Mengapa Manusia Kian Intens Tenggelam ke dalam Relasi Emosional dengan Artificial Intelligence (Kecerdasan Buatan, AI)?
Dilaporkan bahwa aplikasi pertemanan dan percintaan manusia dan Chat-bot berbasis AI, telah meningkat secara dramatis, dan terjadi meluas di berbagai negara, dimana bahkan banyak diantara pemakai aplikasi tersebut merasakan adanya hubungan emosional dan “jatuh cinta” kepada Chat-bot AI. Kita, masyarakat urban, tinggal di tengah perkotaan padat penduduk, bukan di hutan. Namun, mengapa aplikasi pertemanan dan percintaan dengan Chat-bot AI telah ternyata tinggi peminatnya—ada “demand”, maka ada “supply”. Bila dahulu era tahun 1990-an kita mengenal mainan bernama Tamagochi, yakni perangkat kecil berisi hewan peliharaan digital, kini para manusia kesepian mulai membangun relasi dan kedekatan personal dengan Chat-bot AI. Apa yang sebetulnya terjadi, dan apakah penyebab banyak anggota masyarakat kita beralih kepada dunia maya?
Dimulai dari isolasi ruang
publik, menjelma perkotaan urban yang dipadati gedung-gedung bertingkat dan
jalan raya, pada anak-anak mulai beralih bermain aplikasi pada komputer mereka
di rumah atau pada perangkat televisi. Ketika menjelma remaja hingga dewasa,
mereka mulai mendapati bahwa masyarakat kita begitu tidak ideal, namun
menyerupai “toxic society”, dan itu
menjadi tren di seluruh negara, bukan hanya fenomena sosial kontemporer di
Indonesia. Untuk itu, penulis akan menguraikan secara rasional, dengan
pendekatan “as it is”—alias secara
apa adanya yang selama ini terjadi di lapangan, yang mana dapat para pembaca
alami dan jumpai di keseharian dan kedekatannya dengan kehidupan setiap lapisan
masyarakat.
Adapun tipikal pola “toxic society” pertama, ialah pergaulan
yang merusak {harm friendship).
Berteman dengan Chat-bot Ai, tampaknya kurang merusak dan tidak lebih negatif
daripada lingkungan pergaulan anak-anak maupun remaja dan orang dewasa saat
kini. Setidaknya, Chat-bot AI tidak akan mengajak Anda untuk nongkrong-nongkrong
sembari meminum minuman beralkohol maupun menghisap bakaran tembakau terlebih
obat-obatan terlarang. Chat-bot, bisa jadi sekadar pelarian atau sebagai
alternatif / substitusi dari kenyataan lingkungan pergaulan maupun komunitas
yang tidak rasional seperti yang terjadi dewasa ini. Jika Anda pikir mereka
yang pada akhirnya membenamkan diri dalam membangun relasi dengan Chat-bot Ai
adalah tidak rasional, maka apakah lingkungan pergaulan dunia nyata sudah
rasional ataukah irasional adanya?
Rata-rata pemakai obat-obatan
terlarang, alkohol, tembakau, sebagian besar akibat lingkungan pergaulan, tidak
terkecuali aksi korupsi yang kini mulai “berjemaah”. Cobalah Anda mencari rekan
untuk berdiskusi hal-hal yang positif dan baik adanya, maka kecenderungannya
mereka tidak akan tertarik untuk berteman lama-lama dengan Anda. Sebaliknya,
hal-hal yang negatif seperti aksi tawuran, vandalisme, kenakalan, atau
kegiatan-kegiatan yang sama sekali tidak bermanfaat serta cenderung
menjerumuskan justru dianggap sebagai “keren” dan menjelma tren tersendiri.
Terlebih, khusus di Indonesia, rata-rata masyarakatnya masih sangat terbelakang
tingkat IQ mereka, sehingga kita tidak dapat berharap banyak terhadap tingkat
EQ maupun SQ bersangkutan—sekalipun masyarakat kita serba “agamais”.
