Janganlah Euforia terhadap Dokumen Elektronik,
Dokumen Paperless Dianak-Tirikan
Hakim di Pengadilan Perkara Perdata
Pemerintah Siap Era Digital Paperless, namun Hakim di Lembaga Peradilan Belum Siap untuk Disrupsi Era Transformasi Digital, sebuah Legal Gap
Question: Sekarang ini semua serta digital dan elektronik. KTP, Akta Kelahiran, hingga Kartu Keluarga ataupun dokumen kependudukan lainnya berupa dokumen elektronik, dimana petugas kependudukan dan catatan sipil setempat mengatakan kepada warga bahwa jika dokumen-dokumen tersebut rusak atau hilang maka bisa dicetak sendiri oleh kami selaku warga. Bukankah ini sebuah lompatan kemajuan yang patut kita apresiasi sekaligus wujud keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya? Sekarang ini hampir seluruh layanan pemerintahan baik di Kantor Pertanahan, Kelurahan, Dukcapil, bersifat dokumen digital atau elektronik lengkap dengan tanda-tangan elektronik pejabat yang berwenang menerbitkan dokumen-dokumen tersebut. Sebenarnya benar-benar aman atau tidak dikemudian hari?
Brief Answer: Sekalipun betul bahwa ada itikad baik pemerintah
dalam membuat efisien jalannya roda pemerintahan maupun efisiensi bagi warga
berupa dokumen-dokumen elektronik, yang sifatnya “paperless”, akan tetapi masalahnya akan kita jumpai kendala di
lapangan ketika terjadi sengketa hukum yang berujung pada gugat-menggugat di
peradilan. “Mind set” kalangan hakim
di Pengadilan Negeri di Indonesia, masih memandang remeh dan “sebelah mata”
dokumen-dokumen elektronik, dinilai sebagai dokumen “kelas dua” yang tidak
disetarakan dan tidak disejajarkan dengan dokumen asli bercap basah maupun
tanda-tangan basah.
Bila alat bukti berupa dokumen yang dihadirkan ke
hadapan hakim di persidangan berupa dokumen fisik lengkap dengan tanda-tangan
maupun cap basah, dan mampu dihadirkan pula asli dokumennya, maka fotokopi alat
bukti yang diserahkan kepada hakim akan diberi status sebagai “sesuai dengan
ASLI”. Sebagai contoh sebaliknya, surat-menyurat berupa surat elektronik (surel
alias email), sekalipun pihak-pihak dalam gugat-menggugat tersebut mampu
menghadirkan aslinya yakni berupa laptop atau gadget yang terhubung ke jaringan
internet sehingga dapat dibuka sumber asli dimana surat elektronik tersebut
dicetak dan dihadirkan sebagai alat bukti di persidangan, hakim menolak untuk
menyatakan “sesuai dengan ASLI”, namun sebatas memberikan status “fotokopi dari
PRINT OUT” (dengan maupun tanpa menghadirkan langsung laptop terkoneksi
internet yang menjadi sumber asli data digital) dimana hakim memandang kekuatan
pembuktiannya lemah—dalam artian, alat bukti dokumen elektronik tersebut
barulah kuat sifat pembuktiannya bila tidak dibantah oleh lawan, dimana jika
dibantah maka itu berarti dokumen elektronik demikian tidak memiliki kekuatan
pembuktian formil.
Sekalipun pihak pencari keadilan mampu
menyodorkan sumber asli surat-surat elektronik tersebut berupa layar komputer /
perangkat digital yang terkoneksi internet, tetap saja hakim di pengadilan
bersikukuh bahwa itu bukanlah “dokumen otentik” sebagaimana dokumen
konvensional yang bertandatangankan, bercap basah, dan bertuliskan di atas
kertas fisik, sehingga tidak ada bedanya bilamana sang pencari keadilan
menghadirkan maupun tidak mampu menghadirkan perangkat digital yang menjadi
sumber asli dokumen elektronik dimaksud. Inilah yang akan dikatakan oleh hakim,
ketika Anda berkeberatan tidak diberi “label” sebagai “ASLI” mengingat Anda
sudah menghadirkan sumber aslinya, “Anda
mau, laptop Anda kami SITA?!” Sita alat bukti, hanya dikenal dalam hukum
acara pidana, namun hakim secara tidak profesional mencapur-adukkannya dengan
hukum acara perdata.
Terdapat “standar berganda” alias perlakuan
diskriminatif oleh kalangan hakim terhadap dokumen elektronik, yakni
dianak-tirikan. Bila alat bukti berupa dokumen fisik, maka hakim dalam agenda
acara pembuktian surat akan mencocokkan fotokopi yang diserahkan oleh pihak
penggugat maupun tergugat terhadap asli dokumennya, apakah sesuai dengan
aslinya ataukah hanya ada berupa fotokopi tanpa diperlihatkan dokumen aslinya.
