Bangsa yang Gemar Monolong dan Membantu, namun Soal Uang (justru) Sebaliknya
Bersatu, namun Tidak untuk Urusan Produk Konsumsi.
Bergotong-Royong, namun Tidak untuk Urusan Uang. Toleransi, namun hanya untuk
Urusan Dosa dan Maksiat, Tidak untuk Kaum yang Berbeda Keyakinan. Itulah, Wajah
Real Masyarakat di Indonesia
Bangsa Indonesia memang dikenal sebagai masyarakat yang suka menolong. Namun sayangnya, untuk hal-hal yang memiliki kaitannya dengan uang justru sebaliknya, sehingga Anda harus belajar dari pengalaman buruk kita sendiri yang sudah-sudah maupun pengalaman buruk orang lain, bahwasannya kita harus sangat berhati-hati mengingat masyarakat Indonesia khusus untuk urusan yang terkait uang bisa sangat manipulatif, jahat, terselubung, mengecoh, penuh tipu-muslihat, egosenstris, serta suka berdusta, alias bertolak-belakang dengan citra masyarakat kita di Indonesia yang dikenal sebagai gemar menolong dan membantu. Negeri kita, tidak pernah kekurangan para penipu maupun para pendosa-agamais pemeluk ideologi “penghapusan dosa” (abolition of sins). Banyak terdapat ulasan dari para netizen, bahwa hidup dengan tidak menerapkan “negative thinking” di tengah-tengah masyarakat Indonesia, akan menjadi “mangsa empuk”.
Yang disebut sebagai “sebangsa
dan senegara”, artinya ialah sang warga saling menjaga dan mengayomi satu sama
lainnya selayaknya sebuah keluarga besar (nation
village), dimana itulah yang dikenal dengan istilah sebagai jiwa
nasionalis—nasionalisme tidak bermakna kecintaan terhadap Tanah Air, namun
lebih kepada komitmen tanpa kenal kompromi untuk tidak saling merugikan,
melukai, maupun menyakiti sesama anak bangsa (elemen ke-rakyat-an). Dengan jiwa
nasionalis-patriotisme, seseorang warga Indonesia tidak akan “menzolimi” warga
Indonesia lainnya semata karena diberi upah kerja (uang “sogokan”) oleh atasan
/ majikannya yang berkebangsaan asing dan mendirikan usaha di Indonesia (PT.
PMA, penanam modal asing).
Namun sebagaimana dapat kita
saksikan serta alami langsung dengan mata serta telinga kepala sendiri, betapa
kita harus bersikap hati-hati serta penuh kewaspadaan agar tidak terjebak dan
terjerumus maupun terperangkap modus tipu-menipu oleh sesama anak bangsa kita
sendiri, alias bukan oleh bangsa asing. Kita tidak merasa aman dan tiada pula
jaminan akan tidak dilukai maupun tidak dirugikan oleh sesama warga
domestik-lokal di Indonesia. Jangankan terhadap sesama warga Indonesia,
masyarakat kita yang menyandang jabatan sebagai anggota kepolisian sekalipun,
sudah bukan “rahasia umum” lagi justru memandang masyarakat sipil (sesama anak
bangsa) sebagai “sapi perahan” (terutama kasus tilang-menilang), dimana mereka
mempertontonkan arogansi seragam maupun atas sikap mereka yang abai dan
menelantarkan aduan korban pelapor, hingga tidak pernah benar-benar eksis untuk
kepentingan masyarakat sipil.
Maka, bagaimana dengan
masyarakat Indonesia yang selama ini “berprofesi” sebagai preman pelaku aksi
premanisme? Jangan tanya lagi perihal dimanakah jiwa nasionalisme mereka,
ketika mereka mencuri, memeras, ataupun merampok sesama anak bangsa. Belum lagi
kita bicara mengenai para Aparatur Sipil Negara atau yang lebih dikenal dengan julukan
Pegawai Negeri Sipil (civil servant),
mereka digaji serta diupah oleh pajak maupun retribusi yang dipungut dari masyarakat,
namun alih-alih memperlakukan rakyat jelata sebagai majikan, mereka justru
bersikap seolah-olah masyarakat tang berhutang budi terhadap mereka, disamping
memamerkan arogansi jabatan yang memonopoli pelayanan publik maupun akses
kependudukan dan peradilan. Nasionalisme, bukan untuk diucapkan ataupun
dijadikan jargon-semboyan belaka, namun untuk dihayati dan direalisasikan dalam
keseharian alias wujud konkret dalam keseharian, atau yang dapat kita sebut
sebagai “keteladanan nyata”.
Pernah terjadi pada suatu
waktu, ketika penulis mencari rumah kediaman untuk penulis beli, saat
mengunjungi objek rumah didampingi sang agen properti, mendadak sang agen
diteleponi oleh marketing pengelola website iklan jual-beli properti, dan inilah
yang kemudian dikatakan oleh sang agen lewat telepon genggamnya kepada pihak
marketing pengelola website dimana sang agen biasa memasang iklan properti yang
ia perantarai jual-belinya, ketika ditanyakan apakah ada keinginan dari yang
bersangkutan terkait penampilan iklannya dalam website terhadap kata kunci yang
biasa diketik oleh para pencari rumah :
“Kalau bisa sih, hanya iklan (properti
yang saya jual) yang muncul, iklan agen lain tidak perlu muncul. Hehehe...”.
