KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Apa yang akan Terjadi pada Dunia Setelah KECERDASAN BUATAN Benar-Benar Cerdas dan Melampaui Kecerdasan Manusia?

Kita Tidak Perlu Hidup di Zaman Baru, namun mengapa Kita Dibawa Menuju Era dimana KECERDASAN BUATAN Menggantikan Banyak Peran Manusia (Dua Kutub yang Sama-Sama Ekstrem)?

Ketika pemerintah pusat mengklaim tercetak pertumbuhan ekonomi sekian persen dalam satu tahun terakhir dan setiap tahunnya belakangan ini, sementara itu fenomena berupa realita “pemutusan hubungan kerja (PHK) massal” mewarnai pemberitaan, diperkeruh oleh kian tingginya angkatan kerja yang menganggur sementara itu lapangan pekerjaan kian sempit akibat telah diambil-alih oleh tenaga-tenaga robotik yang diberdayakan dengan AI (artificial intelligence), maka apakah artinya? Artinya ialah ketimpangan ekonomi kian lebar dan bersenjang, antara si kaya dan si miskin. Si miskin, akan semakin miskin, karena teknologi tinggi berupa kecerdasan buatan maupun manufaktur robotik hanya mungkin dibangun serta dimiliki oleh korporat bermodal kuat—mengingat “resources” yang dibutuhkan bukanlah sebuah perangkat server, namun server raksasa. Adapun kelas menengah, perlahan namun pasti, bertumbangan satu per satu.

Kini, teknologi “generative AI” (GAI), telah mampu merambah bidang seni dan sinematografi, dengan sangat meyakinkan, mengejutkan, serta mengagumkan. Dahulu, para generasi pendahulu kita sesumbar bahwa bidang seni merupakan keterampilan unik seorang manusia yang tidak akan mampu diciptakan oleh robot, yakni kreativitas. Telah ternyata, asumsi demikian terbukti keliru sepenuhnya. GAI bahkan dapat menghasilkan video dengan tampilan realistik, super detail, artistik, indah, penuh imajinasi, dan yang tidak kalah penting ialah sangat kreatif disamping sinematik. Alhasil, tampaknya profesi yang akan punah terlebih dahulu dalam waktu dekat akibat hadirnya GAI ialah, kalangan fotografer dan pendesain seni gambar dua dimensi. Cukup berbekal aplikasi GAI, memasukkan beberapa buah “kata kunci” ke dalam kolom “prompt”, maka video berkualitas tinggi pun disajikan, tanpa mampu kita bedakan manakah video yang nyata dan yang hasil buatan AI (generated by AI).

Seni grafis dan kreativitas, karenanya, dikuasai dan didominasi oleh AI. Bahkan, iklan pariwara berkualitas tinggi dapat diciptakan hanya dengan memakai program GAI. Anda tidak perlu menyewa koreografer, kamerawan, sutradara, aktor, aktris, penulis skrip, pengolah gambar, maupun editor untuk mampu menciptakan video Anda sendiri. Artinya, Anda mampu menghemat anggaran dan memangkas hingga sekian puluh persen dari biaya konvensional produksi sebuah film berkualitas tinggi penuh sinematografi yang rumit ataupun yang memuat “video effect” yang mengagumkan. Apa yang satu dekade lampau tidak pernah ada, kini benar-benar hadir tepat di hadapan kita, dan menjadi potensi yang tidak terbatas untuk dieksplorasi sumber daya dibalik kemampuan sebuah AI.

Akan tetapi disaat bersamaan, kalangan-kalangan profesi yang selama satu abad ini terlibat dibalik “production house” iklan-iklan pariwara maupun film, akan gulung-tikar, tidak mampu menandingi ongkos produksi video-video besutan AI. Sehingga, siapapun dapat bercita-cita menjadi seorang “produser dadakan” sebuah film berkualitas “layar lebar”, dan disaat bersamaan para produsen film tidak lagi berani untuk bermimpi ataupun bercita-cita—mengingat cita-cita dan impian mereka telah dirampas sepenuhnya oleh AI. Kita baru berbicara perihal profesi dunia per-film-an, sementara itu hampir seluruh bidang profesi akan diambil-alih dan digantikan oleh Ai, tanpa terkecuali, mengingat AI pun dapat kita minta untuk membuat sebuah program komputer. Bukanlah berlebihan, bila penulis sebutkan bahwa 99% (sembilan puluh sembilan persen) fungsi pekerjaan konvensional, akan digantikan dan disubstitusi oleh tenaga-tenaga robotik maupun AI, kurang dari satu dekade sejak ulasan ini diterbitkan, mengingat masifnya perkembangan dunia AI secara eksponensial, bahkan terlampau cepat sehingga begitu mengerikan dan menakutkan.

