PREDIKSI NASIONAL : Investasi Asing (Teknologi Robotik
dan Kecerdasan Buatan) menjadi PREDATOR Lapangan Pekerjaan bagi Tenaga Kerja Manusia
Banjir Aliran Investasi Asing yang Tidak Berbanding Lurus dengan Lapangan Pekerjaan
Adanya urgensi penulis dalam menyajikan ulasan genting berikut ini, dimana para ekonom tampaknya meleset dan salah-kaprah menganalisa fenomena menjamurnya PHK (pemutusan hubungan kerja) di berbagai provinsi di Indonesia dewasa ini, dimana tendensinya akan kian mengkhawatirkan dalam dekade-dekade yang akan datang, dimana sifatnya eksponensial. Para ekonom di Indonesia mengkambing-hitamkan impor barang-barang dari luar negeri sebagai penyebab berbagai fenomena PHK terhadap tenaga kerja manusia di Indonesia. Itu merupakan pandangan yang menyesatkan, mengingat impor memiliki komponen bea masuk serta biaya transportasi laut maupun udara yang sangat tidak murah, sehingga daya saing harga tetap lebih unggul produk cetakan lokal dalam negeri.
Bukan “STOP PRODUK IMPOR”, tapi
“STOP ROBOT IMPOR”, itulah yang diabaikan oleh para ekonom di Indonesia, yang
penulis nilai tidak cukup kompeten untuk menjadi “pembisik” bagi telinga para
penyusun kebijakan di Indonesia. Kini penulis mengajak para pembaca membuat
analisa sederhana dengan input data-data berupa fakta realistik sebagai berikut
: di berbagai kawasan industri di perkotaan, bukan lagi bersifat “padat karya”,
namun “padat modal” dimana yang berproduksi bukan lagi “tenaga kerja MANUSIA”,
namun “tenaga kerja ROBOTIK” (teknologi maupun robotik yang digerakkan oleh
kecerdasan buatan berteknologi tinggi). Kita tahu bahwa teknologi-teknologi tinggi
selaku dibawa oleh investor asing ke Indonesia, yang artinya dengan masuknya teknologi-teknologi
robotik tersebut menjadi substitusi dari “tenaga kerja MANUSIA”—bukan bersifat
komplomenter.
Yang tidak banyak disadari
kalangan pengamat di Indonesia ialah, yang dibawa serta oleh para investor
asing tersebut masuk ke Indonesia ialah, para “tenaga kerja ROBOTIK ASING”. Para
investor asing tersebut, kemudian memproduksi barang yang menguasai pangsa
pasar di Indonesia, akibat mampu mencapai angka efisiensi yang signifikan
karena tidak perlu membayar komponen gaji / upah “tenaga kerja MANUSIA”. Akibatnya,
produk lokal oleh pengusaha lokal yang masih memproduksi secara manual dengan “tenaga
kerja MANUSIA”, kalah bersaing di pasar produk-produknya. Kedua, para investor
asing memproduksi “robot-robot asing”, yang kemudian dipergunakan oleh para
produsen dan pengusaha dalam negeri di Indonesia. Akibatnya, sebagai
konsekuensi logis, para “tenaga kerja MANUSIA” perlahan namun pasti digeser
oleh “tenaga kerja ROBOTIK”.
Telah ternyata, tidak
berbanding lurus antara realisasi investasi asing terhadap lapangan pekerjaan. Semakin
deras masuknya “robot-robot asing” ke Indonesia, maka akan terjadi PHK massal.
Kementerian Investasi (Badan Koordinasi Penanaman Modal) setiap tahunnya selalu
merilis pencapaian investasi asing yang selalu tinggi dan berbangga diri, tanpa
menyadari resiko dibaliknya. Telah ternyata pula, Kementerian Tenagakerja mulai
merilis data bahwa angka PHK dan pengangguran di Indonesia kian meningkat
drastis dan signifikan setiap tahunnya. Dengan demikian, tidak terbantahkan
lagi pertumbuhan ekonomi tidak seiring sejalan, yang ada ialah ketimpangan
ekonomi kian timpang mengingat para pemilik modal telah mencapai efisiensi
produksi dengan mempergunakan “tenaga kerja ROBOTIK” yang dibawa oleh para investor
asing tersebut masuk ke dalam negeri.
Dampak berantainya sebagai efek
domino, mengingat investor asing membawa investasi berupa “robot-robot asing”
berteknologi tinggi yang mampu menggantikan peran dan fungsi “tenaga kerja
MANUSIA”, maka setiap bentuk keuntungan / laba usaha yang dihasilkan oleh investor
asing di teritori Indonesia, pada muaranya ialah terjadi “transfer pricing cross border” alias “profit shifting lintas negara”. Tidak terjadi distribusi ekonomi
kepada kalangan buruh / pekerja, mengingat investor asing selaku produsen
mayoritas produksinya menggunakan “tenaga kerja ROBOTIK”. Akibatnya, terjadi “bounch back” aliran dana dari dalam
negeri ke luar negeri (patriasi dana hasil keuntungan usaha) yakni ke negara
asal sang investor asing maupun ke negara-negara yang tergolong “tax heaven”. Menyerupai benalu,
menghisap nutrisi inangnya.
