisnis.
Alhasil, strategi menyusun
kampanye bagi pasangan calon dapat lebih tepat guna dan tepat sasaran untuk meraih
keberhasilan, dan ini pernah terjadi di Amerika Serikat dalam pemilihan Kepala
Negara (kasus Donald Trump dan Cambrige Analitica yang melibatkan
persekongkolan dengan Facebook dari Meta). Contoh aktual tersebut, terjadi pada
era sebelum terjadinya disrupsi AI. Kini, ketika “BIG DATA” dihimpun dan
dikelola oleh AI, entah kegilaan apakah yang menunggu kita di depan. Pada akhirnya,
yang terlebih dahulu dibuat punah oleh AI maupun tekonologi robotik, justru
adalah negara-negara maju, menyusul negara-negara berkembang, sebelum kemudian
merambah ke negara-negara lainnya. Dimana bahkan, restoran sekalipun akan
menyerupai “vending machine” atau
semacam “ATM” (anjungan tunai mandiri). Teknologi “cashless”, efisien, namun disaat bersamaan mematikan atau menutup
lapangan pekerjaan bagi para pegawai bank itu sendiri.
Seorang tokoh pernah berpesan :
bukan apa yang mampu dilakukan oleh umat manusia, namun apa yang seharusnya
dilakukan dan tidak dilakukan oleh kita. Sebagian pihak yang masih “dinina-bobokan”
oleh AI, membuat komentar sinis bahwa robot-robot tersebut tetap memerlukan
teknisi manusia. Apakah artinya, kita semua harus alih-profesi menjadi
teknisi-teknisi robotik? Seberapa banyak dari kita, yang mampu alih-profesi
dibidang yang bukan menjadi keunggulan dan talenta kita selama ini? Jangankan menanganani
robot-robot berbasis AI, untuk membuat program sederhana pun kita tidak mampu,
dimana lebih ironisnya AI jauh lebih mahir membuat program-program kompleks daripada
sebagian besar dari kita. Bukanlah mustahil, bila para produsen
humanoid-humanoid Ai tersebut juga akan menciptakan robot-robot teknisi untuk
memperbaiki robot-robot produksi mereka. Lantas, pada gilirannya, profesi
apakah yang tersisa bagi umat manusia ketika mesin dan AI telah mampu sepenuhnya
mempelajari umat manusia (machine
learning)?
Kabar buruknya, seakan keadaan
belum cukup buruk, berita terbaru menyebutkan bahwa kini AI bukan lagi sekadar “machine learning”, namun telah mampu
memperbaiki dan mengoreksi kekeliruan dirinya sendiri dan mampu berkomunikasi
antar AI dalam bahasa yang tidak dipahami oleh sang pencipta AI itu sendiri.
AI, tampaknya untuk kedepannya mampu membentuk dan merancang dirinya sendiri
secara soliter dan independen, dimana beredar kabar bahwa telah tercipta AI
yang memiliki “kesadaran”. Anda tahu, mengapa umat manusia mampu meng-unggul-i
kaum primata lainnya? itu karena manusia mampu berkomunikasi dalam komunikasi dengan
kosakata serta struktur bahasa majemuk yang kompleks.
Hewan, memang mampu saling
berkomunikasi, namun dalam bahasa yang sangat terbatas, karena itulah umat
manusia dapat unggul jauh meninggalkan kaum fauna (satwa) lewat proses belajar
yang mana bahasa menjadi titik-topangnya terutama sejak era prasejarah menuju
ke era sejarah. AI, mampu memiliki lebih banyak variasi bahasa dan permodelan
struktur bahasa, ketika antar Ai saling berkomunikasi satu sama lain dibalik
layar, maka umat manusia akan tampak menyerupai sama primitifnya dengan seekor kera
primata di mata AI. Kita, memandang remeh kaum hewan, karena kita merasa lebih
cerdas daripada para hewan malang tersebut. Kelak, Ai yang akan menertawakan
umat manusia, dan menaruh kita di kandang maupun dibalik jeruji “kebun manusia”
untuk dijadikan tontotan bila tidak digiring masuk ke dalam museum menjadi
fosil sejarah.
Ketika model bisnis para
pemodal tidak diikuti “etika berbisnis”, maka mulai terjadi fenomena yang kini benar-benar
telah menjadi realita, yakni produsen robotik di Jepang, memproduksi secara
massal “istri robot”. Anda tidak salah baca dan penulis tidak keliru mengetik, “istri
robot” untuk dinikahi kalangan pria yang mungkin merasa kecewa dengan pacar
ataupun istri manusianya. Pada saat itulah, mungkin bukan profesi kita yang
akan terlebih dahulu punah, namun kaum wanita, dimana kaum perempuan menjadi
kian sukar mencari pasangan, mereka kalah bersaing dengan “humanoid AI” yang
cantik, cerdas, multi-talenta, dan tentu saja tidak akan berkeriput dan dapat
digantikan suku-cadangnya disamping tidak butuh banyak pengeluaran untuk pergi
ke salon.
Pada akhirnya, umat manusia
tidak lagi merasa perlu mencari planet lain sebagai pengganti Bumi yang pada tahun-tahun
sebelumnya dirasakan telah begitu sesak oleh membludaknya umat manusia. Sebaliknya,
populasi penduduk akan terus merosok secara signifikan, menuju kepunahan. Bila kaum
Jurassic diyakini punah akibat “era es” (Ice Age) yang membekukan Planet Bumi akibat
benturan asteroid raksasa (faktor eksternal), maka umat manusia akan punah
akibat obsesi “gila” umat manusia itu sendiri (faktor internal umat manusia). Pada
saat itulah kita mulai menyadari, bahwa selama ini kita telah keliru, bahwa
manusia bisa lebih bodoh daripada kaum primata manapun, dimana setidaknya kaum
hewan tidak tergila-gila membuat punah kaumnya sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.