Cinta Produk Dalam Negeri, namun yang Diuntungkan ialah Investor Asing “Padat Modal” alih-alih “Padat Karya”
Teknologi Robotik Berbasis AI telah
Menjungkir-Balikkan Paradigma Klasik yang telah Usang
Para era saat kini, ideologi negara tampak tidak lagi dijunjung tinggi oleh masing-masing negara di dunia. Tengoklah Negara China dan Amerika Serikat yang saat ini sedang mematikan perekonomian rakyatnya sendiri dengan diproduksinya secara massal robot-robot pekerja humanoid super canggih (baca : tenaga kerja robot) yang mampu menggantikan “tenaga kerja manusia”, alias perlahan namun pasti mematikan lapangan pekerjaan bagi anak bangsa mereka sendiri, “tancap gas” menuju era di mana “tenaga kerja manusia” tergantikan sepenuhnya oleh “tenaga kerja robotik berbasis Artificial Intelligence (AI)”. Industri manufaktur robotik dan AI di kedua negara tersebut, begitu eksponensial dan sekaligus ambisius, melibatkan modal yang sangat besar dan mampu mencetak angka produksi dan penjualan yang fantastis bila tidak dapat disebut sebagai “mengerikan”. Perekonomian negara tersebut, bukan lagi sosialisme, namun pragmatisme dan kapitalisme tulen.
Bagai tidak menyadari potensi
bahaya dibalik kemajuan teknologi robotik berbasis AI, kedua negara tersebut
saling berlomba-lomba menciptakan “tenaga kerja robotik” maupun humanoid yang
begitu mendekati atau menyerupai “tenaga kerja manusia”, bahkan telah mampu
melampaui kemampuan manusia yang sesungguhnya dalam beberapa aspek, membuat
daya tawar “tenaga kerja manusia” mulai merosot secara menukik drastis dan anjlok.
Disrupsi dan kemajuan pesat AI yang hanya berbasis perangkat lunak saja, dewasa
ini terbukti sudah mampu membuat banyak profesi maupun lapangan pekerjaan
terancam hilang (tergantikan), terlebih ketika perangkat keras berupa teknologi
robotik dikawinkan dengan perangkat lunak berupa AI (generatif dan “machine
learning”) super cerdas, jadilah umat manusia benar-benar terancam punah—kehilangan
pekerjaan, maka perlahan namun pasti akan mati karena kelaparan tanpa dapat mengakses
sumber nafkah. Kedua negara yang disinggung diatas, berlomba-lomba mematikan perekonomian
bangsa mereka sendiri.
Kabar buruknya, para produsen
robotik berbasis AI dari kedua negara tersebut selain mematikan perekonomian
bangsanya sendiri dengan menggantikan “tenaga kerja manusia” mulai dari profesi
koki di restoran, pramusaji, petugas customer service, hingga seluruh
proses produksi di pabrik yang terotomatisasi berskala massal, mereka juga berekspansi
menjadi pengusaha eksportir yang mengekspor robot-robot canggih produksi mereka
ke negara-negara lain. Potensi nyata ancaman inilah yang tidak mampu disadari oleh
pembuat kebijakan di negeri kita, yang masih membuka lebar-lebar “karpet merah”
bagi investor asing maupun “tenaga kerja robotik asing” masuk dan menginjakkan kakinya
erat-erat sebelum kemudian menghisap sumber daya ekonomi bangsa yang diinvasi
olehnya, bangsa mana tidak menyadari telah dijadikan “inang” alias “sapi
perahan”.
Kini, kita masuk pada pokok pikiran
utama ulasan penulis pada kesempatan ini, yakni dapat menjadi begitu ambigunya
definisi “Made in Indonesia”—kerancuan atau ambivalensi mana, tidak pernah
kita jumpai ketika teknologi AI maupun robotik canggih belum diperkenalkan ke dunia
ini. Bila kita memakai perspektif usang yang klasik, “Made in Indonesia”
bermakna : tidak perduli kewarganegaraan pemodal ataupun sumber dana, modal
mana ditanam di teritori Indonesia, menggunakan bahan baku dari dalam negeri,
serta menggunakan tenaga kerja lokal sebagai faktor produksi. Namun, sebagaimana
kita ketahui bahwa tren atau kecenderungan kontemporer industri dewasa ini
ialah lebih mengutamakan pendekatan “padat modal” alih-alih “padat karya”.
