Artificial Intelligence dan DEEP FAKE, Dua Sisi dalam Satu Keping yang Sama
Kecanggihan Teknologi telah Membawa Kita Mencapai Titik Paling Marginal dalam Sejarah Peradaban Umat Manusia
Tentu Anda masih ingat teori ekonomi yang paling mendasar perihal “teori marginal”, dimana ketika Anda memakan satu butir jeruk, maka Anda merasakan kepuasan berupa naiknya grafik “plessure”. Namun, ketika Anda memakan butir ke-5, hingga butir ke-10, Anda akan mulai merasa mual, muak, serta muntah, yakni berupa garis menurun kembali ke titik terendah, dan begitu seterusnya, tidak pernah konstan, selalu naik ketika mencapai titik terpuncak dan kembali turun. Telah ternyata, kemajuan teknologi digital tunduk pada hukum yang sama, yakni berupa grafik menaik, sampai pada satu titik kita mencapai / menyentuh titik terpuncak, untuk kemudian kembali menukik turun ke bawah, secara begitu curam.
Kini, pada tahun menjelang
akhir tahun 2024, adalah tahun dimana kurva naik telah mencapai titik
terpuncak, dan kita akan menghadapi masa depan berupa kurva menurun—masa suram pun
dimulai, bencana yang diciptakan oleh umat manusia itu sendiri akan mulai
membuahkan petaka bagi eksistensi manusia di muka Bumi, sementara itu regulasi
yang ada sama sekali tidak mengatur AI, sekalipun penetrasi AI sudah begitu
masif membanjiri kehidupan manusia dan menguasai segala aspek kehidupannya. Untuk
itu penulis mencoba mengajak para pembaca untuk merenungkan fakta berikut. Satu
dekade yang lampau, AI hanyalah sebuah imajinasi-liar yang bisa jadi kita
tertawakan. Telah ternyata, potensi perkembangan AI bisa sebegitu tanpa batasan
serta “unpredictable”.
Kini, AI yang menertawakan kita
akibat perkembangannya yang tidak disangka-sangka, tidak pernah terpikirkan,
serta tidak pernah ada sebelumnya—menjadi kenyataan. Ketika pemerintah kelak
akan mulai menyadari apa yang terjadi serta melihat ancaman konkret serta
dampaknya bagi masyarakat, dan tergopoh-gopoh menerbitkan regulasi yang “tambal-sulam”,
sayangnya segala sesuatunya telah terlambat. Sungguh kita tidak memiliki
negarawan yang visioner, sekalipun negara-negara maju mulai menyadari ancaman
serta bahaya dibalik AI yang tidak dapat terhindarkan harus dibentuk semacam pembatasan-pembatasan
atau limitasi-limitasi agar tidak berkembang terlampau liar dalam ruang hampa
yang “tidak diketahui batasan perkembangannya” (unknown) hingga “tidak tersentuh” (untouchable) ketika Ai telah menjelma begitu “majestic”.
Terdapat anekdot yang kini
mulai disadari oleh masyarakat luas, terutama ketika ancaman yang dibawa oleh
teknologi tinggi berbasis “Kecerdasan Buatan” (artificial intelligence, AI) diperkenalkan kepada publik belum lama
ini, namun berkembang begitu pesat dan terlampau cepat secara eksponensial,
yakni : bukan apa yang dapat kita lakukan terhadap sains dan teknologi (could), namun apa yang seharusnya kita
lakukan (should). Rasa ingin tahu
manusia, telah mengecoh umat manusia itu sendiri, dan menenggelamkan tanpa si
manusia itu sendiri sadari. Dengan alibi hendak memudahkan hidup manusia, para
humanoid berbasis Ai diciptakan pada gilirannya untuk menggantikan banyak peran
manusia, bukan lagi sebagai komplomenter, namun sebagai “substitusi-nya manusia”.
Bahkan, lebih jauh lagi, kejahatan “kerah putih” (white collar crime) pun turut berevolusi secara signifikan, bukan
lagi sekadar ber-evolusi, yakni super canggih dimana “palsu”-nya kian “mendalam”
(DEEP FAKE).
Para manusia penguasa teknologi
maupun pemodal, mulai menggunakan teknologi tinggi berbasis AI untuk melawan
dan memangsa manusia-manusia lainnya. Jelas dan nyata, betapa AI dapat menjelma
“predatory humanoid”, pemangsa
manusia. Para “tenaga kerja robotik” yang digerakkan oleh AI, telah sejak lama
bahkan menggantikan peran para “tenaga kerja manusia” pada berbagai industri “padat
modal”, dan yang kini terjadi barulah sekadar riak-riaknya saja, menunggu “the big boom” dalam waktu dekat. Selalu ada
harga yang harus kita bayar dibalik kemajuan teknologi robotik dan AI, yakni
resiko berupa kejahatan “cyber crime”
yang kian bermutasi demikian “sophisticated”
dan sukar dibedakan mana yang nyata dan mana yang palsu. Bahkan, aparatur
penegak hukum telah tidak lagi mampu menyadap percakapan yang terenkripsi pada
aplikasi di gadget Anda, terlebih melacak keberadaan Anda yang menggunakan fitur
“VPN” (virtual private network) yang
pada mulanya diciptakan untuk tujuan keamanan dunia perbankan.