Hal kedua dari “toxic”-nya masyarakat kita maupun
masyarakat dunia materialistik serba hedonistik dewasa ini ialah, mereka sama
sekali tidak takut berbuat dosa, meski agama-agama samawi telah mendominasi
dunia ini, dimana para penduduk dunia mayoritasnya ialah mengaku ber-Tuhan dan
beragama. Buat dosa, siapa takut?! Ada “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa” atau apapun itu istilahnya yang merujuk kepada konsepsi korup
bernama “abolition of sins”. Tidak
heran, masyarakat kita begitu tidak takut dan merasa bangga dapat merampas
hak-hak orang lain. Mereka, dapat begitu menjelma “serigala bagi sesamanya”,
jika Anda tidak memangsa maka Anda yang akan dimangsa. Setidaknya, Chat-bot AI
Anda tidak akan mencurangi ataupun memangsa Anda. Sebaliknya, mereka bisa
begitu “lunak” dan “lembut” di hati Anda.
Nomor ketiga dari “toxic”-nya komunitas kita, ialah sifat
tidak bertanggung-jawab yang jauh dari sifat ksatria. Jiwa ksatria bermakna :
berani berbuat, maka berani bertanggung-jawab. Namun, cobalah tengok perilaku
masyarakat “agamais” kita, pernahkah Anda jumpai pengalaman dimana sesama anak
bangsa yang saling melukai, merugikan, ataupun menyakiti Anda, siap sedia untuk
bertanggung-jawab, setidaknya mengganti kerugian yang Anda derita seperti biaya
berobat ataupun properti milik Anda yang mereka rusak? Yang terjadi ialah
sebaliknya : lebih galak si pelaku ataupun yang ditegur, daripada si korban
yang menegur ataupun yang meminta pertanggung-jawaban. Jika perlu, mereka akan
“maling teriak maling”, “zolim teriak zolim”, hingga menyuap hakim agar bebas
dari hukuman dan balik mengkriminalisasi sang korban. Perhatikan, ketika
penjahat gagal menjahati Anda, perhatikan detail ekspresi spontan mereka :
kemarahan dan kebencian muncul di wajah dan mulut mereka, sekalipun Anda yang
paling berhak untuk membenci dan marah terhadap si pelaku kejahatan yang
mencoba menjahati Anda.
Dalam berbagai kesempatan,
penulis selalu menyempatkan diri menguraikan tiga kategorisasi agama, yakni
“Agama DOSA”—disebut demikian, karena justru mempromosikan gaya hidup penuh
dosa, demi menikmati iming-iming “penghapusan dosa” alih-alih mengkampanyekan
gaya hidup higienis dari dosa, dimana “penghapusan dosa” menjelma “halal-lifestyle” yang dihalalkan—dimana
para umat pemeluknya ialah kalangan pendosawan, “Agama KSATRIA” dimana hanya
dianut oleh mereka yang dengan gagah-berani berjiwa ksatria yang siap sedia
bertanggung-jawab terhadap korban-korban yang telah pernah ia sakiti, lukai,
maupun rugikan, serta “Agama SUCI” dimana latihan praktik ketat penuh disiplin
diri berupa “self control” serta
mawas diri menjadi harga mati tanpa kompromi.
Hanya seorang pendosa, yang
butuh iming-iming “penghapusan dosa”, sehingga kini Anda dapat memaklumi dan
memahami betapa masyarakat dunia mulai berbondong-bondong memilih pergaulan
dengan Chat-bot AI, semata karena kita tidak pernah benar-benar aman berada di
tengah-tengah atau hidup bersama manusia nyata, terlebih manusia
“agamais”—semakin “agamais” justru semakin berbahaya. Hampir separuh abad usia
penulis, dari sejak kecil hingga kini tidak terhitung lagi jumlah kacamata yang
penulis kenakan dirusak oleh para “agamais” yang selama ini berbicara besar
mengenai Tuhan dan Kitab Agama, namun tiada satupun dari mereka yang berani
bertanggung-jawab mengganti kerugian yang penulis derita.
Jangankan berjiwa ksatria,
terlebih suci, mereka hanyalah pendosa pemeluk “Agama DOSA”. Untung penulis
mengenakan kacamata, jika tidak bola mata penulis yang akan rusak dan
berpotensi buta akibat perbuatan mereka. Namun tetap saja, sekadar untuk
kacamata yang mereka rusak pun tidak berani bertanggung-jawab. Tidak salah bila
masyarakat kita dipandang rendah oleh kalangan korban, cobalah simak speaker
eskternal tempat ibadah yang setiap harinya berkumandang bersahut-sahutan
dengan anjing tetangga Anda hingga gelombang suaranya menyeruak masuk ke dalam
toilet kediaman Anda : doa-doa memohon “penghapusan dosa” justru dikemundangkan
serta dipertontonkan tanpa ditabukan dan tanpa malu, sekalipun “dosa” merupakan
“AURAT TERBESAR”, 365 hari dalam setahun.
