KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Manusia Ber-evolusi, sementara Robot AI Ber-revolusi, Ibarat Kelas Bulu Melawan Kelas Berat

Umat Manusia BER-EVOLUSI dalam Hitungan Ratusan Ribu Tahun, Kecerdasan Buatan BER-REVOLUSI hanya dalam Hitungan Tahun

Manusia dapat Berprestasi sebagai JENIUS, sementara AI (Kecerdasan Buatan) mampu mencapai Skala SUPER JENIUS (Level MONSTER), Tidak Setara

Selamat Datang pada Era dimana Dunia Serba OUTOPILOT

Secepat apapun manusia bergerak dan belajar, tetap saja tidak mampu menandingi kecepatan Kecerdasan Buatan (artificial intelligence, AI) dalam melakukan “machine learning” secara massal dan masif yang sangat revolusioner. Satu dekade yang lampau, belum dikenal berbagai AI yang kini mewarnai serta mengisi hampir setiap sendi aktivitas dan kehidupan manusia. Namun cobalah tengok kecanggihan teknologi berbasis AI saat kini, mengalir dengan ganas membanjiri pasar hingga menyerupai air bah yang menghanyutkan, begitu revolusioner, dan ibarat terjadi hanya dalam satu malam, wajah dunia berubah dan cara kita hidup pun turut berubah. Dunia, karenanya, mulai mengalami fenomena-fenomena sosial dan profesional yang penuh teka-teki yang menyerupai lelucon. Adapun kita, para umat manusia dari genus “homo sapiens”, merupakan hasil evolusi dari nenek-moyang kita selama jutaan tahun lamanya, dimana umur umat manusia itu sendiri telah hampir sama tuanya dengan usia Planet Bumu ini.

Bila anda seorang orangtua maupun guru di sekolah, pertanyaan terbesar bagi Anda ialah : bagaimana cara Anda, untuk mempersiapkan putera-puteri maupun para cucu dan cicit Anda agar mampu bertahan hidup (survive) menghadapi gempuran para robot-robot berbasis AI? Mungkin akan seperti inilah, cara Anda memberikan nasehat : “Anakku / muridku tersayang, kamu harus turut ber-Revolusi seperti para robot-robot AI tersebut, agar dapat berkompetisi menghadapi para ‘tenaga kerja robotik AI’, agar tidak turut punah seperti dinosaurus maupun manusia-manusia purba yang kini hanya bisa menjadi penghuni museum!” Namun ia kemudian memberikan tanggapan sebagai berikut : “Orangtua / guruku tercinta, bagaimana caranya BER-REVOLUSI? Bukankah buku-buku sains di sekolah mengajarkan bahwa manusia hanya mampu BER-REVOLUSI?” “Pertanyaan bagus, anak / muridku yang malang. Mungkin sudah gilirannya umat manusia yang akan menjadi penghuni museum.

Evolusi, terjadi secara gradual. Revolusi, sifatnya seketika. Anda menuntut terlampau berlebihan, ketika meminta agar anak atau murid Anda mampu ber-Revolusi. Makhluk hidup biologis yang selama ini berhasil dibuat ber-Revolusi secara paksa dan buatan, ialah dalam kasus-kasus varietas tanaman pangan hasil perkawinan-silang maupun transgenik alias mutasi berkat rekayasa genetika. Dengan demikian, satu-satunya cara bagi umat manusia ber-Revolusi, hanyalah dengan cara mutasi genetik secara artifisial. Mutasi genetik secara alamiah, hanya terjadi dalam kasus-kasus Evolusi, bukan Revolusi. Akan tetapi, apakah cara demikian benar-benar menyelesaikan masalah, ataukah justru melahirkan masalah baru, sekalipun tanpa kita sadari dalam keseharian kita telah bersentuhan langsung dengan pangan-pangan hasil transgenik seperti kedelai transgenik yang produktif, tebu untuk pabrik gula yang mampu bertahan dalam kondisi kering-kemarau serta tahan hama disamping dapat tumbuh sangat tinggi, dan lain sebagainya.

Selama ini kita merasa sebagai kaum yang paling superior di muka Bumi maupun di jagat raya alam semesta yang luas ini, semata kita adalah kaum yang lebih cerdas daripada kaum primata dan hewan-hewan bertulang-belakang lainnya, sehingga umat manusia begitu arogan terhadap kaum hewan maupun masyarakat kaum adat. Namun ketika Revolusi humanoid (robot yang diperlengkapi AI) berkembang begitu dramatis dan Revolusioner sepanjang tahunnya, mulai mengejar kemampuan kompleks seorang manusia kanak-kanak hingga meniru kompleksitas intelektual seorang manusia dewasa, pada saat itulah umat manusia tertinggal dari kemampuan para humanoid. Pada titik itu jugalah, para humanoid tersebut akan mengejek dan menertawai umat manusia yang ditempatkan dibalik jeruji “kebun manusia”—disejajarkan dengan “kebun binatang”—sembari menunjuk-nunjuk ke arah kita : “Itulah, para kera yang mampu berbicara.

