KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Hubungan Kontraktual yang Bermuara pada Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan RelHubungan Kontraktual yang Bermuara pada Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Relevansinya dengan Tuntutan Ganti-Kerugian Immateriilevansinya dengan Tuntutan Ganti-Kerugian Immateriil

Surat Edaran Mahkamah Agung, Surat Quasi Legilatif yang bersifat “Tambal Sulam”

Bongkar-Pasang Norma oleh Mahkamah Agung yang Bermain-Main dengan Hukum dan Keadilan, dimana Objek Eksperimennya ialah Masyarakat Luas Pencari Keadilan—Terlampau Mahal Harga yang Harus DIbayarkan

Kesan kuat betapa Mahkamah Agung RI kerap bongkar-pasang (tambal-sulam) norma-norma hukum yang ada pada peraturan perundang-undangan, bahkan terhadap norma hukum dalam Undang-Undang, dalam berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang rumusan rapat pleno setiap tahunnya sejak tahun 2012 hingga saat kini, kian tahun kian kentara. Mahkamah Agung RI seolah menjadikan masyarakat pencari keadilan sebagai “kelinci percobaan” untuk melakukan eksperimen bongkar-pasang norma-norma dalam SEMA yang sejatinya telah melampaui domain Lembaga Yudikatif. Sekalipun, Mahkamah Agung RI cukup menjadikan berbagai preseden (best practice) peradilan  sebagai “sumber formal hukum”—tanpa  perlu menyerobot domain wewenang lembaga legislatif.

Berbagai SEMA tersebut, dapat berupa membuat norma baru, membatasi keberlakuan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, meluaskan / menyempitkan penafsiran suatu norma hukum, hingga mengingkari norma hukum dalam Undang-Undang. Bila Mahkamah Agung dalam merumuskan berbagai SEMA tersebut secara matang, masih dapat kita tolerir dan berkompromi bahwa ada kebutuhan mendesak dalam rangka menciptakan kepastian hukum. Namun, ketika yang kemudian terjadi pada berbagai SEMA ialah fenomena “tambal-sulam” dan “bongkar-pasang” norma antar SEMA internal Mahkamah Agung itu sendiri—disebut “surat edaran”, namun secara langsung maupun tidak langsung berimbas kepada hak akses publik pencari keadilan terhadap proses penegakan hukum—maka yang harus membayar mahal ialah masyarakat luas itu sendiri yang terkena dampaknya.

Lawan kata dari “bongkar-pasang”, ialah “kepastian hukum”. Kepastian hukum, bertopang pada rigiditas atau soliditas suatu norma, meski tetap perlu direvisi atau diubah ketika perkembangan zaman dan kebutuhan aktual tidak lagi terelakkan. Akan tetapi ketika SEMA tahun 2012 direvisi dalam SEMA tahun 2013, sementara SEMA tahun 2013 dikoreksi dalam SEMA tahun 2014, akan tetapi SEMA tahun 2014 kemudian dikoreksi kembali tahun berikutnya pada SEMA tahun 2015, selanjutnya SEMA tahun 2015 bernasib direvisi oleh SEMA tahun 2016, dimana kemudian SEMA tahun 2016 lagi-lagi direvisi oleh SEMA tahun berikutnya pada tahun 2017, dan seterusnya, dan selanjutnya, maka profesionalisme dan akuntabilitas Mahkamah Agung RI patut kita ragukan. Mengapa? Karena validitasnya patut diragukan. Sebagai contoh, bila kini terbit SEMA tahun sekian, maka kita patut menduga, bahwa setahun kemudian SEMA tersebut akan kembali direvisi oleh SEMA tahun berkutnya. Wibawa dan reputasi hukum pun, menjadi dipertaruhkan, karena sifat ambigunya pendirian Mahkamah Agung selaku penerbit SEMA.