Terhadap satu buah dokumen, setebal apapun itu, semisal akta kredit atau
kontrak bisnis, hakim hanya melihat sepintas lalu saja tanpa mencocokkan
halaman demi halaman antara fotokopi dan aslinya. Jika dinilai “sepintas
pandang” fotokopi yang diserahkan sesuai dengan aslinya, maka diberi status
“sesuai dengan ASLI”. Sementara itu bila hanya berupa fotokopi tanpa asli maka
akan diberi label “fotokopi dari fotokopi” dan tidak memiliki kekuatan
pembuktian apapun.
Karena itulah, khusus di Indonesia dan konteks
perkara perdata, janganlah mengira dengan berbekal “screenshot” hasil tangkapan layar di perangkat digital Anda yang
berisi percakapan Anda dengan seseorang yang hendak Anda gugat secara perdata,
maka Anda akan memiliki kekuatan pembuktian sebagaimana di-iming-iming-kan oleh
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bila Anda tidak
percaya, cobalah menggugat dengan menggunakan dokumen bukti berupa “print out” e-banking yang sekalipun
dapat Anda akses dengan jaringan internet dan tunjukkan di persidangan, maka
lembaran-lembaran berisi informasi data keuangan mutasi transaksi bahwa benar
Anda yang telah mentransfer sejumlah uang kepada pihak tergugat, tidak akan
diberi status sebagai “PRINT OUT sesuai dengan ASLI”, namun sebatas sebagai
“fotokopi dari PRINT OUT”.
Karena itulah, penting bagi Anda untuk
mengantungi dokumen fisik dengan cap basah berupa rekening koran yang dapat
Anda peroleh dari kantor cabang perbankan tempat Anda memiliki rekening, berisi
informasi mutasi transaksi, lengkap dengan cap basah dari lembaga keuangan
bersangkutan, barulah Anda dapat merasa tenang karena kekuatan pembuktian
formil-nya menurut hukum acara perdata ialah sebagai “akta OTENTIK”. Karena
itulah, dokumen elektronik ataupun dokumen dengan tandatangan elektronik selalu
kalah derajat dari dokumen fisik dengan cap dan tandatangan basah.
PEMBAHASAN:
Banyak beredar pemberitaan
hukum yang seolah memberikan harapan tinggi secara kurang irasional terkait
dokumen elektronik, tanpa mau menyadari kendala di lapangan yang berpotensi
dijumpai ketika terjadi sengketa dikemudian hari. Tujuan dibalik akta, ialah
sebagai alat bukti (antisipasi) bilamana terjadi sengketa dikemudian hari.
Salah satunya ialah kutipan pemberitaan berikut yang penulis kutip dari salah
satu sumber pemberitaan hukum : “Munculnya
Tanda Tangan Elektronik (TTE) di Indonesia menawarkan banyak keuntungan salah
satunya kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah dan setara dengan tanda
tangan basah selama memenuhi persyaratan sesuai dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.”
Faktanya bagaimana? Pengalaman
seorang klien yang maju bersidang tanpa didampingi kuasa hukum, menghadirkan
bukti berupa “print out” surat-surat
elektronik (email) yang disertakan pula dengan sumber asli email tersebut dari perangkat
digital laptop terkoneksi internet yang dihadirkan dan ditampilkan ke hadapan
hakim di persidangan, telah ternyata tidak bersedia diterima oleh hakim sebagai
“Surat email sesuai dengan sumber / asli (yakni perangkat laptop terkoneksi
internet)” sebagaimana harapan kita maupun sebagaimana iming-iming semu UU ITE,
akan tetapi diberi status sebatas sebagai “Surat email fotocopy / print out
sesuai fotocopy”—dengan alasan hakim : apakah bersedia laptop milik sang klien
disita oleh hakim? Sang klien hanya bisa merasa pasrah tanpa daya menghadapi
“arogansi” lembaga peradilan, yang merasa tidak perlu patuh dan tunduk pada UU
ITE yang sudah terbit lebih dari satu dekade lampau. Sang klien menjadi merasa bingung
serta heran, lalu berpikir dalam benaknya sebagaimana kemudian diceritakan
kepada penulis dalam sesi konsultasi hukum:
“Kalau
begitu begitu, mengapa surat-surat asli (dari dokumen fisik) yang dijadikan
alat bukti lainnya tidak disita oleh ini hakim? Tapi saya tidak bantah dulu
perkataan hakim, karena memang yang diajukan sebagai bukti yang aslinya memang
bukanlah surat bercap basah, tetapi dokumen elektronik yang (sumbernya)
tersimpan di dalam media elektronik (alat bukti tidak berwujud alias digital),
sehingga keasliannya harus juga dinyatakan secara tertulis bercap basah untuk
dinyatakan ‘sesuai dengan ASLI’.”