Konsekuensi dari sifatnya yang “padat
modal” alih-alih “padat karya” ialah, minimnya serapan “tenaga kerja manusia”
berhubung atau mengingat lapangan pekerjaan yang dibuka olehnya sangatlah minim
dan terbatas, mengingat pihak investor pemilik modal asing membawa serta
teknologi-teknologi robotik berbasis AI berwujud “tenaga kerja robotik asing” sebagai
substitusi alias sebagai pengganti “tenaga kerja manusia lokal”. Itulah
sebabnya, setiap tahunnya otoritas yang berwenang dibidang penanaman modal di Indonesia
mengklaim bahwa realisasi masuknya investasi asing selalu mencetak prestasi
gemilang dengan masuk derasnya modal-modal asing, namun ironisnya berbagai kawasan
industri kian menyerupai “kota mati” mengingat tiada lagi “tenaga kerja manusia”—mereka
semua telah tergantikan dan digantikan oleh “tenaga kerja robotik asing”.
Fenomena demikian lebih kentara
ketika kita mengamati investor asing yang mengakuisisi perusahaan lokal di Indonesia,
mereka akan melakukan apa yang disebut sebagai “rasionalisasi” tenaga kerja pada
perusahaan yang mereka akuisisi, dengan terlebih dahulu melakukan
restrukturisasi “tenaga kerja manusia” sebagai prioritasnya, dengan cara
melakukan PHK massal sebelum kemudian menggantikan mereka dengan importasi berupa
mesin-mesin otomatisasi yang diklaim oleh para investor asing tersebut sebagai “suntikan
modal berwujud inbreng” itu sendiri. Alhasil, masuknya investor asing justru
mematikan dan menutup lapangan pekerjaan yang selama ini ada alih-alih membuka
lapangan pekerjaan baru.
Ketika suatu pabrik, meski
didirikan di Indonesia, namun modal dimiliki oleh pemodal asing, menggunakan
bahan baku dari luar negeri, faktor produksinya berupa robot-robot asing (“tenaga
kerja robotik asing”), lalu hasil produksinya diberi label “Made in
Indonesia” pada kemasannya, maka kita patut mempertanyakan otentisitas atau
originalitas label “Made in Indonesia” produk-produk semacam demikian,
akibat sifatnya yang meragukan, yakni tidak murni dimana satu-satunya faktor
yang membuat ia memiliki relevansinya dengan Indonesia ialah produksinya
dilakukan di Indonesia dan dipasarkan juga di Indonesia—akan tetapi tanpa melibatkan
unsur / elemen “tenaga kerja manusia Indonesia”.
Lalu, sebagai efek dominonya,
apa yang kemudian terjadi ialah produk-produk “tidak murni Indonesia” tersebut
berkompetisi dengan produk-produk yang diproduksi oleh pengusaha lokal dalam
negeri, dengan sama-sama memproduksi dan memasarkan produk yang homogen dengan
label “Made in Indonesia” pada kemasannya. Akan tetapi, pihak produsen
berlatar-belakang investasi asing, menyerupai “predatory pricing” akibat
efesiensi yang mampu ia capai berkat “tenaga kerja robotik asing” yang ia
miliki di berbagai pabriknya, mulai dari proses hulu hingga proses hilir. Mereka
tidak perlu melakukan praktik dumping, karena mampu memangkas faktor produksi
berupa menggantikan “tenaga kerja manusia” dengan “tenaga kerja robotik berbasis
AI”. Pada gilirannya, pelaku usaha dalam negeri kalah bersaing, lalu gulung tikar.
Pasar pun kemudian didominasi peredaran produk-produk yang tidak murni “Made
in Indonesia” demikian.
