KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Tahun 2025, Awal Titik-Balik Peradaban Menuju KEPUNAHAN UMAT MANUSIA

Bakteri Amoeba Melakukan Replikasi Diri lewat Pembelahan, Umat Manusia Berkembang=Biak dengan Melahirkan Anak, Artificial Intelligence (AI) Menggandakan Diri Lewat Mekanisme COPY—PASTE

Pada salah satu gerai kios penjual minuman dan makanan, yang mana kokinya ialah robot, seorang pengunjung dengan penuh ketertarikan serta antusias tertawa dan merekamnya dengan handphone, bahkan mungkin menikmati sajian yang dijual oleh gerai tersebut. Ia tidak menyadari, bahwa cepat atau lambat, robot-robot tersebut akan membuat dirinya kehilangan pekerjaan dimasa mendatang, hanya persoalan waktu dan diprediksi tidak akan lama lagi. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri kita dari kepunahan, ialah dengan memboikot restoran-restoran maupun kedai-kedai yang mengancam eksistensi umat manusia. Memang bahwa kedai-kedai konvensional sangat tidak higienis, tetesan keringat sang koki yang mencemari bahan makanan, bahkan ketidak-jelasan proses memasak di belakang dapur, menjadikan itu alasan kuat untuk mulai melirik restoran yang mana tenaga kerjanya ialah robot.

Namun, bila ideologi demikian kita terapkan secara konsisten, faktanya kini berbagai industri pembuatan jamu sachet sekalipun, sebagai contoh, kesemuanya menggunakan proses produksi otomatisasi. Hampir semua pabrik raksasa dan modern, kian “padat modal” yang menjadi antinomi “padat karya”. Hampir setiap produk bermerek yang kita jumpai di pasar swalayan, tidak lagi berupa “padat karya”, namun sepenuhnya “padat modal” dimana proses produksinya telah tidak lagi melibatkan faktor “tenaga kerja manusia”, akan tetapi otomatisasi mesin-mesin produksi. Mencermati fakta demikian, yang tidak pernah terungkap di depan mata, mungkin akan tampak terselubung, “silent killer” bagi “tenaga kerja manusia”, dimana pada berbagai kawasan industri kian sepi manusia namun demikian angka produksinya sangat fenomenal. Akan tetapi ketika berbagai restoran yang mana dipertontonkan secara vulgar tenaga koki dan pramusaji yang telah digantikan dengan “tenaga kerja robot”, kini membuat kita mulai tersadar dan tersentak dari lamunan kita. Ada apa dengan dunia ini dan mau dibawa kemana dunia ini?

Sungguh ironis sekaligus mengerikan, melihat kebodohan umat manusia yang secara penuh kebanggaan membawa peradabannya umatnya sendiri menuju kepunahan. Di negara-negara maju, mulai timbul tren dimana pramusaji maupun koki pada kafe maupun restoran, tidak lagi berupa “tenaga kerja manusia”, namun “tenaga kerja robotik”, dimana kesemua ini tidak pernah terjadi sebelumnya (unprecedented). Hanya tinggal mununggu waktu, sampai petugas kasir maupun tenaga keamanan di masing-masing rumah makan, akan digantikan pula oleh robot-robot berbasis AI (kecerdasan buasan, Artificial Intelligence). Pergerakan lengan-lengan dan jemari-jemari robotik tersebut, begitu gemulai dan presisi, “lebih manusia daripada manusia” dari sudut panadng pergerakannya.

Kini, di China, berhasil diciptakan robot humanoid yang mampu berjalan dan menyeimbangkan diri dengan sempurna, sekalipun ia didorong dari arah belakang maupun ditendang salah satu kakinya, sang robot mampu seketika menyeimbangkan diri sehingga tidak terjatuh. Memasak dan mengangkut logistik di gudang, bukan lagi mustahil pada era robotik canggih berbasis AI—dimana perkembangannya begitu eksponensial dan disaat bersamaan membuat sebagian dari kita yang menyadari bahaya / ancaman dibalik kecanggihan teknologi humanoid berbasis AI, sungguh mengancam eksistensi umat manusia, setidaknya akan menggantikan peran dan fungsi “tenaga kerja manusia”, alias mengambil-alih pekerjaan sebagian besar profesi yang selama ini dijadikan sumber nafkah umat manusia.

Laporan pada sebuah media menyebutkan, koki robotik pembuat pizza, mampu memproduksi pizza jauh lebih efisien dan lebih cepat daripada “koki manusia”. Mungkin saat kini teknologi masih cukup mahal, namun hanya tinggal menunggu waktu sampai humanoid berbasis AI diproduksi secara massal dan kian murah disamping kian canggih fungsinya, maka perlahan namun pasti, berbagai kedai hingga restoran akan diisi oleh “tenaga kerja robotik”. Ironisnya, saat kini negara-negara maju dengan demografi (jumlah penduduk) terbesar di dunia seperti Amerika Serikat dan China, berlomba-lomba menciptakan mesin-mesin robotik cerdas berteknologi canggih untuk menggantikan “tenaga kerja manusia”—alias mematikan lapangan pekerjaan untuk penduduk dan rakyat / warga mereka sendiri. Jadilah, “petaka demografi”, fenomena mana mulai terlihat riak-riaknya di kedua negara tersebut. Di China, kini pertumbuhan ekonominya mulai melambat, sekalipun produk-produk buatan dalam negeri mereka telah merajai dunia.