Sungguh, manusia dapat sama bodohnya—atau bahkan lebih bodoh—daripada kaum primata. Setidaknya, para kaum hewan tidak menciptakan ataupun melahirkan sesuatu yang berpotensi dapat membuat eksistensi kaumnya sendiri menjadi punah. Kini, para umat manusia berlomba-lomba menciptakan sesuatu untuk menghapus / menggantikan eksistensi umat manusia itu sendiri. Hanya dalam hitungan kurang dari satu dekade, perkembangan AI begitu masif dan eksponensial. Tidak sampai satu abad dari sejak ulasan ini diterbitkan, kita dapat menyaksikan sendiri betapa hampir seluruh peran dan profesi umat manusia, dapat digantikan dan tergantikan oleh para humanoid maupun AI, terutama “generative AI” (GIA). Karenanya, AI maupun humanoid, bukanlah kawan atau teman manusia, mereka diciptakan untuk menjadi substitusi dari keberadaan manusia, tidak terkecuali terhadap fungsi maupun peran Anda di tengah masyarakat.

Potensi implementasi AI, begitu tidak terbatas, dan tidak pernah dikenal ataupun terbayangkan oleh kita yang hidup pada generasi saat kini. Bayangkan, apa atau dunia semacam apa yang harus dihadapi oleh para generasi penerus kita sebagai kenyataan-realitanya. Anak dan para cucu kita kelak akan bertanya kepada kita, “Wahai, orangtua / kakek-nenekku terkasih, mengapa engkau melahirkanku ke dunia yang gila ini, dimana kami harus bersaing menghadapi para robot-robot AI super canggih yang telah mampu mengambil-alih seluruh lapangan pekerjaan serta lebih cerdas dan lebih kreatif daripada seorang manusia? Mengapa engkau tidak terlebih dahulu bertanya kepada kami, apakah kami bersedia atau tidaknya dilahirkan ke dunia yang semuanya telah serba autopilot ini?

Renungkan juga disparitas berikut ini, satu orang individu terdiri dari satu buah kepala dan satu buah otak. Komputer, memiliki CPU (prosessor) yang dapat menampung lebih dari satu otak (more than one core) dalam satu CPU. Dalam dunia server komputerisasi, satu buah komputer dapat disambung dengan komputer-komputer lainnya, menjelma super-computer, dan itulah yang menjadi sumber pengolah AI yang dewasa ini mewabah dan menghantam dan mengguncang jiwa kita, terkejut dan terperangah mendapati disrupsi tekonologi digital yang begitu masif dan terlampau cepat  perkembangannya. Super-komputer tersebut, karenanya dapat ditenagai oleh ribuan atau bahkan ratusan ribu otak sebagai tenaga prosesornya. Apa daya kita, sebagai umat manusia, menghadapi gempuran AI yang tiada matinya dan tiada habisnya?

Bila dalam satu bulan, kita hanya dapat melahap satu buah buku bacaan, dan itu pun sudah tergolong hebat untuk ukuran seorang manusia tulen, maka AI mampu melahap gudang data ilmu pengetahuan hasil koleksi kolektif peradaban umat manusia selama ribuan tahun hanya dalam hitungan menit. Kesemua itu berkat teknologi nano (nanotechnology), sehingga otak AI mampu mengolah dan memproses informasi serta melakukan apa yang disebut sebagai “machine learning” secara begitu mengagumkan dan diluar dugaan semua orang, disamping kemampuan “multi tasking” dengan efisiensi serta akurasi yang mengejutkan para pencipta AI itu sendiri. Manusia, bisa begitu mengerikan, namun teknologi ciptaan manusia tidak kalah mengerikan dan disaat bersamaan begitu mangancam eksistensi umat manusia yang secara langsung harus saling berhadap-hadapan—sekalipun jelas-jelas tidak saling setara dalam kapasitas maupun kapabilitas.

Sebagai penutup ulasan singkat ini, meski bukan yang paling akhir, renungkanlah bahwa kita butuh jutaan tahun atau bahkan ratusan juta tahun lamanya untuk ber-Evolusi sehingga umat manusia menjadi seperti diri kita sekarang ini. Namun, revolusi robotik AI, hanya dalam hitungan tahun, dan tiba-tiba saja kini telah hadir di hadapan kita membawa nuansa penuh mengancam akibat kemampuannya untuk menggantikan manusia dalam berbagai peran dan fungsi, tanpa terkecuali, apapun profesi Anda saat kini. Pertanyaan yang menunggu terungkap jawabannya, meski dapat kita prediksi “kegilaannya” ialah, apa yang akan terjadi, lima tahun kedepan, sepuluh tahun kedepan, atau bahkan satu abad yang akan datang?

Apa atau dunia semacam apakah yang akan dihadapi oleh anak dan cucu Anda, sementara itu Anda telah menjelma seorang “almarhum” yang telah menikmati banyak kemajuan teknologi “pra AI” meninggalkan warisan berupa dunia serba “autopilot”? Kini, Anda mungkin masih dapat tertawa dan menertawakan AI. Kelak, AI yang akan menertawakan Anda. Boleh percaya boleh tidak, tidak lama lagi jawabannya akan terungkap dan terjadi tepat di depan mata-kepala Anda sendiri serta harus ditelan oleh anak dan cucu Anda, meskipun pahit kenyataannya. Sebagian kalangan yang mulai menyadari ancaman dibalik AI, mulai menyerukan kekhawatiran mereka, dengan menggambarkan AI sebagai “horror” serta sebagai “kecelakaan terbesar yang pernah dibuat oleh manusia dalam sejarah peradaban”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.