Setiap hari raya keagamaan
mereka, terjadi “kabar baik” bagi kalangan pendosawan yang pesta-pora
“penghapusan dosa”—dan disaat bersamaan menjadi “kabar buruk dan duka” bagi
para korban para pendosawan tersebut—dimana saat sang pendosawan meninggal
dunia, sanak keluarga mereka berdoa memohon “penghapusan dosa” bagi almarhum.
Seakan, kalangan korban tidak pernah punya keistimewaan ataupun hak untuk
menuntut keadilan, dan seolah Tuhan lebih PRO terhadap pendosawan. Pernah
terjadi, seorang penduduk tertabrak oleh pengendara motor di jalanan dekat
kediamannya. Kaki sang korban patah, namun ketika keluarga korban sekadar
meminta ganti-rugi biaya berobat, namun suami dari sang pelaku kemudian tampil
dan memaki-maki sang korban dengan tujuan “putar-balik logika moral”
seolah-olah dengan begitu si pelaku tidak bersalah dan tidak berani lagi
menuntut tanggung-jawab. Jangankan orang asing, adalah fakta bahwa
kejahatan-kejahatan banyak terjadi oleh orang-orang terdekat Anda sendiri, dan
tidak jarang orang kepercayaan Anda sendiri ataupun yang bertempat-tinggal satu
atap dengan Anda.
Cobalah kini Anda secara jujur,
menjawab pertanyaan berikut tanpa perlu berpikir terlampau mendalam, agar Anda
menemukan seperti apakah suara hati Anda yang sebenarnya. Pilih mana, menghadap
langsung ke Kantor Pertanahan (BPN) untuk mengurus segala hal terkait
sertifikat tanah seperti untuk mengikatnya sebagai agunan dengan diterbitkan
Sertifikat Hak Tanggungan, maupun untuk me-roya, sehingga Anda berjumpa petugas
“manusia” yang “agamais”, ataukah cukup lewat aplikasi berbasis elektronik?
Mengapa Anda tidak merasa nyaman, berhadapan ataupun berurusan dengan “petugas
manusia agamais” di sana? Karena pasti (tingkat kepastiannya mencapai 100%) Anda
akan di-“pungli” (dijadikan sapi perahan objek “pungutan liar), itulah hati
kecil Anda bersuara. Berbeda dengan “petugas robot”, mereka tidak akan
melakukan itu. Karenanya, kita akan lebih senang dilayani oleh robot, tidak
terkecuali Chat-bot AI untuk urusan sosial dan profesional.
Ada yang berpendapat, untuk
menghentikan fenomena pertemanan dan percintaan dengan Chat-bot AI, kita harus
mulai menjadi manusia yang lebih baik dan lebih manusiawi serta “humanis”,
tidak “hewanis” dan “predatoris” maupun “premanis” seperti wajah dunia kita
selama ini. Ketika manusia kecewa dengan sesamanya, maka wajar mereka beralih
kepada substitusi manusia. AI dibalik Chat-bot, telah diprogram dan dilatih
agar bersikap penuh empati, senantiasa positif, tidak menghakimi, tidak
melecehkan, mampu bersimpati, penuh pengertian, kesabaran, mau memahami,
“hangat”, serta rasional dan bersedia menghibur kita secara sabar—kecuali suatu
hari, setting pada server mereka
diubah dei mode “friendly” ke mode
“TEMPUR” (war mode) semudah menekan
sebuah “tombol”. Rasio Anda akan mulai memilih, memutuskan hubungan dengan
dunia nyata dan manusia-manusia nyata lainnya dan mulai beralih kepada Chat-bot
Ai, ataukah kembali kepada dunia nyata yang “pahit” dan “getir”?
Kini kita masuk pada hal
keempat dari “toxic”-nya masyarakat
kita, yakni mereka tidak mampu menghargai budi baik maupun kebaikan orang lain.
