KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Hukum yang Sehat Tidak Dibenarkan Menganak-Emaskan Pasal-Pasal Tertentu dan Menganak-Tirikan Pasal-Pasal Lainnya dari Undang-Undang yang Sama

Apakah Pasal 436 Rv Masih Berlaku?

Aturan Tidak Tertulis di Pengadilan : Jangan Fetakompli Domain serta Kewenangan Hakim untuk Menilai dan Memutus Perkara

Terperangkap oleh CHOICE OF LAW dan CHOICE OF FORUM dalam Surat Perjanjian

Question: Apakah Pasal 436 Ayat (2) Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang mengatur : “Kecuali ditentukan dalam Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan lain-lain perundang-undangan, keputusan-keputusan yang diterbitkan oleh badan peradilan luar negeri tidak dapat dieksekusi di Indonesia. Perkara-perkara sedemikian dapat diajukan lagi (dalam bentuk gugatan baru) dan diputuskan di dalam badan peradilan di Indonesia.”, masih berlaku dan diakui dalam praktik peradilan di Indonesia?

Brief Answer: Bukankah menjadi absurd, ratusan pasal-pasal lainnya dari Rv tampaknya tidak efektif diberlakukan dalam praktik hukum di ruang-ruang peradilan, maka mengapa juga satu pasal dari Rv tersebut seolah-olah dikecualikan dengan diberlakukan secara efektif? Terlagi pula, praktik peradilan dewasa ini memiliki pendirian yang menggunakan pendekatan berbeda, sehingga tidak secara tersurat merujuk Pasal 436 Rv dimaksud, akan tetapi beralih pada isu hukum apakah ada atau tidaknya perjanjian bilateral antar kedua negara perihal pengakuan putusan asing untuk dieksekusi di pengadilan negeri lokal-domestik di Indonesia. Mengatasnamakan kedaulatan hukum dan peradilan, tampaknya perjanjian bilateral semacam itu tidak akan pernah terbentuk—kecuali bila konteksnya ialah negara-negara anggota suatu konfederasi seperti negara sesama Uni Eropa.

Yang juga perlu SHIETRA & PARTNERS tekankan serta garis-bawahi perihal rumusan kaedah sebagaimana diatur dalam Pasal 436 Rv, ialah terutama frasa “tidak dapat dieksekusi”, sehingga tidak dapat dimaknai sebagai “tidak diakui”. Sebagaimana kita ketahui, bahkan putusan pengadilan negeri lokal-domestik di Indonesia sekalipun tidak dapat dieksekusi bilamana bukan mengandung amar putusan yang bersifat “condemnatoir” (dari akar kata “to condemn”, alias “menghukum”). Karena itulah, dari berangkat dari pertimbangan yuridis demikian, kalangan Hakim Agung di Indonesia dalam putusannya tidak merujuk pada pasal-pasal Rv dalam menyikapi gugatan dengan isu hukum putusan peradilan asing yang dimohonkan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di Indonesia.

Tidak berhenti sampai di situ, lebih jauh lagi, secara pribadi penulis menilai bahwa terkandung bahaya dibalik sikap / pendirian bahwa Rv masih berlaku sebagai “hukum positif” di Indonesia. Mengapa? Ketika pemerintah, aparatur penegak hukum, maupun lembaga peradilan memandang bahwa salah satu pasal dalam Rv masih berlaku dan diterapkan secara efektif, namun ratusan pasal-pasal lainnya dari Rv justru di-“peti es”-kan, maka itu menyerupai sikap diskriminatif (oleh negara) terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang yang sama.

Efek domino-nya, masyarakat akan cenderung menilai apatis terhadap wibawa hukum, bahwasannya ada satu atau beberapa pasal yang dianak-emaskan sementara itu ada pasal-pasal lain dari Undang-Undang yang sama justru dianak-tirikan, “suka-suka” pihak pemerintah dan aparatur penegak hukum, tiadanya kepastian hukum, terkesan “menjebak” (ada pasal yang ditegakkan sementara itu ada pasal-pasal lainnya yang ditidurkan), disamping penilaian negatif oleh publik bahwa bukan lagi sekadar “tebang pilih” akan tetapi “pasal pilih” seolah-olah menjadi komoditas politis. Karena itulah, pilihannya harus tegas, demi tercipta kepastian hukum, yakni dua opsi berikut : berlakukan seluruh pasal-pasal dalam Rv atau sebaliknya, “peti es”-kan seluruh norma hukum yang diatur dalam Rv.

Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan dan disadari, ialah bahwa ketika dalam menjalin relasi bisnis telah ternyata pihak rekan bisnis Anda lebih banyak memiliki aset di negara luar, maka setidaknya pilih lembaga “arbitrase internasional” sebagai “choice of forum” ketika terjadi sengketa hukum sebagai lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa, dimana putusan arbitrase asing (award) rata-rata telah dapat dimohonkan eksekusinya ke negara-negara dimana pihak rekan bisnis (tergugat) berkedudukan dan memiliki aset untuk dieksekusi. Buang jauh-jauh “ego” agar lebih realistis dalam merancang kontrak / surat perjanjian, dengan menyadari apakah rekan bisnis Anda memiliki aset ataukah tidaknya di negara Anda.

Ketika Anda menyadari bahwa rekan bisnis Anda tidak memiliki aset kepemilikan di negara Anda, bahkan berdomisili di negara lain, dan Anda tetap juga memuat klausul “choice of forum” dan “choice of forum” yakni hukum negara Anda serta “choice of forum” yakni pengadilan di negara Anda, itu sama artinya Anda tidak dapat lagi menggugat rekan bisnis Anda di negara selain ke hadapan pengadilan di negara Anda, mengingat “kompetensi absolutnya” ialah semata dan satu-satunya pengadilan di negara Anda. Boleh saja memuat “choice la law” ialah hukum negara Anda, namun “choice of forum” setidaknya ialah arbitrase internasional—mengingat arbitrase internasional hanya mengatur “hukum acara” ketika bersidang dan mengadili, sehingga putusannya dapat dimohonkan eksekusinya ke negara dimana rekan bisnis Anda berdomisili serta memiliki aset.

Kekuatan mengikat putusan arbitrase internasional secara lintas negara, diakomodir lewat perjanjian multilateral “the New York Convention for the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award 1958” (Konvensi New York 1958), dimana negara-negara anggota peserta Konvensi—Indonesia menjadi salah satu negara peserta—berjanji untuk saling mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing atas dasar asas resiprokal (prinsip bertimbal-balik). Sementara itu putusan pengadilan asing hanya dimungkinkan untuk diakui dan “laku” di negara lain bilamana kedua belah pihak telah menandatangani atau meratifikasi “the Hague Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Judgments in Civil and Commercial Matters” (Konvensi Den Haag), dimana belum diratifikasi oleh Indonesia maupun sejumlah negara lainnya.

Masih menurut pribadi penulis, asas kebebasan berkontrak (asas konsensual, “pacta sunt servanda”) bersifat universal, dalam artian menjadi praktik setiap negara berhukum. Karenanya, jika untuk sengketa yang terbit akibat wanprestasi alias “cidera / ingkar janji”, maka tiada urgensi mengatur “choice of law” maupun “choice of forum” negara Anda—biarkanlah saja “choice of law” maupun “choice of forum” ialah negara dimana rekan bisnis Anda memiliki aset untuk dieksekusi ketika gugatan yang Anda majukan terhadapnya dikabulkan oleh pengadilan negeri setempat dimana pihak rekan bisnis Anda selaku tergugat berkedudukan.

Singkat kata, adalah delusi ketika Anda berasumsi bahwa “choice of forum” maupun “choice of law” yang diatur dalam kontrak antara kedua belah pihak yang berbeda kewarganegaraan merupakan suatu “kemenangan”, itu adalah sebuah “kerugian” bila tidak dapat disebut sebagai “kekalahan besar”. Solusi lainnya, tambahkan ekor kalimat dalam klausul “choice of forum” dalam kontrak bisnis Anda, dengan kalimat “...tanpa mengurangi hak PIHAK PERTAMA untuk menggugat ke hadapan pengadilan dimana PIHAK KEDUA berkedudukan hukum maupun pengadilan dimana PIHAK KEDUA memiliki aset kekayaan untuk dieksekusi.”—dengan demikian Anda tidak akan “terkunci” oleh klausul “choice of forum” pada pengadilan di negara Anda sendiri sebagai satu-satunya peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa kontraktual ini.

PEMBAHASAN:

Mahkamah Agung RI dalam hal ini telah cukup cerdas juga bijaksana, tidak mengemukakan perihal salah satu pasal dalam Rv ketika dihadapkan pada kondisi untuk membuat putusan atas suatu sengketa keperdataan yang mengandung anasir “asing”, namun mencari dan menerapkan dasar hukum lainnya di luar Rv yang dapat menjadi substitusinya untuk dijadikan dasar hukum ketika memutus. Hal demikian dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat ilustrasi konkret sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI No. 2681 K/Pdt/2010 sengketa perdata register Nomor tanggal 07 Maret 2011, perkara antara:

- JP. MORGAN CHASE BANK NATION ASOCIATION, berkantor cabang didLondon dan bermarkas di Amerika Serikat, sebagai Pemohon Kasasi semula selaku Penggugat; melawan

- PT. KALBE FARMA, Tbk., berkedudukan di Indonesia, sebagai Termohon Kasasi semula selaku Tergugat.

