Zaman Ketika Anak dan Cucu Anda Bukan hanya Bersaing dengan Sesama Manusia, namun Berkompetisi Melawan ROBOT Berbasis AI
Jika Anda benar-benar mencintai dan mengasihi putera-puteri maupun cucu dan cicit Anda, maka pilihan yang paling bijak ialah untuk tidak tidak menikah atau tidak memiliki anak sama sekali. Dengan begitu, mereka tidak perlu terlahir dalam kondisi era dimana para manusia harus berkompetisi dalam persaingan antara “tenaga kerja manusia” Vs. “tenaga kerja robotik” yang tidak akan dapat dimenangkan oleh manusia yang paling terampil sekalipun, mengingat “machine learning” mampu belajar dan menguasai berbagai bidang dalam kecepatan yang sangat eksponensial bila tidak dapat disebut berkembang terlampau cepat serta terlampau mengejutkan.
Generasi sebelumnya, yakni
generasi orangtua maupun kakek-nenek kita, belum pernah mengalami kondisi
dimana mereka harus berkompetisi dan bersaing melawan robot-robot. Industri
yang ada saat generasi mereka, ialah industri-industri “padat karya”, sehingga
kompetisi yang ada ialah “padat karya” Vs. “padat karya”. Kini, wajah dunia
industri telah terdisrupsi, dimana nasib industri “padat karya” Vs. “padat
modal berbasis teknologi tinggi” ibarat petinju “kelas bulu” Vs. “kelas berat”,
babak-belur sebagai satu-satunya muara.
Jargon-jargon klasik, seperti
“mereka yang terus mengasah keterampilan yang akan bertahan menghadapi
persaingan”, sudah tidak relevan bagai besi usang-karatan, mengingat sudah
sejak lama pecatur top dunia sekalipun tidak mampu menang menghadapi “bot
pecatur” alias pecatur robot berbasis kecerdasan buatan yang tersusun dari
algoritma model komputerisasi. Sesengit apapun persaingan dua atau tiga dekade
lampau, tetap saja persaingan yang terjadi ialah tenaga kerja “manusia” Vs.
“manusia”. Kurang dari tempo satu generasi, kita harus menghadapi disrupsi yang
begitu mengharu-biru, dimana teknologi tinggi menggantikan banyak fungsi
pekerjaan seorang manusia.
Boleh percaya, boleh tidak,
kurang dari dua dekade sejak ulasan ini diterbitkan, tidak ada lagi kalangan
buruh yang berani turun ke jalan ataupun mogok kerja untuk tujuan demonstrasi.
Mereka, kalangan buruh / pekerja, mulai menyadari, bahwa posisi mereka
sewaktu-waktu terancam akan digantikan dan tergantikan oleh tenaga-tenaga
robotik yang mana “powered by AI”
yang jauh lebih efisien dan lebih efektif dalam memproduksi. Kalangan buruh
yang masih “sok jual mahal”, dipastikan akan punah dan menjadi fosil yang
menghuni museum arkeologi, ditempatkan sejajar dengan deretan tulang-belulang
para manusia purba lainnya. Daya tawar “tenaga kerja manusia” berhadapan dengan
“tenaga kerja robotik”, sama sekali bukan lawan yang setara.
Sudah menjadi pengetahuan umum,
peringkat IQ penduduk di Indonesia, adalah terbelakang karena menempati posisi
paling belakang. Kini saja, para pelajar kita sudah digempur oleh budaya “jud!
online”, “game online”, hingga pergaulan negatif berupa penyalah-gunaan
obat-obatan terlarang yang kian mengkhawatirkan karena sudah menyasar kalangan
pelajar Sekolah Dasar. Kepala pemerintahan kita masih juga euforia dengan
mengumbar slogan “bonus demografi”, sekalipun faktanya faktor sosiologi
sebagaimana fenomena kualitas rendah generasi muda Indonesia menghadapi era
Kecerdasan Buatan (AI) akan menjelma “beban demografi”. Ingatlah, era
romantisme ala Marx dengan jargon kaum proletarnya, sudah benar-benar harus
dimasukkan ke museum purbakala. Terknologi, pada gilirannya hanya akan
menguntungkan pihak “pemilik modal”. Pada titik itulah, sejarah baru kemudian
akan menulis-ulang teori-teori ilmu filsafat yang baru sama sekali, dari titik “nol”.
