KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Aturan Hukum ABORSI di Indonesia, antara Legalisasi dan Kriminalisasi

Hukum Negara Bersifat Mengurangi / Membatasi Hak, Bukan Memberikan Hak

Hukum adalah Hukum, Agama adalah Agama, Hukum dan Agama Memiliki Perspektif Moralitasnya Masing-Masing dan Tidak dapat Dicampur-Adukkan

Question: Apa betul, saat ini di Indonesia, pemerintah atau negara telah memberikan hak bagi kalangan wanita untuk menggugurkan kandungannya (praktik aborsi) secara sah dan legal tanpa lagi diancam pidana penjara seperti dulu? Saya pribadi jengah, menyimak orang-orang sok tahu yang seolah-olah paling tahu tentang Tuhan lalu menentang keras aborsi, seolah-olah penjahat yang memerkosa korban, lalu korbannya mengalami kehamilan, kehamilan itu atas dasar seizin, kuasa, serta rencana Tuhan. Itu namanya menghakimi korban, sama sekali tidak empati maupun menaruh simpatik terhadap kalangan korban, semata karena mereka adalah kaum pria.

Apakah si pelaku pemerkosaan, harus dibebaskan dari hukuman, dengan alasan pemerkosaan yang dilakukan olehnya merupakan kehendak dan rencana Tuhan, dimana terjadinya pemerkosaan merupakan bukti adanya izin dari dari Tuhan? Contoh lain yang anehnya tidak mampu dijelaskan oleh mereka yang selama ini merasa paling memahami Tuhan, tenaga medis dapat melakukan inseminasi buatan, peneliti yang menyilangkan spesies tumbuhan ataupun hewan, transgenik rekayasa genetika agar tumbuhan tahan terhadap hama dan kekeringan serta lebih produktif, bahkan sudah sejak lama mampu merancang agar telur-telur unggas dibuahi atau tidaknya. Apakah semua itu, harus atas dasar keterlibatan Tuhan?

Transgenik dan modifikasi cuaca, nyata-nyata menentang kuasa dan penciptaan Tuhan, namun mengapa tidak ada orang kita yang protes dan menyebutnya sebagai “haram”? Betapa kurang-kerjaannya Tuhan, bila sampai-sampai kucing peliharaan si Didin akan beranak berapa ekor anak kucing pada hari ini, bebek peliharaan si Titin akan bertelur berapa telur besok hari, anjing milik si Budi akan keguguran berapa ekor anak anjing hari ini, dan lain sebagainya. Mengapa juga hal-hal medik harus dikeruhkan oleh isu-isu agama yang tidak ada relevansinya terhadap realita? Jangan sampai kalangan wanita yang menjadi korban, kembali menjadi korban dengan melakukan praktik aborsi secara mandiri yang tidak aman.

Brief Answer: Betul bahwa antara hukum dan agama tidak dibenarkan untuk dicampur-adukkan, mengingat ranah moralitas bukanlah monopoli agama. Hukum memiliki standar pijakan moralitasnya sendiri, yakni asas-asas hukum umum bangsa beradab yang sifat doktrinnya selalu berkembang sesuai dinamika fenomena sosial, berbeda dengan norma agama yang cenderung ajeg berbentuk “dogma yang dogmatis”. Korban yang berhasil menggugurkan kandungannya juga merupakan atas seizin dan rencana Tuhan. Bila kita menggunakan perspektif falsafah hukum, lebih tepat untuk kita katakan bahwa Negara Indonesia tidak lagi mencabut untuk seluruhnya hak / kebebasan warganya untuk melakukan aborsi, namun tetap mengakui ruang bebas untuk melakukan tindakan medis yang rasional dan terukur terkait aborsi.

Dahulu kala, ketika hukum negara belum dibentuk oleh pemerintah, setiap orang bebas untuk membawa senjata, untuk berkendara di sebelah kanan, bebas untuk tidak membayar pajak, bebas untuk “main hakim sendiri”, dan lain sebagainya. Setelah norma-norma hukum dibentuk, maka sebagian besar kebebasan warganegaranya dirampas oleh negara, sehingga hak-hak yang tersisa berupa kebebasan dalam koridor yang dibatasi oleh negara demikian, sejatinya merupakan “hak-hak residu” alias kebebasan-kebebasan yang tersisa. Kini, kebebasan untuk layanan aborsi aman tidak lagi dirampas oleh negara, setidaknya bagi korban kekerasan seksual.