Zaman sudah berkembang maju
dengan pesat (disrupsi digital), dimana kita haraus mengikuti perkembangan
teknologi global agar tidak tertinggal dari kompetisi global yang demikian
ketat dan keras—akan tetapi terbentur oleh fakta betapa praktik pendirian hakim
di pengadilan yang masih sangat konvensional alias menyidangkan perkara
“digital” dengan pola berpikir “konvensional”, jelas “tidak nyambung”. UU ITE
meluaskan alat bukti yang dikenal dalam hukum acara perdata, dengan menyertakan
dokumen elektronik maupun data digital yang notabene benda tidak berwujud
sebagai alat bukti yang sah dan setara dengan kekuatan alat bukti dokumen fisik.
Secara lebih elaboratif, sang
klien kemudian mengungkapkan betapa lebih merepotkannya mengemas alat bukti
dokumen elektronik agar dapat diberi “label” alat bukti yang sah di mata hakim
perkara perdata. Jika berupa dokumen kependudukan berbasis elektronik, kita
selaku warga dapat “semudah” mendatangi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk
memohon legalisir dokumen kependudukan, sehingga memiliki “cap basah”. Akan
tetapi, bagaimana dengan surat-surat elektronik maupun dokumen digital lainnya?
Simak betapa rumitnya proses menghadirkan alat bukti elektronik agar dapat
diterima oleh lembaga peradilan, sebagaimana diungkap sang klien:
“Saya langsung mencari refrensi
mengenai beda Alat Bukti Surat dan Alat Bukti Dokumen Elektronik sesuai UU ITE.
Besoknya saya contact via phone bagian terkait di Kominfo Jakarta untuk meminta
Uji Forensik terhadap bukti email-email yang pernah saya terima tersebut,
sehingga rencananya hasil uji Forensik yg dinyatakan dlm Surat dari Kominfo tsb
dapat diserahkan sebagai ‘Alat Bukti Surat / Dokumen ber-CAP BASAH’ dari
Kominfo terhadap barang bukti berupa email-email tersebut, sesuai UU ITE yang
merupakan perluasan dari 5 alat bukti dalam Pasal 164 HIR / 264 Rbg.”
Sekarang ini semua era dokumen
elektronik, sertifikat hak atas tanah elektronik, bahkan sekarang ini surat
keputusan di pemerintahan memakai tanda-tangan elektronik, lalu juga tren kontrak
dengan tanda-tangan elektronik, sehingga tren kedepannya tidak ada lagi istilah
tanda-tangan atau cap basah, yang digadang-gadang otentikasinya tidak dapat
diragukan dan terjamin. Akan tetapi, bila menghadirkan akta-akta tersebut
sebagai alat bukti yang sah di persidangan perkara perdata, perlu proses yang
panjang dan berbiaya mahal, maka akan lebih tepat guna bilamana negeri ini
masih menerapkan pelayanan publik secara “konvensional” sampai kalangan hakim
di pengadilan siap berpikir dan menyidangkan dengan cara berpikir “digital”.
Ironisnya, sang hakim dan peradilan kita di Indonesia telah lama menerapkan
persidangan ala “eCourt” dan “eLitigation”, namun agenda acara pembuktian masih
“konvensional” sepenuhnya.
Fungsinya dihadirkan sumber
email asli via laptop, sebetulnya sama saja dengan dokumen fisik, dicocokkan
fotocopy untuk hakim melihat dan membandingkan dengan dokumen aslinya. Jika
cocok (itupun sekadar sekilas / sepintas saja, tidak sampai menyita dokumen
aslinya), maka ditulis “fotokopi sesuai dengan ASLI” (maksudnya itu bahasa
untuk si hakim sendiri, karena si hakim pegang fotokopinya sebagai arsip
persidangan dan fotokopi itu ada ASLI-nya telah pernah diperlihatkan di
persidangan. Sama saja prinsipnya dengan dokumen elektronik, cukup dilihat mana
sumber aslinya, karena digital-nya adalah email, maka bisa dilihat pada address
bar browser, ada “gmail . com”, maka itu benar otentik alias ada aslinya
berdasarkan UU ITE. Maka, semestinya hakim tulis “Print-out sesuai ASLI”.
Begitupula dengan alat bukti transaksi via ebanking, cukup dilihat address bar
pada browser, apakah betul sumber asli data digitalnya ialah website lembaga
keuangan dimaksud.
Bayangkan, bila kita punya
Sertifikat Hak Milik maupun Sertifikat Hak Guna Bangunan elektronik dari Kantor
Pertanahan, maka mau ditulis “fotokopi sesuai fotokopi” oleh hakim? Bagaimana
kita buktikan itu asli atau tidak, jika berkas nya adalah digital? Ini “insane”, hakim kita kolot sekali meski
UU ITE sudah lebih dari satu dekade umurnya. Kini tren para pebisnis
tandatangan kontrak pakai surat perjanjian elektronik plus tandatangan
elektronik. Jika nanti mereka sengketa, apa hakim mau tulis “fotokopi sesuai
fotokopi”? Dengan kata lain, mampu atau tidak mampu sumber asli digitalnya Anda
pertunjukkan di persidangan, tetap saja hakim akan menyetarakannya sebagai
sebatas “fotokopi” belaka yang tidak memiliki kekuatan pembuktian apapun.
