Tiada Keadilan Sosial, ketika Masih Ada Warga yang Dianak-Emaskan Vs. Warga yang Dianak-Tirikan
Salah satu Sila dalam Pancasila, ialah “keadilan sosial”. Namun, apakah dan seperti apakah, yang dimaksud sebagai “keadilan sosial”? Secara singkat, kita dapat memaknai serta memahaminya sebagai “senasib sepenanggungan”, tiada kecemburuan sosial yang melukai prinsip-prinsip egalitarian. Untuk memudahkan pemahaman, maka contoh-contoh sederhana berikut dapat cukup mewakili. Katakanlah, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang-barang kebutuhan yang dijual di pasar-pasar swalayan, oleh pemerintah kita dinaikkan menjadi 15% dari harga yang harus kita bayarkan, pada mulanya akan terbit resistensi dari masyarakat. Akan tetapi, mengingat kebijakan negara demikian diterapkan kepada seluruh masyarakat tanpa terkecuali (erga omnes), maka semua anggota masyarakat merasakan dampaknya dan menjadi saling “senasib sepenanggungan”. Tidak perlu jauh-jauh, harga BBM (bahan bakar minyak) kendaraan bermotor di Indonesia, masih jauh lebih tinggi daripada harga BBM di negara tetangga kita, Malaysia. Namun, mengapa tidak ada warga masyarakat yang berdemo perihal fakta demikian?
Contoh berikut dapat lebih
menjelaskan, dimana merupakan pengalaman pribadi penulis. Pada suatu hari, lift
yang penulis gunakan mengalami masalah, sehingga terjebak didalamnya untuk beberapa
waktu. “Beruntung”-nya, ada warga lain yang juga turut terjebak bersama penulis
di dalam lift dimaksud, sehingga setidaknya ada “kawan yang senasib”—sama-sama menjadi
korban yang terjebak dalam lift—sekalipun penumpang lift lainnya tersebut tidak
membantu apapun juga tidak membuat keadaan lebih baik. Setidaknya, bukan hanya
kita seorang diri yang “sebatang kara” bernasib buruk. Itulah yang disebut
sebagai “ada warga lain yang senasib”.
Ilustrasi berikut cukup
membantu untuk lebih membuat para pembaca memahami esensi “senasib” serta
perannya dalam “menghibur diri”—manusia memang makhluk yang irasional—yakni
semisal dalam sebuah bencana alam atau tragedi kemanusiaan, korbannya hanyalah
kita seorang diri atau hanyalah keluarga kita, maka itu menjadi tragedi atau menyerupai
sebuah petaka. Akan tetapi, ketika jumlahnya masif, itu tereduksi menjadi
sebuah “statistik” belaka, kata seorang tokoh. Suka atau tidak suka, harus kita
akui kebijakan ataupun tindakan negara lewat pemerintahan yang berkuasa pun turut
“memancing di air keruh” berupa daya pikir irasional warga-masyarakatnya.
Ambil contoh dalam sebuah
insiden yang hanya menewaskan anggota keluarga Anda, maka jangan Anda asumsikan
pihak-pihak yang datang melayat akan merasa turut prihatin dan berduka meski
mereka memasang wajah dan nada suara turut prihatin—mereka sebetulnya datang
untuk menghibur diri mereka sendiri, bahwa “betapa beruntungnya kami, tidak
bernasib serupa”. Yang berduka hanyalah anggota keluarga yang ditinggal pergi
oleh almarhum, serta kreditornya yang belum dilunasi, tentunya. Akan tetapi,
ketika insiden berdarah yang terjadi begitu meluas dan sistematik, katakanlah semacam
genosida, dimana korban jiwanya begitu masif, maka anggota keluarga yang
ditinggalkan oleh para almarhum akan membentuk “paguyuban korban tragedi peristiwa
anu”, saling berbagi suka dan duka bersama para keluarga lain yang anggota
keluarganya juga sama-sama menjadi korban dalam peristiwa insiden yang sama
maupun yang serupa.
Contoh, dalam kasus “fraud” Jiwasraya, dimana korbannya
begitu masif dengan total kerugian para nasabah yang terbilang tidak sedikit,
ataupun seperti kasus korban ribuan jemaah yang tertipu oleh “Skema Piramida
Ponzi” FIRST TRAVEL atau penipuan-penipuan lain serupa, sekalipun masing-masing
korban merasa begitu dirugikan, namun mereka dapat “menghibur diri”, bahwa
korbannya bukanlah mereka seorang diri. Ada yang senasib dengan kami, begitulah
mereka akan membatin. Akan tetapi ketika korbannya hanya terdapat satu orang, masyarakat
pun akan tetap menghibur dirinya, dengan membatin : “Setidaknya bukan kami korbannya, betapa kami patut untuk bersyukur.”