Negara, pada gilirannya harus
lebih banyak memberikan makan dan menggelontorkan subsidi kepada para generasi
muda angkatan kerja maupun generasi tua yang tersisih akibat banyak peran dan
fungsi manusia telah tergantikan oleh teknologi AI. Indonesia dikenal sebagai bangsa
“konsumen mie instan No. 1 di dunia”—dimana bangsa kita boleh jadi berbangga-diri—yang
akan kian menjelma “bangsa instan tulen” ketika pekerjaan rumah mereka yang
diberikan oleh guru mereka di sekolah pun dikerjakan oleh mesin AI untuk
menemukan jawabannya secara “instan”. Pada gilirannya, bangsa kita akan merasa
cukup bangga sebagai sebatas bangsa “konsumen” dan “pemakai” semata. IQ rendah-terbelakang,
gemar memakan mie instan, kerap “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan
fisik” (ciri otak tidak berkembang, hanya mengandalkan otot sekalipun otot
tidak memiliki otak), gaya hidup “instan-lifestyle”,
pemadat tembakau, itulah kenyataan mengenai SDM (sumber daya manusia) di Bumi Pertiwi.
Sungguh beruntung, para
generasi pendahulu kita, sekalipun tidak menikmati kecanggihan teknologi
seperti dewasa ini ataupun satu dekade belakangan ini, setidaknya mereka tidak
berkompetisi dan bersaing dengan para robotik maupun Kecerdasan Buatan. Anak
yang malas di sekolah akan kalah bersaing dengan anak yang rajin belajar.
Namun, apakah anekdot demikian masih cukup relevan pada era digitalisasi
komtemporer? Seperti apapun Anda berlatih bermain catur ataupun piano, Anda
tetap tidak bisa menyaingi keterampilan “bot AI” yang telah lama mampu bermain
catur dan memainkan alat musik secara sempurna serta tidak tertandingi oleh
manusia bergelar “master” ataupun “expert”
sekalipun.
Para generasi muda saat kini,
selain harus bersaing dengan penduduk lainnya, sekalipun lapangan pekerjaan
kian sempit dan penuh keterbatasan serapan angkatan kerja, globalisasi membawa
juga derasnya tenaga kerja asing, juga harus mulai bersaing dengan “bot AI”
maupun robot-robot berbasis AI yang kian masif dibawa oleh para kalangan
investor asing “padat modal”. Melahirkan seorang anak maupun cucu pada era
modern-terdigitalisasi sekarang ini, sama artinya membawa penderitaan yang akan
mereka hadapi di masa depan, sementara kita mungkin telah tutup-usia beberapa
dekade mendatang, dimana kecanggihan teknologi sudah tidak lagi terlukiskan dan
tidak mampu dibendung oleh siapapun—dimana bahkan Tuhan pun sudah tidak lagi
berpihak pada negeri “serba agamais” bernama Indonesia ini.
Sadarkah Anda, apa faktor yang
membuat peradaban manusia bergerak begitu cepat meninggalkan dunia hewan? Itu
adalah berkat kemampuan berkomunikasi. Ketika AI mampu saling berkomunikasi
dengan AI lainnya secara independen dan mandiri, bahkan berupa bahasa mesin
yang tidak dipahami dan tidak teramati oleh insinyur pencipta AI itu sendiri,
maka pada saat itulah peradaban manusia akan berhenti, dan tergantikan oleh
peradaban robot serta Kecerdasan Buatan. Mereka akan dibekali serta membekali
dirinya sendiri kemampuan untuk membangun diri serta komunitasnya secara
otonom. Kesemua itu bukanlah mitos, sejumlah media melaporkan bahwa AI dewasa
ini telah mampu berkomunikasi antar AI, bahkan memiliki “kesadaran”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.