Anda lihat, apa yang muncul
pada benak Anda jika mendengarnya secara langsung sebagaimana penulis
mendengarnya dengan telinga sendiri ketika berada di rumah objek yang ia
perantarai jual-belinya? Inilah yang muncul di benak penulis : agen lainnya
seagama dengan yang bersangkutan, namun mengapa ia justru menzolimi rekan
seagamanya? Agen lainnya beretnik sama dengan sang agen bersangkutan, namun
mengapa justru zolim terhadap sesama etniknya sendiri? Mereka, para agen
properti tersebut, memiliki profesi yang sama sebagai rekan seprofesi dengan
yang bersangkutan, namun telah ternyata tidak menjamin bahwa seseorang “Made in Indonesia” akan bersikap saling
menghargai maupun saling menghormati satu sama lainnya, sekalipun mereka
notabene sebangsa, se-Tanah Air, seagama, se-etnik, juga sepofresi yang sama
dengan sang warga Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana bila kita tidak segama,
tidak sebangsa, dan tidak seprofesi dengan yang bersangkutan, apakah tidak akan
lebih zolim?
Seagama artinya saling
berkohesi satu sama lainnya. Jika terhadap mereka yang seagama saja demikian
licik, korup, culas, dan zolim, maka bagaimana wajah serta praktik masyarakat
kita terhadap sesama bangsa yang berlatar-belakang kaum “non” alias tidak
seagama? Sebagaimana kata orang bijak ketika mengamati tingkah-polah masyarakat
kita di Indonesia, terhadap dosa dan maksiat demikian kompromistik—ada
penghapusan dosa—namun terhadap kaum yang berbeda demikian intoleran. Itulah
penjelasan dalam perspektif psiko-sosiologi, mengapa masyarakat kita di Indonesia
dikenal pula sebagai bangsa yang (mohon maaf) cukup kompromistik terhadap
korupsi maupun terhadap koruptor, mengingat masyarakat kita itu sendiri dalam
keseharian bersikap korup baik secara kasar, terang-benderang, maupun secara
terselubung (penuh selubung).
Sebaliknya, mereka yang tidak
pernah menipu ataupun merugikan orang lain, akan cenderung murka
semarah-marahnya ketika ditipu ataupun dirugikan oleh orang lain. Mengapa?
Penjelasannya ialah semata karena orang-orang jujur selama ini tidak pernah merugikan
terlebih menipu orang lain, karenanya merasa berhak untuk diperlakukan secara
jujur dan adil. Ketika prinsip atas haknya tersebut terluka atau ternodai, maka
“meledak”-lah sang orang jujur. Begitupula untuk “menyapu” (bersih-bersih)
rumah dari kotoran, tidak dapat menggunakan “sapu yang kotor”. Orang yang
terbiasa dan biasa berbuat curang maupun manipulasi, akan cenderung
kompromistik melihat maupun mengalami penipuan—baginya adalah merupakan hal
yang biasa saja menipu atau bila tidak terkena tipu.
Sementara itu, seprofesi
artinya saling senasib-sepenanggungan. Ketika penulis masih sebagai pekerja
kantoran, salah seorang direksinya ialah mantan pejabat tinggi pada salah satu
institusi pemerintahan. Beliau mengaku kepada penulis, beliau menyuap dalam
rangka naik jabatan sehingga duduk menjadi eselon tertinggi pada salah satu
direktorat di kementerian. Menyuap, agar naik jabatan atau agar jabatannya
tidak digantikan pejabat lain, sejatinya merampas hak-hak para aparatur lainnya
yang lebih patut dipromosikan untuk naik pangkat. Yang bersangkutan melupakan
apa kata pepatah, sesama pengemudi kendaraan janganlah saling mendahului. Kita
harus menghormati profesi orang lain sebagaimana profesi kita ingin dihargai
dan dihormati. Begitupula, kita harus menghormati rekan seprofesi kita,
sebagiamana kita menghargai dan menghormati profesi kita sendiri.
Jangankan itu, kerap kita
membaca atau mendengar pemberitaan ketika negeri sedang dilanda wabah pandemik,
dana bantuan sosial dari pemerintah pusat maupun daerah telah ternyata di-sunat
oleh “oknum” Ketua Rukun Warga maupun Rukun Tetangga setempat. Maka bagaimana
seorang Menteri Sosial yang bukan warga setempat, ketika melihat dana bantuan
sosial yang senilai miliaran hingga triliunan rupiah? Begitupula “oknum” lurah
maupun pejabat daerah, yang diberi suap sehingga menjadi “menutup mata”
(pembiaran maupun melindungi usaha tanpa izin) terhadap praktik pelanggaran
terhadap Peraturan Daerah Tata Ruang Wilayah, dimana alih-fungsi pemukiman
menjelma tempat usaha bahkan pergudangan maupun perkantoran terjadi secara
vulgar dan seronok, sehingga menimbulkan dampak sosial, dampak lingkungan,
maupun dampak lalu-lintas yang merugikan warga pemukim setempat.