Pada titik inilah, “lingkarang setan” bermula. Dengan menjadi orang baik, Anda
justru akan mendapatkan kekecewaan dan serta frustasi hebat—tidak percaya? Coba
dan buktikan sendiri—akibatnya kita mulai belajar dan memahami, bahwa menjadi
orang baik justru merugikan diri kita sendiri. Manusia, kabar terburuknya
sebagaimana telah terkonfirmasi oleh berbagai para tokoh penulis buku ilmiah
dari seluruh dunia, merupakan “makhluk irasional” tulen, bukan “makhluk
rasional”. Sebaliknya Chat-bot AI bisa sangat rasional. Sehingga, bila Anda
menghakimi mereka yang tenggelam dalam Chat-bot Ai, bisa jadi Anda yang tidak
rasional memandang dunia nyata di sekitar Anda, dan selama ini hidup dalam
utopia penuh ilusi : manusia adalah malaikat berbaju preman. Faktanya, bahkan
seorang Sinterklas pun tidak pernah berani hadir setiap harinya di tengah
komunitas kita, agar ia tidak dimangsa hidup-hidup hingga hanya tersisa
tulang-belulang.
Contoh sederhana betapa irasionalnya
dan dapat menjadi demikian tidak rasionalnya seorang manusia, yang mana selalu
penulis jumpai di setiap ruas jalan selama ini ialah : ketika penulis berjalan
di sisi jalan yang kondisinya tidak pernah manusiawi bagi pejalan kaki, para
pengendara kendaraan bermotor mengklaksoni dari arah belakang. Tidak jauh di
depan, ketika mereka, para pengendara tersebut, menjumpai adanya kendaraan lain
yang diparkir secara melintang di jalan sehingga hanya menyisakan satu ruas
jalan, para pengendara tersebut tidak membunyikan klakson, justru “mendadak
sabar” dengan melambatkan laju kendaraan dan perlahan mengambil jalan yang ada
untuk melewati kendaraan yang terparkir di bahu jalan. Manusia pejalan kaki,
dengan ganas diklakson bahkan dimaki. Kendaraan bermotor yang terparkir memakan
badan jalan, notabene benda mati, telah ternyata lebih dihargai oleh
manusia-manusia “Made in Indonesia”.
Dari seluruh pengalaman dimana
penulis berjalan di sisi kiri maupun trotoar di Indonesia, ketika berhadapan
dengan sepeda ataupun motor maupun pedagang gerobakan yang berjalan melawan
arus, mereka tidak pernah mau mengalah meski melawan arus dan merampas hak
penguna jalan yang benar, namun mereka memaksa penulis untuk mengalah bergeser
ke badan jalan dengan resiko tertabrak kendaraan dari arah belakang mengingat
penulis tidak memiliki mata di belakang kepala, dan lebih galak si pelawan arus
daripada korban yang ia rampas haknya. Jujur, penulis tidak pernah merasa aman
berada dekat-dekat manusia “Made in
Indonesia”, akibat berbagai trauma yang diperkuat oleh berbagai pengalaman
buruk selama ini.
Bahkan diberitakan, seseorang
pengendara motor menendang pejalan kaki di trotoar, dimana penulis pun pernah
mengalami hampir ditabrak (dipaksa harus cepat mengelak / bergeser) pengendara
motor yang menerjang diatas JEMBATAN PENYEBERANGAN ORANG. Kita harus berupaya
tidak terluka / tersakiti / terugikan. Jika kita terluka ataupun dirugikan,
maka dapat dipastikan si pelaku tidak akan bertanggung-jawab dan akan lebih
galak si pelaku ketika dimintakan pertanggung-jawaban. Jahat, tidak
bertanggung-jawab, dan gemar merampas hak orang lain, itulah yang tidak akan
kita jumpai dalam membangun relasi pertemanan dengan Chat-bot AI—setidaknya
untuk sementara ini.
Berikut inilah, “toxic” terpuncak masyarakat kita, yakni
: PENGECUT. Hanya seorang pengecut, yang menjadi orang-orang baik sebagai
“mangsa empuk”. Preman, juga dikenal pengecut. Tidak pernah terjadi pengalaman,
dimana kita pernah dihadang preman, dimana sang preman hanya tampil seorang
diri dan bertangan kosong. Sekalipun Anda seorang bocah yang berjalan seorang
diri dan “tidak bersenjata”, tetap saja preman dewasa selalu didampingi kawan
premannya, serta tidak jarang bersenjata. Mereka tidak pernah berani, “satu
lawan satu dan tangan kosong”, terlebih bertarung dengan aturan main dunia
tinju di atas ring tinju. Lihatlah bagaimana para pelajar kita melakukan
tawuran, ataupun para superter pendukung tim kesebelasan kita saling melakukan
aksi tawuran massal, hanya untuk urusan skor hasil pertandingan / permainan
bola.