Esai karya Presser berjudul “Maybe Abortion Isn’t as Complicated as We’ve Been Led to Believe”, mengupas praktik aborsi secara historis adalah aman dilakukan. Ia merujuk catatan sejarah pertengahan abad 19 di benua Amerika. Bidan dan penyedia pengobatan alternatif biasa memberi layanan restorasi menstruasi masa awal kehamilan dengan obat-obatan dan herbal. Baru pada era 1840, American Medical Association (AMA) terbentuk dan berkampanye membuat aborsi menjadi ilegal. AMA membuat stigma aborsi sebagai amoral dan memberikan kewenangan aborsi hanya kepada dokter. Perjalanan awal gerakan aborsi oleh feminis kulit putih juga dikritik. Mereka menempatkan hanya dokter yang dapat melakukannya. Padahal, hal ini merupakan preferensi kelas menengah dan menjadi akar liberalisasi layanan aborsi.

Dalam konteks masyarakat penduduk mayoritas muslim di Timur Tengah, praktik restorasi menstruasi pada awal kehamilan juga tidak mendapatkan resistensi dari masyarakat di sana. Aborsi bahkan tidak dilakukan dokter atau bidan, melainkan dengan “indigenous method”. Caranya dengan menggunakan ramuan herbal, obat-obatan yang diminum secara oral atau dimasukkan ke dalam liang sanggama. Di Indonesia, beberapa penelitian membuktikan keamanan praktik aborsi mandiri tanpa harus bergantung dengan sistem kesehatan formal. Pada tahun 2018, Guttmacher Institute melaporkan, 73% aborsi dilakukan dengan self-managed. Jamu dilaporkan sebagai metode aborsi yang paling banyak digunakan mencapai angka 40% perempuan. Hanya 8% dari persentase tadi yang mengalami komplikasi.

Aborsi bahkan juga dilaporkan dilakukan dengan layanan “hotline”, bahkan untuk kehamilan setelah 12 minggu. Pada Juli 2012 sampai dengan Oktober 2016, terdapat 96 orang mengakses layanan “hotline aborsi”. Dari jumlah itu, 91 perempuan memperoleh layanan konseling secara daring. Hasil konseling menemukan bahwa 83 perempuan berhasil menghentikan kehamilannya tanpa perlu mengakses layanan kesehatan lanjutan. Hanya lima orang yang menunjukkan komplikasi dan membutuhkan layanan, satu orang mengakses layanan kesehatan karena terminasi kehamilan gagal, sedangkan dua orang lainnya tidak diketahui kelanjutan hasilnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa konseling jarak jauh bisa aman meski untuk kehamilan di atas 12 minggu.

Praktik aborsi mandiri atau “self managed” tanpa membebani sistem kesehatan formal ini tampaknya sejalan dengan rekomendasi WHO. Aborsi sampai dengan 12 minggu bisa disediakan cukup dengan memberikan akses obat. Bantuan dokter umum diberikan hanya jika diperlukan. Prosedur itu bahkan hanya melibatkan dua jenis obat. Namun, salah satu jenis obat itu tidak terdaftar di Indonesia. Satu jenis lagi terdaftar untuk mengobati sakit lambung yang hanya dapat dibeli dengan resep dokter. Tidaklah mudah untuk mengaksesnya dalam keadaan negara tak berkomitmen untuk menyediakan aborsi aman, terlebih ketika anasir-anasir agama mengeruhkan situasi. Sekalipun realita dari pemberitaan yang mewarnai ruang dengar kita, kehamilan akibat kekerasan seksual tidak sedikit ditemukan di masyarakat.