Kompeten ataukah inkompeten Mahkamah Agung RI kita, mengingat pendirian Mahkamah Agung begitu rapuh, “plin-plan”, serta tidak punya pendirian, seolah menjadikan masyarakat pencari keadilan sebagai objek “try and failure” yang kekanakan (lawan kata dari sikap “dewasa” yang matang kebijaksanaan serta wawasan-khazanahnya), dimana juga yang harus membayar mahal ialah masyarakat luas. Mereka yang berpendirian, adalah berseberangan dengan kaum “oportunis” yang tidak memiliki pendirian. Pohon kelapa, sekalipun melambai-lambai akibat tertiup angin lautan, pijakannya tetap pada titik permukaan tanah yang sama, pendiriannya begitu kokoh, karena fondasi berupa akarnya kuat. Mahkamah Agung kita justru sebaliknya, tidak punya pendirian, alias oportunis.

Dalam kesempatan ini penulis hanya akan membatasi ulasan pada ruang lingkup salah-satu norma yang diatur dalam satu buah SEMA, yang lagi-lagi mengandung sikap berupa pendirian Mahkamah Agung yang mengandung “blunder” serta ambiguitas, yakni sebagaimana tercantum dibawah ini, yang tidak tertutup kemungkinan akan dianulir dalam SEMA tahun-tahun berikutnya.

SURAT EDARAN

NOMOR 1 TAHUN 2022

TENTANG

PEMBERLAKUAN RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR

MAHKAMAH AGUNG TAHUN 2022 SEBAGAI PEDOMAN PELAKSANAAN

TUGAS BAGI PENGADILAN

RUMUSAN HUKUM

RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG

TAHUN 2022

RUMUSAN HUKUM KAMAR PERDATA

1. Perdata Umum

a. Posita gugatan yang menguraikan hubungan hukum perjanjian antara penggugat dan tergugat tetapi petitum gugatan meminta tergugat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, tidak menyebabkan gugatan kabur.

b. Apabila gugatan dalam poin a dikabulkan dan gugatan memuat petitum pembayaran ganti rugi immateriil dan/atau tuntutan atas keuntungan yang diharapkan, majelis hakim harus menolak petitum tersebut.”

Mahkamah Agung RI, ibarat “bebek”, namun “bebek” yang masih harus diajari cara untuk berenang. Apa yang akan penulis bahas dibawah ini, berangkat dari kasus-kasus konkret yang telah pernah bahkan tidak jarang telah pernah disidangkan di Lembaga Yudikatif di Indonesia, untuk menggambarkan betapa Mahkamah Agung seakan “kurang berpengalaman” meski selama setiap tahunnya memutus ribuan perkara lengkap dengan karakteristik peristiwa konkretnya masing-masing, kembali harus bereskperimen-ria dengan nasib para pencari keadilan sebagai taruhannya? Betapa “genit” lembaga Mahkamah Agung kita. Pernah terjadi, seorang investor menanamkan modal kepada seorang pelaku usaha yang mana dalam perjanjian kerjasama permodalan usaha tersebut, disebutkan dan disepakati bahwa atas modal yang diserahkan oleh pemodal kepada sang pelaku usaha, maka pemodal berhak atas “bagi hasil usaha” sebesar sekian persen dari modal usaha yang ia berikan.

Seiring berjalannya waktu, telah ternyata modal usaha tidak diputar untuk keperluan usaha, akan tetapi dipergunakan untuk kepentingan pribadi sang peminjam modal usaha. Setelah proses hukum pidana “penggelapan” ataupun “penipuan” berjalan dan selesai, sang peminjam modal usaha divonis pidana penjara sekian tahun, karena hakim perkara pidana menilai bahwa yang bersangkutan secara sah dan meyakinan terbukti bersalah melakukan tindak pidana terhadap modal usaha milik korban, maka apakah berarti ketika sang korban selaku pemilik modal usaha hendak menggugat secara perdata, sang pelaku hanya perlu membayar sejumlah pokok modal usaha yang telah ia gelapkan bertahun-tahun yang lampau, tanpa perlu dibebani untuk membayar serta “bagi hasil usaha” sebagaimana diperjanjikan dalam kesepakatan pada mulanya?