Para pembaca mungkin telah
pernah atau memiliki pengalaman dimana orang yang berhutang pada kita justru
tidak mudah ditagih, dimana mereka justru mempertontonkan hidup yang lebih enak
dan lebih mewah daripada kita yang gagal menagih piutang—seolah-olah
menertawakan kita dengan “hidup senang diatas derita pemilik piutang”. Anda
tidaklah seorang diri, penulis pun mengalami fenomena sosial demikian yang tampaknya
memang menyebar dan merata, dimana juga penulis kerap mendengar kisah-kisah
“pilu-ironis” serupa dari warga-warga lainnya. Seorang “debt collector” (penagih hutang), memang harus dirancang untuk
menakutkan serta tidak ramah. Orang Indonesia sudah dikenal sukar untuk ditagih
urusan hutang-piutang, dimana bila Anda menagih dengan sikap ramah dan sopan
ala “orang Timur”, (maka) dapat dipastikan Anda akan pulang sia-sia sembari
“gigit jari” dan mengelus dada. Anda harus kasar serta sarkastik ketika menagih
hutang kepada orang Indonesia, alias tahu kapan harus menjadi seorang
barbariknis ketika berhadapan dengan orang Indonesia. Untuk menghadapi manusia
purbakala tidak beradab (berhutang, namun tanpa malu tidak membayar), kita pun
harus menjadi manusia purba tidak beradab.
Sebagai penutup, berikut satu
buah tips paling penting ketika kita hidup di tengah-tengah masyarakat
Indonesia, sekalipun kita sebangsa dan senegara : ketika kita merasa sungkan
maupun takut, jangan tunjukkan perasaan tersebut. mengapa? Karena, bila
kita tunjukkan sikap-sikap inferior semacam rasa sungkan maupun takut, maka
kita akan “dimakan” hidup-hidup. Tidak percaya, cobalah sendiri. Lengah
sedikit saja benteng pertahanan Anda, mereka mendadak menjelma “predator
bagi sesamanya” (mendadak jadi predator)—sebagaimana semboyan “homo homini lupus”, bahwasannya “manusia
adalah serigala bagi sesamanya”. Jika kita bersikap takut-takut dan
lemah, maka orang lain akan menghargai dan menghomati diri kita, itu adalah
delusi.
Kiat kedua, ialah kredo berikut
: Jangan bersikap seolah-olah kita tidak memiliki daya tawar maupun pilihan
bebas, apapun kondisinya. Kredo ketiga yang juga masih ciptaan penulis
ialah, jangan bersikap seolah-olah kita tidak memiliki pikiran untuk menilai
serta memutuskan sendiri. Tiada yang lebih berbahaya serta “toxic” daripada mentalitas inferior. Banyak
manusia “predator”, yang memangsa korbannya karena melihat faktor inferioritas diri
dalam jiwa maupun pikiran sang mangsa, target yang sangat mudah untuk dikelabui
serta dimanipulasi maupun digiring dan diperdaya (easy prey). Bruce Lee, tokoh beladiri legendaris yang mendunia,
memulai debutnya ke dunia beladiri mancanegara bermula dari kemampuan beliau
menyingkirkan mental inferioritas bangsa Timur ketika ia terbang ke Barat. Untuk
itulah, membangun, memupuk, serta membina kepercayaan diri itu penting,
sepanjang kita tidak berjerumus ke sudut sebaliknya, yakni arogansi terlebih
kesombongan yang irasional.
Yang lemah, akan dimakan oleh
yang kuat, “hukum rimba” tidak beradab demikian nyata-nyata eksis di tengah
masyarakat Indonesia, hanya saja berkamuflase lewat modus-modus yang kasar
hingga yang demikian terselubung alias dipoles kedok penuh tipu-muslihat. Untuk
urusan uang, ketika orang yang mendekati atau berhadapan dengan kita tampak
begitu baik penuh perhatian dan kepedulian terhadap Anda, bak malaikat, maka
tingkatkan kewaspadaan Anda menjadi level tertinggi tanpa pernah dikendurkan
sedikit pun—jika Anda meremehkan nasehat hasil dari kristalisasi berbagai
pengalaman buruk penulis yang telah hidup hampir separuh abad lamanya di
tengah-tengah masyarakat Indonesia, maka “penyesalan datangnya selalu
terlambat”. Lebih baik “tidak sungkan” dan pahit di awal serta di muka,
daripada pahitnya di belakang dan dikemudian hari. Jadilah pribadi yang
profesional, setidaknya bagi dan untuk diri kita sendiri, agar kita dapat
menjaga diri baik-baik di tengah-tengah “manusia predator yang berkeliaran
mencari mangsa”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.