Sengketa Kepemilikan Tanah Bersifat Darurat dan Sensitif Waktu, Tidak Boleh Ditunda-Tunda Sebelum Menyesal Dikemudian Hari
Pembeli Derajat Kedua Sangat-Amat Terlindungi oleh
Hukum
Question: Kadaluarsa hak untuk menggugat menurut hukum perdata di Indonesia, ialah 30 tahun. Namun apakah ada alasan, agar tidak menunda-nunda dan segera mengambil langkah hukum seperti menggugat?
Brief Answer: Khusus untuk konteks sengketa hukum terkait
pertanahan atau hak atas tanah, semakin lama tertundanya upaya hukum seperti
menggugat ataupun mengajukan gugat-perlawanan (verzet), maka semakin rentan putusan akan berpotensi menjelma “menang
diatas kertas”—karena, pihak yang merasa sebagai “pemilik yang sah” patut
menduga, bahwa hak atas tanah telah berpindah kembali dari tangan yang satu ke
tangan pihak ketiga, keempat, dst.
PEMBAHASAN:
Berikut contoh perlindungan
hukum bagi pembeli hak atas tanah “derajat pertama”, sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 telah mengatur:
“Pemegang Hak Tanggungan
yang beritikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi
hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak.
“Pemilik asal hanya dapat
mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang tidak berhak.”
Dalam konstruksi hukum diatas, sertifikat
hak atas tanah yang dibalik-namakan keatas nama “Pembeli Lelang”, tidak dapat
dibatalkan, sehingga dilindungi oleh hukum, karena “Pembeli Lelang” selalu
dianggap beritikad baik—kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, semisal pembeli
lelang adalah “nominee” utusan pihak “Pemohon
Lelang Eksekusi” sehingga tidak dikriteriakan sebagai “pihak ketiga yang beritikad
baik”. Namun, akan lebih kompleks serta dilematis bilamana peralihan hak atas
tanah telah masuk kedalam “derajat kedua” atau seterusnya. Adapun kemungkinan
yang terjadi dalam konteks “pembeli dalam derajat kedua”, antara lain:
1.) Kreditor pemegang Hak
Tanggungan (Pemohon Lelang Eksekusi Hak Tanggungan) beritikad baik;
2.) Pembeli Lelang membeli
objek hak atas tanah dengan itikad baik, lalu menjualnya kepada pihak ketiga;
3.) Pembeli hak atas tanah yang
dijual kembali oleh Pembeli Lelang, membelinya dengan itikad baik;
atau
1.) Penjual dan/atau pembeli tidak
beritikad baik, lalu pihak pembeli menjualnya kembali kepada pihak ketiga yang
beritikad baik;
2.) Pembeli “tangan kedua”
dengan itikad baik menjualnya kepada pihak ketiga lainnya;
atau
1.) Pembeli Lelang membeli
objek lelang dengan itikad tidak baik, lalu menjualnya kepada pihak ketiga;
2.) Pembeli membeli dengan
itikad baik;
atau
1.) Penjual dan/atau pembeli beritikad
buruk, lalu menjadikan objek tanah sebagai agunan yang dibebankan Hak
Tanggungan ke lembaga keuangan perbankan;
2.) Kreditor pemegang Hak
Tanggungan kemudian melelang eksekusi Hak Tanggungan karena debitornya gagal melunasi
hutang;
3,) Pembeli Lelang membeli
objek agunan yang dilelang, dengan itikad baik.
Tidak tertutup kemungkinan,
tidak berselang lama, terjadi atau masuklah kedalam konstruksi pembeli “derajat
ketiga”, “derajat keempat”, dan seterusnya, yang variasi kemungkinannya dapat
jauh lebih kompleks. Pada prinsipnya, pembeli “derajat pertama” saja sudah
sangat dilindungi oleh hukum, sepanjang membeli dengan itikad baik. Terlebih, yang
beritikad baik ialah pembeli “derajat kedua”, “derajat ketiga”, dan seterusnya.
Berlapis-lapisnya eksistensi “itikad baik” saat objek hak atas tanah berpindah
tangan atau dialihkan, mengakibatkan sertifikat hak atas tanah yang telah
beralih kepemilikannya, tidak lagi dapat dibatalkan peralihannya, demi kepastian
hukum.
Yang dapat dilakukan oleh “pemilik
asal yang sah”, ialah mengajukan gugatan dalam bentuk tuntutan (petitum) ganti-kerugian berupa atau
dalam bentuk nominal uang seharga nilai objek tanah kepada pihak “penjual yang
tidak sah” saat objek tanah dijual oleh si penjual yang tidak berhak kepada pembeli
“derajat pertama”. Kompleksitas demikian, bila tidak dipahami, disadari, dan
diantisipasi, akan menjelma “gugatan semu” sebagaimana ilustrasi konkret
berikut yang dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah
Agung RI sengketa perdata pertanahan register Nomor 247 PK/Pdt/2020 tanggal 23
April 2020, perkara antara:
1. ABDUL HABIB NASUTION; 2. ENI
INDRAYATI NASUTION; 3. KHOIRIYAH NASUTION, sebagai Para Pemohon Peninjauan
Kembal, semula ialah Para Pelawan; melawan
1. ALI UMAR NASUTION; 2. DIYAH
RETNO UTAMI NASUTION; 3. UNDANG; 4. PT BANK MEGA CABANG PURWOKERTO; 5. HENDI
ABIDIN, selaku Para Termohon Peninjauan Kembali, semula sebagai Para
Terlawan.