Dapat kita jumpai sendiri
liputan pemberitaan, dimana reporter mewawancarai masyarakat yang sekalipun
kediamannya rusak akibat gempa bumi yang hebat mengguncang satu kawasan dimana dampaknya
pemukiman-pemukiman penduduk yang ada menjadi rusak, akan tetapi penduduk lokal
yang diwawancarai masih tergolong “cukup beruntung” karena masih selamat nyawa
dan anggota tubuh maupun anggota keluarganya masih lengkap, berkata dengan nada
penuh syukur dalam liputan tersebut : “Alhamdullilah,
saya dan keluarga selamat dalam bencana alam hebat ini.”
Maka, pertanyaan paling relevan
yang patut kita pertanyakan kemudian ialah, bagaimana dengan warga yang anggota
keluarganya menjadi korban jiwa atau bahkan mereka yang tewas dan kemudian menjadi
penghuni alam baka, bisakah mereka berkata : “Alhamdullilah”? Itu seperti
sedang “mengejek”, bahwa antara “KAMI si lebih beruntung” Vs. “MEREKA si malang
yang kurang beruntung” adalah tidak saling “senasib” adanya. Pernah juga
seseorang warga dalam suatu liputan, menyatakan kecemburuan sosialnya, bahwa
dirinya tergolong warga miskin tidak berpunya, namun tidak pernah mendapatkan
bantuan sosial dari pemerintah, sementara itu warga lain yang lebih makmur
kondisi ekonominya ataupun yang tingkat ekonominya sama dengan sang warga yang
miskin, telah ternyata mendapatkan bantuan sosial. Antara “MEREKA yang dapat”
Vs. “KAMI yang tidak dapat”, sejatinya telah mengoyak semangat dibalik “keadilan
sosial”—tidak lagi “senasib” yang dapat berfungsi sebagai kohesi pemersatu
bangsa.
Kini kita beralih pada rezim
perizinan. Prosedur, semestinya ditetapkan untuk diterapkan secara “tidak
pandang bulu”, alias bukan “tebang pilih”. Contoh, sering kita dengan anekdot “hukum
tumpul ke atas dan tajam ke bawah”, maka tiada lagi “senasib sepenanggungan”,
yang ada ialah antara “KAMI yang dianak-emaskan” Vs. “MEREKA yang
dianak-tirikan”. Ketika prosedur dibengkokkan sehingga mereka yang mampu
memberikan sesuatu sejumlah sekian rupiah (suap / gratifikasi) akan diloloskan
meski tidak memenuhi persyaratan dalam suatu prosedur (bahasa lain dari “aturan
main”), sementara itu peserta lain yang mengikuti proses tender dengan patuh
justru tersingkirkan, maka tiada lagi “senasib sepenanggungan” sebagai sesama
peserta tender.
Makna lain dibalik “senasib
sepenanggungan” ialah “sama-sama ikut aturan main dalam berbangsa dan bernegara”
yakni bernama “sama-sama patuh dan hormat terhadap hukum yang berlaku. Ilustrasi
berikut dapat cukup menggambarkan. Ketika Anda bermain catur diatas papan
catur, Anda mungkin patuh penuh terhadap aturan main catur. Namun, lawan main Anda,
tidak pernah mau patuh terhadap aturan main catur, ia merasa tidak mau diikat dan
terikat oleh aturan main, lantas bersikap sesuka hatinya dan sebebas yang ia
mau. Hasilnya, sudah dapat ditebak, Anda akan selalu kalah, karena ikuti aturan
hukum dan patuh pada hukum.
Itulah sebabnya, “keadilan
sosial” bukanlah sesuatu yang kita harapkan jatuh dari pemerintah suatu negara
kepada penduduknya, namun lebih kepada sikap antar sesama warga sebagai “backbone”-nya. Beban sentralnya, dengan
demikian, bukanlah dipikul sepenuhnya oleh negara lewat pemerintahnya, namun oleh
dan dari sesama warga negara. Bukanlah hanya pemerintah yang harus menciptakan “keadilan
sosial”, namun merupakan peran seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkannya. Pejabat
pemerintahan, diangkat dari anggota masyarakat. Ketika kultur masyarakat kita
itu sendiri adalah “toxic” adanya,
maka jangan harap ada perbaikan “reformasi birokrasi” ataupun semacam “reformasi
mental”. Yang ada dan memang terjadi selama ini ialah “generasi korup jilid
kesatu”, “generasi korup jilid kedua”, dst.
Yang disebut sebagai berjiwa
nasionalisme, artinya tidak menyakiti, tidak merugikan, serta tidak melukai
sesama anak bangsa. Namun berapa banyak anggota masyarakat kita yang benar-benar
mampu mewujudkan dan merealisasikan jiwa nasionalisme demikian? Masyarakat kita
di Indonesia terutama, begitu bermulut besar perihal agama, Tuhan, dan isu “semut
di seberang lautan” semacam “Palestina Vs. Israel”. Namun, terhadap sesama anak
bangsa saling merugikan, saling melukai, dan saling menyakiti. Ibarat anekdot :
Gajah di depan mata, seolah tidak tampak. Semut di seberang samudera, tampak oleh
mata. Berbicara dan bermulut besar perihal agama dan Tuhan, namun miskin dan
nihil sikap bertanggung-jawab terhadap sesama anak bangsa. “Keadilan sosial”,
karenanya, hanya dapat terwujud ketika segenap generasi dan segenap masyarakat saling
berjiwa nasionalistik satu sama lainnya.
