Implementasi / Melaksanakan Perjanjian secara
Melanggar Undang-Undang, adalah PMH (Perbuatan Melawan Hukum)
Resiko Dibalik Perbuatan Melawan Hukum, Fatal Akibat Hukum dan Konsekuensi Hukumannya
Question: Bila salah satu pihak dalam suatu ikatan perjanjian yang sebelumnya disepakati oleh para pihak, justru jelas-jelas melanggar hukum dan membuat kerugian bagi salah satu pihak, dalam hal ini melanggar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mewajibkan pihak yang perbuatannya melawan hukum sehingga menerbitkan kerugian, untuk mengganti-kerugian pihak yang telah dirugikan, maka mengapa tetap dipaksakan untuk mengajukan gugatan dengan kriteria “wanprestasi” alih-alih menggugat pihak bersangkutan sebagai telah melakukan “perbuatan melawan hukum”?
Brief Answer: Menyalah-gunakan surat perjanjian yang ada,
dalam artian menggunakan atau melaksanakan perjanjian dimaksud secara
menyimpang dari tujuan semula sebagaimana kesepakatan dalam perjanjian yang
dibuat, merupakan “Perbuatan Melawan Hukum” (PMH), derajatnya bukan lagi
sekadar “wanprestasi” belaka.
PEMBAHASAN:
Akibat hukum dari suatu
penyimpangan atas perjanjian yang tergolong sebagai “perbuatan melawan hukum”,
dapat bersifat sangat fatal hukumannya, sebagaimana ilustrasi konkret yang
sangat menarik yang dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan
Mahkamah Agung RI sengketa perdata register Nomor 618 K/Pdt/2014 tanggal 16
Juli 2014, perkara antara:
- PT. BANK NEGARA INDONESIA
(PERSERO) Tbk. KANTOR CABANG TANJUNG REDEB, sebagai Pemohon Kasasi I semula
selaku Tergugat; melawan
- FERRY HUDIONO, selaku Pemohon
Kasasi II semula selaku Penggugat.
Penggugat mempunyai tempat usaha
bilyard yang pada mulanya merupakan Rumah Toko (Ruko) tempat tinggal orang tua
Penggugat yang bernama Hudiono. Karena orang tua Penggugat pindah ke lain kota,
maka untuk selanjutnya Ruko milik orang tua Penggugat tersebut Penggugat
gunakan sebagai tempat untuk usaha hiburan permainan bilyard, dimana usaha
berjalan lancar selama ini dengan pendapatan setiap harinya untuk 6 buah meja
bilyard sebesar Rp2.500.000,00. Secara tiba-tiba pada tanggal 19 Desember 2011,
tempat usaha Penggugat ditutup paksa oleh Tergugat dengan mengusir keluar seluruh
pengunjung / pemain bilyard dan tujuh orang pegawai Penggugat, tanpa memberi
kesempatan bagi pekerja Penggugat untuk melakukan penyimpanan alat-alat bilyard
yang dipakai oleh pemain kecuali kasir, meskipun tidak sempat merapikan
administrasi pembukuan di meja kerjanya.
Pegawai Penggugat telah meminta
Tergugat agar para pekerja Penggugat membersihkan dan merapikan alat-alat
bilyard yang baru dipakai oleh tamu Penggugat sambil menunggu Penggugat kembali
dari makan siang, namun Tergugat menolak permintaan tersebut, dan memerintahkan
pegawai Penggugat untuk segera keluar dan meninggalkan tempat usaha.
Selanjutnya Penggugat mengirim surat kepada Tergugat untuk segera membuka
tempat usaha Penggugat dengan tanpa syarat, ditanggapi Tergugat dengan memberitahukan
bahwa Tergugat akan membuka gembok ruko yang menjadi tempat usaha Penggugat.
Telah ternyata saat Penggugat
menerima surat Tergugat, Tergugat telah membuka tempat usaha Penggugat tanpa
dihadiri oleh Penggugat dan tanpa dibuat berita acara apapun, disertai tulisan
“Bangunan dalam pengawasan Bank BNI” pada bangunan ruko tempat usaha Penggugat.