Selanjutnya, pihak pemerintah
pusat maupun daerah, yang mana kebijakan pengadaan barangnya masih berorientasi
pada “dahulukan produk dalam negeri” serta masih juga menggaungkan slogan “cintai
produk dalam negeri”, tanpa menyadari ketidak-murnian produk-produk “Made in
Indonesia” yang dicemari unsur / anasir asing demikian, akan lebih memilih
membeli produk-produk tersebut sekalipun lebih mahal daripada produk-produk serupa
yang diimportasi dari luar negeri. Itulah, ketika penyelenggara negara kita “dibutakan”
oleh label “Made in Indonesia”, berasumsi bahwa pemerintah telah
bersikap patriotik dan nasionalis ketika membeli produk-produk “Made in
Indonesia”, tanpa menyadari mereka telah dimanipulasi dan dieksploitasi
oleh para investor asing.
Fenomena demikian diakibatkan oleh
perspektif ketinggalan zaman bahwa membeli “produk dalam negeri” selalu identik
dengan meningkatkan / membuka lapangan pekerjaan bagi anak bangsa. Faktanya,
angka pengangguran di Indonesia justru meningkat, pemutusan hubungan kerja kian
menjadi-jadi dan tidak lagi terbendung, sehingga antara investasi asing yang
masuk tidak saling linear dengan angka pertumbuhan lapangan pekerjaan—yang
terjadi justru sebaliknya, persis dengan fenomena tingginya angka pengangguran
baru di Amerika Serikat dan di China.
Pada gilirannya, tidak terjadi “perputaran
uang” di dalam negeri, mengingat sumber daya ekonomi berpusat pada korporasi
asing yang notabene investor asing. Muaranya, jelas dan klise, terjadi praktik “transfer
pricing” alias “profit shifting” yang memiskinkan negara, dimana terjadi
aliran dana keluar negeri (patriasi dana) hasil keuntungan usaha berbagai PT.
PMA (perusahaan penanam modal asing) berlomba-lomba bermodus-ria membuat
laporan keuangan “MERUGI” untuk setiap tahunnya, sementara disaat bersamaan
semakin tergiur mencengkramkan taring dan kukunya di Bumi Pertiwi secara
berlama-lama (klaimnya “merugi” namun justru kian “bercokol”), sebagaimana
penulis pernah melakukan audit investigasi terhadap sebuah PT. PMA di Indonesia
beberapa tahun lampau—itu fenomena klasik yang bahkan sudah eksis dalam praktik
jauh sebelum era AI dan robotik meledak seperti sekarang ini.
Pada akhirnya, tiada kontribusi
nyata dari para investor asing di Indonesia, mereka hanya menjadi “drakula
penghisap” yang haus akan sumber daya ekonomi di Indonesia, niat mereka tidak pernah
murni untuk memajukan perekonomian di Indonesia. Lupakan soal “transfer of
knowledge”—mereka, para investor asing tersebut, tahu betul bahwa tingkat
rata-rata IQ bangsa Indonesia tergolong paling “bontot” di Asia. Tidak ada
pengusaha yang sebaik dan sebodoh itu mau membagi penguasaan teknologi tinggi
yang mereka miliki. Produk yang kita lihat di pasaran, bisa jadi “Made in
Indonesia”, namun belum tentu pemilik usaha / produsennya ialah sesama anak
bangsa.
Sekalipun produsennya adalah
WNI (Warga Negara Indonesia), bisa jadi mereka pun tidaklah se-nasionalis yang Anda
bayangkan atau asumsikan—bisa jadi mereka pun telah mengimpor “tenaga kerja robotik
asing” untuk menggantikan / mensubstitusikan “tenaga kerja manusia”, sehingga
tetap saja terjadi pemusatan kekayaan, dimana si kaya semakin kaya dan si
miskin semakin miskin, kesenjangan ekonomi mana kian lebar dimana pemikiran
Marx perihal utopia proletar tidak lagi memiliki fondasi pijakan relevansinya. Anda
pun dipaksa untuk mengakui, bahwa “Tuhan sudah lama tertidur”, suka atau tidak
suka mengakui realita sebagaimana adanya. Singkat kata, bukan soal “Made in
Indonesia” ataukah “Made in Erupe / China / USA”, namun apakah
produk yang kita jumpai di pasaran adalah murni hasil produksi “padat karya”
dalam negeri, dan pastinya akan lebih mahal harga jualnya karena masih “manual”
proses produksinya. Anda, pilih yang mana?
© Hak Cipta HERY
SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.