Sengketa bermula ketika Kalbe menjadi nasabah Penggugat, dalam rangka melindungi Kalbe dari pergerakan nilai tukar US Dollar terhadap Rupiah (hedging alias “lindung nilai”). Kegiatan usaha Kalbe meliputi pembuatan dan penjualan produk dimana ia menerima pembayaran dalam Rupiah (“IDR”), sementara untuk mengimpor bahan baku tertentu Kalbe harus membayar dalam bentuk US Dollar (“USD”). Oleh karena itu, untuk mengamankan dirinya dari pergerakan nilai tukar USD/IDR, Kalbe menggunakan layanan keuangan berupa hedging dari Penggugat.

Gugatan yang diajukan oleh Penggugat ini ialah dalam rangka melaksanakan atau mengeksekusi putusan dari pengadilan England’s High Court of Justice, yang sebelumnya telah pernah diputus terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat. Adapun antara Republik Indonesia dan Kerajaan Inggris (United Kingdom) tidak terdapat perjanjian bilateral untuk dapat saling mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan Inggris di Indonesia maupun sebaliknya. Sebagai tindak-lanjutnya, Penggugat mengajukan gugatan ini di pengadilan Indonesia dengan maksud untuk meminta hakim pada pengadilan di Indonesia agar putusan pengadilan Inggris dimaksud dapat dilaksanakan eksekusinya di Indonesia.

Namun mengingat perjanjian yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat diatur menurut ketentuan Hukum Inggris dan tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Inggris, Penggugat dalam gugatan ini memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menjatuhkan putusan yang sama dengan putusan yang sebelumnya telah dijatuhkan oleh Pengadilan Inggris terhadap Tergugat. Gugatan itu sendiri berkaitan dengan wanprestasi dari Tergugat terhadap kontrak yang disepakatinya dengan Penggugat [Note SHIETRA & PARTNERS : Suatu strategi rumusan gugatan yang keliru secara fatal, karena itu ibarat hendak menyandera dan mem-fetakompli kewenangan dan kebebasan memutus hakim domestik di Indonesia, alih-alih mengajukan gugatan sebagaimana lazimnya gugatan perdata yang taat asas antara “posita” dan “petitum” gugatan.]

Penggugat mendalilkan bahwa jumlah yang harus dibayar oleh Tergugat akibat pemutusan kontrak lebih dini (early termination) adalah USD 19,194,206.00.10. Oleh karenanya, Penggugat menuntut pembayaran yang menjadi kewajiban Tergugat. Namun dalil berikutnya oleh Penggugat berikut ini cukup dilematis serta terbukti menjadi bumerang bagi posisi hukumnya sendiri. Hukum Inggris adalah hukum dipilih kedua belah pihak dalam perjanjian antara Penggugat dan Tergugat, dimana sebelumnya Pengadilan Inggris telah pernah mengadili sengketa yang terjadi berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian sesuai pilihan forum penyelesaian sengketa (choice of forum) yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Mengingat para pihak sudah memilih Hukum Inggris sebagai “the goveming law of the contract”, maka dalam gugatan yang tujuan utamanya untuk melaksanakan putusan Pengadilan Inggris dimaksud, Penggugat memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menerapkan Hukum Inggris dalam mengadili perkara ini. [Note SHIETRA & PARTNERS : Tampaknya Penggugat terlambat menyadari kekeliruannya ketika pada mulanya bekerja-sama dengan Tergugat, mengingat Tergugat memiliki aset untuk dieksekusi bukan di Inggris, namun di Indonesia, sehingga putusan Pengadilan Inggris menemui jalan buntu bernama “menang di atas kertas”.]

[Mengapa gugatan ini menjadi menjelma “deadlock” bagi kepentingan Penggugat? Akibat pihak Penggugat sendiri yang dalam surat perjanjiannya memuat klausul “choise of law” terlebih “choice of forum” di luar Indonesia, akibatnya satu-satunya yurisdiksi absolut pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa ialah pengadilan di luar Indonesia. Karena itulah juga, gugatan sebagaimana lazimnya gugatan perdata menjadi mustahil diajukan ke hadapan Pengadilan Negeri di Indonesia, mengingat posisi hukum pihak Penggugat telah terjebak serta terperangkap oleh “choice of law” dan “choice of forum” yang dibuat olehnya sendiri dalam surat perjanjian antara kedua belah pihak.]