Penggugat tidak tahu secara pasti mengenai keadaan dan isi tempat usaha
Penggugat sejak ditutup paksa oleh Tergugat sampai pada tanggal 7 Maret 2012. Tindakan
Tergugat melakukan penutupan tempat usaha Penggugat tanpa didahului pemberitahuan
atau peringatan apapun, merupakan Perbuatan Melawan Hukum—penutupan secara
paksa mana sifatnya “main hakim sendiri” karena tanpa disertai surat Ijin dari
Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Akibat tindakan Tergugat yang
telah “main hakim sendiri” dengan melakukan penutupan secara paksa tempat usaha
Penggugat, konsekuensi logisnya terjadi kerugian di pihak Penggugat, yakni kehilangan
potensi penghasilan yang setiap hari diperoleh dari penyewaan enam meja bilyard
untuk satu hari sebesar Rp2.500.000,00 dimana untuk penghasilan dalam 1 bulan
sebesar Rp2.500.000,00 x 30 (tiga puluh) hari = Rp75.000.000,00. Belum lagi Penggugat
harus membayar gaji / upah untuk 7 orang pegawai untuk setiap bulannya sebesar
Rp7.500.000,00. Sehingga, untuk setiap bulannya Penggugat telah menderita
kerugian sebesar Rp75.000.000,00 + Rp7.500.000,00 = Rp82.500.000,00. Dengan
demikian total kerugian Penggugat sejak ditutupnya tempat usaha Penggugat
sampai dengan gugatan ini didaftarkan selama 3 bulan yakni sebesar
Rp82.500.000,00 x 3 = Rp247.500.000,00.
Sejak tanggal penutupan secara
paksa tempat usaha oleh Tergugat, Penggugat tidak dapat tinggal di dalam ruko tempat
usaha Penggugat sebagaimana biasanya, terpaksa Penggugat harus menginap di hotel
ataupun penginapan sebagai tempat tinggal Penggugat selama ini karena Penggugat
tidak mempunyai keluarga di daerah tersebut, dan harus membayar biaya menginap setiap
harinya Rp500.000,00 yang dalam 1 bulannya sebesar Rp500.000,00 x 30 =
Rp15.000.000,00. Saat Tergugat menutup secara paksa tempat usaha Penggugat,
Penggugat tidak dapat mengambil barang-barang Penggugat termasuk pakaian ganti
dan keperluan sehari-harinya, Penggugat terpaksa membeli beberapa pakaian ganti
termasuk keperluan Penggugat yang diperkirakan seluruhnya sebesar
Rp15.000.000,00.
Oleh karena pembukaan gembok
pada ruko tempat usaha Penggugat tersebut dilaksanakan tanpa dihadiri /
disaksikan oleh Penggugat maupun perangkat kelurahan atau ketua RT setempat,
maka meskipun Tergugat memberitahukan telah membuka kembali gembok pada ruko
tempat usaha Penggugat, Penggugat tetap tidak mau memasuki ruko / tempat usaha
Penggugat sebelum Tergugat memanggil Penggugat untuk menyaksikan pembukaan ruko
/ tempat usaha Penggugat tersebut yang disaksikan oleh perangkat kelurahan setempat
atau paling tidak ketua Rukun Tetangga, namun hingga tanggal 7 Maret 2012
karena Tergugat tidak mempunyai itikad baik untuk memanggil kembali Penggugat dalam
rangka menyaksikan pembukaan ruko tempat usaha Penggugat, maka Penggugat dengan
inisiatif sendiri meminta agar Tergugat hadir untuk menyaksikan pembukaan ruko /
tempat usaha Penggugat yang masih terkunci dan kuncinya berada pada Tergugat.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Langkah prudent dan kritis demikian adalah penting untuk dijadikan
pengalaman serta pembelajaran bagi masyarakat umum, agar pihak yang melawan
hukum tidak dapat berkelit ketika terjadi kehilangan atas barang-barang di
dalamnya.]