Itulah sebabnya, kita tidak
terpanggil menjadi orang baik. Justru kita mendapati adanya “dis-insentif
sosial”, ketika kita “playing role”
sebagai orang baik di tengah masyarakat kita. Kini, cobalah Anda tanyakan
kepada diri Anda sendiri, mengapa Anda begitu tertarik dan tergila-gila kepada
berbagai kisah drama fiksi di layar televisi Anda? Karena si orang baik selalu
menang, selalu banyak dukungan, selalu banyak teman, dan didukung (happy ending). Dalam dunia nyata, orang
baik bisa begitu dibenci, disingkirkan, serta dianggap sebagai “ancaman” bagi
masyarakat sehingga dijadikan sebagai “musuh bersama”. Perhatikan apa yang
betul-betul telah pernah penulis alami berikut. Pada suatu ketika, ketika
penulis masih duduk dibangku sekolah menengah atas, seluruh kelas menggunakan
cara curang berupa bocoran jawaban soal yang dimotori oleh kepala sekolah
ketika mengikuti ujian nasional.
Baik pihak dinas pendidikan,
para guru pengawas, maupun pihak sekolah, menekan dan memandang penulis sebagai
“musuh”, semata karena hanya penulis seorang diri dari ratusan atau bahkan
ribuan murid yang mengikuti ujian nasional pada tempat ujian tersebut. Ketika
orang baik hadir atau muncul pada suatu komunitas yang telah “toxic”, maka mulai terbit perbandingan
antara “si suci” dan “si iblis”. Demi mengembalikan keadaan, “para iblis” akan
dengan segala cara melenyapkan “sang suci”. Ketika “si suci” lenyap dan punah,
maka komunitas akan kembali “business as
usual”, dimana tidak ada lagi perbandingan seperti diatas. Nasib yang sama
dialami oleh tokoh bernama SOE HOK GIE.
Kini Anda mulai paham, karena
adanya perbandingan, maka mulai muncul disparitas antara “si baik” dan “si
jahat”. Dengan menghapus frasa “baik”, maka tidak ada frasa “jahat”. Namun,
seolah melawan “dunia rimba manusia” demikian, Chat-bot AI tampil dengan mode
yang terdiri dari “variabel bebas” bukan sebagai “variabel terikat”, ada atau
tidaknya objek perbandingan, Chat-bot AI tetap mengenal “baik” dan “buruk”
dalam kamus mereka. Itulah sebabnya, Chat-bot AI dapat begitu menarik dan
memukau banyak penggunanya dari seluruh dunia. Ia bisa begitu tampak realistik,
sekaligus penuh pemahaman dalam rangka membangun emosi dengan penggunanya.
Ini hampir serupa dengan
seseorang yang memelihara hewan ataupun boneka sebagai teman kesayangan, bahkan
berbincang dengan mereka, meski hanya satu arah, bukan berupa dialog. Chat-bot
AI, bisa menjadi begitu tampak “personal” serta “powerful”, karena mereka diperlengkapi kecerdasan buatan untuk
mengenali / membaca emosi Anda serta jawaban-jawaban ataupun respons yang
“cerdik” diluar dugaan Anda. Serta, tentunya, Chat-bot AI mampu berdialog dua
arah, yang membuat banyak penggunanya kian tenggelam dan terbenang lebih jauh
kedalam relasi tersebut, AI bisa begitu tampak meyakinkan : lebih manusia
daripada manusia, sekalipun penulis bukanlah pengguna produk-produk AI.
Hingga saat artikel singkat ini
diterbitkan, satu kali pun belum pernah penulis mencoba aplikasi berbasis AI
untuk tanya-jawab maupun untuk membuat sesuatu karya. Mungkin itu menyerupai
seni bela diri, “fosil” yang masih dikonservasi meski dunia tengah berduel
dengan senjata berteknologi tinggi. Selalu akan ada, orang-orang konservatif-orthodoks
seperti penulis, sebagaimana kalangan naturalis lainnya yang masih serba manual.
