Hukuman Seumur Hidup Dikoreksi menjadi Hukuman Pidana
MATI
Alat Bukti PETUNJUK, Notabene Bertentangan dengan Sifat Terbukti Bersalahnya secara MEYAKINKAN
Sering kita jumpai hakim di pengadilan perkara pidana, mengetok palu saat membacakan amar putusannya berupa kalimat “Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinan bersalah sebagaimana dakwaan Penuntut Umum.” Terbukti secara sah, artinya terbukti secara formal sebagaimana minimal dua alat bukti yang diperoleh juga secara sah, menunjuk kepada hidung milik Terdakwa sebagai pelaku kejahatan yang didakwa, dituntut, serta dipidana. Namun, inkonsistensi dalam hukum acara pidana di Indonesia justru terdapat dalam frasa “terbukti secara meyakinkan”, sementara itu Hukum Acara Pidana kita juga mengenal alat bukti berupa “indirect evidence” berupa “circumstantial evidence” maupun alat bukti berupa “petunjuk”.
Timbul pertanyaan logis dibalik
konsepsi “terbukti secara meyakinkan” saat Majelis Hakim di pengadilan menjatuhkan
vonis hukuman berupa pemidanaan, yakni : bukankah “indirect evidences” sebagaimana dapat berupa “circumstantial evidence” maupun “petunjuk”, sifatnya adalah berupa “prasangka”
maupun “asumsi” itu sendiri, yang dalam Hukum Acara Perdata dapat disejajarkan dengan
“persangkaan”? Bila dalam ranah konteks peradilan perkara perdata, pembuktian
cukup secara “formal”, maka alat bukti berupa “persangkaan” mendapatkan landasan
berpijak dan legitimasinya. Namun, Hukum Acara Pidana konon mengadopsi sistem
pembuktian “materiil”, yang bermakna terbukti secara sebenarnya-benarnya dan
tanpa menyisakan keraguan apapun (beyond
reasonable doubt), maka apakah masih relevan alat bukti berupa “indirect evidences” mendapatkan ruang
ataupun tempatnya dalam pembuktian perkara pidana?
Alat bukti berupa “petunjuk”, “persangkaan”,
maupun bukti-bukti “indirect”
lainnya, sejatinya bertopang pada suatu asumsi yang bernama “dugaan” atau “patut
diduga”—artinya, hakim menarik kesimpulan secara “menduga-duga”, alias tetap
menyisakan ruang spekulatif yang kebenarannya tidak mutlak, dimana hakim
sekadar menyisihkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Secara pribadi, penulis
tidak antipati terlebih anti terhadap alat bukti “indirect”, justru sebaliknya, baik dalam perkara perdata maupun perkara
pidana, namun inkonsistensi dalam Hukum Acara Pidana telah lama melahirkan
salah-kaprah baik dari tataran literatur teks-teks ilmu hukum maupun praktik di
peradilan perkara pidana pada khususnya, salah kaprah mana terus di-reduplikasi
dan dibakukan sehingga seolah-olah menjadi teori yang relatif mapan tanpa
banyak tantangan ataupun diskursus, sekalipun sukar dicerna secara akal sehat,
dimana para akademisi lebih banyak mem-beo teori penuh salah-kaprah dimaksud.
Ilustrasi sederhana akan cukup
mewakili dan memudahkan pemahaman para pembaca, ialah dalam kasus tindak pidana
obat-obatan terlarang berikut. Terdakwa dihadapkan ke persidangan, karena
ditangkap dan diamankan pertugas beserta dengan barang bukti sitaan berupa obat-obatan
terlarang golongan satu seberat beribu-ribu gram. Terdakwa di persidangan,
tidak mengakui perbuatannya memiliki dan menguasai adalah dalam rangka
peredaran ilegal obat-obatan terlarang (alat bukti Keterangan Terdakwa patut
diasumsikan “penuh kebohongan”). Namun, berdasarkan asas “the thing speaks of itself” (res ipsa loquitur)—salah satu asas yang sejak
lama telah diakui dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia serta merupakan salah satu
bukti “indirect” lainnya—kita dapat
menarik dugaan bahwa penguasaan Terdakwa atas ribuan gram obat-obatan terlarang
yang disita darinya adalah dalam rangka dimiliki dan dikuasai untuk peredaran
gelap seperti menjadi kurir-perantara, menjadi bandar, atau sebagainya,
berdasarkan penalaran yang wajar.
Alat bukti “petunjuk” ataupun bukti-bukti
“indirect” lainnya, dibutuhkan ketika
alat bukti yang ada dalam proses agenda acara “pembuktian” di persidangan adalah
kurang memadai sifatnya untuk menerbitkan keyakinan pada hakim bahwa sang
Terdakwa adalah benar pelakunya, telah melakukan tindak pidana sebagaimana
dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum), serta memiliki kesalahan yang dapat
dimintakan pertanggung-jawaban secara pidana. Sebaliknya, ketika fakta-fakta persidangan
telah cukup memadai untuk menerbitkan keyakinan di benak hakim pemeriksa dan
pemutus perkara, maka alat bukti “petunjuk” maupun bukti “indirect” lainnya tidak dibutuhkan serta tidak lagi relevan untuk dibahas
ataupun didalami oleh sang hakim lewat sebentuk elaborasi dalam pertimbangan
hukum.