Pembukaan ruko tempat usaha
Penggugat lakukan untuk mengambil barang-barang Penggugat yang berada di dalam
ruko tempat usaha, selain dihadiri oleh Tergugat juga disaksikan oleh ketua RT setempat,
juga dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Penggugat dan Ketua RT
setempat. Ternyata saat dibuka ruko tempat usaha, keadaan barang-barang
Penggugat porak-poranda bahkan sebagian besar barang-barang berharga hilang
sebagaimana tercantum dalam daftar barang-barang yang hilang pada saat
pengecekan di dalam ruko / tempat usaha Penggugat pada tanggal 7 Maret
2012—alias tidak lagi dalam kondisi utuh sebagaimana kondisi tempat usaha saat
ditutup secara sepihak oleh Tergugat.
Atas hilangnya barang-barang
Penggugat yang berada di dalam dan di luar ruko tempat usaha Penggugat, menjadi
tanggung-jawab hukum Tergugat, mengingat sejak ditutupnya dan dibuka pada
tanggal 29 Desember 2011 pada bangunan ruko / tempat usaha Penggugat telah
tercantum tulisan “Bangunan ini dalam Pengawasan Bank BNI”. Oleh karena itu
Penggugat menuntut Tergugat untuk mempertanggung-jawabkan atas kehilangan
barang-barang Penggugat yang berada dibawah pengawasannya, sebagaimana dalam daftar
barang-barang milik Penggugat yang hilang maupun yang rusak pada saat
pengecekan di dalam ruko pada tanggal 7 Maret 2012, antara lain barang-barang
berharga seperti pompa air, uang tunai, stik, netbook, tas, uang di laci, digicam,
jam omega, uang tunai, laptop, handycam, DVD player, perhiasan emas, batu
berlian dan giok, BPKB kendaraan bermotor, dompet, ATM, buku cek, dollar,
dengan total kerugian senilai Rp2.144.570.000,00—menjadi kerugian konkret yang
diderita Penggugat akibat perbuatan main hakim sendiri pihak Tergugat.
Sehingga, jumlah kerugian
Penggugat secara keseluruhan baik keuntungan usaha yang hilang, biaya upah
pegawai, hingga barang-barang yang rusak atau hilang, adalah sebesar Rp2.452.070.000,00.
Adapun yang menjadi dalil Tergugat untuk berkelit, berargumentasi bahwa isu
tentang ganti kerugian atas hilangnya barang milik Penggugat yang secara
yurisdiksi merupakan kompetensi dari peradilan pidana, karena hilangnya suatu
barang merupakan kewenangan pihak yang berwajib untuk menanganinya dalam area
hukum pidana. Gugatan yang diajukan oleh Penggugat harus dinyatakan prematur
alias terlalu dini, mengingat hingga saat kini permasalahan hilangnya barang milik
Penggugat belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan pidana sehingga belum
terdapat putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Penggugat terlebih dahulu harus
mengajukan laporan / tuntutan pidana kehilangan barang miliknya kepada pihak
yang berwajib untuk diproses secara pidana untuk membuktikan siapa pelaku yang
telah menghilangkan barang-barang milik Penggugat. Penggugat mengklaim sebagai
anak dari sdr. Hudiono, sehingga Penggugat tidak mempunyai hubungan hukum
apapun dengan Tergugat, karena Tergugat hanya mempunyai hubungan hukum dengan
sdr. Hudiono selaku “debitur macet” Tergugat yang sebelumnya telah menyerahkan jaminan
pelunasan kreditnya berupa Sertifikat Hak Milik atas ruko. Ruko yang diklaim
Penggugat merupakan tempat usahanya adalah tidak benar mengingat sampai saat
ini belum terdapat pengalihan hak kepada pihak siapapun termasuk dari Hudiono
kepada Penggugat, dimana objek agunan tidak diperbolehkan berpindah-tangan,
disewakan, atau dialihkan kepada siapapun sebagaimana yang tercantum dalam Akta
Pembebanan Hak Tanggungan tanggal yang ditandatangani oleh Hudiono.