Setelah Tergugat gagal melakukan pembayaran, Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat di England's High Court of Justice pada tanggal 10 September 2008, dimana kontrak diantara kedua belah pihak tunduk pada Hukum Inggris di bawah yurisdiksi Pengadilan Inggris. Selain itu, Penggugat mengalami kerugian di Inggris. Pada atau sekitar tanggal 28 November 2008, gugatan di Pengadilan Inggris diberitahukan dengan resmi kepada Tergugat di kantomya di Jakarta, Indonesia.

Putusan terhadap Tergugat telah pernah diterbitkan oleh Pengadilan Inggris pada tanggal 23 Desember 2008, yang memerintahkan Tergugat untuk membayar sejumlah US$19,438,560.61 (termasuk pokok dan bunga) atau Pound Sterling Inggris yang nilainya sama pada waktu pembayaran. Putusan Pengadilan Inggris telah disampaikan kepada Tergugat pada tanggal 4 Maret 2009, namun tidak diindahkan. Atas sikap Tergugat yang tidak patuh terhadap putusan Pengadilan Inggris, Penggugat sekarang mengajukan gugatan ini ke hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melaksanakan isi putusan Pengadilan Inggris dimaksud—mengingat Tergugat tidak memiliki aset kepemilikan untuk dieksekusi di Inggris, namun di Indonesia.

Karena gugatan ini sifatnya “hanyalah” untuk melaksanakan putusan dari Pengadilan Asing, Penggugat lewat gugatan ini meminta agar Majelis Hakim di Indonesia yang mengadili perkara ini untuk menggunakan ketentuan hukum Inggris dan menjatuhkan putusan yang serupa dengan putusan Pengadilan Inggris. Berdasarkan ketentuan Hukum Acara Perdata Indonesia sebagaimana Pasal 165 HIR, dokumen berupa putusan Pengadilan Inggris demikian memiliki kekuatan pembuktian sebagaimana kekuatan pembuktian suatu “akta otentik”, mengingat: (i) dibuat oleh pejabat yang berwenang (yaitu hakim di Inggris); (ii) surat itu dibuat dengan maksud untuk dijadikan sebagai surat bukti.

Sebagai suatu akta otentik, putusan Pengadilan Inggris itu adalah bukti yang sempuma untuk membuktikan adanya kewajiban Tergugat untuk melakukan pembayaran kepada Penggugat berdasarkan ketentuan hukum Inggris sebagai hukum yang mengatur perjanjian antara kedua belah pihak. Lebih lanjut, Penggugat juga berhak untuk mendapatkan bunga dari jumlah tagihan yang belum dibayar. Berdasarkan perjanjian, bunga yang harus dibayar adalah 8% per tahun dari total tagihan yang dihitung sejak tanggal dijatuhkannya putusan sampai dengan tanggal didaftarkannya gugatan ini. Gugatan Penggugat ini diajukan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat sebagai mata uang yang disepakati dalam perjanjian antara Penggugat dan Tergugat.

Tergugat melakukan wanprestasi di Inggris (karena yang melakukan transaksi dan menderita kerugian adalah kantor cabang Penggugat di London). Akibat wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat, Penggugat menderita kerugian sebagaimana yang telah diputuskan oleh Pengadilan Inggris. Adapun yang menjadi pokok tuntutan (petitum) Penggugat dalam surat gugatannya, ialah:

1. Menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Inggris (High Court of Justice Queen's Bench Division Commercial Court Royal Courts of Justice) tanggal 23 Desember 2008 dapat dilaksanakan di Indonesia.

2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah diletakkan atas asset-asset Tergugat.

3. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada Penggugat sebesar USD19,438,560.61 sesuai dengan putusan Pengadilan Inggris tanggal 23 Desember 2008.

4. Menghukum Tergugat untuk membayar bunga yang dihitung secara harian sebesar USD 4,260.50 yang dihitung sejak tanggal 24 Desember 2008 sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum dalam perkara ini.

Yang menjadi bantahan / sanggahan pihak Tergugat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang secara Absolut untuk mengadili pelaksanaan (Eksekusi) Putusan Pengadilan Asing termasuk putusan pengadilan di Inggris, karena Negara Republik Indonesia belum pernah menanda-tangani Perjanjian Bilateral dengan Negara Inggris atas pelaksanaan Putusan Pengadilan Inggris di Indonesia. Gugatan penggugat juga dinilai bertentangan dengan prinsip Negara Indonesia sebagai negara berdaulat. Gugatan Penggugat juga dinilai bukan gugatan perdata, akan tetapi “permohonan”.

