Putusan Uji Materiil = Pertimbangan Hukum + Amar Putusan
Question: Apakah isi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, juga berlaku sebagai norma hukum yang mengikat ataukah hanya amar putusannya saja yang berlaku dan memiliki daya ikat?
Brief Answer: Pertimbangan hukum, baik putusan Mahkamah
Konstitusi maupun putusan Mahkamah Agung, merupakan “dasar keberadaan” untuk
sampai pada suatu kesimpulan berupa amar putusan. Karenanya, amar putusan tidak
dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum yang melandasi atau mendasarinya.
Logika sederhananya, amar putusan dijatuhkan dengan didahului oleh pertimbangan
hukum, bukan sebaliknya. Karenanya, kaedah preseden dapat berupa amar putusan
maupun pertimbangan hukum. Tidak ada yang lebih tidak akuntabel, putusan yang
inkonsisten antara pertimbangan hukum dan amar putusannya—dan pernah benar-benar
terjadi dalam berbagai putusan Mahkamah Agung di tingkat Kasasi maupun Peninjauan
Kembali.
Khusus untuk masyarakat yang berpekara di
pengadilan, baik perkara pidana maupun perdata, yurisprudensi ataupun kaedah
preseden yang lebih banyak berperan / berkontribusi membangun dalil-dalil dan
argumentasi hukum, justru terletak pada pertimbangan hukum Mahkamah Agung,
sementara itu amar putusannya jarang dikutip ataupun dirujuk. Berbeda halnya
dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang lebih banyak dirujuk berupa amar
putusannya—namun bukan berarti pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya tidak kalah penting karena mengandung norma hukum yang juga bersifat
mengikat daya berlakunya.
PEMBAHASAN:
Bahkan, amar putusan Mahkamah
Konstitusi berupa “permohonan uji materil tidak dapat diterima” sekalipun,
tidak jarang terkadung pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi substansinya
justru berisi kaedah hukum yang bersifat mengikat. Sehingga, adalah menyesatkan
ketika seorang Sarjana Hukum ataupun praktisi hukum sekadar membaca amar
putusan lalu meremehkan dan menafikan substansi pertimbangan hukum dalam
putusan dimaksud.
Untuk memudahkan pemahaman,
salah satu ilustrasi konkretnya dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan
lewat putusan Mahkamah Konstitusi RI perkara uji materiil terhadap Undang-Undang
Nomor 39 tahun 2014 register Nomor 122/PUU-XIII/2015 tanggal 29 Oktober 2016, dengan
pasal-pasal yang dimohonkan uji materiil berupa:
“Pasal 55
Setiap Orang secara tidak sah
dilarang:
a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan
perkebunan;
b mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah
masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat dengan maksud untuk
Usaha Perkebunan;
c. melakukan penebangan Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau memungut Hasil perkebunan.
Pasal 58
(1) Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan Perizinan Berusaha untuk budi
daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari:
a. area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha; dan/atau
b. areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi
pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 2O% (dua puluh persen) dari luas
lahan tersebut.
(21 Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan
lainnya, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3
(tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan.
(4) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Penjelasan Resmi Pasal 58 Ayat
(1):
Kewajiban memfasilitasi
pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 2O% (dua puluh persen) hanya
ditqiukan kepada Pekebun yang mendapatkan lahan untuk Perkebunan yang berasal
dari areal penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha dan/ atau yang
berasal dari areal lahan dari pelepasan hutan. Kewajiban tersebut timbul atas
Lahan Perkebunan yang bersumber dari lahan negara.
Dalam hal perolehan Lahan
Perkebunan dilakukan langsung kepada masyarakat yang diberikan hak guna usaha,
maka Pekebun tersebut tidak diwajibkan untuk memberikan fasilitasi.
Kewajiban fasilitasi Perkebunan
masyarakat tersebut diintegrasikan dengan kewajiban lainnya yang timbul dalam
perolehan Lahan Perkebunan, antara lain dalam hal lahan berasal dari kawasan
hutan yang memberikan kewajiban untuk 20% (dua puluh persen) lahan kepada
masyarakat dan telah dilaksanakan, maka kewajiban tersebut sudah Selesai.
Namun Pekebun tetap didorong
memberikan fasilitasi kepada masyarakat yang bersifat sukarela agar masyarakat
dapat mengembangkan pengelolaan kebunnya.
Pasal 107
Setiap Orang secara tidak sah
yang:
a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan
perkebunan;
b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah
masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk
Usaha Perkebunan;
c. melalukan penebangan tanaman Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau memungut Hasil perkebunan;
sebagaimana dimaksud. dalam
pasal 55, dipidana dengan Pidana. penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
denda paling banyak Rp4. 000. 000.000 (empat miliar rupiah).”
