Sertifikat Tanah BPN Terbit Sebelum Fisik Tanah Dikuasai, merupakan CACAT PROSEDUR alias Mal-Administrasi terhadap SOP BPN
Question: JIka suatu pihak mengklaim sebagai pemilik sertifikat tanah namun tidak pernah sekalipun menguasai fisik objek tanah yang sudah ditempati oleh keluarga kami turun-temurun, apakah itu tergolong sebagai “sengketa kepemilikan” yang menjadi ranah Pengadilan Negeri ataukah tergolong sebagai “cacat prosedur” penerbitan sertifikat oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan menjadi domain PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)?
Brief Answer: Adapun SOP BPN sejak tahun 2010 hingga saat kini
ialah, pemohon penerbitan sertifikat hak atas tanah diwajibkan mengisi dan
menandatanganni formulir yang berisi pernyataan telah menguasai fisik bidang
tanah yang dimohonkan penerbitan sertifikat maupun peralihan hak atas tanah. Artinya,
bila syarat formal demikian tidak terpenuhi, maka telah nyata-nyata terjadi “cacat
prosedural” penerbitan sertifikat ataupun peralihan hak atas tanah yang
semestinya memang menjadi kompetensi absolut PTUN. Namun, mengingat praktik
peradilan terkait “cacat prosedur” sekalipun masih juga dipandang sebagai ranah
“sengketa kepemilikan”, maka sebaiknya terlebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri.
Bilamana Pengadilan Negeri kemudian mengabulkan
eksepsi pihak Tergugat yang mendalilkan bahwa sengketa terkait objek tanah ini
ialah ranah PTUN, maka jadikan itu sebagai alat bukti “pengakuan” pada saat dikemudian
hari kembali mengajukan gugatan ke PTUN bahwa sengketa terkait tanah ini memang
merupakan domain PTUN, sehingga pihak Tergugat tidak lagi dapat berkelit dengan
melakukan aksi “ping-pong” antara Pengadilan Negeri—PTUN yang berwenang
memeriksa dan memutus perkara.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
bahwa menguasai bidang tanah menjadi syarat formal mutlak sebelum sertifikat hak
atas tanah diterbitkan oleh BPN, dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan
contoh konkretnya sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa terkait tanah register
Nomor 765 K/Pdt/2016 tanggal 19 Juli 2016, dimana gugatan Penggugat dikabulkan
oleh pengadilan, selanjutnya pihak Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi. Terhadapnya
Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak
dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti ternyata putusan Judex Facti tidak
salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Para Penggugat dalam
Konvensi telah memenuhi kewajibannya yaitu membayar lunas harga pembelian obyek
sengketa secara mencicil melalui pemotongan gaji bulanan selama 10 (sepuluh)
tahun, sebaliknya Para Tergugat in casu Tergugat IV sebagai pihak penjual tidak
memenuhi kewajibannya yaitu memproses pelepasan hak, kemudian menyerahkan obyek
jual beli in casu obyek sengketa kepada Para penggugat;
“Bahwa selain itu telah
terbukti pula bahwa Sertifikat Hak Pakai Nomor 5 yang didalamnya termasuk tanah
obyek sengketa baru terbit setelah Para Penggugat / Para
Termohon Kasasi menguasai dan membayar lunas obyek sengketa sehingga adalah
adil bahwa Para Penggugat/Para Termohon Kasasi untuk dapat memiliki obyek jual
beli dalam perkara a quo;
“Bahwa alasan-alasan kasasi
selebihnya bersifat pengulangan dari apa yang telah disampaikan dalam
persidangan Judex Facti dan telah dipertimbangkan dengan baik dan benar oleh
Pengadilan Tinggi Surabaya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang
diajukan oleh Para Pemohon Kasasi tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi tersebut;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.