Adapun lawan kata dari jiwa
nasionalistik, ialah egoistik dan egosentris-narsistik. Sementara itu lawan
kata dari patriotisme ialah sikap korup yang membuat seorang warga tidak mampu
mengontrol dirinya sendiri untuk tidak meng-korupsi hak-hak warga lainnya—seperti
dengan tidak meng-korup hak pejalan kaki atas trotoar, tidak merampas hak atas
udara bersih, tidak mengambil dana bantuan sosial yang semestinya diberikan
kepada warga yang kurang mampu, tidak meminta dilayani kepada warga masyarakat sipil
sekalipun sang Aparatur Sipil Negara notabene merupakan “civil servant”, serta ketika para pejabat negara tidak menyalah-gunakan
kekuasaan maupun wewenang monopolistiknya.
Pertanyaan relevan untuk kita
semua ialah, sudahkah dan kapankah terwujud, “keadilan sosial” bagi seluruh
rakyat Indonesia? Mengakunya ber-Tuhan, namun telah ternyata Bangsa Indonesia miskin
dari “positive thinking” bahwa kita
bisa berbahagia tanpa merampas kebahagiaan orang lain, kita bisa mencari nafkah
tanpa merampas nasi dari piring milik orang lain, kita bisa melanjutkan hidup
tanpa merampas hidup warga lainnya, dan kita mampu bertahan hidup tanpa merampas
hak-hak orang lain, serta kita bisa masuk surga cukup dengan menjadi orang baik
sekalipun “ate!s”. Ironisnya, menjadi warga masyarakat yang patuh terhadap
hukum serta mengikuti “aturan main” sebagaimana telah diatur oleh hukum, justru
akan membuat Anda tampak “aneh sendiri” serta “selalu kalah seorang diri”.
Jangankah jauh yang tinggi
semacam uraian di atas, masih banyak hingga saat kini kita jumpai warga masyarakat
kita yang bersikap seolah-olah “tidak bisa hidup bila tidak menerobos antrean”—sungguh
cerminan mentalitas bangsa yang masih sangat terbelakang disamping primitif
peradabannya. Tidak mau tertib antre, alias merampas hak warga lain yang terlebih
dahulu antre di depan kita, bukankah itu sudah mencerminkan sikap yang nyata-nyata
melanggar prinsip “senasib sepenanggungan”? Itu baru persoalan minor seperti
antream, namun warga masyarakat kita telah ternyata begitu “negative thinking”-nya, seolah tidak bisa
hidup tanpa menerobos antrean, tidak mengherankan ketika tingkat korupsi di Indonesia
begitu masif dan mendarah-daging di setiap sendi kehidupan aktivitas sipil
maupun pemerintahan.
Kita bisa melanjutkan hidup,
tanpa meng-korupsi hak-hak warga, hak-hak konsumen kita, maupun hak-hak sesama anggota
masyarakat kita. Akibat delusi dan kebodohan batin, sempat beredar video “layar
lebar” yang berlatar-belakang kisah kawanan pencuri yang begitu canggihnya
mencuri dari perusahaan dengan tingkat keamanan tinggi. Orang-orang jenius,
tidak pernah merasa butuh mencuri hak-hak orang lain untuk mencari nafkah maupun
kebahagiaan, mereka sudah cukup kreatif untuk mencari nafkah serta kebahagiaan dengan
cara-cara legal. Itulah preposisi yang masih kukuh hingga saat kini, bahwa IQ
berkorelasi lurus terhadap tingkat kepatuhan dan jiwa nasionalisme seseorang.
Hanya mereka yang ber-IQ
rendah, yang merasa “hanya bisa melanjutkan hidup dengan cara merampas hak-hak orang
lain dan menabrak aturan hukum yang berlaku”. Menjadi tidak salah pula, bahwa
IQ berkorelasi lurus terhadap tingkat EQ maupun SQ seseorang. Hanya orang-orang
yang sepanjang hidupnya telah banyak berkorban biaya dan waktu serta tenaga,
yang dapat mengharap dihargai talenta, pengetahuan, serta keterampilannya. Sama
halnya, semua orang sanggup menjadi “pendosa penjilat penuh dosa” (PENDOSAWAN),
namun tidak semua orang sanggup menjadi seseorang warga berjiwa KSATRIAWAN terlebih
SUCIWAN. Karenanya, adalah lebih mungkin alam surgawi menghargai mereka yang
berjiwa KSATRIAWAN terlebih SUCIWAN. Surga bukanlah “tong sampah” raksasa bagi
para PENDOSAWAN.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.