Dampak lanjutannya, nilai tukar
rupiah terus merosot dan terdepresiasi dibanding dengan nilai kurs mata uang asing.
Teknologi robotik asing, pada muaranya selalu menghisap kekayaan alam dan
ekonomi Indonesia, sementara itu investasi asing berteknologi tinggi tidak
berkontribusi secara signifikan terhadap angka pertumbuhan lapangan kerja,
justru sebaliknya, berkontribusi terhadap “labour
predatory” alias memangsa lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja lokal di Indonesia.
Lihatlah, pemerintah Indonesia telah meng-obral murah perizinan maupun tenaga
kerja di Indonesia lewat terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja yang memangkas hak-hak
kalangan pekerja / buruh. Diperkeruh oleh sifat dasariah “tenaga kerja ROBOTIK
ASING” yang ialah menggantikan porsi atau peran “tenaga kerja MANUSIA”. Tanpa anugerah
berupa kekayaan alam minyak sawit maupun batu-bara dan nikel, dapat dipastikan
nilai tukar rupiah akan kian “terjun bebas”.
Memang “tenaga kerja asing”
butuh perizinan dari Kementerian Tenagakerja di Indonesia, namun yang luput
diperhitungkan oleh para penyusun kebijakan di Indonesia ialah, “tenaga kerja
asing” berupa tekonologi “ROBOTIK ASING” selalu bersifat terselubung, yakni dihitung
sebagai faktor produksi, tidak diperhitungkan sebagai “tenaga kerja” secara
hukum maupun secara politis, dan menyaru sebagai “investasi asing”. Adalah
tidak terbantahkan, dampak fatal dibalik “teknologi robotik”, ia mampu
menggantikan begitu banyak “tenaga kerja MANUSIA”, dengan hasil output produksi yang jauh lebih berdaya
saing tinggi. Sehingga, yang lebih mengancam angka lapangan pekerjaan di Indonesia
bukanlah banjirnya barang impor, namun banjirnya “TEKNOLOGI ROBOTIK” yang lebih
banyak dibawa oleh investor asing dimana kesemua itu dihitung sebagai aliran “investasi
asing” yang ironisnya diberi karpet-merah oleh pemerintah.
Kita dapat melihat atau
bercermin dari negara-negara yang mengadopsi teknologi tinggi, seperti Amerika
Serikat. Fenomena tingginya angka PHK dan pengangguran di Amerika Serikat begitu
tinggi, dan kita tidak perlu terlampau menghamba kepada investasi asing yang
bersifat “padat modal”, agar tidak jatuh pada lembah yang sama. Teknologi tinggi,
adalah niscaya, kita tidak dapat mencegahnya terjadi, kita hanya dapat
memperlambat lajunya, sembari secara serius “buying time” menyiapkan diri kita serta para generasi muda untuk
beradaptasi terhadap ancaman nyata dibalik teknologi tinggi robotik demikian. Akan
tiba, saat dimana para “pahlawan devisa” pun akan redup perannya, karena di banyak
negara yang selama ini menyerap para tenaga kerja Indonesia kita saat kini sudah
banyak tergantikan oleh tenaga robotik sebagai substitusinya.
Akibatnya, tidak bisa
dihindari, nilai tukar rupiah kian melemah, dimana kesenjangan ekonomi kian
bersenjang akibat pemusatan keuangan dimana para pemodal dan pemilik teknologi
tinggi kian berkuasa, tanpa adanya distribusi ekonomi yang cukup berarti. Kita harapkan
saja semoga prediksi demikian adalah keliru sepenuhnya. Seperti kata Darwin, “survival of the fittest”, dimana
ironinya pecatur terhebat dunia pun tidak mampu menang menghadapi lawan yang
terbuat dari “kecerdasan buatan”. Kecanggihan teknologi, hanya akan berhenti
ketika daya beli mayoritas masyarakat suatu bangsa telah sampai pada titik
terdangkal dalam suatu peradaban. Para kalangan pekerja, hanya akan memainkan
peran pada “remah-remah pekerjaan”, alias pekerjaan yang belum tersentuh oleh
para “robotik” demikian, dimana perlahan namun pasti semua fungsi pekerjaan
telah dirambah dan diambil-alih oleh para “tenaga robot” yang di-“powered by artificial intelligence”,
sebuah ancaman yang sangat nyata, sangat serius, dan sangat dekat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.