Kalau caranya seperti itu, maka
kontrak elektronik maupun tandatangan elektronik, SHM maupun SHGB elektronik,
tidak akan diminati oleh masyarakat. Karena jika nantinya benar-benar dijadikan
bukti di persidangan, harus uji forensik? Akta, sebagaimana namanya, sejak awal
memang dimaksudkan sebagai antisipasi untuk dijadikan alat bukti dikemudian
hari. Jika seluruh akta elektronik Anda harus dilakukan uji forensik, maka
itulah yang disebut sebagai “ekonomi biaya tinggi”. Syukur jika tidak terjadi
sengketa, namun kita tidak dapat membaca apa yang akan terjadi di masa depan. Kalau
dimaknai seperti itu, itu sama artinya UU ITE tidak pernah ada, balik ke masa
lalu sebelum UU ITE terbit, seolah-olah hanya surat forensik yang merupakan
bukti asli karena ada cap basah dari lembaga uji forensik, bukan dokumen
elektronik itu sendiri.
Ini perdata, pembuktiannya
cukup formil saja. Hakim sudah bersikap diskriminatif dengan menolak dirujuk
pada sumber aslinya berupa sumber data digital email di perangkat digital.
Juga, hakim sudah berstandar ganda, karena dokumen lainnya cukup “lihat
sepintas” lalu tulis “fotokopi sesuai ASLI”. Tipikal hakim demikian hanya
bersikap seperti robot yang “common
practice”, tidak mengakomodir akal sehat (common sense). Jika bukti elektronik dianggap atau disetarakan
atau diberi nilai sebatas sebagai “fotokopi”, pertanyaannya ialah : ASLINYA
YANG MANA? Tidak logis bilamana fotokopi eksis tanpa didahului keberadaan /
eksistensi dokumen aslinya—itu yang mestinya ditanyakan oleh hakim. Namun kita
boleh yakin, tipe hakim demikian tidak pernah bertanya sampai sejauh itu ketika
disodorkan bukti dokumen elektronik. Dokumen fotokopi, artinya ada dokumen
aslinya. Tapi hakim memakai “mindset”
dokumen PAPER ketika dihadapkan dokumen PAPERLESS, alhasil tidak nyambung.
Mestinya “apple to apple” sebagai
perbandingannya.
Sebagaimana namanya, bukti
dokumen elektronik, aslinya tidak lain tidak bukan ialah berkas digital
elektronik PAPERLESS. Hakim kita cukup “kolot”, seolah tidak pernah pakai email
untuk bekerja. Kalau hakim paruh baya bersikap kolot, mungkin bisa kit maklumi,
namun sang hakim masih tergolong muda. Bahkan, putusan pengadilan pun kini
berupa berkas digital yang mereka “upload”
ke platform “eCourt” bagi para pihak yang saling gugat-menggugat. Direktorat
Jenderal Kependudukan pencatatan sipil (Ditjen Dukcapil) saat kini menjalankan
program ”Dukcapil Go Digital”. Sejak adanya program tersebut, penandatanganan
dokumen kependudukan, seperti Kartu Keluarga (KK) dan Akta Kelahiran dilakukan
secara elektronik / online. Disdukcapil dikabarkan menghemat anggaran sekitar
Rp450 Miliar di tahun 2020. Penghematan tersebut berasal dari pemotongan biaya
penggunaan kertas khusus security printing berhologram yang diganti dengan
pencetakan dokumen mandiri oleh masyarakat. Pihak otoritas membuat “gimmick” berikut:
“Internet diciptakan untuk
meningkatkan kesejahteraan, bukan untuk membuat hidup kita menderita. Gunakan
dengan bijak, tetap ikuti aturan hukum. Bila Anda ada masalah dengan orang
lain, jangan selesaikan melalui media sosial. Karena tidak menyelesaikan
masalah, justru membuat masalah baru. (Karena) semua percakapan Anda bisa
menjadi dokumen elektronik dan bisa menjadi bukti hukum ketika itu
dipermasalahkan.”
Saat memiliki tandatangan
elektronik (TTE) tersertifikasi, pemilik tandatangan telah memenuhi keabsahan,
kekuatan hukum dan akibat hukum Tanda Tangan Elektronik sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU No.19
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain UU ITE,
TTE tersertifikasi juga diatur dalam PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor
11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik. Sehingga, apakah
artinya kita tidak perlu khawatir akan kekuatan hukum dari TTE tersertifikasi
demikian? Sekali lagi, jika hakim bersikukuh dokumen-dokumen demikian “tidak
berharga” di mata hakim, kita bisa berkata apa?