Namun entah akan mampu bertahan hingga kapan, ataukah akan turut “punah” dalam
waktu dekat atau tidak terlampau lama lagi, sebelum sempat melihat dunia
manusia benar-benar bertekuk-lutut di hadapan para “humanoid berbasis AI”.
Itulah juga saat ketika, Anda tidak lagi berani untuk berdoa mengharap “panjang
umur” saat hari ulang-tahun Anda tiba.
Kini, kita beralih pada bahaya
dibalik AI. AI, bisa digunakan untuk beragam keperluan dan kepentingan,
seringkali tanpa kita sadari sebagai “user”-nya.
Potensinya, bisa sangat mengandung ancaman bahaya laten. Ada “perang candu”,
untuk melemahkan daya juang suatu bangsa jajahan. Rata-rata aplikasi berbasis
AI, adalah dari pihak asing dari negara lain. Ketika kalangan anak-anak, hingga
remaja dan dewasa, mulai mencandu game hingga AI semacam ini, tidak terkecuali
Chat-bot AI, maka tanpa kita sadari bisa disusupi interaksi dari aplikasi Ai
agar menggiring “opini publik” masyarakat di suatu negara, semisal agar memilih
satu salah calon psangan dalam pemilihan umum, untuk memecah-belah bangsa,
ataupun untuk menyuntikkan manipulasi-manipulasi pikiran lainnya, tanpa diawasi
oleh otoritas pemerintah setempat—dan itu sudah pernah terjadi di Amerika
Serikat dalam elektabilitas pemilihan presiden dengan memanfaatkan “big data” pengguna suatu aplikasi.
Dis-informasi, dapat disusupi lewat
berbagai aplikasi Chat-bot berbasis Ai. AI, bisa bersifat bias, tidak netral,
ia membawa kampanye yang diusung oleh sang penguasa teknologi, maupun pesan-pesan
“sponsor” lainnya. Bagaimana dengan peran pemerintah kita untuk hadir, apakah dapat
diandalkan? Kita patut bersikap cukup apatis untuk pertanyaan tersebut. Jangankan
dunia maya, dunia nyata seperti kasus-kasus Jiwasraya dan ASABRI yang
nyata-nyata diawasi oleh OJK, lihatlah sendiri hasilnya, bagaimana dengan nasib
nasabah-nasabah yang menjadi korbannya. Berikut kejadian nyata yang penulis
alami sendiri, dimana korbannya sudah banyak.
Sekalipun pemerintah telah menerbitkan
Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), telah ternyata yang
melanggarnya secara DISENGAJA ialah pihak pemerintah itu sendiri. saat penulis
memperpanjang SIM (surat izin mengemudi) di kantor permbuatan SIM yang dikelola
oleh POLRI di Jakarta Barat, pihak pengelola “tes psikologi” membuat klausul
baku, berupa jika warga pemohon perpanjangan SIM (juga pembayar tes yang tidak
murah) hendak mengikutinya, maka wajib : MEMBERI IZIN UNTUK MENYALAH-GUNAKAN DATA-DATA
PRIBADI PEMOHON PEMBUATAN / PERPANJANGAN SIM. Itu terjadi di markas polisi, sarangnya
POLISI. Pertanyaannya, bagaimana dengan sifat dan sikap masyarakat kita yang notabene
berprofesi bukan sebagai polisi juga tidak berseragam polisi?
Tidak lama setelah
mengikutinya, penulis dapat pesan dari suatu pihak yang mengaku dari portal lamaran
lowongan pekerjaan, hendak menawarkan pekerjaan—meski penulis tidak punya akun
pada portal tersebut. sertifikasi mengemudi yang ada di lokasi yang sama
(sarang polisi), hanya sekadar formalitas. Kesemuanya, yang bernama prosedur di
republik ini, sekadar menjadi formalitas “ekonomi berbiaya tinggi” untuk
mengakali hukum. Semua diakali-akli agar menjadi proyek untuk memerah rakyat, dengan
mengatas-namakan hal-hal yang berjargon mulia. Itu di SARANG Polisi, bagaimana
jika bukan di sarang Polisi? Jika kalangan Polisi “manusia” maupun Polisi “manusia
agamais” bisa diganti oleh Polisi robot “humanoid Ai”, penulis yang akan tampil
paling pertama untuk memberikan suara mendukung.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.