Tersangka atau Terdakwa Tidak Dibebani Kewajiban Pembuktian terhadap Dakwaan JPU
Norma Hukum Acara Pidana Vs. Falsafah Pembuktian
Perkara Pidana Perihal Beban Pembuktian di Persidangan : “Should not be forced on a person without very strong reasons”
(Paton)
Question: Menurut hukum, seseorang ketika didakwa sebagai terdakwa di persidangan, tidak dibebani kewajiban pembuktian. Apakah artinya, si terdakwa menjadi bebas sebebas-bebasnya untuk membuat alibi seenaknya dan alibi-alibi lain yang “sembarang bicara”, lalu JPU (Jaksa Penuntut Umum) yang justru harus membuktikan alibi-alibi itu tidak benar adanya? Mengapa si terdakwa yang ber-alibi, namun JPU yang harus membuktikannya?
Brief Answer: Seorang tersangka, secara falsafah (berangkat
dari kaedah preseden “MIRANDA RULE”) tidak dibebani “beban pembuktian”, karena
seorang tersangka punya “hak untuk diam” dan “hak untuk tetap diam” alias “hak
untuk tidak menjawab ataupun berbicara” (the
right to remain silent). Adalah salah kaprah, pandangan yang
memaknai ketentuan dalam Hukum Acara Pidana yang mengatur : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian”, maka seolah-olah memberikan “blangko kosong” untuk
diisi sesuka-hati oleh pihak terdakwa di persidangan secara tidak
bertanggun-jawab.
Asas-asas hukum, dapat kita implementasikan
karena bersifat lebih otoritatif dan lebih suprematif daripada norma dalam Undang-Undang.
Adapun asas hukum umum pembuktian, menyatakan : siapa yang mendalilkan, maka ia
yang memiliki beban untuk membuktikan dalil-dalilnya tersebut. Begitupula dalam
ranah pidana, siapa yang ber-alibi, maka ia yang dibebani beban kewajiban
untuk membuktikan alibi-alibinya tersebut. Betul bahwa seorang terdakwa
tidak dibebani untuk membuktikan, namun membuktikan terhadap apakah? Ketentuan norma
dalam Hukum Acara Pidana demikian, hanya dapat dimaknai : seorang terdakwa
tidak dibebani kewajiban membuktikan dakwaan Penuntut Umum, namun wajib
membuktikan alibi-alibi yang ia kemukakan dalam nota pembelaan (pledooi) di
persidangan sebagai bentuk pertanggung-jawaban atas alibi yang ia sendiri
lontarkan.
Seorang saksi, bilamana memberikan keterangan
palsu di persidangan, diancam pidana “memberikan keterangan / kesaksian palsu
dibawah sumpah di persidangan”. Sebaliknya, seorang terdakwa yang terbukti
berbohong di persidangan, tidak terancam penalisasi apapun. Karenanya, secara
falsafah hukum pembuktian dan penitensier pidana, asas “praduga tidak bersalah”
ialah dalam kacamata atau perspektif uraian dalam surat dakwaan. Sebaliknya,
terhadap alibi-alibi sang terdakwa di persidangan, secara rasional perlu diberlakukan
asas “praduga berbohong” sehingga alibi tersebut harus mampu dibuktikan oleh si
pembuat alibi—dan itu merupakan beban kewajiban sang terdakwa untuk
membuktikannya, bukan Jaksa selaku Penuntut Umum. Adalah terlampau naif, hakim
yang memandang dan meyakini bahwa seorang terdakwa tidak pernah dan tidak akan
berdusta di hadapan persidangan, yang sama artinya sang hakim sedang “berpraduga
buruk” terhadap pihak penyidik ataupun penuntut.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman, contoh-contoh
sederhana berikut dapat cukup mewakili dan memberikan ilustrasi konkret yang
kerap terjadi di persidangan sebagai cerminan. Seseorang warga didakwa dan
dituntut sebagai pelaku penadahan barang curian. Pihak terdakwa, beralibi,
bahwa barang-barang tersebut bukanlah barang tadahan, karena hanya sekadar
dititipkan oleh kawannya yang bernama “si ADUHAI”—yang sejatinya merupakan
sosok fiktif rekaan yang hanya ada di alam imajinasi-liar sang terdakwa. Hakim yang
dungu, akan memakan dan termakan oleh alibi. Pertanyaannya, apakah pihak Jaksa
Penuntut Umum (JPU) yang harus membuktikannya alias dibebani beban kewajiban
untuk membuktikan alibi-alibi sang terdakwa? Bagaimana bila pihak Penuntut Umum
menolak dibebani beban pembuktian secara “konyol” demikian, apakah artinya
alibi pihak terdakwa adalah dianggap benar alias “praduga terdakwa selalu jujur”?