Kita bisa melakukan riset sederhana menggunakan mesin pencari di browser perangkat digital. Gunakan kata kunci “diperkosa hingga hamil”, paling tidak dalam kurun waktu 1 Januari – 24 Maret 2024. Hanya kurang dari tiga bulan, terdapat 12 kasus perkosaan dengan korban hamil, dimana hanya satu korban saja yang bukan anak. Enam korban (50%) diperkosa oleh kerabat keluarga mulai dari ayah kandung, ayah tiri, kakak, kakak ipar hingga paman. Bagaimana mungkin kita membebankan anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh orang terdekatnya, untuk melanjutkan kehamilan dan mengasuh anak hasil kekerasan?

Jika pemerintah mau menyediakan layanan aborsi aman untuk korban kekerasan seksual, cara sederhana dengan menyediakan akses obat sudah sepatutnya bisa dilakukan sebagai wujud “hadirnya negara”. Tak perlu sampai seperti kasus M. Ia dan orang tuanya secara terbuka mengajukan permohonan aborsi kepada otoritas,  akan tetapi secara kontradiktif justru ditolak permohonannya. Padahal, kehamilannya saat itu kurang dari delapan minggu yang aborsinya bisa ditangani dengan obat dan aman di pusat pelayanan medis milik pemerintah yang ada dan diawasi oleh pemerintah. Karenanya, negara bukah hanya perlu membiarkan ruang kebebasan bagi masyarakatnya untuk melakukan aborsi akibat faktor demikian, namun juga idealnya memberikan fasilitas medis yang aman berupa “layanan aborsi” yang legal dan sah secara hukum.

PEMBAHASAN:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 28 TAHUN 2024

TENTANG

PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2023 TENTANG KESEHATAN

Pasal 115

(1) Setiap Orang berhak menerima pelayanan dan pemulihan Kesehatan akibat tindak pidana kekerasan seksual.

(21 Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual juga berhak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 116

Setiap Orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana.

Pasal 117

Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 meliputi:

a. kehamilan yang mengancam nyawa dan Kesehatan ibu; dan/atau

b. kondisi Kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak memungkinkan hidup diluar kandungan.

Pasal 118

Kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dibuktikan dengan:

a. surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan; dan

b. keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.

Pasal 119

(1) Pelayanan aborsi yang diperbolehkan hanya dapat dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut yang memenuhi Sumber Daya Kesehatan sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri.

(2) Pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan dibantu oleh Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.

Pasal 120

(1) Pelayanan aborsi diberikan oleh tim pertimbangan dan dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

(2) Tim pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan pertimbangan dan keputusan dalam melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain.

(3) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain.

Pasal 121

(1) Tim pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) dibentuk oleh pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut untuk pelayanan aborsi.

(21 Tim pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh komite medik Rumah Sakit dengan paling sedikit 1 (satu) anggota Tenaga Medis yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

(3) Dokter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (3) dalam melakukan pelayanan aborsi dibantu oleh Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

(4) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan anggota tim pertimbangan.

(5) Dalam hal di daerah tertentu tim pertimbangan tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menjadi anggota tim pertimbangan.

Pasal 122

(1) Pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan atas persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban tindak pidana perkosaan.

(2) Pengecualian persetujuan suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.

(3) Dalam hal pelaksanaan pelayanan aborsi dilakukan pada orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan, persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga lainnya.

[Penjelasan Resmi Ayat (3) : “Orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan dalam ketentuan ini antara lain anak dan penyandang disabilitas mental dan intelektual. Yang dimaksud dengan "keluarga lainnya" adalah keluarga yang sedarah maupun keluarga yang tidak sedarah selain suami.]

Pasal 123

Dalam pelayanan aborsi harus diberikan pendampingan dan konseling sebelum dan setelah aborsi, yang dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan/atau tenaga lainnya.

Pasal 124

(1) Dalam hal korban tindak pidana perkosaan dan/atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan memutuskan untuk membatalkan keinginan melakukan aborsi setelah mendapatkan pendampingan dan konseling, korban diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.

(2) Anak yang dilahirkan dari ibu korban tindak pidana perkosaan dan/atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan berhak diasuh oleh ibu dan/atau keluarganya.

(3) Dalam hal ibu dan/atau keluarga tidak dapat melakukan pengasuhan, anak dapat diasuh oleh lembaga asuhan anak atau menjadi anak yang dipelihara oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.