Sekali lagi, penulis tidak
bermaksud menentang alat bukti “tidak langsung” (indirect) demikian, namun penulis hendak mempersoalkan dan
mempermasalahkan pencantuman frasa “meyakinkan” baik dalam Undang-Undang maupun
putusan hakim di pengadilan. Berikut dua pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar hukum utama dalam hukum acara perkara
pidana:
- Pasal 183 KUHAP : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
- Penjelasan Resmi Pasal 183
KUHAP : “Ketentuan ini adalah untuk menjamin
tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang.”
- Pasal 184 KUHAP:
1.) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
2.) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.”
“Meyakinkan”, mensyaratkan
terbuktinya ialah dalam derajat paling maksimum, tanpa menyisakan ruang keraguan
sedikitpun. Namun telah ternyata stelsel pembuktian dalam perkara pidana dalam
praktik di ruang persidangan maupun dalam KUHAP, secara inkonsisten, cukup
memutus seseorang Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana atas dasar alat-alat
bukti dalam derajat paling minimum—sehingga kemudian hakim bertopang
pada alat bukti “petunjuk” maupun bukti-bukti “indirect” lainnya. Ketika hakim sebelum menjatuhkan amar
putusannya, membuat pertimbangan hukum dengan bertopang pada alat bukti “petunjuk”
ataupun bukti-bukti “indirect”, maka
sejatinya keyakinan sang hakim tidak dalam kondisi “yakin-yakin” sekali,
terlebih “yakin mutlak”, namun masih menyisakan ruang dugaan berupa “menduga-duga”.
Sehingga, dengan asas pragmatis yang menyimpangi asas kepastian hukum, maka
bilamana dua buah alat bukti sudah cukup memadai secara formal, maka selebihnya
untuk “meyakinkan secara dipaksakan” cukuplah memakai alat bukti “petunjuk”
maupun bukti-bukti “indirect” yang ada.
Adapun karakteristik sejati dari asas pragmatis, notabene merupakan lawan kata
dari “terbukti secara meyakinan”.
Dalam praktik, istilah “terbukti
secara meyakinan” lebih banyak bernasib sebagai jargon semata. Lebih banyak putusan-putusan
pidana dimana hakim bertopang pada pertimbangan hukum terhadap alat bukti “petunjuk”
maupun bukti-bukti “indirect” yang
ada sebelum kemudian membuat kesimpulan secara pragmatis bahwa benar Terdakwalah
pelakunya, dan bersalah sebagaimana dakwaan Penuntut Umum. Sebaliknya, ketika
seorang hakim hendak bersikap “nakal”, maka ia bisa berlindung dibalik alibi “masih
kurang cukup meyakinkan” bahwa Terdakwa bersalah—sekalipun alat-alat buktinya
sebanyak satu lemari penuh dan sekalipun Keterangan Terdakwa mengakui bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Penuntut Umum.
Pengaturan dalam KUHAP, telah
ternyata inkonsisten dan penuh “standar ganda”. Salah satunya bila para pembaca
cukup cermat, maka ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP sifatnya menegasikan ketentuan
Pasal 183 KUHAP, alias dua proposisi yang saling menegasikan—dimana pasal yang satu
menegaskan bahwa hakim haruslah yakin saat memutus seorang Terdakwa betul
bersalah dan divonis pidana, namun pada pasal yang satu lainnya justru mengatur
alat bukti berupa “petunjuk” yang notabene bersifat “indirect” serta terdapat pula ketentuan dari pasal yang sama menyatakan
: “Hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan”.
Patut juga kita pertanyakan,
bilamana memang terhadap Terdakwa oleh Pengadilan Negeri dinyatakan “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah”, faktanya mengapa
banyak putusan-putusan pengadilan kemudian dianulir dalam tingkat banding, kasasi,
maupun Peninjauan Kembali menjadi “tidak terbukti secara sah dan meyakinan
bersalah”? Akal sehat tidak akan mampu mencerna berubahnya dari semula “terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah” menjelma putusan yang bertolak-belakang
sama sekali, menjadi “tidak terbukti” maupun sebaliknya. Dinyatakan “terbukti secara
sah”, sudah cukup menjadi legitimasi untuk mempidana seorang Terdakwa di
persidangan. Mengapa juga sistem pemidanaan kita perlu bersikap “berlebihan” (over-act) dalam merumuskan putusan seorang
hakim haruslah membuat pernyataan “terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah”, sekalipun sifatnya secara dipaksakan lewat alat bukti berupa “petunjuk”
ataupun bukti-bukti “indirect” yang
berupa “dugaan” (seperti “patut diduga” maupun “diduga kuat”)?