Alih-alih mulai menyadari kegilaan mereka yang akan membuat punah lapangan pekerjaan bagi “tenaga kerja manusia”, mereka “tancap gas” menuju akselerasi berkecepatan penuh bernama “berlomba-lomba menciptakan robotik berbasis AI” yang juga dikenal dengan istilah sebagai “humanoid robotic”. Mereka menciptakan penggangguran baru dan PHK (pemutusan hubungan kerja) bagi rakyat mereka sendiri, dan disaat bersamaan mengekspor teknologi-teknologi humanoid-robotik mereka ke negara-negara maju dan berkembang lainnya, membuat “wabah PHK” menghantui seantero dunia. Kini, sebagian besar masyarakat di Amerika Serikat mulai menyadari bahaya dan ancaman besar dibalik humanoid-AI, dan mulai membuat kampanye masif menentang AI maupun humanoid-robotic—mengingat tingkat PHK di Amerika Serikat benar-benar telah menuju era mengkhawatirkan.

Tidak ada pengecualian, profesi Anda maupun kita semua, tidak terkecuali profesi programmer, penyanyi, pendesain grafis, fotografer, produser, semua terancam dan berpotensi tergantikan, dalam waktu dekat, tidak perlu menunggu dua atau tiga dekade yang akan datang. Disrupsi AI dan humanoid, tidak dapat disebut sebagai evolusi maupun revolusi lagi, namun lebih menyerupai sebuah ledakan atau letusan dahsyat yang amat mendadak dan mengejutkan tanpa dapat membuat kita menyadari apa yang sebetulnya telah dan sedang terjadi (speechless). Bagi sebagian dari kita, yang telah melihat langsung dampak dari AI dan ancaman dibaliknya, hanya bisa terperangah tanpa daya. Bila dianalogikan, kita terpukul telak tanpa dapat kembali bangkit (KNOCK OUT).

Anak-anak Anda mungkin mulai bertanya-tanya, “Ayah dan Bunda-ku, untuk apa aku harus belajar melukis maupun program desain? Sekarang ini setiap orang mampu cukup mengetik beberapa baris kalimat pada kolom ‘prompt’ di aplikasi Ai yang sudah merakyat ini, maka hasilnya akan muncul seketika, sangat artistik, realistic, dan epik. Untuk apa aku susah-payah belajar, bila kemampuan ‘machine learning’ Ai maupun generative AI jauh melampaui kecerdasan maupun kejeniusan Einstein dan akan kian jauh lebih unggul lagi daripada manusia?” Bila itu yang ditanyakan oleh anak-anak Anda, maka apakah jawaban yang paling bijak sebagai orangtua? “Maafkan kami, anakku. Mungkin demi kebaikan engkau, tidak semestinya kami melahirkan engkau.

AI, berpotensi mengandung propaganda, ia mampu membentuk “opini publik” maupun menggiring perspektif publik luas. Sebagai contoh, mereka yang mengendalikan AI, tanpa kita sadari, “meracuni” algoritma yang berjalan dibalik “otak server” AI, dengan suatu dis-informasi yang disusupi dalam kolom “answer”, atau bahkan menyusupinya dengan ideologi-ideologi tertentu, hingga melakukan seleksi informasi secara diskriminatif alias parsial. Selama ini, kita berasumsi bahwa Ai adalah bebas dan murni dari anasir politis maupun kepentingan-kepentingan segelintir pihak tertentu yang mampu menyewa “pesan-pesan sponsor” ke dalam “otak server” AI. AI dapat diminta untuk menganalisa “BIG DATA” pada berbagai media, kecenderungan warga pemilih dalam suatu ajang pemilihan umum (pemilu) yang akan berlangsung, lalu memberikan data-data yang dihimpun dan diolah oleh AI tersebut kepada pihak konsultan politik swasta untuk dieksploitasi hingga disalahgunakan untuk keperluan politik maupun komersial dan bisnis.

Alhasil, strategi menyusun kampanye bagi pasangan calon dapat lebih tepat guna dan tepat sasaran untuk meraih keberhasilan, dan ini pernah terjadi di Amerika Serikat dalam pemilihan Kepala Negara (kasus Donald Trump dan Cambrige Analitica yang melibatkan persekongkolan dengan Facebook dari Meta). Contoh aktual tersebut, terjadi pada era sebelum terjadinya disrupsi AI. Kini, ketika “BIG DATA” dihimpun dan dikelola oleh AI, entah kegilaan apakah yang menunggu kita di depan. Pada akhirnya, yang terlebih dahulu dibuat punah oleh AI maupun tekonologi robotik, justru adalah negara-negara maju, menyusul negara-negara berkembang, sebelum kemudian merambah ke negara-negara lainnya. Dimana bahkan, restoran sekalipun akan menyerupai “vending machine” atau semacam “ATM” (anjungan tunai mandiri). Teknologi “cashless”, efisien, namun disaat bersamaan mematikan atau menutup lapangan pekerjaan bagi para pegawai bank itu sendiri.