Gugatan perlawanan yang
diajukan Para Pelawan, ialah berbentuk “derden
verzet” terhadap pelaksanaan eksekusi pengosongan Pengadilan Negeri Purwokerto
berdasarkan Penetapan Eksekusi Nomor 09/Pdt.Eks/2017/PN.Pwt, pengosongan mana
dimohonkan oleh pihak “pembeli lelang” kepada Pengadilan Negeri, dimana Para
Pelawan mengajukan upaya hukum perlawanan ini dalam rangka untuk melawan eksekusi
pengosongan terhadap tanah yang ditempati oleh Para Pelawan agar tidak dapat dikuasai
oleh pihak Pembeli Lelang.
Objek tanah yang disengketakan,
pada mulanya merupakan “harta bersama” orangtua Para Pelawan. Setelah ibu dari
Para Pelawan meninggal dunia, ayah dari Para Pelawan menjual objek tanah yang
notabene “harta bersama” dengan almarhum istrinya, kepada pihak ketiga,
sekalipun tanpa izin Para Pelawan selaku anak dan ahli waris dari ibu mereka. Perkara
atau sengketa pertanahan ini cukup kompleks, karena objek tanah yang disengketakan
telah berpindah tangan ke tangan pembeli kedua, selanjutnya oleh pembeli kedua
dijadikan agunan kepada pihak bank, dilelang oleh bank akibat debitornya “kredit
macet”, dan dibeli oleh “pembeli lelang”. Dalam bagian penghujung surat
perlawanannya, Para Pelawan menuntut pada pokoknya agar:
- Menyatakan bahwa barang
sengketa tidak boleh dialihkan kepada siapa pun sebelum dibagi waris terlebih
dahulu sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan dan ketentuan hukum waris yang
berlaku lainnya, antara Terlawan I, Terlawan II dengan Para Pelawan;
- Menyatakan bahwa jual beli
antara Terlawan I dengan Terlawan II tanpa sepengetahuan dan seizin Para
Pelawan adalah jual beli yang tidak sah menurut hukum dan akibatnya jual beli
tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada Para
Pelawan;
- Menyatakan bahwa utang
piutang antara Terlawan II dan Terlawan III kepada Terlawan IV tanpa
sepengetahuan dan seizin Para Pelawan adalah tidak sah menurut hukum;
- Menyatakan bahwa peralihan
hak atas barang sengketa dari Terlawan IV kepada Terlawan V adalah tidak sah
menurut hukum;
- Menyatakan bahwa Penetapan
Eksekusi Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 09/Pdt.Eks/2017/PN Pwt, tidak
bisa dilaksanakan (non executable)
dikarenakan sebagian barang sengketa adalah milik Para Pelawan.
Adapun bantahan Para Terlawan
ialah, klaim hak Para Pelawan terhadap sebagian objek lelang, telah 9 (tahun)
berlalu sejak jual beli sampai adanya perlawanan, sehingga telah berpindah
tangan ke banyak “tangan ketiga”. Terhadap perlawanan Para Pelawan, yang
kemudian menjadi amar putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.
82/Pdt.Bth/2017/PN.Pwt, tanggal 2 Mei 2018, ialah : “Menolak gugatan perlawanan
untuk seluruhnya.” Dalam tingkat banding, putusan Pengadilan Negeri diatas selanjutnya
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan Putusan Nomor 365/Pdt/2018/PT.SMG,
tanggal 25 September 2018, berlanjut pada tingkat kasasi yang telah “ditolak”
oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 846 K/Pdt/2019 tanggal 9 Mei 2019.
Para Pelawan mengajukan upaya
hukum Peninjauan Kembali, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat
pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa setelah membaca dan
meneliti memori peninjauan kembali Para Pemohon Peninjauan Kembali semula Para
Pelawan dihubungkan dengan pertimbangan hukum putusan kasasi Judex Juris dalam
perkara a quo, ternyata terhadap putusan kasasi Judex Juris tersebut tidak
terdapat suatu kekhilafan Hakim ataupun kekeliruan yang nyata;
Bahwa objek sengketa adalah
semula harta bersama antara Terlawan I dengan Nyonya Mutmaianah sesuai
Sertipikat Hak Milik Nomor 01121. Setelah istrinya meninggal, Terlawan I menjual
objek sengketa kepada Terlawan II sesuai Akta Jual Beli Nomor 204/AJB/2008 dan telah
dibalik nama menjadi atas nama Terlawan II dan kemudian Terlawan II dan
Terlawan III mengadakan perjanjian kredit dengan Terlawan IV dimana
Terlawan II dan III telah menunggak pembayaran dan telah diperingatkan,
maka Terlawan IV berhak menjual lelang objek jaminan dan Terlawan V
sebagai pembeli lelang adalah pembeli yang beriktikad baik yang harus
dilindungi, maka Para Pelawan tidak berhak lagi atas objek sengketa;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh
Para Pemohon Peninjauan Kembali ABDUL HABIB NASUTION dan kawan-kawan tersebut harus
ditolak;
“M E N G A D I L I :
1. Menolak permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan
Kembali: 1. ABDUL HABIB NASUTION, 2. ENI INDRAYATI NASUTION, 3. KHOIRIYAH
NASUTION tersebut;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.