KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Ini dan Itu Disebut DOSA atau HARAM. Namun PENGHAPUSAN DOSA Dijadikan “HALAL-Lifestyle” serta Dikampanyekan Lewat Pengeras Suara

PREMANIS namun PENGECUT, itulah Wajah Bangsa Kita, yang Bahkan Dipertontonkan di Depan Umum dengan Bangga

Menyelesaikan Setiap Masalah dengan KEKERASAN FISIK, sekalipun Berbuat Dosa merupakan AURAT TERBESAR, namun Dipertontonkan dengan Bangga Tanpa Rasa Malu

Terdapat satu hal yang paling menarik dari setiap pertandingan atau kompetisi bela diri di atas ring, entah itu western boxing, muaythai, karate, kung fu, atau apapun itu latar belakang disiplin dan penyelenggaraannya, yakni kedua petarung saling berpelukan, saling menepuk punggung satu sama lain, dan memberikan ucapan selamat bagi sang pemenang baik “knock out” ataukah atas penilaian juri. Sportivitas, masing-masing saling mengakui dan menghormati. Itulah standar budaya pertandingan “jantan” kelas dunia. Namun diatas kesemua itu, kita mengagumi mereka, siapapun yang menang ataupun yang kalah, masing-masing dari para kontestas saling patuh terhadap aturan pertandingan—alias tidak ada dipertontonkan aksi semacam “demi menang dengan cara menghalalkan segala cara”.

Jiwa ksatria, itulah yang dijunjung oleh masing-masing petarung. Mereka hanya saling baku-hantam, saat berada di atas ring tinju serta hanya ketika bel dimulainya pertandingan dibunyikan, dan seketika menghentikan baku-hantam ketika bel akhir pertandingan dibunyikan. Jiwa ksatria itulah, yang terutama, amat miskin kita jumpai dari watak atau perangai kebanyakan masyarakat di Indonesia. Sebaliknya, kaum premanis berkeliaran di jalan, merasa seolah sebagai elit yang berkuasa atas jalanan, dimana bahkan sebagian warga kita memiliki jiwa premanis serupa : menyelesaikan setiap masalah, dengan cara kekerasan fisik—yang ironisnya, hanya berani mereka lakukan di jalanan, bukan di atas ring tinju, dengan memanfaatkan “hukum rimba jalanan” berupa : siapa yang mayoritas / bersenjata maka ia yang menang.

Terdapat satu aturan paling utama dalam kompetisi di atas ring tinju berstandar kelas dunia manapun, yakni “satu lawan satu, tangan kosong”. Sebaliknya, para kaum premanis, merupakan kaum PENGECUT tulenmereka hanya berani ketika korbannya berjumlah lebih sedikit, bertubuh lebih kecil, merupakan minoritas, atau bertangan kosong. Jika kaum premanis memang sejantan dan sehebat itu, maka mengapa mereka tidak menantang korban-korban mereka untuk bertanding di atas ring tinju lengkap dengan aturan dunia kompetisi tinju, alih-alih meraja-lela di jalanan alias “street fighting” yang tidak pernah memakai aturan dunia tinju sehingga tidak berasaskan sportivitas? Lihat, faktanya bangsa kini miskin prestasi dalam ajang kompetisi di atas ring tinju, sekalipun negeri kita tidak pernah kekurangan warga berjiwa premanis.

Dari sejak kecil hingga tumbuh dewasa di Indonesia, penulis mendapati masyarakat di Indonesia jauh dari sifat-sifat sportivitas sebagaimana dalam dunia seni bela diri kelas dunia. Lihatlah bagaimana tim kesebelasan sepak bola dari negara lain ketika bertandang ke stadiun sepak bola di Indonesia, yang mereka khawatirkan hanya satu : jika menang melawan kesebelasan tim Indonesia, mereka terancam dijadikan korban vandalisme oleh suporter Indonesia. Jangankan terhadap kesebelasan asing, suporter kesebelasan lokal melawan kesebelasan lokal pun seringkali berakhir ricuh bentrok satu sama lainnya, dan itu seakan sudah menjadi tradisi tersendiri yang mungkin menjadi semacam “ritual” di Indonesia, karena berulang terjadi sepanjang tahunnya dan selalu terulang sehingga kita bosan mendengar pemberitaan demikian, membuat kita tidak lagi merasa heran ataupun terkejut ketika menyaksikan pemberitaan serupa kembali terjadi bentrok antar penonton pendukung. Mereka, merasa bangga, alih-alih merasa malu mempertontonkan kebodohan watak mereka kepada dunia global (global village).