Siapa yang makan dengan memakai
sebuah piring, maka ialah yang harus membersihkannya (piring tersebut) setelah acara
makan selesai. Seorang JPU, bukanlah petugas “pembersih” piring yang bekas
dipakai oleh orang lain. Pihak JPU, cukup membersihkan piringnya sendiri, yakni
membuktikan kronologi dalam surat dakwaan sebagaimana “tempus delicti” (waktu kejadian tindak pidana) maupun “locus delicti” (tempat kejadian perkar,
TKP) beserta apa yang menjadi “actus reus”
sang terdakwa (sikap lahiriah atau perbuatan baik secara disengaja maupun
kelalaian / alpha / sikap pasif, yang kerap diistilahkan sebagai “dolus dan culpa” sebagai unsur kesalahan dalam pidana).
Masih memakai perumpamaan
memasak, memasak hidangan ringan maka cukup membersihkan sedikit peralatan
memasak. Namun ketika seseorang hendak menyajikan makanan berat yang rumit,
maka semakin banyak peralatan memasak yang harus dibersihkan seusai memasak dan
menikmati hidangan, dan ia harus siap untuk itu. Sama halnya, semakin “bombastis”
alibi seorang terdakwa, maka semakin berat beban pembuktian yang harus ia pikul
untuk membuktikan alibi-alibi “bongsor” seberat gajah tersebut, sebelum
kemudian menjadi blunder dan menjerat leher sang terdakwa itu sendiri alias
menjadi bumerang. Sebaliknya, semakin ringan bobot alibi yang dilontarkan oleh pihak
terdakwa, semakin ringan pula beban yang dipikul olehnya.
Singkatnya, bilamana ternyata
pihak Penuntut Umum bahkan tidak mampu membuktikan kejadian-kejadian yang
dikronologikan dalam surat dakwaan, maka pihak terdakwa bahkan cukup berdiam diri
tanpa perlu membuat nota pembelaan apapun bahkan sama sekali tidak perlu
membantah ataupun menjawab. Sebaliknya, seorang terdakwa yang membantah apa
yang telah mampu dibuktikan oleh Penuntut Umum atas dakwaannya, maka ia harus “membayar
harga” dibaliknya, yakni beban pembuktian untuk ia pikul. Ber-alibi, dengan
demikian, bukanlah sebuah upaya “iseng-iseng berhadiah”. Ketika seorang terdakwa
gagal membuktikan alibinya, maka seketika itu juga ia harus membayar mahal
berupa dinyatakan sebagai “berbelit-belit di persidangan” (keadaan yang
memberatkan kesalahan seorang terdakwa). Selalu ada resiko dibalik suatu sikap
diam atau berbicara, terlebih beralibi-ria.
Secara singkat : Siapa yang
beralibi, (maka) ia yang harus membuktikannya (beban kewajiban). Sementara itu,
JPU dibebani beban pembuktikan sebatas dalil-dalil dalam surat dakwaan. Demikianlah
kita harus memaknai / menafsirkan ketentuan Pasal 66 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian.” Penjelasan Resmi Pasal 66 KUHAP : “Ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas
''praduga tak bersalah'.” Sebagaimana telah kita bahas perihal falsafah
hukum pembuktian perkara pidana, seorang terdakwa “diizinkan” dan “dipersilahkan”
oleh pengadilan untuk berkelit dengan cara berbohong ataupun putar-balik fakta
sekalipun. Karenanya, terhadap alibi-alibi pihak terdakwa, berlaku asas
sebaliknya, yakni asas “praduga berbohong”.