Dirilis secara resmi oleh
pemerintah dibidang Kependudukan dan Catatan Sipil, transformasi dan terobosan
maupun inovasi layanan kependudukan telah begitu maju dan “canggih”, tampak pro
terhadap rakyat luas, sebagaimana kutipan pemberitaan berikut:
Menindaklanjuti Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 104 Tahun 2019 tentang Pendokumentasian
Administrasi Kependudukan. Pasal 19 ayat (6) bahwa dalam hal Dokumen
Kependudukan dengan format digital dan sudah ditandantangani secara elektronik
dan KTP-el tidak memerlukan legalisir.
Pelayanan legalisir yang
dimaksud adalah legalisir fotocopy kutipan
akta pencatatan sipil, legalisir fotocopy dokumen kependudukan yang
ditandatangani pejabat Pencatatan Sipil atau Kepala Bidang yang menangani
Pencatatan Sipil di Disdukcapil Kabupaten / Kota.
Dalam hal Dokumen Kependudukan
dengan format digital dan sudah ditandantangin secara elektronik dan KTP-el tidak
memerlukan pelayanan legalisir.
Legalisir atas fotokopi
Pencatatan Sipil dan fotokopi dokumen pendaftaran penduduk dilakukan untuk
membuktikan kesesuaian fotokopi dokumen dengan basis Data Kependudukan dan
Dokumen Kependudukan.
Legalisir ditandatangani oleh
pejabat Pencatatan Sipil atau kepala bidang yang menangani Pencatatan Sipil di
Disdukcapil Kabupaten / Kota atau pejabat Pencatatan Sipil di UPT Disdukcapil
Kabupaten / Kota.
Dalam hal dokumen kependudukan
dengan format digital dan sudah ditandatangani secara elektronik dan KTP-el, TIDAK
MEMERLUKAN pelayanan legalisir.
Namun demikian, kebijakan
pemerintah demikian tidak sinkron (tidak terintegrasi alias berjalan
masing-masing) dengan pendirian hakim pada praktiknya di lapangan yakni di persidangan
perkara perdata, dimana masing lembaga berjalan dengan pendirian dan sikap
masing-masing (baca : ego sektoral), sekalipun kebijakan Kementerian Dalam
Negeri dalam hal ini transformasi pelayanan berbasis kependudukan dari
konvensional menjelma digitalisasi dan elektronik sebagai proses maupun output hasil pelayanannya, akan tetapi
kalangan hakim tampaknya bersikap “tidak acuh” dan menjalankan persidangan
dengan “ego” profesi dan lembaganya sendiri. Tetap saja Anda dipaksa dan
terpaksa untuk memohon legalisir ber-cap basah terhadap “print out” dokumen-dokumen kependudukan berbasis elektronik
tersebut sebelum dihadirkan sebagai alat bukti di persidangan perkara perdata,
dan memohon “uji forensik” terhadap dokumen-dokumen elektronik lainnya agar
disetarakan dengan dokumen fisik ber-cap basah.
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 104 TAHUN 2019
TENTANG
PENDOKUMENTASIAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
Menimbang :
a. bahwa untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan serta
pemanfaatan data dan Dokumen kependudukan, perlu mengatur mengenai pengelolaan
pendokumentasian administrasi kependudukan;
b. bahwa Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendokumentasian Hasil Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah sudah tidak sesuai dengan
perkembangan hukum, pengelolaan dokumen kependudukan, dan teknologi, sehingga
perlu diganti;
c. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Pendokumentasian Administrasi Kependudukan;
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pendokumentasian
adalah kegiatan untuk menata dan menyimpan dokumen, dalam proses dan hasil
penyelenggaraan administrasi kependudukan.
2. Administrasi Kependudukan
yang selanjutnya disebut Adminduk adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan Dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran
penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan
serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor
lain.
3. Data Kependudukan
adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil
dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
4. Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Provinsi yang selanjutnya disebut Disdukcapil Provinsi
adalah perangkat pemerintah provinsi yang membidangi urusan Administrasi
Kependudukan.
5. Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten / Kota yang selanjutnya disebut Disdukcapil
Kabupaten / Kota adalah perangkat pemerintah kabupaten / kota selaku
instansi pelaksana yang membidangi urusan Administrasi Kependudukan.
6. Dokumen Kependudukan
adalah Dokumen resmi yang diterbitkan oleh Disdukcapil Kabupaten/Kota yang
mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti otentik yang dihasilkan dari
pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
7. Sistem Informasi
Administrasi Kependudukan yang selanjutnya disingkat SIAK adalah
sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
memfasilitasi pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan di tingkat
penyelenggara dan dinas kependudukan dan pencatatan sipil sebagai satu
kesatuan.