Seorang tokoh pernah berpesan : bukan apa yang mampu dilakukan oleh umat manusia, namun apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan oleh kita. Sebagian pihak yang masih “dinina-bobokan” oleh AI, membuat komentar sinis bahwa robot-robot tersebut tetap memerlukan teknisi manusia. Apakah artinya, kita semua harus alih-profesi menjadi teknisi-teknisi robotik? Seberapa banyak dari kita, yang mampu alih-profesi dibidang yang bukan menjadi keunggulan dan talenta kita selama ini? Jangankan menanganani robot-robot berbasis AI, untuk membuat program sederhana pun kita tidak mampu, dimana lebih ironisnya AI jauh lebih mahir membuat program-program kompleks daripada sebagian besar dari kita. Bukanlah mustahil, bila para produsen humanoid-humanoid Ai tersebut juga akan menciptakan robot-robot teknisi untuk memperbaiki robot-robot produksi mereka. Lantas, pada gilirannya, profesi apakah yang tersisa bagi umat manusia ketika mesin dan AI telah mampu sepenuhnya mempelajari umat manusia (machine learning)?

Kabar buruknya, seakan keadaan belum cukup buruk, berita terbaru menyebutkan bahwa kini AI bukan lagi sekadar “machine learning”, namun telah mampu memperbaiki dan mengoreksi kekeliruan dirinya sendiri dan mampu berkomunikasi antar AI dalam bahasa yang tidak dipahami oleh sang pencipta AI itu sendiri. AI, tampaknya untuk kedepannya mampu membentuk dan merancang dirinya sendiri secara soliter dan independen, dimana beredar kabar bahwa telah tercipta AI yang memiliki “kesadaran”. Anda tahu, mengapa umat manusia mampu meng-unggul-i kaum primata lainnya? itu karena manusia mampu berkomunikasi dalam komunikasi dengan kosakata serta struktur bahasa majemuk yang kompleks.

Hewan, memang mampu saling berkomunikasi, namun dalam bahasa yang sangat terbatas, karena itulah umat manusia dapat unggul jauh meninggalkan kaum fauna (satwa) lewat proses belajar yang mana bahasa menjadi titik-topangnya terutama sejak era prasejarah menuju ke era sejarah. AI, mampu memiliki lebih banyak variasi bahasa dan permodelan struktur bahasa, ketika antar Ai saling berkomunikasi satu sama lain dibalik layar, maka umat manusia akan tampak menyerupai sama primitifnya dengan seekor kera primata di mata AI. Kita, memandang remeh kaum hewan, karena kita merasa lebih cerdas daripada para hewan malang tersebut. Kelak, Ai yang akan menertawakan umat manusia, dan menaruh kita di kandang maupun dibalik jeruji “kebun manusia” untuk dijadikan tontotan bila tidak digiring masuk ke dalam museum menjadi fosil sejarah.

Ketika model bisnis para pemodal tidak diikuti “etika berbisnis”, maka mulai terjadi fenomena yang kini benar-benar telah menjadi realita, yakni produsen robotik di Jepang, memproduksi secara massal “istri robot”. Anda tidak salah baca dan penulis tidak keliru mengetik, “istri robot” untuk dinikahi kalangan pria yang mungkin merasa kecewa dengan pacar ataupun istri manusianya. Pada saat itulah, mungkin bukan profesi kita yang akan terlebih dahulu punah, namun kaum wanita, dimana kaum perempuan menjadi kian sukar mencari pasangan, mereka kalah bersaing dengan “humanoid AI” yang cantik, cerdas, multi-talenta, dan tentu saja tidak akan berkeriput dan dapat digantikan suku-cadangnya disamping tidak butuh banyak pengeluaran untuk pergi ke salon.

Pada akhirnya, umat manusia tidak lagi merasa perlu mencari planet lain sebagai pengganti Bumi yang pada tahun-tahun sebelumnya dirasakan telah begitu sesak oleh membludaknya umat manusia. Sebaliknya, populasi penduduk akan terus merosok secara signifikan, menuju kepunahan. Bila kaum Jurassic diyakini punah akibat “era es” (Ice Age) yang membekukan Planet Bumi akibat benturan asteroid raksasa (faktor eksternal), maka umat manusia akan punah akibat obsesi “gila” umat manusia itu sendiri (faktor internal umat manusia). Pada saat itulah kita mulai menyadari, bahwa selama ini kita telah keliru, bahwa manusia bisa lebih bodoh daripada kaum primata manapun, dimana setidaknya kaum hewan tidak tergila-gila membuat punah kaumnya sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.