Tergugat berpendapat gugatan
Penggugat harus dinyatakan “kurang pihak”, karena pemilik objek bangunan ialah Hudiono,
tidak ternyata tidak disertakan sebagai pihak dalam perkara ini, sedangkan
Hudiono merupakan pemilik dari bangunan objek agunan. Terhadap gugatan demikian,
Pengadilan Negeri Tanjung Redeb kemudian memberikan putusan Nomor
06/Pdt.G/2012/PN.Tjr, tanggal 18 Oktober 2012, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan menurut hukum, bahwa perbuatan Tergugat yang menguasai barang-barang
milik Penggugat yang ada di dalam bangunan / ruko di jalan SA Maulana Nomor 11
Tanjung Redeb, adalah Perbuatan Melawan Hukum dengan segala akibat
hukumnya;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp2.159.570.000,00
(dua miliar seratus lima puluh sembilan juta lima ratus tujuh puluh ribu
rupiah);
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang sampai saat ini sebesar
Rp344.000,00;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas
permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb tanggal 18 Oktober
2012 Nomor 06/Pdt.G/2012/PN.Tjr, di atas kemudian diperbaiki oleh Pengadilan
Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda lewat putusan Nomor 24/PDT/2013/PT
KT.SMDA, tanggal 12 April 2013, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
− Menerima Permohonan Banding dari Tergugat / Pembanding tersebut;
Dalam Pokok Perkara:
− Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb tanggal 18 Oktober
2012 Nomor 06/Pdt.G/2012/PN.Tjr, mengenai ganti rugi dan menguatkan selebihnya
sehingga selengkapnya berbunyi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat / Terbanding untuk sebagian;
2. Menyatakan menurut hukum, bahwa perbuatan Tergugat / Pembanding yang menguasai
barang-barang milik Penggugat / Terbanding yang ada didalam bangunan / ruko di
Jalan SA Maulana Nomor 11 Tanjung Redeb adalah Perbuatan Melawan Hukum
dengan segala akibat hukumnya;
3. Menghukum Tergugat / Pembanding untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat
/ Terbanding sebesar Rp285.000.000,00 (dua ratus delapan puluh lima juta
rupiah);
4. Menghukum Tergugat / Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam dua
tingkat peradilan, dalam tingkat banding sebesar Rp150.000,00 (seratus lima
puluh ribu rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat / Terbanding untuk selain dan selebihnya.”
Para pihak saling mengajukan
upaya hukum kasasi, dimana yang menjadi pokok keberatan pihak Tergugat ialah Penggugat
tidak berhak untuk mengajukan gugatan ini karena tidak mempunyai hubungan hukum
apapun terhadap Tergugat, selain itu Penggugat menjalankan usaha bilyard tanpa
persetujuan dan sepengetahuan Tergugat selaku kreditor pemegang agunan.
Tergugat juga mendalilkan bahwa yang mengalami kerugian sebenarnya adalah Tergugat,
mengingat objek jaminan pelunasan kredit yang telah diberikan oleh Hudiono
digunakan sebagai tempat usaha oleh Penggugat tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu dan menarik keuntungan dari objek agunan.
Hubungan hukum yang terjadi
sebenarnya adalah antara Tergugat dengan Hudiono yang didudukkan dalam Perjanjian
Kredit tertanggal 31 Juli 2003 senilai Rp800.000.000,00 dengan jangka waktu kredit sampai tanggal 29 November
2007 untuk tambahan modal kerja pembiayaan proyek-proyek yang akan dikerjakan
baik proyek pemerintah maupun proyek swasta. Sebagai jaminan pelunasan
hutangnya, Hudiono menyerahkan sebuah Sertifikat Hak Milik kepada Tergugat. Tergugat
baru mengetahui hubungan antara Penggugat dengan Hudiono adalah orang tua dan
anak, sehingga Tergugat beranggapan perkara ini merupakan akal-akalan dengan tujuan
barang jaminan Hudiono tidak dapat dijual-lelang oleh Tergugat.
Tergugat keberatan ketika Pengadilan
Tinggi Kalimantan Timur menyimpulkan bahwa perbuatan Tergugat yang melakukan pengosongan
(sepihak) terhadap objek jaminan hutang atas nama Hudiono dikategorikan sebagai
perbuatan melawan hukum, mengingat Tergugat merupakan Pemegang Hak Tanggungan
atas objek Sertifikat Hak Milik atas tanah. Hudiono selaku debitor telah
menunggak kewajibannya dan sampai dengan jatuh tempo perjanjian, sang debitor telah
menunggak kewajiban baik pokok maupun tunggakan bunga serta denda dan biaya
lainnya, dengan demikian dikategorikan telah wanprestasi terhadap perjanjian
yang telah disepakati. Kontradiksi antara klaim “usaha untung sekian rupiah
ketika beroperasi dan rugi sekian rupiah ketika ditutup” namun disisi lain orangtua
Penggugat menunggak pembayaran hutangnya kepada Tergugat, maka wajar Tergugat
mengeksekusinya dalam rangka pengosongan untuk dijual lelang.