8. Kartu Keluarga yang
selanjutnya disingkat KK adalah kartu identitas keluarga yang memuat
data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota
keluarga.
9. Kartu Tanda Penduduk
Elektronik yang selanjutnya disingkat KTP-el adalah kartu tanda penduduk
yang dilengkapi dengan cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai
bukti diri yang diterbitkan oleh Disdukcapil Kabupaten / Kota atau unit
pelaksana teknis Disdukcapil Kabupaten / Kota.
10. Kartu Identitas Anak
yang selanjutnya disingkat KIA adalah identitas resmi anak sebagai bukti
diri anak yang berusia kurang dari 17 (tujuh belas) tahun dan belum menikah
yang diterbitkan oleh Disdukcapil Kabupaten / Kota atau Unit Pelaksana Teknis
Disdukcapil Kabupaten / Kota.
11. Pendaftaran Penduduk
adalah pencatatan biodata penduduk, pencatatan atas pelaporan peristiwa
kependudukan dan pendataan penduduk rentan Administrasi Kependudukan serta
penerbitan Dokumen Kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan
kependudukan.
12. Pencatatan Sipil adalah
pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register akta
Pencatatan Sipil pada Disdukcapil Kabupaten / Kota.
13. Unit Pelaksana Teknis
Disdukcapil Kabupaten / Kota yang selanjutnya disingkat UPT Disdukcapil
Kabupaten / Kota adalah unit pelayanan urusan Administrasi Kependudukan di
tingkat kecamatan yang berkedudukan di bawah Disdukcapil Kabupaten / Kota.
14. Dokumen Aktif adalah
Dokumen yang secara langsung dan terus menerus diperlukan dan dipergunakan
dalam penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
15. Dokumen Inaktif
adalah dokumen yang masih diperlukan dan dipergunakan dalam penyelenggaraan
Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, dan pemanfaatan data dan Dokumen
Kependudukan yang frekuensi penggunaannya sudah menurun / berkurang atau sudah
tidak berlaku.
16. Dokumen Kependudukan
Tidak Valid yang selanjutnya disebut Dokumen Tidak Valid adalah
dokumen yang proses penerbitan dan/atau pencetakannya tidak memenuhi ketentuan
teknis yang dipersyaratkan dan/atau data yang tercantum di dalamnya tidak
sahih.
BAB II
PELAKSANA
Pasal 2
(1) Pedokumentasian Adminduk
dilaksanakan oleh:
a. Disdukcapil Kabupaten/kota
dan UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota; dan
b. Disdukcapil Provinsi untuk
pemanfaatan data dan Dokumen Kependudukan.
(2) Dalam Pendokumentasian
adminduk di kecamatan dan desa / kelurahan, Disdukcapil Kabupaten / Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, menempatkan petugas yang berasal
dari unsur:
a. pegawai Disdukcapil
Kabupaten / Kota; atau
b. petugas yang berasal dari kecamatan
dan desa/kelurahan yang ditunjuk.
BAB III
PENGELOLAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Pendokumentasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, meliputi proses pengelolaan dokumen berupa:
a. Dokumen Aktif; dan
b. Dokumen Inaktif.
(2) Dokumen Aktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, digunakan untuk:
a. penyelenggaraan Pendaftaran
Pendudukan;
b. penyelenggaraan Pencatatan
Sipil; dan
c. penyelenggaraan pemanfaatan
data dan Dokumen Kependudukan.
(3) Dokumen Aktif untuk
penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a, meliputi:
a. formulir Pendaftaran
Penduduk yang telah diisi oleh penduduk;
b. salinan dokumen yang menjadi
persyaratan administrasi Pendaftaran Penduduk;
c. surat keterangan
kependudukan hasil pelayanan Pendaftaran Penduduk;
d. KK;
e. KIA; dan
f. buku yang digunakan dalam
Pendaftaran Penduduk.
(4) Dokumen Aktif untuk
penyelenggaraan Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
meliputi:
a. formulir Pencatatan Sipil
yang telah diisi oleh penduduk;
b. salinan dokumen yang menjadi
persyaratan administrasi Pencatatan Sipil;
c. surat keterangan pelayanan
Pencatatan Sipil;
d. register akta Pencatatan
Sipil; dan
e. buku yang digunakan dalam
Pencatatan Sipil.
(5) Dokumen Aktif untuk penyelenggaraan
pemanfaatan data dan Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c, meliputi:
a. nota kesepahaman;
b. perjanjian kerja sama;
c. petunjuk teknis;
d. formulir pengajuan User ID;
e. hasil proof of concept; dan
f. berita acara serah terima
kartu Secure Access Module.
Pasal 4
(1) Dokumen Aktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dapat berubah menjadi
Dokumen Inaktif.