Jika para para suporter kita memang sehebat itu, mengapa bukan mereka saja, yang merumput di atas lapangan rumput dan bertanding sebagai peserta pertandingan? Tentu saja mereka tidak berani untuk itu, karena mereka sadar mereka akan kalah bertanding ketika “sebelas lawan sebelas” bukan “lima puluh lawan sebelas”. Tidak ada yang hebat, ketika si “tidak punya aturan” atau si “tidak mau tahu aturan”, menang melawan si “patuh terhadap aturan”. Ilustrasi sederhananya sebagai berikut. Di atas papan catur, Anda menggerakkan pion-pion catur Anda dengan patuh terhadap aturan permainan catur. Namun, lawan Anda, bersikap sesuka hatinya menggerakkan pion-pion caturnya, tanpa mau menghormati aturan main permainan catur juga tidak menghormati Anda selaku kompetitornya. Apa yang kemudian terjadi, jelas Anda akan kalah, dan itu sudah pasti. Tidak ada yang hebat, dengan memakai cara-cara curang, Itu (justru) memalukan. Namun, di mata sebagian masyarakat kita, itulah yang mereka pertontonkan dan banggakan selama ini, akibat bermasalah pada tingkat IQ mereka.

Satu aturan dalam dunia pertandingan bela diri yang paling terpenting ialah, tiada satupun petarung yang diperkenankan menyarangkan serangan kepada lawan tandingnya, sebelum bel pertandingan dibunyikan. Namun, lihatlah aksi-aksi masyarakat kita yang kerap “menyelesaikan segala masalah secara mendadak dan dadakan dengan cara kekerasan fisik”—sudah terhitung jumlahnya berapa kali penulis menjadi korban penganiayaan secara dadakan demikian oleh sesama anak bangsa—mereka tidak malu melontarkan serangan fisik secara tiba-tiba tanpa adanya deklarasi untuk bertarung ketika lawannya tidak bersiaga ataupun menduga, akibat mental “pengecut” mereka, bukan karena “keberanian” mereka. Seorang petarung profesional, tidak akan menerima tantangan juga tidak akan menantang bertarung lawan yang tidak sepadan. Sebagai contoh, petinju “kelas berat” tidak akan bertarung dengan petinju “kelas bulu”.

Mengapa? Karena itu memalukan, dan tidak ada yang bisa dibanggakan sekalipun bisa menang secara mudah dan telak dengan “KNOCK OUT” dalam ronde pertama. Sebaliknya, masyarakat berjiwa “premanis” kita, berkat sifat kepengecutan mereka, merasa bangga dan beruntung bisa memanfaatkan kesempatan demikian, dan itulah yang terjadi di lapangan dan di setiap ruas jalan selama ini. Sehingga, bila ada dua orang murid, dengan umur dan berat yang sama, saling berikar untuk bertarung satu sama lainnya, namun dipastikan “satu lawan satu dan bertangan kosong”, maka sebagai guru, kelapa sekolah, maupun orangtua yang budiman, jangan pernah larang mereka untuk itu. Itu akan mengajarkan mereka budaya sportivitas yang mulai perlu ditumbuhkan di republik ini.

Jika perlu, pihak sekolah memberikan fasilitas berupa ruang untuk bertanding, lengkap dengan wasit dan juri untuk memastikan aturan main dipatuhi dan tiada kecurangan dalam pertandingan mereka. Jika Anda melarang, maka Anda harus konsisten dengan melarang seluruh kompetisi bela diri para kaum dewasa. Yang patut dilarang, ialah aksi tawuran, mengingat sifatnya “bukan satu lawan satu” serta “bukan tangan kosong”. Tawuran antar pelajar maupun antar suporter, merupakan aksi mempertontonkan sifat PENGECUT secara berjemaah, bukan ke-jantan-an. Anak-anak sekolahan turun ke jalan, akibat mereka tidak memiliki teladan maupun fasilitas untuk itu.