Pada sudut pandang itulah, sistem
pembuktian perkara pidana dan perkara perdata menjadi saling sebangun dan
kongruen, sebagai bentuk rasionalisasi. Sebagai contoh, pihak bank selaku
lembaga keuangan digugat oleh pihak ketiga, bahwa bank klaim sudah "profiling" ala “know you customer” atau yang juga lebih
dikenal dengan istilah “Prinsip 5 C”. Maka, adalah pihak bank yang harus membuktikan
dalilnya tersebut, tidak melulu dibebankan kepada pihak penggugat yang
mengajukan gugatan. Adapun dasar hukum sistem pembuktian dalam perkara perdata,
yakni merujuk kepada kaedah Pasal 163 HIR:
“Barang
siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan
untuk menguatkan hak-nya itu, atau untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah
hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya haknya itu atau adanya
kejadian itu.”
Yang dapat membantah hak orang
lain, bukan hanya pihak yang menggugat, namun juga pihak yang digugat, semisal
membantah gugatan penggugat yang meng-klaim sebagai pihak yang paling berhak
dan paling sah sebagai pemilik atas sebidang tanah yang menjadi objek sengketa.
Dipertegas kembali dalam ketentuan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata):
“Setiap orang
yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau, guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada
suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak dan peristiwa tersebut.”
Dari ketentuan diatas—sekalipun
redaksional pengaturannya kurang ideal dan jauh dari kata “memadai”—namun
setidaknya dapat diuraikan apa yang menjadi prinsip “beban pembuktian secara
proporsional” kepada masing-masing pihak yang berperkara di forum pengadilan,
yakni:
- Siapa yang mendalilkan suatu
hak, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan hak yang didalilkannya,
dan
- Siapa yang mengajukan dalil bantahan
dalam rangka mematahkan keberadaaan hak yang didalilkan pihak lain, kepadanya
dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil bantahannya
dimaksud.
Namun, kesemua itu berdiri atau
bertopang pada sebuah asumsi yang terlampau menggeneralisir : bahwa semua
orang / warga sama kapasitas dan daya kekuasaannya. Sebagai contoh
ketimpangan “posisi dominan”, ialah dalam relasi kekuasaan antara buruh
dan majikan. Seringkali, atau acapkali terjadi dalam praktik, pihak pekerja
tidak diberikan salinan surat perjanjian kerja, yang mana hanya dikuasai oleh
pihak pemberi kerja. Begitupula ketika nasabah penabung membuka rekaning pada
suatu lembaga keuangan, berbagai formulir yang ditanda-tangani oleh pihak
nasabah hanya dikuasai oleh pihak bank bersangkutan (hanya satu rangkap). Lantas,
bagaimana cara membuktikan, bahwa pihak yang menggugat—yakni nasabah bank
ataupun seorang pegawai terhadap pemberi kerja—betul-betul memiliki hubungan hukum
terhadap pihak tergugat yang digugat? Antara “norma hukum” dan “best practice” peradilan, seringkali
tidak seiring berjalan akibat tuntutan rasionalisasi.
Itulah sebabnya, hukum yang
ideal perlu membuka ruang bagi sifat kasuistik suatu atau masing-masing perkara,
serta mengakui keunikan suatu perkara yang “lain daripada yang lain”—semisal
membunuh belum tentu akan dipidana”—yang mana karakteristiknya bisa jadi
berbeda dengan karakter perkara-perkara lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan perihal beban pembuktian. Merujuk teori “Kepatutan
Pembebanan Pembuktian”, untuk itu para pencari keadilan (sebagai penggugat
dalam ranah perdata maupun sebagai korban pelapor dalam perkara pidana yang
kemudian dakwaan maupun tuntutan diwakili oleh JPU selaku representasi negara) dapat
mengutip pendapat Paton yang menYatakan : “Should not be forced on a person without very strong reasons”—yang
bermakna bahwa Pembebanan pembuktian tidak dapat dilakukan kepada seseorang
tanpa alasan yang sangat kuat, maka Majelis berhak untuk berpendapat bahwa
Pembuktian dibebankan terhadap Pihak yang paling mungkin untuk membuktikannya.