(2) Perubahan Dokumen Aktif
menjadi Dokumen Inaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikarenakan
frekuensi penggunaannya sudah menurun/berkurang sehingga dapat diretensi,
kecuali register akta Pencatatan Sipil.
Pasal 5
Pendokumentasian Adminduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3,
dilakukan secara:
a. manual; dan
b. daring.
Bagian Kedua
Pendokumentasian Secara Manual
Pasal 6
Pendokumentasian secara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a, dilaksanakan melalui:
a. penataan;
b. pemeliharaan; dan
c. penyusutan.
Pasal 7
(1) Penataan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, dilakukan dengan cara:
a. pemberkasan; dan
b. penyimpanan.
(2) Pemberkasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan terhadap dokumen yang dibuat dan
diterima berdasarkan klasifikasi layanan Pendaftaran Penduduk, Pencatatan
Sipil, serta pemanfaatan data dan Dokumen Kependudukan.
(3) Penyimpanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dalam bentuk:
a. fisik dokumen; dan
b. format digital dokumen.
(4) Penyimpanan fisik dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, menggunakan:
a. map karton manila tebal / plastik;
b. kotak berkas / kotak
dokumen; dan
c. filling cabinet / lemari / rak
dokumen.
(5) Penyimpanan format digital
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dilakukan melalui alih
media yaitu dengan cara mengonversikan dokumen ke dalam format digital dengan
cara:
a. pemindaian;
b. fotografi digital; dan
c. perekaman digital.
Pasal 8
(1) Pemeliharaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, dilakukan terhadap:
a. ruang penyimpanan; dan
b. fisik dokumen.
(2) Pemeliharaan terhadap ruang
penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan
mempertimbangkan:
a. daerah atau lokasi yang
memiliki kandungan polusi rendah, bebas banjir, bebas keramaian, bebas rayap,
dan bebas kutu buku;
b. terpisah dari ruangan kerja;
c. konstruksi standar bangunan
kearsipan;
d. kebersihan ruang
penyimpanan; dan
e. kelembaban suhu udara.
(3) Pemeliharaan terhadap fisik
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan cara:
a. memastikan peletakan dokumen
sesuai dengan sistem penataan yang baik dan benar;
b. mencegah faktor penyebab
kerusakan; dan
c. memastikan keamanan dokumen.
Pasal 9
(1) Penyusutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, dilakukan untuk:
a. mengurangi volume dokumen
yang frekuensi penggunaannya sudah menurun/berkurang atau sudah tidak berlaku;
dan
b. mengurangi biaya
pemeliharaan.
(2) Penyusutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan:
a. jadwal retensi dokumen;
b. penilaian berkas dokumen;
dan
c. persetujuan dari pejabat
pengendali/penanggung jawab dokumen.
(3) Penyusutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara:
a. pemindahan dokumen; dan
b. pemusnahan dokumen.
(4) Pemindahan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi:
a. pemindahan Dokumen Inaktif
yang berada di kecamatan dan desa/kelurahan atau UPT Disdukcapil Kabupaten / Kota
kepada Disdukcapil Kabupaten/Kota berdasarkan jadwal retensi dokumen yang
dilengkapi dengan berita acara pemindahan dokumen; dan
b. penyerahan dokumen dari
Disdukcapil Kabupaten / Kota kepada organisasi perangkat daerah yang
menyelenggarakan kearsipan daerah berdasarkan jadwal retensi dan hasil
penilaian yang dilengkapi dengan berita acara pemindahan dokumen.
(5) Pemusnahan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b, dilaksanakan oleh Disdukcapil Kabupaten / Kota
berdasarkan hasil penilaian yang dilengkapi dengan berita acara pemusnahan
dokumen.
Pasal 10
(1) Jadwal retensi dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a, diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penilaian berkas dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b, dilakukan berdasarkan:
a. kepentingan lembaga
pencipta;
b. ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
c. kepentingan masyarakat.
(3) Penilaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh Disdukcapil Kabupaten/Kota dan dapat
mengikutsertakan aparat penegak hukum dan perangkat daerah terkait sesuai
kewenangannya.
(4) Persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c, dilakukan berdasarkan hasil penilaian.
(5) Tata cara penyusutan
Dokumen Kependudukan yang dilaksanakan oleh Disdukcapil Kabupaten / Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pendokumentasian Secara Daring
Pasal 11
Pendokumentasian secara daring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
b, dilaksanakan melalui:
a. penataan; dan
b. pemeliharaan.
Pasal 12
(1) Penataan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, dilakukan dengan cara:
a. pengklasifikasian; dan
b. penyimpanan.
(2) Pengklasifikasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan mengelompokkan
dokumen layanan secara daring melalui sistem yang terintegrasi dengan SIAK.
(3) Penyimpanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan menggunakan perangkat keras dan
perangkat lunak yang menerapkan sistem basis data.
Pasal 13
(1) Pemeliharaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, dilakukan terhadap:
a. perangkat keras; dan
b. perangkat lunak.