AI, bahkan sudah menjadi hal
lazim yang dilakukan oleh para penguasa teknologi untuk melakukan kampanye
berbasis “dis-informasi” (dis-information) untuk membangun “opini publik”
hingga menggiring “opini massa”, terutama dalam isu-isu geopolitik hingga untuk
kepentingan elektabilitas dalam pemilihan umum. Salah satu ancaman terbesar
dibalik AI yang berkembang begitu masif tanpa pernah dialami oleh generasi
sebelumnya ialah, aplikasi-aplikasi semacam “DEEP FAKE” yang kian berkembang
seiring perkembangan AI. “DEEP FAKE” generasi pertama, hanya berupa manipulasi
foto dua dimensi. Kini, “DEEP FAKE” generasi kedua telah mampu memanipulasi
suara seseorang, dimana suara seorang tokoh diekstraksi dengan atau tanpa
sepengetahuan sang tokoh pemilik suara, untuk kemudian diekploitasi sehingga
kita dapat menelepon orang lain dengan suara milik tokoh tersebut.
Pernah tersiar pidato Kepala
Negara kita dimana sang Kepala Negara tampak mampu berbicara dengan fasih dalam
bahasa Mandarin. Hasil manipulasi “DEEP FAKE”, betul-betul menyerupai aslinya,
namun telah ternyata rekaman audio fenomenal dari sang Kepala Negara tersebut adalah
hasil manipulasi AI. Aslinya, sang Kepala Negara berpidato dalam Bahasa Indonesia,
namun diubah menjadi berbahasa Mandarin, lengkap dengan gerak bibirnya, begitu “real”
dan “nyata”. Kini, dengan begitu cepatnya disrupsi AI, membuat kita terkaget-kaget
dalam waktu begitu singkat, telah terbit “DEEP FAKE” generasi ketiga, yang akan
membuat kehidupan kita akan kembali pada cara-cara konvensional dalam kehidupan
sosial maupun ekosistem ber-hukum.
“DEEP FAKE” generasi ketiga
yang telah benar-benar hadir saat kini, membuat tangkapan layar secara “REAL
TIME” berisi wajah hasil manipulasi AI dimana hasil tangkapan kamera video—bukan
foto—seorang pria “brewok” bahkan tampak berwujud seorang wanita muda yang super
cantik. Kita selama ini berbangga diri terhadap adanya fasilitas “teleconference”
atau semacam “video call” untuk tujuan meeting, Rapat Umum Pemegang Saham,
hingga tujuan kesaksian di persidangan dari jarak jauh. Namun, kita tidak
menyadari, kecanggihan teknologi yang disilangkan dengan kamajuan Ai, pada
gilirannya kini memaksa kita kembali ke cara-cara konvensional seperti era
sebelum digitalisasi eksis, dimana semboyan “back to the nature” mulai kembali
digaungkan oleh sejumlah pihak yang kian memahami ancaman serius dibalik AI
yang tidak bisa lagi dibiarkan berkembang tanpa arah ataupun tanpa batasan.
“DEEP FAKE” generasi ketiga
tersebut, berupa manipulasi atau olah tangkapan kamera video, diolah secara “REAL
TIME” sehingga sosok asli dan yang tampil di layar monitor kita adalah dua
sosok yang betul-betul berbeda, namun begitu “nyata” dan begitu “mengecoh”
alias mengelabui mata kita. Bayangkan, seseorang mengekstraksi potret tiga
dimensi seseorang tokoh, kemudian mengekploitasinya dengan kecanggihan
teknologi AI, sehingga wajah sang tokoh dapat dipergunakan seolah-olah sedang
memberikan kesaksian bagi persidangan lewat kamera video, atau sedang mengikuti
rapat jarak jauh, sedang memberikan ceramah, sedang membuat keputusan dalam
rapat resmi kenegaraan, dan lain sebagainya.