Masa depan, tampak begitu kabur dan kelam, sejak ancaman dibalik kecanggihan Ai nyata-nyata telah berada tepat di depan hidung kita. AI, karenanya, dapat disejajarkan dengan sifat mematikan berbagai “silent killer” lainnya, dan ini bukanlah berlebihan serta bukan sebuah prediksi irasional tanpa dasar, namun sangat rasional dan sudah dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan yang paham dan sadar bahaya yang mengancam dibalik teknologi AI, atau bahkan sudah merasakannya sendiri. Tidak ada yang tahu, akan dibawa kemana dunia kita oleh AI. Segala sesuatunya menjadi terjunkir-balik hanya dalam hitungan kurang dari satu dekade lamanya sejak AI diperkenalkan kali-pertamanya beberapa tahun lampau. Satu hal yang pasti, seluruh kalangan profesi terancam, tanpa terkecuali, saya ataupun Anda.

Pada gilirannya, tercipta sebuah “lingkaran setan” yang begitu mengerikan sebagai konsekuensi logisnya : daya beli masyarakat merosot secara menukik begitu drastis dan dramatis, akibat angka pengangguran meningkat signifikan. Hutang negara turut meningkat, karena harus memberi subsidi kepada para warganya yang kehilangan pekerjaan. Kondisi demikian bukan hanya akan dialami dan dijumpai di negara kita di Indonesia, seluruh negara akan menghadapi kenyataan pahit yang sama akibat penetrasi AI yang kian tidak terbendung karena memang tidak pernah di-rem perkembangannya, oleh karena sifatnya yang “borderless”. Negara-negara masuk kedalam zona “lubang gelap”, karena terjebak pada ambivalensi : menaikkan pajak demi menggenjot penerimaan negara untuk memberikan subsidi bagi masyarakatnya yang terkena dampak AI, namun disaat bersamaan rakyat wajib pajak telah melarat, jobless dan homeless.

Negara-negara seperti Indonesia, yang mengandalkan segmen turisme, tidak dapat merasa santai dan tenang. Para wisatawan lokal maupun mancanegara, akan memilih untuk menyimpan suangnya dalam tabungan hanya untuk belanja kebutuhan pokok. Kebutuhan tersier seperti berwisata, tidak pernah lagi terlintas di benak mereka. Bisa bertahan hidup saja, masyarakat dunia dalam waktu dekat ini sudah cukup merasa beruntung. Akibatnya, tingkat hunian berbagai hotel pada pusat destinasi wisata, tidak pernah mencapai “break event point”. Objek-objek wisata, mulai terbengkalai, terlupakan, serta hanya menyisakan puing-puing kenangan sejarah kejayaannya di masa lampau. lesu, surut, dan kembali tertinggal, sebagai nasib dunia wisata lokal maupun dunia. Pola yang sama akan dijumpai di seluruh negara di dunia ini, akibat daya beli masyarakat global dan nasional telah merosot. Tidak terjadi perputaran uang, yang ada ialah kapitalisasi oleh para pemodal dan penguasa teknologi AI.