(2) Pemeliharaan atas perangkat
keras sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan cara:
a. pengaturan berdasarkan
standar suhu dan kelembaban ruang;
b. menjaga kebersihan ruang;
c. memperbaiki sarana dan
prasarana; dan
d. pemutakhiran perangkat
keras.
(3) Pemeliharaan atas perangkat
lunak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan cara:
a. pengamanan sistem dan
aplikasi;
b. pencegahan virus dan
pemutakhiran anti virus;
c. pemutakhiran sistem dan aplikasi;
dan
d. pengembangan sistem dan
aplikasi.
Pasal 14
Pendokumentasian secara daring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
dilakukan melalui sistem arsip Adminduk daring sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Dokumen Tidak Valid
Pasal 15
(1) Dokumen Tidak Valid dapat
berupa:
a. KTP-el;
b. KIA;
c. KK; dan
d. akta Pencatatan Sipil.
(2) KTP-el tidak valid
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disebabkan oleh:
a. gagal encode;
b. rusak;
c. gagal cetak; dan
d. perubahan elemen data.
(3) Dokumen KIA dan KK tidak
valid sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, disebabkan oleh:
a. rusak;
b. gagal cetak; dan
c. perubahan elemen data.
(4) Dokumen Akta Pencatatan
Sipil tidak valid sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, disebabkan oleh:
a. rusak; dan
b. gagal cetak.
(5) Dokumen Tidak Valid
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimusnahkan setiap hari dengan cara dibakar
yang dilengkapi dengan berita acara pemusnahan dokumen.
(6) Ketentuan mengenai format
berita acara pemusnahan Dokumen Tidak Valid sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 16
(1) Menteri melalui Direktur
Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil melakukan pembinaan pelaksanaan
Pendokumentasian kepada gubernur dan bupati / wali kota.
(2) Gubernur melalui kepala
Disdukcapil Provinsi melakukan pembinaan pelaksanaan Pendokumentasian kepada
bupati / wali kota.
(3) Bupati / Wali Kota melalui kepala
Disdukcapil Kabupaten/Kota dan/atau kepala UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan pelaksanaan Pendokumentasian kepada petugas di kecamatan
dan desa/kelurahan.
BAB V
PENDANAAN
Pasal 17
Pendanaan Pendokumentasian bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
Pelayanan legalisir atas fotokopi Dokumen Kependudukan dilakukan untuk
membuktikan kesesuaian fotokopi dokumen dengan basis Data Kependudukan dan Dokumen
Kependudukan.
Pasal 19
(1) Pelayanan legalisir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, meliputi:
a. legalisir fotokopi kutipan
akta Pencatatan Sipil; dan
b. legalisir fotokopi dokumen
pendaftaran penduduk.
(2) Pelayanan legalisir
fotokopi kutipan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, ditandatangani oleh pejabat Pencatatan Sipil atau kepala bidang yang
menangani Pencatatan Sipil di Disdukcapil Kabupaten / Kota atau pejabat
Pencatatan Sipil di UPT Disdukcapil Kabupaten / Kota.
(3) Pelayanan legalisir
fotokopi kutipan akta Pencatatan Sipil yang diterbitkan oleh Disdukcapil
Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten / Kota lain, ditandatangani oleh
pejabat Pencatatan Sipil atau kepala bidang yang menangani Pencatatan Sipil di
Disdukcapil Kabupaten/Kota atau pejabat Pencatatan Sipil di UPT Disdukcapil
Kabupaten / Kota setelah dikoordinasikan dengan Disdukcapil Kabupaten / Kota
atau UPT Disdukcapil Kabupaten / Kota yang menerbitkan kutipan akta Pencatatan
Sipil.
(4) Pelayanan Legalisir
fotokopi dokumen Pendaftaran Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, ditandatangani kepala Disdukcapil Kabupaten / Kota atau kepala UPT
Disdukcapil Kabupaten / Kota atau pejabat yang ditunjuk.
(5) Pelayanan legalisir
fotokopi dokumen Pendaftaran Penduduk yang diterbitkan oleh Disdukcapil
Kabupaten / Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten / Kota lain, ditandatangani
oleh Kepala Disdukcapil Kabupaten / Kota atau Kepala UPT Disdukcapil Kabupaten /
Kota atau pejabat yang ditunjuk setelah dilakukan verifikasi dengan basis Data
Kependudukan dan dikoordinasikan dengan Disdukcapil Kabupaten / Kota atau UPT
Disdukcapil Kabupaten / Kota yang menerbitkan dokumen Pendaftaran Penduduk.
(6) Dalam hal Dokumen
Kependudukan dengan format digital dan sudah ditandatangani secara elektronik
dan KTP-el tidak memerlukan pelayanan legalisir.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendokumentasian Hasil Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 177), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2019
MENTERI DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MUHAMMAD TITO KARNAVIAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.