Aplikasi-aplikasi dimana masyarakat
dapat membuka rekening secara mandiri, atau aplikasi-aplikasi semacam “pinjaman
onl!ne”, akan habis luluh-lantak oleh “DEEP FAKE” generasi ketiga ini. Ia mampu
memanipulasi tangkapan kamera layar handphone pengguna yang diperlengkapi aplikasi
AI, dimana wajahnya dapat menggunakan wajah milik orang lain, bahkan mungkin
anak kecil menggunakan wajah orang dewasa milik tetangganya atau milik
orangtuanya sendiri untuk membuka rekening-rekening tersebut tanpa disadari
oleh si pemilik wajah. Ditambah oleh berbagai data pribadi penduduk kita yang
kerap dicuri oleh para “hacker”
akibat sikap pemerintah yang justru melanggar Undang-Undang yang ia terbitkan
sendiri (UU PDP), maka para pengguna teknologi AI tersebut mampu membuka ribuan
hingga jutaan rekening serta melakukan berbagai pinjaman tanpa disadari ataupun
diketahui oleh si pemilik data pribadi.
Dalam hukum perang
internasional (international humanitarian
law), salah satu prinsip terpenting dalam pengaturan didalam
konvensi-konvensi maupun protokol-nya ialah membatasi lingkup cara berperang. Tanpa
membatasi lingkup cara berperang, maka cara-cara kejam dan keji dalam berperang
seperti yang pernah terjadi di Vietnam, yakni penggunaan senjata kimia, akan
terjadi lebih masif dan lebih dramatis. Begitupula pembatasan penggunaan
senjata biologi, nuklir (nuclear weapon),
dan senjata-senjata yang begitu mematikan dan sangat merusak lainnya, wajah
dunia akan benar-benar menyerupai “neraka dunia”.
Sehingga, kata kuncinya ada
pada pembatasan cara tekonologi digunakan, baik untuk tujuan berperang, untuk
tujuan desain kreasi, untuk tujuan industri, dan lain sebagainya—tidak
terkecuali implementasi AI. Anda pastilah tidak menyangka, para koki (juru
masak) di Tiongkok telah tergantikan oleh “para” humanoid, koki robot. Bahkan telah
diproduksi laba-laba robot untuk tujuan berperang, mirip seperti dalam kisah-kisah
fiksi-ilmiah. Robot-robot generasi saat kini bahkan telah mampu berakrobatik
dan berjalan secara seimbang. Praktis, buruh-buruh telah tergantkan oleh robot-robot,
dimana bisnis produksi robot meningkat drastis dari tahun ke tahun terutama
satu dekade belakangan ini dan tren-nya akan kian meningkat pesat mengingat permintaan
pasar terhadap “tenaga kerja robot” mengalir deras. Bumi ini mampu memuat dan
menampung umat manusia, namun tidak akan pernah mampu mewadari sifat
keserakahan manusia—dimana para robot-robot dan AI itulah kristalisasi
tertinggi keserakahan umat manusia, sekaligus invensi terakhir umat manusia sebelum
ia dipunahkan oleh ciptaannya sendiri.
Tanpa pembatasan-pembatasan yang
dijadikan koridor, alhasil Planet bernama Bumi ini pun dapat diledakkan hanya
dengan sekali menekan tombol. Begitu pula dengan nasib umat manusia di tangan
para penguasa dan pengembang AI (AI
developer), umat manusia benar-benar dapat punah ketika tidak ada upaya
pembatasan diri ataupun pembatasan oleh dunia global dalam bentuk instrumen
hukum nasional-lokal (agar tidak mematikan kehidupan warganya sendiri) maupun
dalam bentuk instrumen hukum internasional agar negara-negara penguasa
teknologi tinggi berbasis AI tidak meluluh-lantakkan negara-negara terbelakang
dengan drone-drone tanpa awaknya yang kian meraja-lela berkat dipersenjatai dengan
teknologi AI dengan akurasi tinggi serta efektivitas yang melampaui gelar “mematikan”.
Ketika AI dikawin-silangkan dengan
teknologi perang, teknologi robotik, ditambah oleh teknologi nano (nanotechnology), yakinlah, satu benua
pun akan mampu ditenggelamkan hanya dalam hitungan menit. Ketika Anda tidak mampu
mengendalikan diri ataupun mengendalikan AI yang Anda kembangkan, pada
gilirannya AI yang akan menghentikan eksistensi dan nafas kehidupan Anda—dan
kini riak-riaknya tampak mulai menjadi kenyataan, bukan lagi sekadar prediksi
ataupun ancaman. Itulah ketika, kita tidak lagi berani untuk bermimpi, karena
impian serta mimpi-mimpi kita telah dirampas oleh “para” AI. Yakinlah, AI dalam
satu dasawarsa kedepan, bukan dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan Anda,
namun untuk “menggantikan” peran, eksistensi, serta kehidupan yang selama ini Anda
jalani. Pada saat itu, mungkin sudah terlambat, kita hanya bisa terbaring dan
terkubur dalam-dalam, terbenam.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.