Salah satu ilustrasi
konkretnya, dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Pengadilan
Tinggi Banten register Nomor 67/PID/2012/PT.BTN tanggal 15 Mei 2012, dimana
Terdakwa didakwa karena kepemilikan barang bukti berupa sebungkus plastik berisikan
Kristal warna putih mengandung Metamfetamina dengan berat brutto 6,504 gram,
sehingga didakwa atas dasar “percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana Narkotika dan prekusor Narkotika, tanpa hak atau melawan hukum,
menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I bukan tanaman beratnya melebihi 5
gram” sebagaimana dilarang dan diatur dalam Pasal 114 Ayat (2) jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang–Undang No.
35 Tahun 2009.
Pada mulanya Pengadilan Negeri memutus
“pidana seumur hidup” kepada Terdakwa, dimana kemudian pihak Penuntut Umum mengajukan
upaya hukum banding. Terhadapnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi membuat
pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa setelah
Pengadilan Tinggi mempelajari dengan seksama Putusan Pengadilan Negeri tersebut
beserta berita acara persidangan dan memori banding dari Jaksa Penuntut Umum
maka Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Negeri tersebut
sepanjang mengenai terbuktinya kesalahan Terdakwa sudah tepat dan benar oleh
karena itu dapat diambil alih dan dijadikan sebagai pertimbangan hukum
Pengadilan Tinggi sendiri dalam mengadili perkara ini dalam tingkat banding,
dengan pertimbangan bahwa Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah cukup
mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan sehingga Terdakwa telah
terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan Jaksa Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa selain itu
Putusan Pengadilan Negeri tersebut juga telah tepat dalam merumuskan atau
memberikan kualifikasi mengenai tindak pidana yang telah terbukti tersebut
sebagaimana tercantum di dalam amar putusannya;
“Menimbang, bahwa akan tetapi
mengenai hukuman yang dijatuhkan terhadap Terdakwa perlu diperbaiki karena
jenis hukuman enjara seumur hidup yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri terhadap Terdakwa tidak memberikan efek jera
baik bagi Terdakwa maupun bagi pelaku kejahatan serupa, dengan pertimbangan
sebagai berikut:
- Bahwa kejahatan Narkotika sudah sangat membahayakan kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara karena penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika sudah
menjalar ke seluruh lapisan masyarakat dari tingkat elit sampai ke masyarakat
desa. Narkotika merusak sumber daya manusia sebagai salah satu Modal
Pembangunan Nasional, oleh karena itu penyalahgunaan dan pemberantasan
narkotika harus sungguh-sungguh ditindak tegas oleh para penegak hukum dan
seluruh lapisan masyarakat untuk menyelamatkan Indonesia dari bahaya Narkotika;
- Bahwa peredaran gelap narkotika sudah merupakan Sindikat Perdagangan
Internasional dan adanya dugaan akan menjadikan Indonesia sebagai Pasar Perdagangan
Narkotika yang masih aman bagi pengedar gelap narkotika, terbukti dengan
banyaknya Warga Negara Asing, diantaranya Terdakwa yang datang dan masuk ke Indonesia
dengan membawa narkotika, tertangkap dan diadili di Indonesia, oleh karenanya
pemberantasan narkotika di bumi Indonesia telah menjadi Program Pemerintah yang
termasuk dalam Program Ekstra Ordinary Crime, yaitu Kejahatan yang harus
ditangani dengan cara yang ekstra Ordinary atau luar biasa;
“Menimbang, bahwa Terdakwa
telah tertangkap dengan membawa barang bukti berupa narkotika jenis shabu
dengan berat 6.504 (enam ribu lima ratus empat) gram, suatu jumlah yang
besar yang dapat diduga dan merupakan suatu petunjuk untuk diedarkan
di Indonesia;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan–pertimbangan tersebut di atas maka Putusan Pengadilan Negeri
Tangerang Nomor 1861/Pid.Sus/2011/PN.TNG., tanggal 21 Februari 2012, yang
dimintakan banding tersebut harus diperbaiki yaitu mengenai jenis pidana
penjara yang dijatuhkan kepada Terdakwa menjadi pidana mati sebagaimana yang
akan disebutkan dalam Amar Putusan ini;
“M E N G A D I L I :
- Menerima permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa
tersebut;
- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1861/ Pid.Sus/2011/PN.TNG.,
tanggal 21 Februari 2012 yang dimintakan banding tersebut dengan perbaikan
mengenai jenis pidana penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Mati, sehingga amar
lengkapnya sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa GARETH DANE CASHMORE tersebut terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PERMUFAKATAN
JAHAT TANPA HAK DAN MELAWAN HUKUM MENERIMA NARKOTIKA GOLONGAN I DALAM BENTUK
BUKAN TANAMAN BERATNYA MELEBIHI 5 (LIMA) GRAM”;
2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan Pidana “MATI”;
3. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam Tahanan;
4. Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) bungkusan plastik
berisikan Kristal warna putih mengandung Metamfetamina dengan berat bruto
6.504 (enam ribu lima ratus empat) gram, selanjutnya sisa hasil laboratorium
diperlihatkan di persidangan sebanyak 4,2687 gram;
Dirampas untuk dimusnahkan;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.