Berikut salah satu kiat “social engineering” yang telah lama penulis impikan dan rancang sebagai grand designroad map” membangun masa depan anak bangsa. Bila penulis adalah seorang Menteri Pendidikan, maka di setiap sekolah, negeri ataupun swasta, akan penulis wajibkan untuk menyediakan ring tinju yang layak dan memadai. Bila penulis merupakan Menteri Dalam Negeri, setiap kantor kelurahan wajib disediakan ring tinju bagi masyarakat umum, dalam kondisi selalu terbuka bagi umum 24 jam serta layak digunakan. Tingkat kriminalitas di jalanan, dipastikan akan menurun. Mengapa? Karena kita bisa menantang sang preman jalanan untuk bertarung di atas ring tinju. Para preman, memanfaatkan keadaan dimana masyarakat sukar mengakses dan tiadanya ring tinju untuk adu ke-jantan-an.

Dari seluruh preman yang pernah penulis hadapi di Indonesia, mereka tidak pernah datang untuk menindas dan menganiaya dengan hadir seorang diri. Mereka pasti selalu didampingi kawan premannya, dan bersenjata. Tidak ada yang lebih pengecut daripada bangsa berjiwa preman demikian. Ketika penulis masih duduk di sekolah menengah pertama, berjalan kaki pulang seorang diri lengkap dengan baju pelajar dan ransel di punggung, dua orang preman dewasa mencegat penulis untuk memeras. Itu terjadi di jalanan, bukan di atas ring tinju. Tidak ada preman maupun masyarakat di Indonesia, yang berani melakukan aksi pemerasan di atas ring tinju. Mengapa? Karena aturannya sudah jelas : satu lawan satu, tangan kosong. Mereka terlampau pengecut untuk itu.

Penulis pernah menghadapi seorang preman berbadan sebesar KINGKONG, dan berduel. Anda tahu apa yang kemudian terjadi? Meski tubuh penulis jauh lebih kecil, lebih muda, dan lebih kurus, sang preman tidak berdaya, bertarung seperti seekor keledai betina tanpa daya meski pada mulanya bertingkah seperti mafia ataupun harimau yang ganas. Namun, kemudian penulis dikeroyoki oleh kawan sang preman yang turut serta bersama sang preman, ketika mendapati bos preman mereka tidak berdaya ketika berduel dengan penulis, dimana kemudian penulis diserang dari arah samping tanpa ada deklarasi atau peringatan apapun, yang semula penulis kira hanya seorang penonton namun telah ternyata rekan komplotan sang preman. Hasilnya jelas, penulis babak-belur. Ironisnya, pelakunya ialah para “agamais”.

Jika saja itu terjadi di atas ring tinju, dapat penulis pastikan pertarungan secara marathon sekalipun hasilnya ialah mereka satu per satu akan penulis pereteli kesombongan dan keangkuhan mereka. PENGECUT + TIDAK PUNYA MALU + TIDAK TAKUT DOSA = Bangsa PREMANIS namun “agamais” (berkat iming-iming delusional bernama ideologi “penghapusan dosa”, dimana kita tahu bahwa “hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan dosa”). Pernah terjadi, ketika penulis masih duduk di bangku sekolah dasar (masih seorang bocah bertubuh kecil), ketika berjalan pulang, anak-anak kampung menyoraki penulis semata karena penulis seorang beretnik Tionghua berkulit putih.