Adapun salah satu ketentuan
yang sejak semula disepakati dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) antara
Hudiono dan Tergugat, pada Pasal 2 telah diatur dan disepakati : “Jika Tergugat akan mempergunakan kekuasaannya
untuk menjual objek Hak Tanggungan maka Sdr. Hudiono selaku debitur akan
memberikan kesempatan kepada yang berkepentingan untuk melihat objek Hak
Tanggungan dan segera mengosongkan atau suruh mengosongkan dan menyerahkan
objek Hak Tanggungan tersebut kepada Tergugat atau pihak yang ditunjuk”—sehingga
yang melanggar hukum ialah pihak Hudiono yang telah cidera janji, sementara itu
pihak Hudiono selaku pemilik Sertifikat Hak Milik justru tidak turut menggugat
ataupun digugat.
APHT juga telah melarang Hudiono
untuk menyewakan kepada pihak lain objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis
dari Tergugat, dimana hingga saat ini Tergugat tidak pernah memberikan izin kepada
Hudiono untuk mengalihkan penguasaan objek agunan kepada pihak lain. Dengan
demikian, Penggugat menempati objek agunan secara ilegal. Pengosongan objek
jaminan hutang atas nama Hudiono telah terlebih dahulu diberitahukan melalui
surat tertulis kepada Penggugat karena menempati objek jaminan dimaksud, dan telah
diterima juga oleh Penggugat.
Adapun yang menjadi keberatan Penggugat
atas putusan Pengadilan Tinggi yang memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri,
ialah sekalipun Tergugat membuka kembali tempat usaha Penggugat, akan tetapi
sama sekali tidak memberitahukan kepada Penggugat. Sebelum Tergugat melakukan
penutupan dan membuka kembali tempat usaha Penggugat, Tergugat sama sekali tidak
pemah membuat Berita Acara mengenai keadaan dan posisi barang-barang yang
berada di dalam tempat usaha Penggugat, sehingga Tergugat tidak dapat
mempertanggung-jawabkan kondisi dan keutuhan tempat usaha Penggugat beserta barang-barang
di dalamnya. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta
amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi dari
Pemohon Kasasi I / Tergugat dan Pemohon Kasasi II / Penggugat tidak dapat
dibenarkan oleh karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan
hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa walaupun tanah dan
bangunan ruko yang terletak di Jalan S. Maulana Nomor 11, Tanjung Redeb
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, akan tetapi Tergugat
sebagai Kreditur tidak dapat secara sepihak menutup usaha bilyard yang
dijalankan oleh Penggugat;
“Bahwa yang dapat dilakukan
Tergugat sebagai Pemegang Hak Tanggungan apabila Debitur cidera janji adalah
melakukan penjualan lelang atas Objek Hak Tanggungan sesuai dengan prosedur
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, bukan menutup usaha bilyard
yang sedang berjalan, dengan demikian perbuatan Tergugat merupakan perbuatan
melawan hukum;
“Bahwa alasan kasasi dari
Pemohon Kasasi II / Penggugat tidak dapat dibenarkan, karena Putusan Pengadilan
Tinggi yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri sekedar mengenai besarnya
ganti rugi sudah tepat dan benar, karena tentang ganti rugi sebesar
Rp2.144.570.000,00 (dua miliar seratus empat puluh empat juta lima ratus tujuh
puluh ribu rupiah) tidak didukung dengan bukti-bukti kuat, sehingga besarnya
ganti rugi yang dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi sudah memenuhi rasa keadilan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, ternyata Putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi
Samarinda dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I : PT.
BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) Tbk KANTOR CABANG TANJUNG REDEB dan Pemohon
Kasasi II : FERRY HUDIONO tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : PT. BANK
NEGARA INDONESIA (PERSERO) Tbk KANTOR CABANG TANJUNG REDEB dan Pemohon Kasasi
II: FERRY HUDIONO tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.