Dimana terhadapnya, Mahkamah
Konstitusi kemudian membuat pertimbangan hukum serta amar putusan dengan
kutipan sebagai berikut:
“Menimbang, setelah memeriksa
secara saksama permohonan para Pemohon, keterangan para Pemohon dalam persidangan,
dan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah berpendapat:
1. Bahwa Pasal 12 ayat (1) UU Perkebunan adalah berkaitan dengan
penguasaan / penggunaan lahan masyarakat hukum adat oleh pelaku usaha
perkebunan mengharuskan melalui musyawarah. sementara itu, Pasal 55 huruf a,
huruf c dan huruf d UU Perkebunan adalah pemberdayaan usaha perkebunan. Adapun
Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU Perkebunan adalah ketentuan pidana.
Apabila dalil para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU
Perkebunan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Musyawarah
yang dilakukan antara pelaku usaha perkebunan dengan Masyarakat Hukum Adat
dilakukan dengan posisi setara dan memberikan sepenuhnya hak masyarakat hukum
adat untuk menolak penyerahan jika tidak terdapat kesepakatan’ dan Pasal 55
huruf a, huruf c, dan huruf d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU
Perkebunan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, maka justru akan terjadi
ketidakpastian hukum. Sebab jika demikian, menjadi tidak jelas apa yang
dimaksud penggunaan lahan yang diperlukan untuk usaha perkebunan, apa yang
dimaksud pemberdayaan usaha perkebunan, dan ketentuan pidana yang mengatur
setiap orang secara tidak sah melakukan usaha di lahan Perkebunan. Justru,
dengna pengaturan norma terhadap pelaku usaha perkebunan ‘harus’ atau ‘wajib’
bermusyawarah dengan masyarakat hukum adat atas penguasaan lahan / tanah yang
digunakan menjadi areal perkebunan merupakan perlindungan hukum terhadap
masyarakat hukum adat akan eksistensi dan kedudukan hukumnya sehingga
mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan atas hak termasuk hak asasinya.
Demikian pula, Pasal 55 UU Perkebunan mengatur perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan dikualifikasi sebagai tindak pidana berlaku terhadap semua orang
termasuk pelaku uasha perkebunan, yaitu dilarang untuk mengerjakan,
menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai tanah atau tanah hak ulayat
masyarakat hukum adat, artinya ketentuan pelarangan dalam pasal tersebut jika
dibaca secara keseluruhan dan utuh telah mewujudkan kepastian hukum bagi
masyarakat hukum adat dan pelaku usaha perkebunan.
Berkenaan dengan Pasal 107 UU
Perkebunan yang mengatur mengenai sanksi pidana yang berlaku kepada setiap
orang, in casu masyarakat hukum adat dan atau pelaku usaha perkebunan dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000.000
(empat milyar rupiah) bagi yang tidak sah mengerjakan, menggunakan, menduduki
dan menguasai, memanfaatkan kawasan / lahan perkebunan dan atau tanah
masyarakat atas tanah hak ulayat, bahwa pengenaan sanksi pidana dalam pasal
ini berlaku bagi setiap orang bukan hanya terhadap masyarakat hukum adat
apabila melakukan perbuatan yang tidak sah, sehingga telah terwujud
kepastian hukum. Dalam hal ini penting ditegaskan bahwa berkenaan dengan
keberadaan masyarakat hukum adat, Mahkamah telah memutus dalam perkara Nomor
95/PUU-XII/2014 bertanggal 10 Desember 2015 yang pada prinsipnya menyatakan
bahwa keberlakuan ketentuan pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dikecualikan terhadap
masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan
untuk kepentingan komersial, sehingga keberlakuan ketentuan pidana dalam Pasal
107 UU Perkebunan harus juga dibaca dalam semangat yang sama. Dengan demikian
tidak terdapat pertentangan Pasal 12 ayat (1), Pasal 55 huruf a, huruf c dan
huruf d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU Perkebunan terhadap
UUD 1945;
2. Bahwa telah terang bagi Mahkamah apa yang dialami oleh para Pemohon
bukanlah kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK. Kalaupun benar para Pemohon merasa dirugikan oleh peristiwa yang
dialaminya, kerugian itu bukanlah disebabkan oleh inkonstitusionalnya norma
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian in casu Pasal 12 ayat (1), Pasal 55
huruf a, huruf c, dan huruf d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU
Perkebunan melainkan masalah penerapan norma Undang-Undang itu dalam praktik.
Mahkamah penting mengingatkan bahwa penerapan Pasal 12 ayat (1), Pasal 55 huruf
a, huruf c, dan hurud d serta Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d UU
Perkebunan harus dilakukan dengan mengindahkan pertimbangan sebagaimana
diuraikan pada angka 1 di atas;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 dan angka 2 di atas telah
ternyata bahwa kerugian yang dialami para Pemohon bukan merupakan kerugian
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
“Menimbang bahwa oleh karena
apa yang didalilkan oleh para Pemohon bukanlah merupakan kerugian
konstitusional maka para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
AMAR PUTUSAN
Mengadili
Permohonan para Pemohon tidak
dapat diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.