Penulis sekadar protes singkat, lalu berbalik badan dan berjalan kembali, namun mendadak dari arah belakang, kepala bagian belakang penulis dihajar oleh seseorang pria dewasa berbusana agamais. “Gua sedang puasa (bulan puasa kaum muslim), bikin gua kesal saja. Kalau lu tidak senang, cari gua di masjid ini,” lalu berjalan masuk dengan bangga ke dalam masjid untuk beribadah. Itu terjadi, ketika sang premanis beribadah dan berbusana muslim, bagaimana ketika tidak sedang beribadah dan tidak berbusana agamais? Anak-anak kampung yang rasis, tidak ditegur, justru dibela sehingga semakin “liar” dan “lestari” menjelma “raja jalanan”.

Jika sang pelakunya jantan, mengapa tidak menunggu penulis tumbuh dewasa, lalu bertarung “face to face” (bukan tiba-tiba dari arah belakang menyerang) di atas ring tinju? Jika penulis bisa kembali ke masa lalu dan tubuh dewasa, akan penulis tantang sang preman “agamais” tersebut untuk bertarung di atas ring tinju, dan akan penulis pastikan paling sedikit salah satu belulangnya patah atau remuk sehingga tidak lagi punya kesombongan untuk menganiaya orang lain ataupun seorang bocah. Mamalukan, namun bangga dilakukan oleh sang “agamais ber-IQ jongkok”.

Setahun yang lampau, ketika mengendari kendaraan bermotor roda dua di ruas jalan raya di Jakarta, tragedi yang lebih ekstrem berikut akan cukup mewakili betapa ekstrem mental “premanis” Bangsa Indonesia. Menyalip dan disalip kendaraan lain adalah hal lumrah. Ketika penulis disalip, paling jauh penulis hanya akan bersungut-sungut dalam hati selama satu detik lamanya. Namun ketika penulis mendapati kondisi di depan penulis berupa kendaraam mobil roda empat yang stagnan tidak bergerak akibat kepadatan pengendara, penulis menyalip ke ruas jalan di samping yang lowong, akan tetapi seorang pengemudi motor kemudian memaki-maki penulis di sepanjang jalan. Pengemudinya, seorang ibu-ibu berjilbab (“agamais” tentunya dari segi busana, dimana makanannya pastilah juga “halal”). Selanjutnya, penulis perhatikan dari belakang di sepanjang perjalanan, yang bersangkutan pun menyalip kendaraan lain, sehingga menyerupai “standar ganda”.

Ketika penulis berjumpa lagi dengan pengendara tersebut, penulis tegur, mengapa memaki-maki seperti orang gila di sepanjang jalan, ia sendiri menyalip namun menolak disalip pengendara lain. “Lalu, mau kamu apa?” tanya penulis. Anda tahu, apa yang kemudian terjadi? Sang ibu-ibu “agamais” tersebut mendadak menghajar wajah penulis dengan keras sampai-sampai helm yang penulis kenakan berguncang hebat. Beruntung helm penulis memiliki lapiran plastik penutup, jika tidak maka dipastikan kacamata dan hidung penulis akan rusak. Refleks, penulis membalas dengan memukul udara di depan wajah sang ibu-ibu agamais. Mendadak, pengendara lain melakukan aksi main hakim sendiri, berupa menjatuhkan motor yang penulis kendarai hingga rusak kaca spionnya, lalu menghakimi penulis, sekalipun penulis jelaskan ibu-ibu tersebut yang menganiaya penulis terlebih dahulu—jelas-jelas aksi kriminil yang dapat dipidana, namun korbannya dipersalahkan hanya karena penulis bergender pria.

Dalam berbagai kesempatan, selalu penulis sebutkan, kurangnya IQ merupakan penyebab dangkalnya “sense of justice” suatu masyarakat. Kejahatan pun terjadi akibat minimnya IQ. Sama seperti meletihkan dan menjengkelkannya berdebat dengan seorang “tukang” yang sekadar mengandalkan otot untuk berpikir dan berbicara. Otot, bisa diandalkan untuk berpikir? Setahu penulis otak seorang manusia terletak di kepala, bukan di otot. Suatu hari, tetangga sebelah kediaman penulis merobohkan rumahnya untuk dibangun kembali, tanpa permisi ataupun memberi informasi. Penulis tegur perilaku demikian, sembari menyebutkan : “Mana, IMB (izin mendirikan bangunan)-nya?” Inilah jawaban sang tukang : “Untuk bangun rumah baru dari rumah lama yang dirubuhkan), tidak butuh IMB.”