Pemutusan hubungan kerja massal dan angka pengangguran tinggi, bukan hanya terjadi di Indonesia, namun di seluruh negara, akibat dampak langsung AI, dan sudah mulai terjadi di Amerika Serikat. Adapun Kepala Negara kita, dengan dangkalnya masih sesumbar bahwa “negara yang bergerak cepat akan meninggalkan negara-negara yang bergerak secara lambat”. Itulah pola pikir orthodoks pemimpin bangsa yang dangkal dan kerdil daya berpikirnya, sama sekali tidak visioner serta gagal menangkap ancaman nyata “super destruktif” yang pastilah akan kita hadapi dalam waktu dekat, serta masih pula ber-utopia perihal ibukota baru Nusantara disaat rakyatnya akan tewas akibat kelaparan massal sebagai prediksi yang benar-benar akan terjadi kurang dari hitungan satu dekade sejak artikel ini disusun dan diterbitkan. Negara-negara yang bergerak cepat maupun yang lambat, kesemuanya akan di-libas dan di-sikat habis oleh AI, terjajah kecanggihan teknologi yang sebelumnya masih asing di telinga kita beberapat tahun yang lampau. Anda pikir Amerika Serikat kurang bergerak secara cepat, pada akhirnya menjadi bumerang dengan hilangnya banyak lapangan pekerjaan akibat kemajuan AI di negara tersebut.

Ketika itu terjadi, angka kriminalitas akan meningkat, akibat perut yang harus diberi makan. Ada yang mengatakan, dan mungkin ada benarnya, bahwa “tiada lagi idealisme diri, ketika perut berbunyi akibat kelaparan”. Penjarahan dan kerusuhan massa, akan kembali terulang. Krisis moneter yang lebih parah dan lebih dahsyat daripada yang terjadi para era Orde Baru, terjadi secara meluas, penulis prediksi akan terjadi sepanjang tahun, bukan kejadian yang lagi insidentil ataupun yang “sekali selesai”. Tidak ada lapangan pekerjaan, daya beli merosot, maka naik-pesatnya angka kriminalitas seperti pencurian, perampokan, penjarahan, dipastikan akan menjadi tren terbesarnya disamping kejahatan-kejahatan “cyber crime” akibat teknologi AI “deep fake” yang tumbuh bak cendawan dimusim penghujan. Tidak ada motivasi bagi para pelajar untuk belajar ataupun sekolah. Buat apa juga dipelajari, tiada yang mampu menyamai terlebih melampaui kecerdasan dan kemampuan bot-bot berbasis AI.

Ketika negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam, hampir tumbang akibat tiada sektor ekonomi yang hidup, maka satu-satunya pilihan bagi negara-negara tersebut ialah dengan berekspansi dengan menjajah negara-negara yang memiliki sumber daya alam untuk menopang hidup rakyat jelatanya, salah satunya adalah Indonesia yang menjadi target empuk yang menggoda, karena sangat sensuil, mengingat berada di garis khatulistiwa, memiliki hasil bumi maupun tambang yang masih cukup melimpah. Bukan hanya akan diperebutkan oleh negara-negara Eropa, namun juga akan diperebutkan oleh negara-negara sesama Asia dan Asean lainnya.

Pada saat itulah, kita akan kembali kepada era dimana kolonialisme pernah menjajah bangsa kita selama berabad-abad lamanya. Perang dunia akan kembali meletus, akibat negara-negara predator akan terus mencari negara untuk dimangsa agar dapat bertahan hidup dan melangsungkan rezimnya. Para pejuang kita mencoba bangkit dengan mengangkat “bambu runcing”, sementara itu para negara-negara penjajah penguasa teknologi robotik berbasis AI akan menjadi lawannya di medan tempur. Kita selama ini menikmati AI, pada gilirannya kita akan menuju era “doom” karena AI.

Tidak butuh menunggu dua generasi dari sekarang untuk prediksi itu terjadi. Tengoklah betapa pesatnya perkembangan AI kurang dari satu dasawarsa terakhir ini, maka kurang dari satu dekade sejak sekarang, kesemua itu niscaya menjadi realita dan kenyataan pahit yang harus kita hadapi dan saksikan dengan mata-kepala kita sendiri. Kini Anda menikmati dan tertawa-tawa oleh AI saat menggunakan potensi dan kecanggihan yang ditawarkan olehnya, tidak lama lagi Ai yang akan menertawakan Anda. Ketika itu benar-benar terbukti benar adanya, maka menyesal pun sudah terlambat, karena penyesalan selalu datang terlambat. Sungguh menjadi kabar buruk bagi anak-cucu generasi penerus kita, dan bersyukurlah Anda yang tutup-usia sebelum sempat prediksi demikian menjadi kenyataan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.