Istilah “keuntungan yang diharapkan” sebagaimana disebutkan dalam SEMA diatas, mengamanatkan agar Majelis Hakim di Pengadilan Negeri untuk menafikan serta tidak mengabulkan tuntutan segala bentuk “potential income loss”, tidak terkecuali “bagi hasil usaha” yang telah diperjanjikan. Perbuatan melawan hukum (PMH) sebagai tindak-lanjut penyimpangan terhadap surat perjanjian / kontrak, sejatinya merupakan bentuk lain dari “wanprestasi dalam derajat yang paling ekstrem”—disebut demikian, karena pihak tergugat menyikapi perjanjian dengan “itikad tidak baik”. Mengingat karena PMH merupakan “wanprestasi dalam derajat yang paling ekstrem” bilamana pada mulanya yang ada ialah hubungan hukum kontraktual, maka perihal “keuntungan yang diharapkan” sejatinya tetap melekat sebagai hak pihak penggugat saat mengajukan gugatan PMH terhadap pihak yang “secara ekstrem ingkar janji”.

Ilustrasi konkret lainnya, debitor meminjam dari bank (lembaga keuangan yang diawasi oleh OJK maupun PPATK serta nasabah dilindungi oleh LPS), akan tetapi kemudian bank (justru) menjual piutangnya kepada RENTENIR PERORANGAN tanpa seizin terlebih persetujuan nasabah peminjam / debitornya. Meminjam dari bank, namun kemudian ditagih oleh RENTENIR PERORANGAN. Dimana kemudian, pihak RENTENIR PERORANGAN melakukan praktik MARK UP tagihan dengan memakai modus “bunga terselubung” yang berkali-kali lipat dari kesepakatan suku bunga pinjaman dalam Perjanjian Kredit, dan disaat bersamaan memiliki “niat jahat” berupa modus MARK DOWN nilai limit penjualan lelang terhadap agunan yang dilelang jauh dibawah nilai NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) objek agunan semata agar dapat “dibeli dengan harga OBRAL” (menyentuh nilai likuidasi) oleh “nominee” (boneka utusan) pihak pemohon lelang itu sendiri—adanya unsur “conflict of interest”).

Apakah artinya, sang debitor pemilik agunan, tidak dapat dikabulkan tuntutan ganti-rugi materiil serta tuntutan ganti-rugi immateriil-nya? Berdasarkan falsafah prinsip meritokrasi / egaliter, pemberlakuan “sistem merit” seperti penerapan “reward and punishment” adalah sebentuk keperluan disamping kemendesakan itu sendiri, dimana niat jahat patut diganjar dengan penghukuman yang lebih berat sebagai dis-insentif agar melahirkan “efek jera”. Niat jahat dan kejahatan, bukanlah “iseng-iseng berhadiah”, harus ada konsekuensi yuridisnya tanpa kompromi. Terdapat sebuah adagium yang sangat relevan terhadap ulasan diatas, yakni : Clam Delinquens Magis Punitur Quam Palam. Seseorang yang Melakukan Kekeliruan secara Rahasia akan Dihukum Lebih Keras daripada Mereka yang Melakukannya secara Terbuka. Klise, namun masih relevan : Kejahatan bukan hanya terjadi karena adanya niat jahat, namun juga karena adanya kesempatan yang dibuka oleh SEMA.

Dengan dibaku-kannya norma kedalam SEMA, maka konsekuensi logisnya ialah menegasikan sifat kasuistik suatu perkara yang bisa jadi saling berbeda karakter dengan karakteristik perkara-perkara lainnya. Bila saja Mahkamah Agung membiarkan norma-norma atau kaedah hukum bentukan preseden (best practice) tetap sebagai preseden statusnya, maka sifat kasuistiknya tetap melekat kedalam kaedah normanya sebagai satu-kesatuan yang tidak terpisahkan, berupa pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam putusannya untuk dikutip dalam gugatan dengan karakter serupa dikemudian hari. Kini, dengan dicantumkannya ke dalam SEMA, akibatnya menjadi bersifat “pukul rata”, dengan menegasikan sifat kasuistik suatu perkara, yang bisa jadi tidak relevan terhadap norma-norma dalam rumusan SEMA dimaksud. Tugas seorang hakim bukanlah mengatur, namun mengadili secara rasional serta menilai relevansinya antara norma hukum dan konteks peristiwanya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.