Kembali ke kisah dimana penulis dianiaya oleh ibu-ibu “agamais”, inilah yang dikatakan oleh pengendara lain (seorang pria) yang merusak kendaraan penulis, “Yang namanya ibu-ibu, tidak boleh dilawan (sekalipun dianiaya dan dizolimi).” Seolah, sang “IQ tiarap” (hakim dungu) ini hendak berkata : sang ibu-ibu kriminal tersebut bebas dan sebebas-bebasnya untuk menyalah-gunakan statusnya selaku ibu-ibu untuk menganiaya seorang pria dan untuk melakukan tindak kriminal di tempat umum serta di tengah siang-bolong. Sebagai penutup, apakah Anda tahu, kejahatan dalam derajat terbesar, dalam bentuk apa?

Kejahatan dalam derajat terbesar, terjadi ketika lawan / korbannya tidak mampu melawan atau tidak diperbolehkan untuk melawan (kick back). Anda tahu, “AURAT TERBESAR” itu apa? “AURAT TERBESAR” ialah, berbuat dosa. Aurat tubuh fisik, ditutupi dari atas rambut sampai ujung kaki. Namun, mempertontonkan di jalan umum tengah hari, menganiaya orang lain seolah-olah kebal hukum juga imun dari dosa—semata, penulis dianiaya dan dihakimi demikian, karena penulis beretnik Tionghua—dipertontonkan tanpa rasa malu, sebagaimana propaganda “penghapusan dosa” justru dikampanyekan dan dipromosikan lewat pengeras suara eskternal tempat ibadah mereka setiap harinya dan setiap hari raya keagamaan ataupun saat sanak-keluarga mereka meninggal dunia.

Yang semestinya di-tabu-kan, justru dengan bangga dipeluk dan dipertontonkan. Ini dan itu, disebut “dosa”, dan diharamkan. Namun, “penghapusan dosa” justru di-halal-kan dan diumbar serta dijadikan “halal lifestyle. Sudah lama penulis menyebutkan, IQ “tiarap”, hanya bermuara pada pembentukan SQ dan EQ yang tidak kalah “tiarap”. Namun, lagi-lagi, masyarakat bangsa premanis ini berdelusi, sebagai kaum paling superior, bahkan ikut-campur urusan geopolitik negara lain seperti isu di Rakhine Myanmar maupun Sinjiang Uighur serta Jalur Gaza Israel—Hamas Palestina, disamping merasa paling berhak menjadi “polisi moral” meskipun nyata-nyata “preman berbaju hakim” (hakim yang buruk) bila tidak dapat disebut “pendosa” alias “agamais yang sesat”.

Anda tahu, apakah makna dari kata “nasionalisme”? Nasionalisme artinya, tidak menyakiti, tidak merugikan, dan tidak melukai sesama anak bangsa. Sanggupkah Anda dan sudahkan Anda berjiwa nasionalistik? Berapa banyak diantara warga kita, yang betul-betul berjiwa demikian? Anda tahu, mengapa penulis paling gemar menulis? Karena bilamana pembacanya memiliki pendapat berseberangan, ia tidak lagi bisa menerapkan kebiasaan “menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik”, namun dipaksa untuk “adu otak” dengan penulis. Rata-rata mudah membuat mereka “speechless” lewat medium publikasi tulisan, karena memang IQ mereka bermasalah. ini berbeda dengan “lawan bicara” verbal / lisan, akibat otak mereka yang masih “primitif” dan belum beradab, mereka akan cenderung mengambil langkah kebiasaan lama mereka, yakni “kekerasan fisik” sebagai satu-satunya jangkauan solusi yang mereka andalkan dan ketahui untuk memenangkan diri mereka maupun untuk aksi / ajang “main hakim sendiri” (persekusi), sekalipun jelas, mereka merupakan “hakim ber-IQ dangkal”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.