“Law in abstracto”, tidak dapat diberlakukan secara “mentah-mentah”,
karena tidaklah arif menggeneralisir berbagai perkara dan disaat bersamaan
menutup-mata terhadap sifat kasuistik suatu perkara. Karenanya, yang menjadi “law in concreto” bisa jadi berupa “contra legem”, dimana telah ternyata
dari riset SHIETRA & PARTNERS terhadap ribuan putusan pengadilan di Indonesia,
Mahkamah Agung RI kerap nyata-nyata dan tegas-tegas menyatakan dalam putusannya,
pendirian untuk menyimpangi norma peraturan perundang-undangan atau bahkan
membantah putusan uji materiil Mahkamah Konstitusi RI, semata karena
karakteristik suatu perkara yang dihadapkan ke peradilan menuntut untuk
memaknai lain dari yang lazimnya dimaknai oleh kalangan umum sarjana maupun
praktisi hukum terhadap suatu norma peraturan perundang-undangan.
Norma peraturan
perundang-undangan dapat begitu membuta serta otoritarian, semata karena ia berpotensi
diberlakukan secara “membuta”. Sebaliknya, norma hukum yang dibentuk dari
kaedah preseden, lengkap dengan keunikan atau karakteristiknya yang khas serta
tidak melepaskan diri sifat keunikan karakteristik perkaanya, sehingga sifat
kasuistik suatu perkara menjadi dihargai dan diberi bobot untuk menjadi
pertimbangan hukum bagi hakim dalam memutus suatu perkara. Norma peraturan
perundang-undangan tidaklah lengkap dan belum sempurna adanya, itulah yang
perlu kita pahami dan sadari. Untuk melengkapkan dan menyempurnakan peraturan
perundang-undangan, kearifan dan kebijaksanaan seorang hakim menjadi garda
terbelakangnya, termasuk pihak Penyidik Kepolisian dan Penuntut Umum menjadi
garda terdepannya—sementara itu garda terdepannya ialah masing-masing warga
sipil di tengah masyarakat.
Sebagai contoh, dahulu kala,
bilamana seorang perampok masuk ke dalam rumah tanpa diundang, bilamana pihak tuan
rumah menembak mati sang penjahat, tuan rumah akan dipidana. Kini, mengadopsi
prinsip hukum pidana kontemporer dari sistem hukum “common law”, bahwa “pemilik rumah tidak harus kabur di rumah
miliknya sendiri ketika datang penjahat tidak diundang”, maka menembak sang
penjahat hingga mati sekalipun tidak lagi berbuntut penalisasi / kriminalisasi bagi
sang tuan rumah. Secara pribadi, sebagai ilustrasi lain, penulis memandang
bahwa “yang terlebih dahulu memukul belum tentu bersalah”, bilamana
karakteristik kejadiannya ialah pihak yang dipukul itulah yang terlebih dahulu membuat
gerakan-gerakan yang bersifat provokatif seperti telah mengambil ancang-ancang untuk
memukul, sehingga “pembelaan diri” dapat dibenarkan berupa “pre-emptive strike”, mengingat kita
tidak punya kewajiban hukum untuk dipukul dan terkena pukul. Begitupula ketika
ikrar perang telah dideklarasikan, siapa yang terkena pukulan terlebih dahulu menjadi
relevan dipermasalahkan. Semisal dalam sebuah pertandingan di atas ring tinju,
menjadi tidaklah relevan siapa yang terkena pukul terlebih dahulu, mengingat kedua
belah pihak menyadari bahwa ring bel tanda dimulainya pertandingan telah
dibunyikan. Menjadi penjahat, harus siap mati, itulah resiko yang harus
dipikul oleh seseorang yang memilih menjelma menjadi seorang penjahat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.