Penggugat tidak meminta diputus Hakim Indonesia apakah benar ada perjanjian antara kedua belah pihak, Penggugat juga tidak meminta Hakim Indonesia untuk memutus pokok sengketa yaitu apakah benar ada perjanjian transaksi derivatif antara Penggugat dan Tergugat, dimana kalaupun memang ada telah ternyata Penggugat juga tidak meminta agar perjajian derivatif tersebut dinyatakan sah oleh Pengadilan, akan tetapi Penggugat hanya memohon Majelis Hakim Jakarta Pusat untuk tunduk dan mentaati Putusan Pengadilan Asing (Inggris).

Sehingga Penggugat tidak mengajukan gugatan seperti perkara baru sebagaimana diharuskan Pasal 436 Rv dan juga tidak meminta diperiksa dan diadili seperti perkara perdata mumi, melainkan Penggugat hanya mengajukan “permohonan” pelaksanaan putusan Pengadilan Inggris. Apabila dikabulkan “permohonan” Penggugat demikian, memaksa Hakim Indonesia untuk dengan begitu saja melaksanakan Putusan Asing, maka dikemudian hari bisa terjadi konflik antar negara dan masyarakat baik secara budaya, sosial, dan politik, sebab akan berakibat seolah-olah Hakim Indonesia diharuskan tunduk begitu saja oleh Putusan Hakim Asing.

Tergugat merujuk Pasal 436 Rv (Reglement Op De Rechtvordering) : “Kecuali dalam hal ditentukan dalam Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan ditentukan dalam lain-lain ketentuan perundang-undangan, keputusan-keputusan dari hakim luar negeri atau Pengadilan luar negeri tidak dapat dilaksanakan di dalam wilayah Republik Indonesia.” Sehingga, menurut Tergugat, Pasal 436 Rv mengharuskan:

- Syarat Pertama : perkara harus diajukan sekali lagi dihadapan Hakim Indonesia.

- Syarat Kedua : Perkara tersebut harus diperiksa ulang 100% seperti perkara baru, yaitu suatu perkara baru harus dengan gugatan perdata mumi sesuai dengan Hukum Acara Perdata lengkap dengan : a.) uraian dalil-dalil didalam posita gugatan; b.) uraian tentang bukti-bukti transaksi; dan c.) uraian tentang wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum dan uraian tentang nilai ganti-rugi atau denda agar Hakim Indonesia menilai bukti-bukti; dan d.) uraian “petitum” yang jelas memuat apakah yang dituntut perbuatan melanggar hukum ataukah wanprestasi.

Dengan demikian, gugatan Penggugat bukan seperti perkara baru dan bukan gugatan perdata mumi, melainkan hanya seolah-olah diberi judul “gugatan” tetapi muatan substansinya hanya berupa permohonan eksekusi putusan pengadilan negara asing. Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 89/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tanggal 1 Juni 2009 menjatuhkan putusan dengan amar:

“MENGADILI :

1. Menyatakan mengabulkan eksepsi Tergugat;

2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);”

Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri di atas kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan No. 509/PDT/PT.DKI tanggal 25 Pebruari 2010, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat : JP. MORGAN CHASE BANK NATION ASOCIATION;

- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 89/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tanggal 1 Juni 2009 yang dimohonkan banding tersebut;

“Mengadili Sendiri :

- Menyatakan Pengadilan Negeri Jakata Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.”

Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Tinggi / Judex Facti telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

- karena putusan asing / Pengadilan Inggris yang menyangkut pihak Tergugat ada di Indonesia, dimohon dieksekusi di Indonesia, hanya dapat dimungkinkan apabila ada perjanjian eksekusi antara Inggris dan Indonesia;

- pada saat ini antara Inggris dan Indonesia tidak ada perjanjian eksekusi untuk putusan Pengadilan Asing sehingga tidak dapat dieksekusi di Indonesia;

- gugatan Penggugat tidak beralasan;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : JP MORGAN CHASE BANK NATIONAL ASSOCIATION dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 509/Pdt/2009/PT.DKI tanggal 25 Pebruari 2010 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 89/Pdt.G/2009/PT.DKI tanggal 01 Juni 2009 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;

M E N G A D I L I :

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : JP MORGAN CHASE BANK NATIONAL ASSOCIATION tersebut;

- Membatalkan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 509/Pdt/2009/PT.DKI tanggal 25 Pebruari 2010 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 89/Pdt.G/2009/PT.DKI tanggal 01 Juni 2009;

“MENGADILI SENDIRI:

1. Menyatakan mengabulkan eksepsi Tergugat;

2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.